• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

D. Kajian Teori

7. Budaya dalam Penerjemahan Teks Sejarah

Budaya sering didefinisikan sebagai segala sesuatu hasil budi daya manusia, namun definisi ini terlalu luas jika digunakan dalam hal penerjemahan. Karena penerjemahan terkait dengan bahasa, maka akan lebih praktis jika definisi ini juga dikaitkan dengan bahasa. Newmark (1988:94) mendefinisikan budaya (culture) sebagai “the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression.” Definisi Newmark jelas difokuskan pada aspek terjemahan, ia memandang budaya sebagai cara hidup yang wujudnya khas untuk masing-masing masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu sebagai alat pengungkapannya.

Lebih lanjut untuk membedakan kekhasan budaya ini, Newmark (1988) membandingkan antara artefak (material) dari bahasa yang bersifat universal, kultural, dan personal. Ungkapan yang mengandung makna „mati‟

(die) terdapat pada semua bahasa, ini menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan ungkapan universal. Sementara „musim hujan‟ (monsoon), padang

rumput „steppe’ adalah kata-kata budaya karena tidak semua bahasa memiliki ungkapan tersebut karena artefak sebagai referensinya tidak terdapat dalam budayanya, dalam hal ini aspek geografis menentukan bahasa.

Definisi serupa juga diberikan oleh Hoed (2006:79) ia juga mendeskripsikan kebudayaan sebagai:

… cara hidup [way of life] yang perwujudannya terlihat dalam bentuk prilaku serta hasilnya terlihat secara material (disebut artefak), yang diperoleh melalui pembiasaan dan pembelajaran dalam suatu masyarakat dan diteruskan dari generasi ke generasi.

Jika diamati definisi ini hampir menyerupai terjemahan dari definisi Newmark di atas, perbedaannya, Hoed menambahkan bahwa pemerolehannya melalui pembelajaran dalam masyarakat antar generasi. Hal ini juga menjadi pembeda budaya dengan penguasaan atau prilaku yang muncul secara naluriah tanpa proses belajar.

Menurut Newmark (1988:95) yang terkait dengan aspek budaya itu meliputi antara lain istilah yang terkait dengan ekologi (lingkungan geografi), budaya material (artefak) termasuk makanan, budaya sosial (pekerjaan dan kesenangan), organisasi, kota, kebiasaan, prosedur konsep, dan bahasa tubuh (gesture). Aspek budaya karena kekhasannya tidak jarang menjadi sumber permasalah dalam penerjemahan. Seperti yang disebutkan oleh Newmark di atas, bahwa artefak yang ada pada suatu bahasa tidak selalu ada pada bahasa lain sehingga penerjemah kesulitan dalam mengusahakan padanannya.

Untuk mengatasi perbedaan tersebut penerjemah biasanya melakukan strategi tertentu yang terlihat pada teknik penerjemahannya. Misalnya teknik deskripsi dengan menambahkan informasi pada teks terjemahannya. Informasi yang tidak ada dalam teks Bsu bisa ditambahkan ke dalam teks Bsa agar pembaca lebih memahami maksud teks terjemahan. Tambahan ini menurut Newmark (1988:91) biasanya bersifat kultural (terkait perbedaan budaya Bsu dan budaya Bsa), teknis (yang terkait dengan topik bahasan teks), atau linguistik (untuk menjelaskan penggunaan kata yang tidak taat asas). Tambahan informasi ini bisa ditempatkan dalam teks (dengan meletakkannya dalam tanda kurung) atau di luar teks, misalnya dengan catatan kaki atau anotasi. Catatan kaki sering digunakan sebagai penjelasan tambahan untuk konsep-konsep khusus budaya serta untuk tujuan keterbacaan (Baker, 1992). Penambahan informasi juga diperlukan guna menghindari ketaksaan, untuk memperjelas sesuatu yang implisit, serta karena terjadinya pergeseran bentuk dan perubahan kelas kata (Nida, 1964).

Kemudian terkait dengan jenis teks, ilmu sejarah merupakan salah satu bagian dari ilmu sosial. Sebagai bagian dari ilmu sosial tak jarang dalam teks ini juga melibatkan beberapa istilah terkait dengan hukum, antropologi, geografi dan ilmu sosial lainnya. Penerjemahan teks ilmu sosial memiliki beberapa karakter khusus jika dibandingkan dengan penerjemahan teks ilmu alam dan teknologi. Heim & Tymowski (2006: 3-4) mengatakan bahwa kedua teks tersebut sama-sama butuh penguasaan bidang ilmu. Namun, teks ilmu alam lebih terkait dengan fenomena alam dan ukuran-ukurannya, sehingga

pilihan kata cenderung dapat dibedakan, kering (tanpa dipengaruhi ideologi), dan jarang terdapat ambiguitas. Sehingga tak jarang teks ilmu alam dan teknologi ini dapat diterjemahkan dengan mesin penerjemah. Lebih lanjut, teks ilmu alam memiliki sifat generalitas yang tinggi dan berlaku secara universal. Sementara, teks ilmu sosial walaupun juga mengarah pada generalitas, cenderung dibatasi oleh pandangan politik, sosial, dan konteks budaya.

Lebih lanjut, istilah dalam ilmu sosial sangat bersifat kontekstual. Sesuai pendapat Heim & Tymowski (2006: 4) bahwa “The act of applying social science terms developed in one context to another context may spawn misleading translations since their conceptual reach may differ in different contexts.” Artinya perbedaan konseptual terhadap suatu istilah ilmu sosial pada konteks berbeda dapat menyebabkan kesalahan pada penerjemahan. Ia

memberikan contoh konsep ”customs” pada masyarakat China akan berbeda

dengan konsep yang dimiliki oleh orang Eropa. Contoh lain dari buku TMRDR misalnya, konsep ”village” bermakna desa atau kampung. Namun, konsep ini pada masyarakat Minangkabau memiliki makna berbeda dengan

”desa” yang dipahami secara umum di Indonesia karena adanya hubungan

kekerabatan dalam wilayah tersebut. Penerjemah lebih memilih menggunakan

kata lokal, yaitu ”nagari” agar juga memberi kesan dan konsep berbeda bagi

pembaca. Artinya, beberapa pilihan kata sangat dipengaruhi oleh konteks budaya masyarakat pembaca. Penggunaan terjemahan yang langsung dari kamus terkadang tidak dipahami sama seperti yang dimaksudkan pada Tsu.

Berdasarkan kekhususan tersebut, diperlukan kehati-hatian dalam proses penerjemahan teks sosial khususnya sejarah. Tidak jarang konsep yang digunakan pada periode waktu tertentu dapat berubah atau memiliki makna berbeda pada komunitas yang lain (Heim & Tymowski, 2006: 4). Bahkan, Wallerstein mengatakan bahwa dalam teks ilmu sosial tak jarang konsep yang digunakan tidak memiliki kesamaan pemahaman secara universal sehingga subyeknya terbuka pada konflik (dalam Heim & Tymowski, 2006: 26). Oleh karena itu, agar dapat menerjemahkan konsep tersebut dengan tepat Wallerstein menyarankan penerjemah untuk memahami (a) tingkatan pada konsep yang dipahami dan oleh siapa, baik berdasarkan waktu penulisan dan waktu saat penerjemahan, kemudian (b) variasi pemahaman konsep yang mungkin terdapat pada kedua komunitas pengguna bahasa. Penerjemah perlu menangkap persepsi penulis mengenai perbedaan pemahaman tersebut –

apakah ia menyadarinya atau memang bermaksud mendiskusikannya (Heim & Tymowski, 2006: 26).

8. Sekilas Tentang “The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in