• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Budaya Organisasi

1.5.1.1. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Phiti Sithi Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture (dalam Tika, 2006: 4) budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.

Budaya organisasi merupakan cara berpikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi dan para anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerima sebahagian dari budaya tersebut agar diterima sebagai bagian dari organisasi.

Kotter dan Heskett (dalam Tika, 2006: 19) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan nilai yang dianut secara bersama oleh anggota organisasi, cenderung membentuk perilaku kelompok. Nilai-nilai sebagai budaya organisasi cenderung tidak terlihat maka sangat sulit berubah. Sedangkan norma perilaku kelompok dapat dilihat dan tergambar pada pola tingkah laku dan gaya anggota organisasi relatif dapat berubah.

Budaya bisa sangat stabil sepanjang waktu, namun budaya juga tak pernah statis. Krisis kadang-kadang mendorong kelompok untuk mengevaluasi kembali beberapa nilai atau perangkat praktis. Tantangan-tantangan baru dapat mengakibatkan penciptaan cara-cara baru untuk melakukan segala sesuatu. Keluar masuknya anggota inti, diservikasi ke dalam bisnis yang sangat berbeda, ekspansi geografis dan asimilasi yang cepat dari karyawan baru, semua itu dapat memperlemah atau mengubah suatu budaya.

Taliziduhu Ndraha dalam bukunya budaya organisasi (dalam Tika, 2006: 7) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan genus dan budaya perusahaan salah satu spesiesnya. Budaya perusahaan adalah sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat oleh semua anggotanya yang membedakan perusahaan yang satu dengan yang lainnya (Robins, dalam Tika, 2006: 6). Dengan demikian antara budaya organisasi dan budaya perusahaan saling terkait karena keduanya ada kesamaan, meskipun

dalam budaya perusahaan terdapat hal-hal khusus seperti gaya manajemen dan sistem manajemen dan sebagainya, namun semuanya masih tetap dalam rangkaian budaya organisasi.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa berbeda organisasi maka berbeda pula budayanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan jelas apabila kita membandingkan budaya kerja yang ada di organisasi pemerintah dan bedaya kerja yang ada di organisasi swasta. Banyak orang yang berpendapat bahwa organisasi pemerintahan mempunyai budaya kerja yang sangat lambat bila dibandingkan dengan budaya kerja yang ada di organisasi swasta. Salah satu contohnya dalam hal pendidikan, sekarang ini kebanyakan pendidikan dari organisasi swasta lebih maju dibanding pendidikan dari organisasi pemerintah dan dengan kualitas yang berbeda pula. Selain itu juga banyak hal lain yang seharusnya organisasi pemerintah itu lebih baik daripada organisasi swasta, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Hal ini mungkin bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya pengalokasian dana yang tidak tepat, kurangnya perhatian, dll.

Begitu juga dalam hal pelayanan, sudah menjadi rahasia umum kalau pelayanan masyarakat oleh instansi atau aparat pemerintahan umumnya berjalan lamban dan kadang tidak efesien. Birokrasi menjadi kehilangan makna yang sesungguhnya sebagaimana pertama kali digagas oleh Max Weber : “Alasan yang jelas bagi kemajuan organisasi yang birokratis selalu berupa keunggulan teknisnya atas bentuk organisasi lain manapun. Ketepatan, kecepatan, kejelasan, pengurangan friksi dan biaya material maupun personal - semua ini ditingkatkan sampai titik

optimal dalam pemerintahan yang sangat birokratis.” Namun kenyataannya sangat berbeda.

Ada beberapa perbedaaan mendasar yang terdapat antara organisasi swasta dan organisasi pemerintah. Pertama, organisasi swasta didasari oleh semangat entrepreneurship, sedangkan organsasi pemerintahan tidak. Orang selalu menganggap entrepreuneur adalah seorang pengambil resiko (risk taker), tetapi dari hasil beberapa kajian yang lebih teliti, entrepreuner lebih tepat untuk dikatakan sebagai pengambil peluang.

Kedua, organisasi swasta didasari oleh profit motif oriented (keuntungan setinggi-tingginya), sedangkan organisasi pemerintah oleh motif politik. Pemerintahan bergerak lamban karena bersifat terbuka terhadap publik. Pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan dengan cepat dan segera seperti perusahaan swasta yang gerak perusahaannya didorong oleh kompetisi sedangkan organisasi pemerintah menggunakan monopoli.

Ketiga, drive (dorongan) dalam organisasi swasta/dunia bisnis adalah kompetisi. Sedangkan di organisasi pemerintahan tidak ada.

Keempat, perusahaan swasta digerakkan oleh misi, sedangkan pemerintahan oleh peraturan.

Kelima, organisasi swasta menyerahkan hasil dan layanan pada mekanisme pasar, organisasi pemerintahan memberikan layanan dengan cara monopoli.

Kesimpulannya, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa sama 100% organisasi pemerintah dapat dijalankan seperti organisasi swasta. Yang

memungkinkan untuk diambil dan diterapkan dari organisasi swasta ke dalam organisasi pemerintahan adalah prinsip-prinsip dasarnya, yaitu :

1. Organisasi swasta mencurahkan segenap energinya untuk memperoleh uang. 2. Organisasi swasta berorientasi pada kepuasan pelanggan.

3. Organisasi swasta berorientasi pada hasil.

4. Organisasi swasta bergerak lebih dinamis karena adanya kompetisi.

5. Organisasi swasta menyerahkan keberlangsungan perusahaan pada mekanisme pasar.

6. Organisasi swasta digerakan oleh tujuannya, yakni oleh misi mereka.

7. Organisasi swasta berusaha mencegah masalah sebelum masalah itu muncul. 8. Organsisasi swasta memberi wewenang dan partisipasi para anggotanya untuk

memajukan perusahaan.

9. Organisasi swasta melakukan desentralisasi wewenang dengan menjalankan manajemen partisipasi.

10.Organsisasi swasta bersikap responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Robbins juga memaknai budaya organisasi sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah. Lebih lanjut Robbins menyatakan sebuah sistem makna bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari dari nilai-nilai organisasi.

Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.

Dari keseluruhan defenisi budaya organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah keseluruhan norma, nilai, filosofi dan harapan yang dimiliki bersama oleh anggota organisasi yang membentuk keteraturan perilaku yang memperngaruhi sikap dan pola kerja antara sesama anggota organisasi agar tujuan organisasi dapat tercapai. Sedangkan pada tingkat operasionalnya, budaya organisasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan kepuasan anggota organisasi.

1.5.1.2. Fungsi dan Proses Pembentukan Budaya Organisasi

Budaya organisasi tidak pernah kekurangan definisi. Budaya organisasi dijelaskan, misalnya, sebagai “nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi”, “falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan”, “cara pekerjaan dilakukan di tempat itu”, dan “asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi.” Budaya organiasi merujuk pada suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama. Dalam setiap organisasi terdapat pola mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktek-praktek yang telah berkembang sejak beberapa lama. Kesemua itu pada gilirannya menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengani bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya harus berperilaku (Robbin, 1995:479).

Menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya Organisasional Behavior (dalam Tika, 2006: 13) budaya organisasi mempunyai lima fungsi, yaitu berperan menetapkan batasan, mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingan individual seseorang, meningkatkan stabilitas sistem sosial karena merupakan perekat sosial

yang membantu mempersatukan organisasi, dan sebagai mekanisme kontrol dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Proses pembentukan budaya organisasi bisa cepat dan bisa juga berangsur-angsur dengan menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan budaya organisasi melalui gaya kepemimpinan dan iklim kerja berdasarkan prinsip.

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.

Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus.

Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada

semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi dikucilkan di lingkungan organisasinya.

Menurut Deal & Kennedy dalam bukunya Corporate Culture (dalam Tika, 2006: 16) ada beberapa unsur yang mempengaruhi terbentuknya budaya organisasi, yaitu:

1. Lingkungan usaha, yaitu lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan.

2. Nilai-nilai, merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi.

3. Pahlawan atau keteladanan , yaitu orang-orang yang menjadi panutan dan teladan bagi pegawai lainnya karena keberhasilannya.

4. Ritual, yaitu acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada pegawai.

5. Network (Jaringan Budaya), yaitu jaringan komunikasi internal di dalam perusahaan yang dapat menjadi saran penyebaran nilai-nilai dan budaya organisasi.

Menurut Kotter dan Heskett (dalam Tika, 2006: 18), gagasan proses pembentukan budaya organisasi bisa berasal dari mana saja, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak organisasi. Akan tetapi dalam perusahaan, gagasan ini sering dihubungkan dengan pendiri atau pemimpin awal yang mengartikulasikannya sebagai suatu visi, strategi bisnis, filosofi, atau ketiga-tiganya.

Pengaruh pemimpin pada pembentukan budaya organisasi terutama ditentukan oleh para pendiri organisasi di mana tindakan pendiri organisasi menjadi inti dari budaya awal organisasi. Faktor penting di sini adalah adanya kesempatan tertentu bagi pimpinan untuk mengatasi krisis dan merencanakan proses perubahan budaya organisasi. Karena pimpinan bertanggung jawab terhadap keberhasilan organisasi, maka dia memiliki kesempatan-kesempatan untuk mentransformasikan

budaya organisasi dengan seperangkat artifak, persfektif, nilai dan asumsi baru yang dibawanya masuk organisasi.

Namun budaya organisasi dapat juga sebagai penghambat berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya organisasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut lingkungan eksternal dan integrasi internal. Perubahan-perubahan terhadap lingkungan tidak cepat dilakukan adaptasi oleh pimpinan organisasi. Demikian pula pimpinan organisasi masih berorientasi pada kebesaran masa lalu.

1.5.1.3. Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependen. Untuk itu diajukan sepuluh karakteristik yang jika dicampur dan dicocokkan akan mengambil esensi dari sebuah budaya organisasi. Sementara seluruh budaya organisasi mungkin sedikit berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya. Yang merupakan karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya organisasi (Robbin, 1995:481), yaitu:

1. inisiatif individual,

2. toleransi terhadap tindakan beresiko, 3. arah,

4. integrasi,

5. dukungan dari manajemen, 6. kontrol,

7. identitas, 8. sistem imbalan,

9. toleransi terhadap konflik, 10.dan pola-pola komunikasi.

Inisiatif individual dalam sebuah organisasi dapat dilihat dari tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan indenpendensi yang dimiliki individu dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di dalam organisasi. Prestasi organisasi

diperoleh berdasarkan prestasi yang dicapai oleh tiap individu. Oleh karena itu, inisiatif individu dalam menjalankan tiap kewajibannya merupakan bagian penting dalam organisasi tersebut. Inisiatif individu dapat timbul apabila atasan memberikan kepercayaan penuh kepada bawahannya. Sebaliknya, apabila atasan tidak pernah memberikan kepercayaannya maka bawahan akan terbiasa untuk selalu menunggu perintah.

Budaya organisasi juga dapat dibedakan dari sejauh mana manajemen memberikan toleransi kepada karyawan untuk melakukan tindakan beresiko dan menganjurkan untuk bersikap lebih agresif dan inovatif. Karyawan didorong untuk melakukan tindakan-tindakan di luar dari kebiasaan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dukungan dari manajemen sangatlah dibutuhkan agar karyawan lebih agresif dalam menemukan peluang-peluang dalam mengembangkan usaha dan menemukan inovasi baru. Strategi inovasi ialah upaya-upaya untuk menemukan pembaruan atau hal baru di segala bidang (Sigit, 2003: 244)

Arah merupakan bagian yang sangat penting dimiliki setiap individu, apalagi dalam sebuah organisasi. Tanpa arah yang jelas, seorang karyawan tidak akan mengetahui kemana tujuan dari tindakan yang dilakukannya, dan hal ini akan mengakibatkan karyawan tersebut tidak akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, manajemen puncak harus menciptakan arah yang jelas, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas arah atau sasaran dan harapan mengenai prestasi.

Integrasi merujuk pada proses yang berkelanjutan dan berdasarkan penyatuan berbagai bagian organisasi yang khusus dan berbeda-beda, sehingga

menjadi satu kesatuan yang padu. Menurut defenisi (Sadler, 1994: 67), integrasi merupakan proses untuk menyatukan organisasi atau kelompok yang telah terpisah. Batasan organisasi-organisasi yang paling umum, yang telah memisahkan orang-orang serta mengalihkan perhatian mereka dari tujuan organisasi sebagai suatu kesatuan adalah batasan fungsional, batasan geografis, batasan hierarkis, dan batasan sebagai hasil sejarah. Integrasi bisa dicapai dengan cara seperti menghapuskan batas atau perbedaan di antara kelompok pekerja, mobilitas karyawan, interaksi sosial, pelatihan, dan pengembangan budaya perusahaan yang kuat.

Dukungan dari manajemen termasuk hal yang penting dalam budaya organisasi, yaitu tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka. Mintzberg (dalam Sofyandi, 2007: 30) menyimpulkan bahwa para manajer melakukan seperangkat perilaku yang sangat berkaitan pada pekerjaan mereka, yaitu peran antar pribadi, peran informasional, peran keputusan, keterampilan teknis, keterampilan manusiawi, keterampilan konseptual. Sebagai pemimpin dalam suatu perusahaan, manajer harus bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberikan pengarahan kepada bawahan serta memelihara suatu kontak jaringan.

Selain itu kontrol juga menjadi pembeda dalam budaya organisasi dengan adanya sejumlah peraturan dan pengawasan langsung yang dipergunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan. Setiap perusahaan mempunyai caranya masing-masing dalam mengontrol perilaku karyawan, demikian juga peraturan-peraturan yang ditetapkan satu perusahaan akan berbeda dengan perusahaan lainnya.

Identitas, yaitu sejauh mana para anggota organisasi mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional. Jika individu sudah merasa menjadi bagian dari suatu organisasi dan merasa senang berada dalam suatu lingkungan organisasi maka individu tersebut akan lebih cenderung melakukan pekerjaan dengan maksimal.

Sistem pemberian imbalan yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (misal: kenaikan gaji dan promosi) didasarkan atas kriteria prestasi karyawan sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya. Salah satu pengaruh yang paling kuat atas prestasi individu adalah sistem imbalan dalam organisasi. Manajemen dapat menggunakan imbalan atau hukum untuk meningkatkan prestasi karyawan. Manajemen dapat juga menggunakan imbalan untuk menarik karyawan-karyawan terlatih untuk masuk organisasi itu. Gaji dan kenaikannya serta bonus adalah aspek-aspek yang penting dalam imbalan, tetapi bukan satu-satunya aspek.

Toleransi terhadap konflik dapat dilihat dari sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Manajemen harus mengetahui apa yang menjadi konflik dan kendala di dalam perusahaannya dan memberikan peluang kepada setiap bawahan untuk mengemukakan apa yang menjadi permasalahan yang dialami karyawan selama bekerja.

Di samping hal-hal di atas, pola-pola komunikasi dalam organisasi juga menjadi salah satu hal dalam membedakan budaya organisasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.

Kesepuluh karakteristik tersebut mencakup dimensi struktural maupun perilaku. Misalnya dukungan dari manajemen adalah ukuran mengenai perilaku kepemimpinan. Kebanyakan dimensi tersebut berkaitan erat dengan desain organisasi.

Tentunya setiap organisasi memiliki karakteristik-karakteristik yang disebutkan di atas yang menjadikan budaya organisasinya berbeda dengan budaya organisasi lainnya. Begitu juga di SOGO Sun Plaza Medan, hampir setiap karakteristik dapat diamati dalam budaya organisasi yang terdapat di dalamnya. Dari kesepuluh karakteristik tersebut beberapa dijadikan indikator dari budaya organisasi, kecuali toleransi terhadap tindakan beresiko dan pola-pola komunikasi karena berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti di SOGO Sun Plaza Medan kedua karakteristik tersebut tidak dapat diamati dengan jelas.

Dokumen terkait