• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.2 Kerangka Teori

2.2.2 Budaya Organisasi

2.2.2.1 Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robert G. Owen (1991), budaya organisasi adalah norma yang menginformasikan anggota organisasi mengenai apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima, nilai-nilai dominan yang dihargai organisasi di atas yang lainnya, asumsi dasar dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota organisasi, peraturan main yang harus dipelajari jika orang ingin dapat sejalan dan diterima sebagai anggota organisasi dan filsafat yang mengarahkan organisasi dalam berhubungan dengan karyawan dan kliennya (Wirawan, 2008:9).

Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adapatsi eksternal dan integrasi internal (Mangkunegara, 2005: 113).

Budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Budaya organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah relatif lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi (Sutrisno, 2010: 2).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu kebiasaan atau peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi untuk diikuti oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi dapat menjadi sebuah kebiasaan yang khas atau unik dari organisasi lainnya, misalnya saja Hotel Danau Toba International Medan yang memadukan keramahan lokal, profesionalisme serta tak lupa untuk memperkenalkan budaya batak pada dunia dalam menjalankan bisnisnya.

2.2.2.2 Pembentukan Budaya Organisasi

Pada dasarnya untuk membentuk budaya organisasi yang kuat memerlukan waktu yang cukup lama dan bertahap. Di dalam perjalanannya sebuah organisasi mengalami pasang surut, dan menerapkan budaya organisasi yang berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain. Budaya bisa dilihat sebagai suatu hal yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan cakupannya ketingkat organisasi atau bahkan kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang dan akhirnya direkayasa, diatur dan diubah (Robbins, 2003)

Berikut ini adalah gambar proses terbentuknya budaya organisasi menurut Robbins :

Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2003), Budaya Organisasi dapat dibentuk melalui beberapa cara. Cara tersebut biasanya melalui beberapa tahap yaitu :

1. Seseorang (pendiri) mempunyai sejumlah ide atau gagasan tentang suatu pembentukan organisasi baru.

2. Pendiri membawa satu atau lebih orang-orang kunci yang merupakan para pemikir dan membentuk sebuah kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.

3. Kelompok tersebut memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan sebuah organisasi. Mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha dan lain-lain mengenai suatu hal yang relevan.

4. Langkah terakhir yaitu orang-orang lain dibawa masuk ke dalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti dan pada akhirnya memulai sebuah pembentukan sejarah bersama.

Filsafat dari Pendiri Organisasi Kriteria Seleksi Sosialisasi Manajemen Puncak Budaya Organisasi

2.2.2.3 Fungsi Budaya Organisasi

Bob Widyahartono, Pengamat Ekonomi dan Dosen FE Usakti melalui artikelnya tentang Filososfi Melandasi Budaya Perusahaan yang Operasional menyatakan bahwa setiap organisasi terdiri atas berbagai ragam manusia dengan sifat dan perilaku masing-masing. Sekalipun demikian setiap organisasi memiliki kesadaran diri atau tata nilai yang mendasari gerak operasinya. Dengan adanya kesadaran itu maka suatu filosofi dapat merupakan sarana yang paling berguna untuk mempersatukan kegiatan para karyawan melalui suatu pengertian bersama akan sasaran dan tata nilai (goals and values). Lebih lanjut Bob Widyahartono memberikan pendapatnya bahwa peranan manajemen puncak yang mengalir melalui menengah adalah membekali segenap karyawan secara berkelanjutan tentang nilai-nilai konseptual yang menjelaskan tujuan hidup (purpose of life)

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005:83-86), budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas perusahaan. Adapun fungsi budaya organisasi antara lain:

1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya, sebagai perusahaan yang inovatif yang memburu pengembangan produk baru.

2. Memudahkan komitmen kolektif, sebuah perusahaan dimana karyawannya bangga menjadi bagian darinya atau cenderung tetap bekerja dalam waktu lama.

3. Mempromosikan stabilitas system sosial, mencerminkan taraf dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan mendukung, konflik dan perubahan diatur dengan efektif.

4. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya, dimana membantu karyawan memahami mengapa organisasi melakuakan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana perusahaan bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya.

Fungsi budaya kerja adalah sebagai perekat sosial dalam mempersatukan anggota-anggotanya dalam mencapai tujuan organisasi berupa ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Hal ini dapat berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku para karyawan. (Sutrisno, 2010: 11).

2.2.2.4 Sosialisasi Budaya Organisasi

Budaya organisasi yang homogen dapat diciptakan melalui kegiatan sosialisasi budaya organisasi. Dalam hal ini perusahaan melakukan tindakan manipulasi budaya maupun persepsi. Hal-hal yang dianggap membawa pengaruh buruk buruk pada anggota akan diarahkan agar menjadi baik, sehingga mampu menciptakan kondisi yang paling ideal yang harus dilakukan seluruh anggota.

Sosialisasi dapat diartikan sebagai proses dimana individu ditransformasikan dri pihak luar untuk berpartisipasi sebagai anggota organisasi yang efektif (Greenberg, 1995). Jadi dalam proses ini terjadi transformasi atau perubahan diri individu yang semula dari luar organisasi agarr mampu berpartisipasi secara aktif dalam organisasi (Sutrisno, 2010:29).

Menurut Gibson et al., (2006: 41) sosialisasi organisasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi untuk mengenalkan karyawan baru pada budaya organisasi tersebut. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005: 96) sosialisiasi organisasi didefinisikan seagai proses seseorang mempelajari nilai, norma dan perilaku yang dituntut yang memungkinkan ia untuk berpartisispasi sebagai anggota organisasi. Sosialisasi organisasi merupakan mekanisme kunci yang digunakan oleh organisasi untuk menanamkan budaya organisasinya. Secara singkat, sosialisasi organisasi mengubah orang baru menjadi orang yang berfungsi penuh dalam mempromosikan dan mendukung nilai dan keyakinan dasar organisasi.

Mekanisme pengenalan budaya organisasi ini tentunya tidaklah terjadi secara tiba-tiba, melainkan perlu adanya proses komunikasi melalui interaksi-interaksi yang terjadi dalam setiap bagian organisasi. Sosialisasi merupakan proses melalui saluran-saluran formal seperti program-program introduksi dan latihan maupun cara informal seperti interaksi sehari-hari dengan teman-teman sekerja, para karyawan baru secara disadari atau tidak mengabsorsi informasi tentang apa saja yang diharapkan dan bagaimana sesuatu dikerjakan dalam organisasi. Tanpa adanya proses interaksi maka tidak akan ada pertukaran konsep-konsep budaya organisasi, maka di dalamnya terdapat proses pembelajaran (Muchlas, 2005: 152).

Sosialisasi merupakan sarana seorang anggota baru untuk mempelajari dan memasuki budaya yang ada di dalam organisasi. Sosialisasi dapat dikatakan sebagai sarana seorang anggota baru untuk dapat memasuki budaya organisasi yang baru sehingga orang baru tersebut dapat diterima sebagai bagian dari organisasi dan budaya organisasi menjadi bagian dirinya dalam setiap tindakannya selama berada di dalam organisasi tersebut.

Secara fakta proses sosialisasi terhadap budaya organisasi ini bukan proses yang tidak begitu mudah dilakukan, begitu banyak anggota baru memiliki kesulitan dan bersosialisasi dengan budaya organisasi. Feldman sebagaimana

dikutip oleh Kreitner & Kinicki (2005, 97-100) menjelaskan terdapat tiga tahapan dalam proses sosialisasi yang meliputi:

1. Sosialisasi antisipasi (Anticipatory Socialization) yaitu suatu tahapan yang dimulai dengan seorang individu bergabung dengan organisasi. Proses ini disebut juga proses pembelajaran yang dilakukan sebelum bergabung dengan organisasi. Dalam tahapan ini ini seorang pegawai baru berusaha mencari informasi tentang seluk beluk organisasi yang akan dimasuki dan berandai-andai dengan lingkungan barunya.

2. Tahapan kedua dari proses sosialisasi adalah tahapan pertemuan (encounter), merupakan tahapan yang dimulai saat kontrak pekerjaan ditandatangani. Tahapan ini dinamakan tahap pertemuan karena individu mulai bertemu dengan nilai-nilai, keterampilan dan tingkah laku baru yang harus disesuikan dengan perilaku organisasi. “Counter experience as one of change, contrast dan surprise and argues that the new comer must work to make sense of the new organizational culture” (Miller, 2003: 141). Tahapan yang kedua ini menimbulkan situasi yang sulit bagi pegawai baru yang cukup meresahkan karena pegawai baru harus beradaptasi dengan lingkungan organisasi, pekerjaan, pegawai senior maupun pihak manajemen. Miller (2003,141) mengutarakan the new comer relies on predispotitions, past experience and the interpretations of other.

3. Tahapan yang terakhir adalah tahapan perubahan dan pemahaman bertambah. (Acquisition). Dalam tahapan ini individu mulai menguasai ketrampilan, peran dan menyesuaikan diri dengan nilai dan norma kelompok. Dengan bahasa yang berbeda Jablin dalam Miller (2003, 142) menggunakan istilah metamorphosis yang mana tahapan ini membawa pegawai baru dapat diterima oleh karyawan senior sebagai bagian dari organisasi. Pegawai baru mulai dapat bekerja secara maksimal dan tingkat stress mulai menurun bila dibandingkan dengan tahapan encounter. Seorang pegawai baru bertindak sebagai anggota organisasi dan posisinya sudah mulai diperhitungkan oleh pegawai yang lebih senior.

Setelah tiga tahap sosialisasi organisasi tersebut selesai dan karyawan sudah tersosialisasi, maka akan timbul tingkah laku dan afeksi dari orang yang sudah tersosialisasi tersebut, antara lain:

a. Hasil tingkah laku:

• Melaksanakan peran tugasnya • Tetap berada di organisasi

• Berinovasi dan bekerjasama secara spontan b. Hasil yang bersifat afeksi:

• Merasa puas secara umum

• Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang tinggi.

Berdasarkan pendapat Luthans dapat diuraikan proses sosialisasi budaya organisasi kepada karyawan adalah sebagai berikut :

1. Seleksi terhadap calon karyawan

Pimpinan harus selektif menerima calon karyawan. Karyawan harus memenuhi kualifikasi persyaratan yang telah ditentukan agar mereka mampu berpedoman pada sistem nilai dan norma-norma yang terkandung dalam budaya organisasi.

2. Penempatan Karyawan

Penempatan kerja karyawan haruslah sesuai dengan kemampuan dan bidan keahliannya. Sebagaimana prinsip penenmpatan kerja “The righ man in the right place, the right man on the right job”.

3. Pengalaman bidang pekerjaan

Pengalaman bidang pekerjaan karyawan dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan analisis kebutuhan dan permasalahannya.

4. Pengukuran kinerja dan pemberian penghargaan

Kinerja organisasi perlu diukur secara periodik 6 bulan atau minimal setiap tahun agar dapat dievaluasi perkembangannya dari tahun ke tahun berikutnya. Perkembangan kinerja organisasi sangat ditentukan efektif tidaknya kepemimpinan pimpinan dan manajer dalam pengelolaan kegiatan usaha, produktivitas kerja karyawan, serta partisipasi akti setiap individu organisasi.

5. Penanaman kesetiaan kepada nilai-nilai utama organisasi

Penanaman kesetiaan kepada nilai-nilai utama organisasi kepada seluruh individu organisasi agar mereka bekerja berlandaskan pada moral dan mencapai prestasi optimal.

6. Memperluas informasi/cerita/berita tentang budaya organisasi

Pimpinan dan manajer perlu memperluas informasi atau menceritakan peraturan-peraturan organisasi, kepegawaian dan sanksi-sanksi kerja kepada karyawan agar mereka mampu memahami dan mematuhinya. Begitu pula kepada karyawan perlu diberikan informasi tentang penghargaan bagi mereka yang berpartisipasi aktif dan sanksi-sanksi yang diberikan kepada mereka yang tidak berpartisipasi ataupun yang melanggar sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di organisasi.

7. Pengakuan dan promosi karyawan

Pimpinan perlu memberikan pengakuan dalam bentuk promosi jabatan bagi karyawan yang berprestasi tinggi, memberikan predikat karyawan teladan berdasarkan kondite dan prestasi mereka. Begitu pula promosi jabatan dan predikat terbaik agar mereka dapat memegang teguh budaya organisasi.

8. Pelaksanaan budaya organisasi

Menurut Fred Luthans dan Stephen P. Robbins dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari karakteristik budaya organisasi. (Mangkunegara, 2005: 119-122).

Dalam proses sosialisasi, peran pemimpin sangat diperlukan untuk memberikan dukungan dan koordinasi yang tepat bagi karyawan terutama karyawan baru untuk lebih memahami budaya organisasi. Seorang pemimpin harus dapat memotivasi bawahannya dan memberikan kebebasan kepada karyawan untuk lebih banyak terlibat dalam berbagai kegiatan. Pemimpin juga harus dapat memelihara budaya yang ada di organisasi. Untuk dapat memelihara budaya dengan baik, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan :

1. Pemimpin perusahaan harus senantiasa memberikan dorongan kepada para manajer dan karyawan untuk mengimplementasikan budaya perusahaannya dalam setiap event.

2. Pemimpin perrusahaan harus memberikan keteladanan terutama dalam lingkungan yang bersifat paternalistik yang menempatkan seorang pemimpin sebagai sentral figur. Demikian pula para manajer perusahaan sebagai pemimpin suatu unit kerja, pada hakikatnya juga merupakan sentral figur bagi unit kerja yang dipimpinnya.

3. Perusahaan harus dapat adaptif terhadap subkultur yang ada (yang tidak bertentangan dengan budaya perusahaan) dan turut serta memperkaya main culture atau dominant culture di perusahaan tersebut.

4. Pemimpin perusahaan dan para manajer memberikan bimbingan agar kelompok yang memiliki subkultur tertentu dapat memahami dan mentoleransi kelompok lain dengan subkultur yang berbeda, bahkan berusaha untuk membantunya dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 5. Pemimpin perusahaan dan para manajernya senantiasa memberikan

penjelasan dan menekankan bahwa perusahaan yang dimiliki itu akan semakin kaya dan kuat karena dibangun melalui di antara subkultur yang ada di perusahaan. (Sutrisno, 2010: 34-35).

Dokumen terkait