• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA PAK SUPANDI

Dalam dokumen Laporan Observasi Yang Fix (Halaman 25-37)

Panti merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di kota Jember, Jawa Timur. Kecamatan Panti terletak sekitar 17 KM ke arah barat laut dari pusat kota jember (Alun-Alun). Kira-kira memakan waktu kurang lebih 35 menit jika menuju ke kecamatan Panti tersebut. Desa panti sendiri terbagi menjadi 7 desa, diantaranya adalah Desa Panti, Desa Glagahwero, Desa Kemuningsari Lor, Desa Pakis, Desa Serut, Desa Suci, dan Desa Kemiri. Sedangkan untuk Kantor Camat terletak di Desa Glagahwero.

Mata pencaharian mayoritas penduduk di kecamatan yang memiliki kode pos 68153 ini adalah sebagai petani, beragam jenis tanaman pokok maupun sayuran mereka tanam baik padi, jagung, cabai, kubis, brokoli bahkan tembakau. Selain itu tidak sedikit penduduk yang berprofesi sebagai pedagang dan karyawan di perusahaan-perusahaan perkebunan di daerah tersebut.

Ketika memasuki kawasan perkebunan susasana sejuk langsung menyambut kening, suara daun yang terhembus angin terdengar ditelinga, hal tersebutlah yang menjadikan perkebunan ini merupakan salah satu alasan penghilang penat setelah beraktifitas di awal pekan, masyarakat perkebunan yang ramah dengan senantiasa memasang senyum lebar ketika bertemu dengan pengunjung perkebunan. Dan tidak jarang pula para pekerja perkebunan menyapa dengan sepatah dua patah kata. Fokus kita mengenai life story kali ini adalah kepada sosok kepala keluarga yang multi talenta, dia merupakan salah satu orang yang berperan penting di desanya dan juga merupakan kepala keluarga yang sangat berwibawa.

Pak supandi atau yang sering di panggil Pak Lusi (nama daging) oleh warga di daerah perkebunan Gunung Pasang yang terdapat di jalan Tancak no. 88 Desa Kemiri, Kecamatan Panti Jember ini adalah salah satu aparatur desa yang menjabat sebagai RT di desa Kemiri tersebut. Beliau merupakan salah satu tokoh masyarakat yang sangat ramah terhadap warga desa maupun orang asing yang memiliki keperluan dengannya, hal ini terbukti ketika saya mendatangi rumahnya untuk sekedar mengenal lebih dekat mengenai bahasa sehari-hari yang digunakan oleh warga di daerah tersebut. Dengan ramah beliau menyuguhkan minuman kepada saya sambil memasang raut muka tersenyum karena kedatangan saya. Selain menjabat sebagai “Pak RT” beliau juga merupakan karyawan di perkebunan tersebut, beliau juga diangkat sebagai pengawas mandor (golongan IV)yang bertugas setiap hari di sekitar perkebunan tersebut.

Setiap bulannya beliau menerima kurang lebih sebesar Rp. 1.600.000,- dari pihak perkebunan PDP. Selain itu beliau juga menerima gaji/upah dari profesinya sebagai aparatur desa di daerah tersebut. Selain seb agai pak RT dan Pengawas Mandor beliau juga membuka usaha sederhana yang dikelolah oleh istri di depan rumahnya, usaha tersebut adalah toko, toko milik pak Supandi menyediakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari manusia pada umumnya, seperti sabun, shampo, pasta gigi, obat nyamuk, air mineral, aneka snack dan lain sebagainya. Tidak banyak laba yang diperoleh dari usaha toko tersebut namun

26 setidaknya dapat sedikit banyak mengurangi beban ekonomi rumah tangga yang ditanggungnya.

Pak Supandi menikah dan memiliki tiga orang anak, hal ini menarik untuk dibahas karena pak Supandi menikahi orang yang bukan berasal dari lingkungan tempat tinggalnya, beliau menikah dengan istrinya yang merupakan orang keturunan jawa madura di daerah Ambulu, Jember. Ketiga anak dari pak Supandi diberi kebebasan dalam bertutur kata dan berbahasa selama masih dalam batas wajar dan sopan, anak-anak dari pak Supandi menggunakan bahasa Madura ketika berinteraksi dengannya dan berbahasa Jawa ketika berinteraksi dengan istrinya, namun tidak jarang pula mereka saling berbincang/bergurau menggunakan satu bahasa baik itu Madura maupun Jawa. Namun ketika anak-anak dan istri Pak Supandi berinteraksi dengan orang diluar lingkungan keluarga mereka cenderung menggunakan bahasa Madura, hal ini terbukti ketika ada salah satu warga yang membeli kebutuhan rumah tangga di toko milik pak Supandi, kurang lebih percakan tersebut seperti berikut. “yu, ndik masako”(buk, punya masako) ujar sang pembeli. “bede yak kare duk’en yu” (ada ini tinggal dua buk) jawab istri bapak Supandi. “iyelah jie yu, berempa?” (iyaudah itu buk, berapa?) tanya pembeli itu. “sebuh yu, napa poleh?” (seribu buk, apalagi?) tegas istri pak Supandi. “sampon nikah bei, so’on yu” (sudah ini saja, terimakasih buk) ucap pembeli itu sambil meninggalkan toko. Dari sini saya dapat menggambil kesimpulan bahwa istri pak supandi yang berketurunan jawa lebih cenderung menggunakan bahasa Madura ketika berhadapan dengan orang di lingkungan perkebunan tersebut, hal ini dilakukan supaya adanya interaksi yang komunikatif antara individu dan menciptakan kenyamanan dalam berinteraksi secara langsung. Melatar belakangi masalah bahasa yang digunakan oleh penduduk di daerah perkebunan tersebut, perlu diketahui bahwa warga binaan pak Supandi yang ada di RT 02, mayoritas merupakan penduduk asli di daerah tersebut dan berbahasa menggunakan bahasa Madura, hal ini disampaikan oleh pak Supandi dimana ada 78 kepala keluarga dan 95 persen dari mereka menggunakan bahasa Madura dan yang 5 persen menggunakan bahasa Jawa, rata-rata orang yang menggunakan bahasa Jawa merupakan pendatang seperti halnya istri pak Supandi. Pak Supandi melakukan tugasnya sebagai pengawas mandor dimulai pada pukul 08.00 – 12.30 WIB, hal tersebut tidak setiap hari dilakukan oleh pak Supandi, karena dia juga memiliki kewajiban di luar profesinya sebagai pengawas mandor yaitu Pak RT, tidak jarang beliau membimbing warganya yang hendak membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran dan sebagainya. Tidak jarang beliau harus meninggalkan wilayah perkebunan untuk melakukan tugasnya sebagai pak RT. Warga sekitar maupun masyarakat dari luar sangat menghargai profesinya sebagai pak RT, hal ini disampaikan oleh pak Supandi karena jika ada urusan dengan desanya warga selalu melapor kepada beliau, salah satu contohnya ketika ada Mahasiswa pencinta alam yang ingin melaksanakan diklat dan bermalam didaerah perkebunan tersebut. Mahasiswa wajib memiliki surat ijin dari Fakultas atau organisasi yang menaungi sebagai penanggung jawab.

Kembali kepada topik bahasan yang menjadi kajian kali ini yaitu bahasa, pak Supandi maupun warga menerima kebebasan berbahasa yang dilakukan oleh pengunjung atau warga diluar perkebunan yang berbahasa selain Madura tanpa

27 ada persyaratan khusus. Warga juga paham mengenai bahasa diluar bahasa Madura, seperti halnya bahasa Jawa, Bahasa Indonesia. Hanya saja ketika mereka berbahasa Jawa ataupun Indonesia masih terdapat logat madura yang melekat mendarah daging. Kembali lagi keawal, apapun logat atau bahasa yang digunakan mereka hidup rukun tanpa mempermasalahkan hal tersebut, karena bahasa Indonesia, jawa dan Madura memiliki hak dan strata yang sma di Indonesia.

Mungkin itu tadi sedikit life story dari kehidupan Bapak Supandi dan warga daerah Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kahyangan Jember, Kebun Gunung Pasangyang beraktifitas melakukan rutinitas setiap hari yang mayoritas berbahasa madura. Saya sangat menikmati dengan adanya obsevasi ini, dengan demikian kita selaku mahasisva dituntut aktif dan kreatif dalam menanggapi kejadian disekitar lingkungan kita, secara tidak langsung rasa simpati dan empati timbul ketika melaksanakan observasi ini. Berikut merupakan bebrapa lampiran foto ketika kita melakukan observasi secara langsung maupun tidak langsung di daerah tersebut:

28 (Lokasi observasi yang bertemakan bahasa)

29 PAK ADI SEORANG BURUH LEPAS PENYADAP KARET YANG KESEHARIANNYA MENGGUNANAKAN BAHASA MADURA

Masyarakat di desa Kemiri kecamatan Panti kabupaten Jember memiliki dua adat yang saling hidup berdampingan dengan rukun. Masyarakat di Desa Kemiri kebanyakan beradat Madura. Penduduk di desa Kemiri kecamatan Panti sebagian besar bekerja buruh lepas penyadap karet. Tingkat pendidikan akhir di desa Kemiri sendiri sudah bagus karena rata-rata penduduk disana sudah tamatan SMP dan SMA dan juga menempuh sampai ke perguruan tinggi. Sedangkan tingkat perekonomiannya sendiri juga sudah mencapai tingkat menengah menengah keatas serta untuk para Ibu rumah tangga di desa Kemiri kebanyakan membuka warung atau toko kebutuhan sehari-hari.

Pak Adi hidup di desa Kemiri, kecamatan panti kabupaten jember. Pak Adi tinggal bersama ibu kandung, istri dan ketiga orang anaknya. Pak Adi mempunyai tiga orang anak yang bernama Muhammad Dian Shafilah, Muhammad Shafa Shafilah, dan Muhammad Nagib Abdi Robbi. Ketiga orang anaknya adalah laki-laki. Anak pertama pak Adi yang bernama dian saat ini menempuh pendidikan di bangku kuliah fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) Universitas Jember. Kemudian anak keduanya yang bernama Shafa duduk di bangku SMP, sedangkan anak ketiga berada di bangku kelas dua sekolah dasar (SD). Sejak kecil semua anak pak Adi diajarkan untuk mandiri. Ketiga anak pak Adi sejak kecil telah diajarkan berwirausaha. Terlebih anak pertamanya yang bernama Muhammad Dian Shafilah saat ini telah memiliki usaha sendiri di bidang Ternak.

Pak Adi yang bernama lengkap Adi Razaq merupakan penduduk asli Dusun Kemuning Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Sedangkan istrinya yang bernama Ismiati merupakan penduduk desa Ajung kabupaten Jember. Ibu kandung pak Adi merupakan penduduk asli Madura tepatnya di sebuah desa kabupaten Sumenep. Ayahnya yang telah lama meninggal merupakan penduduk asli dusun Kemuning Lor, kecamatan Panti kabupaten Jember.

Pekerjaan tetap pak Adi sehari-hari adalah buruh harian lepas penyadap karet. Namun pak Adi memiliki pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Selain itu istri pak Adi bu Ismiati juga bekerja sebagai pedagang sayur dan membuka warung. Setiap hari pak Adi selalu bangun pukul 3 subuh untuk mengantar istrinya ke pasar, untuk membeli kebutuhan pokok terutama lauk yang kita makan sehari-hari seperti sayur-sayuran, ikan, daging ,bumbu masakan dll, yang kemudian dijual lagi. Setiap pagi istri pak Adi selalu ke dusun sebelah misalnya dusun Kerajan maupun dusun Sumbersari untuk menjajahkan dagangannya. Istri pak Adi setiap pagi menjajahkan dagangannya dengan menaiki sepeda motor. Selepas sholat subuh istri pak Adi berkeliling melintasi dusun antar dusun untuk menjajahkan dagangannya. Biasanya istri pak Adi yang biasa disapa bu Ismiati pulang pukul 10 pagi seusai menjajahkan dagangannya. Seusai menjajahkan dagangannya istri pak Adi membuka warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Disamping istri pak Adi atau yang biasa disapa akrab bu Ismiati mencari nafkah, pak Adi tidak serta melupakan tanggung jawab dan kewajibannnya untuk mencari nafkah. Setiap hari pak Adi bekerja sebagai buruh

30 harian lepas penyadap karet, selain itu pekerjaan sampingan pak Adi juga memiliki usaha ternak ayam untuk kemudian diambil telurnya.

Adat istiadat di dusun kemuning lor pada umumnya menggunkan adat istiadat madura. Hal ini dikarenakan menurut pak Adi nenek moyang terdahulu yang menempati dusun kemuning lor ini adalah penduduk asli dari pulau madura yang kemudian melakukan pengasingan saat zaman penjajahan. Dengan adanya adat istiadat yang menggunakan adat istiadat madura, hal ini akan berdampak pada bahasa yang digunakan dan berkembang di dusun Kemuning Lor, kecamatan Panti, kabupaten Jember ini. Sehingga sebagian besar masyarakat dusun Kemuning Lor menggunakan bahasa Madura. Tidak terlebih bahasa yang digunakan oleh pak Adi dan keluarga.

Pak Adi setiap hari menggunakan Bahasa Madura untuk berkomunikasi atau berinteraksi baik sesama keluarga ataupun kepada masyarakat sekitar. Bahasa madura yang digunakan pak Adi adalah berbagai macam tingkatan bahasa madura, baik madura ngoko (kasar), hingga madura halus. Pak Adi berkomunikasi menggunakan madura kasar maupun madura halus sesuai dengan siapa beliau melakukan komunikasi. Misalnya pak Adi berkomunikasi dengan anak-anaknya atau teman akrabnya biasa menggunakan madura kasar, sedangkan pak Adi jika berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang yang dianggap lebih tua biasa menggunakan bahasa madura halus. Begitupun anggota keluarga pak Adi yang lainnya, baik ibu, istri dan anak-anaknya. Hal ini juga yang menjadi tolak ukur keharmonisan suatu komunikasi atau interaksi seseorang.

Dalam bahasa sehari hari pak Adi dan bu ismiati menggunakan bahasa Madura. Walaupunn bu Ismiati awalnya sebelum menikah dengan pak Adi lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, karena pengaruh kebiasaan dan lingkungan sekitar yang mayoritas berbahasa Madura, akhirnya bu Ismiati terpengaruh menggunakan bahasa Madura juga. Dalam bahasa sehari hari bu Ismiati dan pak Adi lebih banyak menggunakan bahasa madura ngoko (kasar). Saat bu Ismiati menggunakan bahasa madura masih terdengar logat bahasa Jawanya. Hal ini mungkin dikarenakan bu Ismiati sejak kecil hingga belum menikah lebih banyak menggunakan bahasa Jawa. Ada beberapa contoh percakapan bu Ismiati dan Pak Adi yang saya dengarkan saat beliau berdua berbincang-bincang. Contohnya sebagai berikut

Pak Adi : Dek ?

Bu Ismiati : Apah Mas (Apa mas)

Pak Adi : Bede Tamoy nya dek (Ada tamu ini dek )

Bu Ismiati : “Bu ismiati keluar, sambil bersalaman dengan saya”

Pak Adi : Gebeyagi kopi nya dek, bik ngalakagi mok amok ? (Buatkan kopi ini dek, sambil ambilkan beberapa jajan/kue)

Bu Ismiati : O iye mas, nantek sekejjek (Oh iya mas, tunggu sebentar)

Berikut merupakan sepenggal percakapan bu Ismiati dan Pak Adi saat saya berkunjung kerumahnya. Dari percakapan tersebut bu Ismiati dan pak Adi lebih banyak menggunakan bahasa madura ngoko (kasar). Akan tetapi kadang kala Pak Adi mengunakan bahasa Jawa saat berbincang-bincang dengan bu Ismiati, hal ini merupakan bentuk varian orang madura dalam penggunaan bahasa saat bertemu dengan orang jawa.

31 Namun saat berbincang-bincang dengan anaknya, pak Adi menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Madura dan bahasa Indonesia. Bahasa Madura yang digunakan dalam berkomunikasi dengan anaknya, adalah bahasa madura ngoko (kasar). Sedangkan anak pak Adi saat saat berkomunikasi dengan orang tuanya lebih menggunakan bahasa Indonesia. Berikut contoh percakapan pak Adi saat berbincang-bincang dengan anaknya.

Dian : Assalamualaikum

Pak Adi : Waalaikumsalam, dari mana nak ? Dian : Ini ngambil pakan pak

Pak Adi : Beh, mare ekalak gellek pakanah ning lek Ses ? (Sudah diambil pakannya ternak tadi ke lek sis )

Dian : Sudah pak, ada di Gudang

Pak Adi : Mare majer lah ? ( Apakah sudah bayar) Dian : Belum pak, disuru bawak dulu sama lek Ses

Dapat dilihat dari percakapan diatas pak Adi saat berbicara dengan anak sulungnya menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Madura dan bahasa Indonesia, akan tetapi pak Adi lebih sering menggunakan bahasa Madura. Sedangkan anaknya, yang bernama Dian saat berbicara dengan sang bapak menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini juga merupakan varian bahasa yang digunakan orang madura saat berkomunikasi.

Tidak terlebih saat anak pak Adi bekomunikasi dengan masyarakat sekitar, Saat berkomunikasi dengan masyarakat sekitar pak Adi lebih banyak menggunakan bahasa Madura, walaupun kadang kala masih menggunakan bahasa Jawa. Karena terdapat beberapa masyarakat pendatang yang menggunakan bahasa Jawa. Saat berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, bahasa Madura yang digunakan pak Adi saat berkomunikasi terdapat dua varian bahasa, yang pertama bahasa Madura ngoko (kasar), dan bahasa Madura krama (halus). Kedua varian bahasa Madura ini digunakan pak Adi sesuai dengan siapa pak Adi berkomunikasi. Bahasa Madura ngoko (kasar) digunakan pak Adi saat pak Adi berkomunikasi dengan masyarakat yang dianggap umurnya sepantaran (sama) atau dibawahnya. Sedangkan bahasa madura krama (halus) digunakan pak Adi saat beliau berkomunikasi dengan orang yang dianggap lebih tua diatasnya atau lebih tinggi jabatannya. Berikut beberapa contoh pak Adi saat berkomunikasi dengan masyarakat sekitar.

Komunikasi berlangsung ketika saya dan teman-teman menemui pak Adi, yang kemudian terdapat masyarakat sekitar membeli rokok di warung istri pak Adi atau yang biasa disebut bu Ismiati. Percakapan berlngsung sore hari sekitar pukul 16.00 WIB.

Masyarakat : Bu Adi

Pak Adi : sedang duduk berbincang-bincang dengan saya dan teman-teman diruang tamu; Enggi, Beh empian pak, melleah napah pak ? (Beh sampean pak, mau beli apa pak )

Pak Sri (Masyarakat) : Rokok Samsu pak Settong (Rokok Dji Sam Su pak, settong).

Pak Adi : Enggi pak, deri kakmah empian pak, ca’en bun lani aparloah ? (Iya pak ,katanya Bu lani mau ada hajatan).

32 Pak Sri (Masyarakat) : Enggi pak, tape nekah tak oning bile deddinah, gik abuk rembuk nyare bekto se pas pak, soala Edi molea ka kanje, gik marena tellasan, pengarana kule..marena telllasan sekale, mak pas akompol kabbi (Iya pak, tapi tidak tahu kapan jadinnya, masih musyawarah mencari waktu yang tepat, soalnya Edi mau pulang kesini setelah hari raya pak, rencananya saya setealah hari raya sekali, biar berkumpul semua)

Pak Adi : Enggi pak nyamanan genika, mak pas areng-bereng, tape yudi panggung bede romanah bekalla pak? (Iya pak lebih enak setelah hari raya, biar bersama-sama, tetapi yudi apakah ada di rumah tunangannya pak?)

Pak Edi (Masyarakat) : Enten pak, bede kanje abit pon (Tidak pak, ada disini sudah lama pak)

Kemudian istri pak Sri mengajak pulang (Beh pak majuh yudi annatek) Beh ayo Yudi sedang menanti.

Pak Sri (Masyarakat) : Enggi pon toreh pak kaadeeh kuleh, kaso’on pak (Iya sudah saya pulang dulu, terimakasih pak).

Pak Adi : Enggi pak sami-sami. (Iya pak sama-sama).

Berdasarkan percakapan diatas, bahwasaya pak Adi dalam berkomunikasi dengan orang yang dianggap lebih tua dari dirinya lebih menggunakan bahasa madura halus (krama). Hal ini merupakan salah satu contoh varian bahasa yang digunakan oleh pak Adi dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Akan tetapi berbeda saat pak Adi bertemu dengan orang yang dianggap baru. Ketika pak Adi bertemu dengan orang yang dianggap baru, saat berkomunikasi atau berinteraksi awal pak Adi lebih menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya saat awal mula pak Adi bertemu saya dan teman-teman :

Saya : Assalamualaikum pak.

Pak Adi : Waalaikumsalam, iya masuk dek (sambil pak Adi duduk dan mempersilahkan kami duduk), iya ada apa dek ?

Saya : Ini pak, kami dari univeristas jember ada tugas tentang observasi bahasa, jadi bagaimana bahasa di kecamatan Panti ini khususnya, di Gunung Pasang ini, baik macam-macam bahasa yang digunakan gunung pasang ini terlebih kecamatan Panti ini, mungkin juga awal mula penyebaran bahasa disini pak

Pak Adi : Sebenernya kalo di kecamatan Panti ini dek rata-rata penduduknya berbahasa madura, iya walupun ada beberapa yang menggunakan bahasa Jawa. Dahulu kalo menurut cerita mbah-mbah saya atau sesepuh saya, saat jaman kerajaan atau penjajahan, banyak sekali orang madura yang melarikan diri disini dek. Iya untuk kejadian pastinya saya belum tau dek, iya mungkin karena dulu ada penyerangan atau apa sehingga mereka melarikan diri kesini. Bukan hanya melarikan, mereka juga menetap disini, hingga akhirnya mereka menikah, baik sesama orang maduranya, atau dengan penduduk asli panti sendiri. Dari situ berkembanglah keturunan-keturunan mereka.

33 Saya : Jadi mungkin itu ya pak sejarah berkembangnya bahasa Madura di

Panti ini.

Febri : berarti dalam sehari-hari penduduk Panti menggunakan bahasa Madura dan Jawa ya pak?

Pak Adi : ya menggunakan bahasa Indonesia juga dek, kalo ketemu seperti sampean ini ya menggunakan bahasa Indonesia, kan saya belum tau sampean orang madura atau orang Jawa, kalo adik orang mana ? Febri : Saya dari jember asli pak, ini teman saya juga jember, ini juga

jember, rata-rata orang jember pak (febri sambil menujuk riyan dan zaini) kecuali ini pak (sampil menunjuk saya dan Diki).

Pak Adi : Kemudian pak Adi bertanya kepada saya dan teman saya, Kalo adik orang mana ?

Saya : Kalo saya dan saudara saya disamping ini pak orang Bondowoso. Pak Adi : Bondowoso mana dek ? saya punya saudara di Bondowoso juga dek. Saya : Saya di Bondowoso Tenggarang pak, Jembatan yang baru

direnovasi, dari sana terus kearah situbondo, mungkin 20 meter kanan jalan ada pesantren Al Hidayah, masuk gang, komplek pesantren itu sudah pak.

Pak Adi : Kalo adik ini dimana ?

Diki : Saya di Maesan pak, kalo dari Jember nanti sebelum pasar belok kiri pak, terus nanti 100 meter ada kanan jalan, rumah pagar putih pak. Pak Adi : Kalo saya punya saudara di wonosari dek, iya agak dekat dengan

rumah adek ini (sambil melihat ke saya). Kalo rumah saudara saya pasar wonosari belok kanan terus sudah dek, mungkin dua kilo dari jalan besar itu dek.

Saya : Ooo, Kaporan itu pak.

Pak Adi : Nah iya Kaporan, terus itu keberek nanti bede kebunah pao se rajeh itu, sebelanah persih dah.

Saya : Oya pak, sampean putranya berapa pak ?

Pa Adi : Saya punya putra tiga, namanya Muhammad Dian Shafilah, sekarang di FKIP Unej, anak kedua Muhammad Shafa Shafilah kelas 2 SMP, yang terakhir Muhammad Nagib Abdi Rabbi kelas 2 SD. Anak saya, saya ajarkan untuk madiri, mereka dari TK itu sudah berdagang. Anak saya yang nomer pertama itu dari TK dititipi ibuknya jualan seperti semacam gorengan, jadi ya teman-temannya, Ibuknya temannya itu yang membeli. Kemudian SD sama jualan es lilin, pentol goreng itu

Dalam dokumen Laporan Observasi Yang Fix (Halaman 25-37)

Dokumen terkait