• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Budaya Patriarki

3. Budaya Patriarki dan Pekerjaan

Sylvia (1990:77-78) mengambil analisis Hartmann atas segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Konsep ini dapat dijelaskan bahwa

sebuah kemajuan penting dalam teorisasi relasi gender pada pekerjaan. Perbedaan kritis pertama yang akan dibuat adalah segregasi dan penyingkiran sebagai dua strategi patriarki yang berbeda dalam pekerjaan dengan upah. Strategi penyingkiran yang dimaksudkan ini adalah untuk secara total mencegah akses perempuan masuk kedalam sebuah area pekerjaan atau bahkan pada seluruh pekerjaan dengan upah. Segregasi menurut Sylvia (1990:77) merupakan strategi yang lebih lemah yang bertujuan untuk memisahkan pekerjaan perempuan dari pekerjaan laki-laki dan menilai pekerjaan pertama dibawah pekerjaan yang terakhir demi tujuan pemberian upah dan status. Perbedaan ini dicerahkan oleh sebuah perbandingan antara pekerjaan teknik dan administrasi. Serikat pekerja teknik berketerampilan manual dan dari yayasan mereka hingga pertengahan abad kedua puluh. Bahkan hingga akhir 1940 kita menemukan Tanner, Presiden Serikat Persatuan Teknik (AEU),

mendeklarasikan bahwa “Kami sebagai sebuah organisasi, sebagai prinsip umum menentang penerimaan perempuan‟ (Engineering and Allied Emploers’ National Federation, Central and Special Conference Shorthand Minutes, 8 April1940, p. 430).

Konsep ini didukung oleh Hastuti (2014:2) bahwa masyarakat dalam budaya patriarki mengakui dominasi laki-laki sehingga perempuan di posisi tersubordinasi, menjadikan perempuan terbelenggu dalam ketidakberdayaan. Ketidaksetaraan gender yang merugikan perempuan sehingga memiliki human capital rendah semakin menjerumuskan perempuan sehingga tidak memiliki kesempatan dan pilihan turut serta berkompetisi dalam kehidupannya. Kendati

demikian, hal ini bertolak belakang dengan yang disampaikan oleh Ery Iswary (2010:1) bahwa perempuan dan laki-laki pada hakikatnya mempunyai status yang sama dalam suatu masyarakat, yang membedakan adalah fungsi dan peran yang diemban untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia.

Didalam keluarga, wanita kehilangan otoritas terhadap laki-laki, atau laki-laki dianggap memegang otoritas karena keluarga membutuhkan seorang

“pemimpin”. Otoritas ini meliputi kontrol atas sumber-sumber ekonomi dan suatu pembagian kerja secara seksual didalam keluarga yang menurunkan derajat wanita menjadi interior, anak buah, serta peran-peran sosial yang berlandaskan pada perbedaan inheren dalam kemampuan dan moralitas sosial. Itulah sifat-sifat asosial wanita yang juga membentuk proposisi-proposisi Durkheim mengenai bunuh diri dan perceraian. Sifat-sifat alamiah wanita yang inheren menciptakan suatu pembagian kerja, hierarki otoritas laki-laki, dan struktur moralitas. Menurut Jane C. Ollenburger (1996:14) :

“Dari isolasi tersebut tombul dua peran yang berbeda antara laki-laki dan wanita, laki-laki melakukan peran aktif instrumental dan wanita mengambil peran sosio-emosional.Teori peran merupakan suatu perbaikan orientasi tradisional tersebut. Peran-peran jenis kelamin dalam tradisi sosiologi berpusat pada dunia laki-laki dan kedudukan wanita di dalam lingkungan patriarki ini.”

Sifat-sifat alamiah tersebut menempatkan kaum wanita dibawah kontrol logis laki-laki dalam suatu keluarga patriarkat dan struktur sosial. Partriarkat, karena itu, dianggap sebagai suatu bentuk evolusi alamiah yang melindungi sifat sifat alamiah kaum wanita itu sendiri serta meningkatkan fungsi-fungsi masyarakat, (Jane C. Ollenburger. 1996:7)

Titik balik yang penting terjadi pada pertengahan Perang Dunia Kedua. Pada 1943 AEU mengakui perempuan sebagai anggota untuk pertama kalinya. Pada waktu itu mereka berubah ke strategi segregasi; perempuan diakui tetapi dibatasi pada beberapa area kerja saja dan ditempatkan pada bagian yang terpisah dalam serikat. Perubahan ini merupakan akibat dari kegagalan strategi penyingkiran. Para majikan sudah lama melawan kemampuan serikat teknik untuk mengontrol persediaan tenaga kerja; sesungguhnya sebuah seri perjuangan yang panjang, pahit dan tiada akhir atas masalah ini selesai pada 1897. Perempuan diakui masuk pekerjaan teknik karena tekanan kekurangan buruh laki-laki pada masa perang, selain itu serikat umum mulai mengerahkan mereka (Sylvia Walby, 1990:78).

Dalam pekerjaan administrasi laki-laki tidak pernah bisa menegakkan strategi penyingkiran, apapun usahanya. Upaya ini dilakukan pada pergantian abad sementara pekerjaan tersebut berkembang ke bentuknya yang modern, hanya saja mereka tidak punya kekuatan untuk memaksakan strategi ini (Sylvia Walby, 1990:80). Kemudian pemisahan laki-laki dan perempuan menjadi sebuah konsekuensi dari pertarunagan diantar buruh laki-laki, buruh perempuan dan para majikan. Segregasi merupakan sebuah strategi untuk meminimalisir kompetisi secara langsung antara laki-laki dan perempuan dengan mencegah perempuan memasuki area-area pekerjaan administrasi tersebut dimana laki-laki tetap bertahan (Sylvia Walby, 1990:78).

Menurut Sylvia (1990:78) strategi penyingkiran yang dominan di antara serikat pengrajin Inggris abad ke-19 dan awal abad ke-20, sementara serikat

umum, dan serikat yang dibuat setelah periode tersebut cenderung mengikuti strategi segregasi. Perubahan pada pendekatan serikat terhadap isu perempuan ini disebabkan tiga faktor utama. Pertama, perubahan itu merupakan konsekuensi dari kekalahan pergulatan melawan penerimaan perempuan oleh serikat-serikat khusus (contohnya, AEU); hal ini merupakan sebuah kegagalan strategi penyingkiran. Kedua, perubahan tersebut dikarenakan pertumbuhan serikat umum yang lebih besar yang mengerahkan buruh semiterampil dan tidak terampil, yang mana strateginya memang segregasi sejak awal. Ketiga, perubahan tersebut dikarenakan pergeseran kebijakan Negara dari yang semula merespons tuntutan buruh laki-laki yang terorganisasi untuk memperoleh bantuan negara melalui alat perundang-undangan demi penutupan pekerjaan melawan perempuan disatu sisi, ke mendukung, yakni setelah perempuan memenangkan hak pilih dimana hak perempuan untuk masuk didukung.

Perempuan yang bekerja purnawaktu menghasilkan 66 persen penghasilan laki-laki per minggu, dan 74 persen upah perjam mereka, sementara perempuan paruh waktu menghasilkan hanya 56 persen upah perjam laki-laki 1986. Perempuan paruh waktu menghasilkan 76 persen dari upah perjam perempuan purnawaktu (Survei Penghasilan Baru), (Sylvia Walby, 1990:78).

Dalam beberapa teori di atas, kita berasumsi bahwa posisi wanita didalam masyarakat berasal dari distribusi kekayaan dan kekuasaan yang tidak merata. Karena terfokus pada suatu ekonomi partiarkat/kapitalis kebanyakan pekerjaan wanita (perawatan, volunterisme, dan sebagainya) menjadi tak

kentara. Tenaga kerja wanita telah dianalisis terutama dalam kaitannya dengan ekonomi upahan (misalnya pekerjaan wanita dirumah sebagai penyumbang terhadap penyediaan suatu suasana nyaman bagi protetariat). Para teoritisi konflik mempertimbangkan bagaimana buruh non upahan melayani kebutuhan- kebutuhan borjuis melalui produksi dari nlai tambah dan perlindungan keuntungan. Bagaimanapun, mereka kerap mengabaikan isu-isu sepanjang hidup mengenai perawatan yang dilakukan oleh wanita sehari-hari termasuk pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga, seksualitas dan sebagainya. Collins mengabaikan asumsi keagamaan seksual dibatasi oleh norma-norma heteroseksual, (Jane C. Ollenburger, 1996:18).

Dokumen terkait