• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Pendekatan Rasional

2.6 Budaya Politik

Budaya politik penting untuk dipelajari karena dua alasan. Pertama, terhadap sistem politik jelas memepengaruhi macam-macam tuntutan yang diminta, cara tuntutan-tuntutan itu disampaikan, penyampaian respon dan dukungan, serta orientasi masyarakat terhadap sistem politik. Kedua dengan memahami hubungan antara budaya politik dan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan kegiatannya dalam sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti.

Menurut Almond dan verba (1990:16) Kebudayaan politik suatu bangsa adalah merupakan distrisbusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Menurut mereka ada tiga komponen orientasi yang dapat digunakan untuk mengukur sikap individu atau masyarakat dalam suatu sistem politik. Tiga komponen tersebut ialah :

1. Komponen kognitif, yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan kepada politik, peranan dan segala kewajibannya. Termasuk ke dalam kognisi itu tidak hanya menyangkut jumlah informasi, tetapi juga ketepatan dan kemampuan untuk mengorganisasi dan memproses informasi itu. Individu mungkin memiliki tingkat pengetahuan dalam akurasi yang tinggi mengenai bagaimana sistem politik bekerja, siapa tokoh-tohoh politik yang berperan dominan, persoalan-persoalan kebijaksanaan yang sedang hangat dibicarakan dan sebagainya.

2. Komponen orientasi Apektif, yakni perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Orientasi ini meliputi intensitas dan kualitas yang berbeda, seperti marah, benci, senang, bangga, dan frustasi. Individu mungkin mempunyai perasaan alienasi dan penolakan terhadap sistem, barangkali oleh karena keluarga dan sahabatnya mempunyai sikap seperti itu sehingga ia tidak menanggapi sistem politik. Atau juga mungkin karena pengalaman tertentu yang menyenangkan mengakibatkan dia merasa ikut terlibat dalam proses politik sehingga dia memilki tanggapan yang wajar terhadap sistem politik.

3. Komponen orientasi evaluatif, yakni keputusan dan praduga tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Hal ini berkaitan dengan penilaian dan pendapat mengenai objek politik yang selalu melibatkan penerapan standard nilai terhadap objek dan kejadian politik (kombinasi standard dan kriteria nilai dengan informasi dan perasaan). Misalnya, seorang individu mengadakan evaluasi atau mengkritik sistem politik sebagai tindak responsif terhadap tuntutan politik anggota masyarakat berdasarkan nilai atau ideologi demokrasi.

4. Bentuk-bentuk orientasi yang ada dalam suatu negara akan memepunyai pengaruh besar terhadap cara dimana sistem politik berlangsung. Orientasi politik akan berpengaruh terhadp pembentukan tingkah laku individu dalam peranan politik mereka. Menurut Dennis kavanagh (1982:11) budaya politik sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung. Menurut Almond dan Verba ada beberapa tipe budaya politik antara lain :

a. Budaya politik parochial

Budaya politik parokial adalah budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti kepala suku. Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan

kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana.

Budaya politik parokial dapat ditandai dengan ciri – ciri seperti : 1) Apatis

2) Pengetahuan politik rendah

3) kesadaran dalam berpolitik rendah

4) Tidak peduli dan menarik diri dari kehidupan politik.

b. Budaya Politik Subjek (kaula)

Dalam tipe ini masyarakat mulai menunjukkan minat dan perhatiannya pada objek politik. Namun posisi masyarakat sebagai subjek (kaula) bersifat pasif. Masyarakat menganggap bahwa posisinya sebagai subjek tidak akan menentukan apa – apa terhadap perubahan politik. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk memepengaruhi atau mengubah sistem. Dengan demikian mereka menerima segala keputusan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Bahkan masyarakat menganggap bahwa keputusan pemerintah bersifat mutlak, sehingga mereka harus menuruti keputusan pemerintah tersebut. Budaya politik subjek ini dapat ditandai dengan ciri-ciri seperti :

1) Memiliki pengetahuan dalam bidang politik yang cukup 2) Partisipasi politik minim

3) Kesadaran dalam berpolitik rendah.

c. Budaya Politik Partisipan

Masyarakat dengan budaya politik partisipan. Memiliki orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya itu seorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, memiliki kesadaran terhadap hak serta tanggungjawabnya. Masyarakat juga merealisasikan dan memepergunakan hak-hak politiknya secara aktif. . Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.

Masyarakat dengan budaya politik partisipan dapat ditandai dengan ciri-ciri seperti :

a. Pengetahuan tentang politk tinggi b. kesadaran dalam berpolitik tinggi

c. Partisipasi dalam berpolitik aktif d. Kontrol Politik aktif

Selain ketiga tipe budaya politik diatas terdapat juga tipe - tipe budaya politik lain yang dikenal dengan istilah budaya politik campuran (mixed political cultures). Budaya politik campuran ini merupakan perpaduan dari tiga tipe budaya politik murni. Budaya politik campuran ini terdiri dari :

a. Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture) Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan parokial awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi. Dapat dikatakan bahwa sebuah kebudayaan politik yang memiliki “kewibawaan” bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik itu. Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak

individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan subjek parokial. Hal itu berarti bahwa warga negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek. Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik. b. Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)

Peralihan dari budaya parokial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif. Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang

saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infrastruktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat mentransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.

c. Kebudayaan parochial partisipan ( The parochial partisipan

Culture )

Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan. Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.

Dokumen terkait