• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Preferensi Politik Pemilih Pemula Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi Pada Mahasiswa Tingkat I Jurusan Ilmu Politik FISIP USU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Preferensi Politik Pemilih Pemula Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi Pada Mahasiswa Tingkat I Jurusan Ilmu Politik FISIP USU)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pemilih Pemula

Pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.Pemilih dalam setiap pemilihan umum didaftarkan melalui pendataan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara pemilihan umum. Pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali memilih karena usia mereka baru memasuki usia pemilih yaitu 17 hingga 21 tahun. Pengetahuan mereka terhadap pemilu tidak berbeda jauh dengan kelompok lainnya, yang membedakan adalah soal antusiasme dan preferensi.

Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki untuk menjadikan seseorang dapat memilih adalah:

1. WNI yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. 2. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya

3. Terdaftar sebagai pemilih.

4. Bukan anggota TNI/Polri (Purnawirawan / Sudah tidak lagi menjadi anggota TNI / Kepolisian).

5. Tidak sedang dicabut hak pilihnya 6. Terdaftar di DPT.

7. Khusus untuk Pemilukada calon pemilih harus berdomisili sekurangkurangnya enam bulan didaerah yang bersangkutan.

(2)

pemulasangatlah besar, sehingga hak warga negara dalam menggunakan hak pilihnya janganlah sampai tidak berarti akibat dari kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan, misalnya jangan sampai sudah memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar atau juga masih banyak kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya, dll. Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan akan dapat merasakan keuntungannya. Lahirnya dukungan dari kelompok ini secara tidak langsung membawa dampak pencitraan yang sangat berarti. Setidaknya untuk pengamanan proses regenerasi kader politik kedepan, meskipun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ketiadaan dukungan dari kalangan ini akan terasa cukup merugikanbagi target-target suara pemilu yang telah ditetapkan tiap-tiap parpol.

(3)

lain-lain.Pemilih pemula khususnya remaja (berusia 17 tahun) mempunyai nilaikebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal yang informal danmencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan akandihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya adalah palingpenting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlumempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan. tanggal 7 Januari 2014, pukul 11.50 WIB).

2.2 Pemilihan Umum (Pemilu)

Dalam Pemilu semua warganegara yang berhak memilih, menyatakan kehendak politisnya dengan mendukung atau mengganti personalia dalam lembaga-lembaga legislatif (dewan perwakilan rakyat dalam tingkat yang berbeda) yang menurut mayoritas akan menentukan pemegang-pemegang kekuasaan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, rakyat yang berdaulat, secara periodik dapat mengoreksi dan mengontrol mereka yang memegang kekuasaan atas namanya (Marbun, 2007:368).

Berikut adalah pendapat beberapa para ahli tentang pemilihan umum: Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, bahwa pemilu merupakan sebuah cara untuk

(4)

ataupun momentum memperlihatkan secara langsung dan nyata pemerintahan oleh rakyat. Ketika pemilihan umum itulah semua calon yang bermimpi duduk sebagai penyelenggara negara dan juga pemerintahan bergantung sepenuhnya pada kehendak atau keinginan rakyatnya agar dapat terpilih.

Sistem pemilihan umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.

Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

(5)

dan khidmat, Tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu pada masa ini diikuti oleh 27 partai politik dan satu perorangan. Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Soekarno.

2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilu.

3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998), setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia.

(6)

pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi.

Dikarenakan gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, hasilnya perolehan suara terbanyak selalu diraih Golkar.

4.Zaman Reformasi (1998-sekarang), pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berberbeda dengan era orde baru.

(7)

mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru. Untuk partai politik baru, Persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.

Pemilu dianggap hal yang penting karena merupakan bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkret keikutsertaan(partisipasi) rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem & kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan yang demokratis yang tentunya sesuai dengan harapan bersama.

Pemilu sangatlah penting bagi sebuah negara, dikarenakan:

1. Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.

2. Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.

3. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.

4. Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara konstitusional.

Asas-Asas Pemilu

(8)

Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri berdasarkan hati nurani tanpa ada perantara.

2. Umum.

Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan, tanpa ada membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan juga status sosial daripada warga negara itu sendiri.

3. Bebas.

Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun yakni berdasarkan hati nurani. 4. Rahasia.

(9)

5. Jujur.

Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tercipta pemilu yang baik.

6. Adil.

Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dari pihak mana pun. diakses pada 28 Mei 2014, pukul 22.00 WIB).

Beberapa pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 2012 terdapat beberapa perubahan, penyesuaian, dan penambahan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu, antara lain meliputi:

(10)

lebih panjang dan dianggap akan lebih memadai bagi KPU dalam mempersiapkan seluruh teknis penyelenggaraan pemilu 2014

2. Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu. Pada awalnya sebelum di ubah oleh Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2012, terkait dengan persyaratan mengikuti pemilu, bagi partai Politik Peserta Pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Ketentuan ini menegaskan bahwa partai yang mencapai angka parliamentary threshold (ambang batas) 2,5% pada pemilu 2009 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014 dengan alasan partai politik tersebut sudah membuktikan memperoleh dukungan rakyat. Pansus Pemilu menganggap ambang batas merupakan legal policy pembuat undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Namun pada bulan Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah pasal ini menjadi bahwa setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu setelah melalkui tahapan Verifikasi.

3. Sistem Pemilu. Tidak ada perubahan sistem pemilu dalam UU Pemilu baru ini. Sistem Pemilu yang dipilih tetap sistem proporsional terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (dengan suara terbanyak) dan sistem distrik berwakil banyak (Single Non-Transferable Vote System) untuk memilih anggota DPD.

(11)

sebelumnya. Persyaratan tersebut antara lain: berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; dan menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU (Pasal 8 ayat (2)).

Namun pada bulan Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah pasal ini menjadi bahwa setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu setelah melalui tahapan Verifikasi administrasi dan faktual tidak terkecuali bagi partai-partai yang selanjutnya dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini diatur bahwa pendaftaran dan verifikasi partai politik dilakukan 20 bulan sebelum hari pemungutan suara dan selesai dalam kurun waktu 5 bulan. Sehingga untuk pemilu 2014 pada awal tahun 2013 sudah diketahui partai politik peserta pemilu.

(12)

Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang). Sedangkan Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 (didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, yaitu paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi.

5. Penyusunan Daftar Pemilih. Terkait penyediaan data kependudukan, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini disepakati terdapat 3 bentuk yaitu (a) data agregat kependudukan per kecamatan sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daerah pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; (b) Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara; dan (c) data Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri sebagai bahan bagi KPU dalam penyusunan daerah pemilihan dan daftar pemilih sementara. Data kependudukan harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 16 bulan sebelum hari pemungutan suara. Selanjutnya data tersebut disinkronisasikan oleh Pemerintah bersama KPU dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya data kependudukan dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri.

(13)

paling lama 4 bulan setelah diterimanya DP4. Selain itu, dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru, dimana apabila terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan; KPU Provinsi tetap melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus (Pasal 40 ayat (5)).

6. Pencalonan. Pasal pencalonan tidak banyak berubah, hanya saja terdapat penambahan ketentuan yaitu kewajiban mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin maju sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD. Selain itu, ketentuan tentang keterwakilan perempuan masih menggunakan ketentuan lama pada UU No. 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota disusun berdasarkan nomor urut.Daftar calon memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan; yang mana dalam daftar bakal calon tersebut, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon.

(14)

nomor buncit (ketentuan ini seakan menegaskan tentang signifikannya peran nomor urut dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sekalipun). Selain itu, proses pengajuan nama bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU Pemilu baru ini diatur lebih panjang prosesnya, yaitu dilaksanakan 12 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 57 ayat (2)).

Berkaitan dengan kewajiban pengunduran bagi anggota DPRD yang maju menjadi Calon Anggota DPR/DPRD melalui partai yang berbeda, mahkamah konstitusi telah memutuskan bahwa tidak wajib untuk mundur tetapi diserahkan kepada mekanisme masing-masing partai.

7. Kampanye. UU No. 8 Tahun 2012 memberikan pengaturan yang tegas bahwa kampanye melalui media massa cetak dan media massa elektronik dikategorikan sebagai “iklan kampanye”, yang mana pelaksanaannya sama dengan kampanye dalam bentuk rapat umum, yaitu dilakukan (hanya) selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang (3 hari sebelum hari pemungutan suara). Periode waktu kampanye dalam UU baru ini tidak berubah, tetap berlangsung setelah 3 hari setelah penetapan peserta pemilu dan berakhir 3 hari sebelum hari-H pemungutan suara (kurang lebih selama 9 bulan).

(15)

Rp7.500.000.000,00 (tujuh koma lima milyar). Sedangkan batasan sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak berubah, yaitu tetap tidak boleh lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Naiknya batasan sumbangan dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 dikarenakan adanya konkordansi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (lihat Tabel.1 berikut).

Tabel.1. 1. Perbandingan batasan sumbangan dana politik dan dana kampanye Pengaturan Batasan Sumbangan dari

Perseorangan

(16)

gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154). 10. Rekapitulasi Suara. Dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Melalui UU No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka sinkronisasi dan konkordansi dengan UU Penyelenggara Pemilihan Umum) diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan. 11. Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih. Pada awalnya, ketentuan dalam UU ini sebagai berikut: ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.

(17)

Artinya pada Pemilu 2014, setiap partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3,5% suara sah untuk DPR RI, untuk dapat diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, meskipun suatu partai memperoleh lebih dari 3,5% suara sah di pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, akan tetapi kalau perolehan suaranya untuk pemilu anggota DPR RI kurang dari 3,5%, maka partai tersebut secara otomatis tidak bisa ikut dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota (suaranya dianggap hangus/terbuang/wasted votes). Namun sebaliknya, jika suatu partai memperoleh suara sah lebih dari 3,5% untuk pemilu DPR RI, maka meski suaranya kurang dari 3,5% untuk pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, partai politik tersebut tetap berhak untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota karena dia dianggap telah lolos ambang batas secara nasional.

(18)

Politik Peserta Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan; dan selanjutnya (c) penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak (Pasal 212.)

12. Partisipasi Masyarakat. UU No. 8 Tahun 2012 ini tidak banyak mengatur perubahan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Hanya saja dalam Pasal 247 ayat (5) disebutkan ketentuan baru bahwa khusus soal pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana pemilu.

(19)

penyampaian laporan, terdapat perubahan pengaturan dalam UU Pemilu yang baru. Jika sebelumnya diatur bahwa laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu, sekarang batas waktu pelaporan tersebut diperpanjang durasinya menjadi laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7 hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Sedangkan lamanya waktu penanganan laporan pelanggaran pemilu oleh jajaran pengawas pemilu tidak mengalami perubahan, tetap sama dengan pemilu 2009 lalu, yaitu pengawas pemilu wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 hari setelah laporan diterima. Namun, dalam hal pengawas pemilu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut penanganan laporan pelanggaran pemilu dilakukan paling lama 5 hari setelah laporan diterima.

Setelah pengawas pemilu menerima dan mengkaji laporan pelanggaran yang masuk, maka pengawas pemilu akan mengkategorisasikan laporan pelanggaran tersebut menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:

(a) Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diteruskan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran kode etik sebelumnya tidak diatur dalam UU Pemilu yang lama.

(b) Pelanggaran administrasi pemilu diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.

(20)

(d) Tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Selain itu, terkait dengan masalah hukum pemilu, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini juga dikenal adanya: (a) sengketa tata usaha negara pemilu, dan (b) perselisihan hasil pemilu. Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh UU No. 8 Tahun 2012 diartikan sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Pengaturan dan definisi pelanggaran administrasi pemilu diatur lebih kongkrit dalam UU No. 8 Tahun 2012 dibandingkan pengaturan sebelumnya. Pelanggaran administrasi pemilu didefinisikan sebagai pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi Bawaslu, paling lama 7 hari sejak diterimanya rekomendasi tersebut.

(21)

yakni diselesaikan oleh Bawaslu paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan (Pasal 258). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilu diperintahkan untuk diatur dalam Peraturan Bawaslu (Pasal 259 ayat (5)).

Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Terkait sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, bila tidak dapat diselesaikan oleh Bawaslu maka pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

(22)

berdasarkan kesepakatan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.

14. Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu. Sama seperti UU Pemilu sebelumnya, terkait dengan penyelesaian tindak pidana pemilu, UU No. 8 Tahun 2012 kembali memerintahkan untuk dibentuknya Majelis Khusus di pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu. Majelis Khusus tersebut terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu. Hakim khusus harus memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 tahun. Selain harus menguasai pengetahuan tentang pemilu, hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus ini akan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (Pasal 266).

(23)

Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara: (a) KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu; dan (b) antara KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap.

Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu ke PTTUN dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu telah digunakan. Selanjutnya, atas Putusan PTTUN atas sengketa tata usaha negara pemilu, hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Sama halnya seperti penanganan tindak piudana pemilu, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata usaha negara pemilu dibentuk pula Majelis Khusus yang terdiri dari hakim khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata usaha negara dan Mahkamah Agung (Pasal 270).

(24)

tetap merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD. Dengan demikian, Undang-Undang baru ini “tetap” tidak memberi peluang bagi (perseorangan) calon anggota legislatif untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Batasan pengajuan permohonan perselisihan hasil kepada Mahkamah Konstitusi tetap sama dengan pemilu 2009, yaitu paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU. Satu-satunya ketentuan baru terkait perselisihan hasil pemilu dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini hanyalah berupa pengaturan apabila pengajuan permohonan kurang lengkap, maka pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, hanya diberikan waktu 1 x 24 jam (itupun diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, bukan dalam UU Pemilu).

(25)

Beberapa ketentuan yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 tersebut semestinya harus dipahami dan dimengerti oleh berbagai pihak yang berkepentingan sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dan tercipta Pemilihan Umum yang berkualitas.Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang dibentuk guna melakukan pengujian undang undang dituntut untuk bekerja secara profesional dalam memutus segala perkara yang masuk ke lembaga tersebut. Keberadaan lembaga tersebut sejauh ini masih dibutuhkan guna mengawal dan melakukan pengkajian undang-undang yang dihasilkan oleh DPR maupun menyelesaikan sengketa Pemilu yang terjadi. Salah satu contoh nyata kiprah MK yang berdampak positif dalam perjalanan demokrasi bangsa adalah peran MK yang cukup dominan dalam pengkajian UU No. 8 Tahun 2012 ini. 20.00 WIB).

2.3Perilaku dan Preferensi Pemilih

Beragam fenomena politik dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan tingkah laku (behavioral approach). Pendekatan ini bersumber dari premis yang menyatakan bahwa persoalan dasar organisasi politik dan pemerintah adalah tingkah laku warga negara.

(26)

atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y. Persoalan memilih dan tidak memilih merupakan hak seorang warga negara. Di Indonesia hak memilih dikenal dengan hak pilih aktif yakni hak yang dimiliki seseorang untuk ikut dalam memberikan suara pada saat pemilihan umum. Memilih dan tidak memilih juga dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik sepanjang kegiatan itu dilakukan secara sadar.

Perilaku pemilih dapat dianalisis dengan tiga pendekatan yaitu: 1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di Amerika serikat dikembangkan oleh para ilmuan sosial yang mempunyai latar belakang pendidikan Eropa. Karena itu, Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai social determinism approach.

(27)

maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan atau kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital didalam memahami perilaku pemilih seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Dean Jaros (1974) ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu kelompok dengan perilaku pemilih seseorang menyederhanakan pengelompokan sosial itu kedalam tiga kelompok, yakni kelompok primer, sekunder, dan kategori.

Gerald Pomper (1978) memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi voting behavior kedalam dua variable, yakni variabel predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan perilaku pemilih seseorang. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis, dan semacamnya.

(28)

partai-partai berbasis Islam. Penelitian Wald dan She serta Muhammad Reza (2009) terhadap masyarakat Banjar di Perbaungan, menunjukkan bahwa semakin besar keterlibatan seseorang dalam aktifitas keagamaan, semakin besar kecenderungan nya untuk menyukai atau memilih partai-partai agama atau kelompok-kelompok sayap kanan.

Meskipun dari Pemilu ke Pemilu berikutnya hubungan tidak selalu konsisten, jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih. Realitas politik pada pilpres 2004 dan 2009 menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai dan calon borjuis, setuju dengan administrasi ( birokrasi), menghindari pemilihan pada ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, dan mendukung partai moderat Arbi Sanit (2010).

Aspek Geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Penelitian Petterson dan Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatan-ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang (Perarnt Petterson and Lawrence E Rose : 1996). Ikatan kedaerahan terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidiat. Penelitian Potoski menunjukkan bahwa kandidat umumnya lebih diterima dan dipilih oleh para pemilih yang berasal dari daerah yang sama (Matthew Potoski: 1994).

(29)

income groups vote mainly for parties of the left, while the higher-income groups vote mainly for parties of the right”.

Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku memilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku pemilih antara mereka yang masuk katagori orang kaya ataupun orang miskin, antara yang memiliki tanah luas dan sedikit, antara yang memilki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya (Afan Gaffar : 1992). Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat perilaku masyarakat dalam sutau pemilu seperti yang diuraikan dibawah ini.

2. Pendekatan Psikologis

Jika pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari Eropa Barat, pendekatan psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat karena dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat melalui Survey Research Centre di universitas Michigan. Pelopor utama pendekatan ini adalah seorang ilmuan besar August Campbell (Firmanzah : 2008).

(30)

sosiologi seperti status sosial ekonomi-keluarga, kelompok-kelompok primer ataupun sekunder, itu yang memberikan urutan pada perilaku pemilih. Tidakkah variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku pemilih seseorang, bukan karakteristik sosiologis.

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis-terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini para pemilih di Amerika Serikat menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologi yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Sosialisasi politik yang mereka terima seseorang pada masa kecil (baik dilingkungan keluarga maupun pertemanan dan sekolah) misalnya, sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.

Mengapa pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih seseorang? Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein mempunyai tiga fungsi, pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap

(31)

mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.

Namun sikap bukanlah suatu yang bersifat asal jadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang. Mulai baru lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama informasi pembentukan sikap berkembang pada masa anak-anak. Anak-anak mulai mempersonifikasikan politik. Fase ini merupakan proses belajar keluarga. Anak-anak belajar pada orang tuanya bagaimana perasaan mereka terhadap pimpinan-pimpinan politik, bagaimana orang tua mereka menangkap isu-isu politik dan sebaginya. Tahap kedua adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat menginjak dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga, seperti disekolah, kelompok/teman sebaya dan sebagainya. Tahap yang ketiga adalah nantinya bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, mesjid atau gereja, partai politik, dan asosiasi-asosiasi yang lain.

Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati terhadap partai politik. Bagi penganut pendekatan ini, konsep identifikasi partai dijadikan variabel sentral untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang.

(32)

Pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi kepada kandidat.

3. Pendekatan Rasional

Dalam konteks pendekatan rasional, pemilih akan memilih jika ia merasa ada timbal balik yang akan diterimanya. Ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih calon legislatif yang sedang bertanding, ia tidak akan mengikuti dan melakukan pilihan pada proses Pemilu. Hal ini juga sejalan dengan prinsip ekonomi dan hitung ekonomi. Pendekatan ini juga mengandaikan bahwa calon legislatif akan melakukan berbagai promosi dan kampanye yang bertujuan untuk menarik simpati dan keinginian masyarakat untuk memilih dirinya pada pemilu (Asfar, 2004:137).

(33)

Perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk memahami faktor pemilih dalam menentukan pilihannya pertama kita harus memahami bagaimana konteks latar belakang historisnya. Sikap dan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi oleh proses dan sejarah masa lalu. Ini dikarenakan budaya politik di indonesia masih kental akan sejarah dan kebudayaan masa lampau.

Faktor kedua ialah kondisi geografis dan wilayah. Hal ini sangat berpengaruh kepada masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilu, secara tidak langsung perilaku pemilih banyak ditentukan oleh faktor wilayah. Oleh karena itu kondisi dan faktor geografis/wilayah menjadi pertimbangan penting dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Misalnya saja dalam pengambilan keputusan, peraturan dan kebijakan sampai dalam pemilihan umum. Hal ini menuntut agar calon harus jeli dalam membuat strateginya dalam kampanye agar perilaku pemilih cenderung memilih si kandidat tersebut.

(34)

Hal ini membenarkan bahwa agama dan keyakinan dapat mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam aktivitas politik.Begitu pula halnya dengan Suku ataupun Etnisitas. Konsep etnisitas akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Dalam kajian ini kita ketahui bahwa perilaku politik seseorang bisa saja dipengaruhi oleh ikatan-ikatan tertentu seperti rasa keterikatan dalam etnisitas.

Faktor keempat ialah pendidikan dan komunikasi yang sangat berpengaruh kepada perilaku konstituen. Pendidikan dan komunikasi yang baik dari si calon maupun kandidat akan memberikan dan mempengaruhi simpatik konstituen. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat maupun seseorang maka semakin rendah tingkat kesadaran politiknya. Selain itu, komunikasi politik yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam aktivitas politiknya dan perilaku politiknya dalam menentukan pilihannya dalam pemilihan umum(Surbakti, 1992: 89).

2.4Perilaku Politik

(35)

organisasi masyarakat atau LSM (lembaga swadaya masyarakat), ikut serta dalam pesta politik, ikut mengkritik atau melakukan protes terhadap kebijakan publik, berhak untuk menjadi pimpinan politik, dan berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajiban sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku.

Dalam kaitan istilah perilaku politik ini para ahli politik umumnya hampir dapat dikatakan sepakat untuk mendefenisikan bahwa perilaku politik sebagai upaya yang dilakukan oleh seseorang, individu atau kelompok untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Karena seorang individu atau kelompok memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap negara untuk

memberikan hak dan tanggung jawabnya dalam menentukan pilihan politiknya untuk menemukan masa depan yang lebih baik dari sebelumnya.

Untuk itulah perilaku politik ini menjadi penting sebab keberadaan sebuah negara sangat tergantung pada perilaku politik ini yang berlangsung di dalamnya. Artinya, apabila perilaku politik yang tumbuh baik, maka diharapkan pula akan membangun negara menjadi baik dan sebaliknya apabila perilaku politik yang dilakukan cenderung mengarah pada hal yang negatif, maka tentunya pula dapat dipastikan akan memberi konsekuensi yang tidak baik pula bagi negara tersebut.

(36)

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecenderungan atau pre-disposisi. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud. Dari pernyataan diatas dapat dinyatakan bahwa sikap politik sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan terhadap objek tersebut. Dengan munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul.

Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi mengandung keterkaitan dengan hal-hal lain. Perilaku politik yang ditunjukkan oleh individu merupakan hasil pengaruh beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat, pertama perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis pada masa lalu dan sekaligus merupakan kesinambungan yang dinamis. Hal itu disebabkan karena Perilaku politik memiliki kaitan yang erat dengan budaya politik, dan budaya politik merupakan suatu kenyataan dinamis terus berubah dan berkembang sepanjang masa.

(37)

Selain faktor budaya politik, perilaku politik masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai dan etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama apapun merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya. Proses- proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang (Sastraatmadjo: 1995).

2.5Partisipasi Politik

Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk memepengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalm kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung ,mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Budiarjo: 1982).

(38)

kolektif, terorganisir atau spontan mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Huntington: 1994).

Partisipasi politik yang dimaksud tidak hanya sekedar melibatkan masyarakat dalam pemilihan umum tetapi lebih dari itu partisipasi politik yang terjadi akan memberikan proses pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi sadar dan mengerti akan hak-hak nya sebagai warga negara. Masyarakat mampu menganalisis dan mengidentifikasi berbagai kebutuhan dan kondisi lingkungannya. Kemudian masyarakat menjadi labih responsif dan kritis terhadap kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

Ada beberapa bentuk partisipasi politik yang dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya:Berdasarkan kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yakni partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. Partisipasi pasif adalah kegiatan warga negara untuk menerima, mentaati, dan melaksanakan segala aturan dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluaran politik, sedangkan partisipasi pasif hanya terletak pada keluarannya saja.

(39)

berdasarkan jumlah pelakuknya partisipasi politik juga dapat digolongkan kedalam dua bentuk yakni, partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Maksud partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk memepengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum. Partisipasi kolektif sendiri terbagi menjadi dua jenis yakni, partisipasi kolektif konvensional dan partisipasi kolektif nonkonvensional. partisipasi politik kolektif konvensional adalah bentuk partisipasi yang prosedur dan waktunya telah diatur oleh pemerintah dan diketahui oleh semua publik, partisipasi ini terwujud dalam kegiatan seperti pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam suatu kelompok kepentingan,dan lain-lain. Sedangkan partisipasi kolektif non konvensional adalah bentuk partisipasi yang waktu dan prosedurnya ditentukan sendiri oleh masyarakat yang berpartisipasi. Partisipasi ini terwujud dalam kegiatan seperti demonstrasi, konfrontasi, pemogokan, separatism, revolusi dan lain-lain (Surbakti: 1992).

2.6Budaya Politik

(40)

Menurut Almond dan verba (1990:16) Kebudayaan politik suatu bangsa adalah merupakan distrisbusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Menurut mereka ada tiga komponen orientasi yang dapat digunakan untuk mengukur sikap individu atau masyarakat dalam suatu sistem politik. Tiga komponen tersebut ialah :

1. Komponen kognitif, yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan kepada politik, peranan dan segala kewajibannya. Termasuk ke dalam kognisi itu tidak hanya menyangkut jumlah informasi, tetapi juga ketepatan dan kemampuan untuk mengorganisasi dan memproses informasi itu. Individu mungkin memiliki tingkat pengetahuan dalam akurasi yang tinggi mengenai bagaimana sistem politik bekerja, siapa tokoh-tohoh politik yang berperan dominan, persoalan-persoalan kebijaksanaan yang sedang hangat dibicarakan dan sebagainya.

(41)

3. Komponen orientasi evaluatif, yakni keputusan dan praduga tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Hal ini berkaitan dengan penilaian dan pendapat mengenai objek politik yang selalu melibatkan penerapan standard nilai terhadap objek dan kejadian politik (kombinasi standard dan kriteria nilai dengan informasi dan perasaan). Misalnya, seorang individu mengadakan evaluasi atau mengkritik sistem politik sebagai tindak responsif terhadap tuntutan politik anggota masyarakat berdasarkan nilai atau ideologi demokrasi.

4. Bentuk-bentuk orientasi yang ada dalam suatu negara akan memepunyai pengaruh besar terhadap cara dimana sistem politik berlangsung. Orientasi politik akan berpengaruh terhadp pembentukan tingkah laku individu dalam peranan politik mereka. Menurut Dennis kavanagh (1982:11) budaya politik sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung. Menurut Almond dan Verba ada beberapa tipe budaya politik antara lain :

a. Budaya politik parochial

(42)

kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana.

Budaya politik parokial dapat ditandai dengan ciri – ciri seperti : 1) Apatis

2) Pengetahuan politik rendah

3) kesadaran dalam berpolitik rendah

4) Tidak peduli dan menarik diri dari kehidupan politik.

b. Budaya Politik Subjek (kaula)

Dalam tipe ini masyarakat mulai menunjukkan minat dan perhatiannya pada objek politik. Namun posisi masyarakat sebagai subjek (kaula) bersifat pasif. Masyarakat menganggap bahwa posisinya sebagai subjek tidak akan menentukan apa – apa terhadap perubahan politik. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk memepengaruhi atau mengubah sistem. Dengan demikian mereka menerima segala keputusan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Bahkan masyarakat menganggap bahwa keputusan pemerintah bersifat mutlak, sehingga mereka harus menuruti keputusan pemerintah tersebut. Budaya politik subjek ini dapat ditandai dengan ciri-ciri seperti :

(43)

3) Kesadaran dalam berpolitik rendah.

c. Budaya Politik Partisipan

Masyarakat dengan budaya politik partisipan. Memiliki orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya itu seorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, memiliki kesadaran terhadap hak serta tanggungjawabnya. Masyarakat juga merealisasikan dan memepergunakan hak-hak politiknya secara aktif. . Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.

Masyarakat dengan budaya politik partisipan dapat ditandai dengan ciri-ciri seperti :

(44)

c. Partisipasi dalam berpolitik aktif d. Kontrol Politik aktif

Selain ketiga tipe budaya politik diatas terdapat juga tipe - tipe budaya politik lain yang dikenal dengan istilah budaya politik campuran (mixed political cultures). Budaya politik campuran ini merupakan perpaduan dari

tiga tipe budaya politik murni. Budaya politik campuran ini terdiri dari : a. Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture)

(45)

individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan subjek parokial. Hal itu berarti bahwa warga negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek. Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik. b. Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)

(46)

saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infrastruktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat mentransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.

c. Kebudayaan parochial partisipan ( The parochial partisipan

Culture )

Referensi

Dokumen terkait

Definisi 2.1 Graf adalah pasangan himpunan dengan adalah himpunan tidak kosong dan berhingga dari obyek-obyek yang disebut sebagai titik dan adalah

Berdasarkan analisa data dan pembahasan dapat diketahui bahwa waktu tunggu angkutan umum di dalam terminal Cikarang untuk AKDP 1 tidak sesuai dengan ketentuan/syarat dari

Kriteria penilaian yang digunakan dalam sistem pendukung keputusan pengadaan buku perpustakaan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang menggunakan metode MOORA

Hasil penelitian (Kurniani, 2007) menunjukkan bahwa kawasan ekosistem mangrove Teluk Awur mempunyai potensi sebagai daerah ekowisata mangrove berbasis pendidikan dan

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan ibu tentang Posyandu sebagian besar dikategorikan baik sebanyak 19 orang (63,33%), keaktifan ibu mengikuti Posyandu sebagian

Penelitian ini berjudul Pengaruh Pemberian Kredit, dan Modal Awal terhadap Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil (studi pada Debitur Kredit Usaha Rakyat, Bank

Di samping itu setiap industri formula bayi juga melakukan pengujian E sakazakii dan mikroba lain pada produk akhir sebelum diedarkan.Sedangkan untuk formula bayi