• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN

5.3. Budidaya Padi Organik Metode SRI

Kegiatan usahatani padi organik SRI merupakan budidaya yang lebih mengutamakan potensi lokal yang ramah lingkungan yang sangat mendukung pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya. Pada prinsipnya pertanian ini sebagai konservasi air serta mendaur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan biomasa ke dalam tanah seperti tidak membakar jerami di areal persawahan akan tetapi jerami tersebut dapat dikembalikan ke tanah yang melalui proses dekomposisi jerami dapat menjadi bahan organik. Oleh karena itu budidaya padi ini sama sekali tidak lagi menggunakan input anorganik baik itu pupuk atau pestisida kimia.

Produk padi yang dihasilkan di Desa Cipeuyeum ini sudah bebas dari residu kimia, namun sertifikat organik belum dapat dirampungkan dikarenakan masih dalam proses yang menghadapi kendala pada biaya. Produk yang sehat dihasilkan dari sistem budidaya organik yang ramah lingkungan. Adapun budidaya padi organik SRI di Desa Cipeuyeum ini meliputi pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, penyulaman, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit serta panen.

5.3.1. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi tanah dari segi kandungan unsur hara dan untuk memperbaiki pengairan (drainase) sehingga tanah atau lahan siap untuk ditanami dengan harapan memperoleh hasil yang maksimal. Pada dasarnya proses pengolahan tanah yang dilakukan petani padi organik SRI hampir sama dengan pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani padi konvensional. Adapun beberapa kegiatan pengolahan tanah yang dilakukan adalah pembajakan, pembuatan saluran air, perataan tanah dan memopok atau babad galeng pematang.

Proses pengolahan lahan untuk usahatani padi organik metode SRI di Desa Cipeuyeum dilakukan sebanyak dua kali, adapun proses pengolahan lahan yang pertama ialah lahan di bajak dengan menggunakan traktor, setelah itu jerami dimasukan ke lahan, lalu petani biasanya membuat pematang sawah (galengan). Setelah lahan dibajak pada petakan lahan dibuat saluran air setelah itu pupuk kandang atau kompos dimasukkan ke lahan dan diratakan setelah itu diairi dengan 48

65 kondisi yang macak–macak atau tidak terlalu tergenang, hal ini dilakukan dengan tujuan agar pupuk tidak mudah terbawa air kemudian lahan diberakan selama satu minggu sampai dua minggu. Pada waktu yang bersamaan biasanya petani merapikan pematang sawah dengan cara pematang dikikis dengan cangkul yang kemudian dilempar ke lahan, setelah itu pematang kembali di tambal dengan tanah berlumpur hingga rata. Pengolahan tanah kedua yaitu tanah dicangkul dan diratakan dalam kondisi air yang tetap macak–macak kemudian endapakan dalam waktu semalam.

Pembibitan (penyemaian benih) pada kedua usahatani memerlukan waktu yang berbeda. Bibit yang ditanam pada budidaya padi metode SRI berumur 7–14 hari setelai semai sedangkan untuk budidaya padi konvensional umur padi yang ditanam yaitu 20–28 hari setelah tanam. Hal ini yang menyebabkan waktu pemberaan untuk kedua usahatani tersebut berbeda. Setelah bibit siap dipindah ke lahan untuk di tanam tanah kembali dibajak dengan traktor, pembajakan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tanah setelah beberapa waktu di berakan (diistirahatkan). Setelah pembajakan selesai dilakukan, lahan diratakan dengan alat perata tanah yang biasa disebut gegaruan (papan perata) hingga permukaan lahan relatif rata.

5.3.2. Pembibitan 5.3.2.1. Penyemaian

Persemaian benih metode SRI dapat dilakukan pada lahan di lapangan atau menggunakan baki (nampan). Penyemaian untuk padi organik SRI di Desa Cipeuyeum, sebagian besar dilakukan menggunakan baki (nampan) sebanyak 12 orang atau 70,59 persen, namun terdapat pula yang persemaiannya dilakukan di lahan sebanyak empat orang (23,53 persen) dan yang persemaiannya dilakukan di kedua tempat tersebut hanya satu orang atau 5,88 persen.

Proses kegiatan persemaian diawali dengan persiapan media persemaian dengan memakai nampan atau baki yang diisi dengan pupuk organik dan tanah, dengan komposisi antara tanah dan pupuk organik (kompos) satu banding satu. Kemudian benih ditebar secara merata tidak terlalu rapat atau tidak terlalu jarang dan tanah agar selalu lembab. Sedangkan persemaian di lahan dilakukan diatas terpal yaitu setelah terpal disiapkan maka ditaburi dengan kompos kemudian di 49

66 timpa oleh pasir atau tanah, lalu benih disebar diatas permukaan terpal tersebut dan ditutup dengan jala.

Berbeda dengan kegiatan persemaian yang dilakukan pada usahatani padi konvesional, yaitu pada saat akan dilakukan penyemaian terlebih dahulu lahan dipersiapkan untuk tempat penyemaian. Persiapan tersebut biasanya dilakukan setelah lahan selesai dibajak atau pada saat lahan diberakan. Lahan yang telah dibajak pada pengolahan lahan dibuat menjadi beberapa petak yang kemudian petak semai tersebut diratakan permukaannya.

Luas lahan pembibitan padi organik SRI di Desa Cipeuyeum rata–rata 3,44 m2 dari total lahan yang akan digunakan untuk usahatani padi organik SRI. Sementara lahan pembibitan untuk padi konvensional rata–rata 18,59 m2. perbedaan dalam penggunaan lahan semai tersebut dikarenakan jumlah benih yang digunakan berbeda untuk kedua usahatani padi tersebut.

5.3.2.2. Perlakuan Benih Sebelum Sebar

Benih merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menentukan dalam kegiatan usahatani disamping faktor–faktor produksi lainnya. Benih yang ditanam di persemaian diharapkan tumbuh semuanya dengan baik dan optimal. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan oleh petani di Desa Cipeuyeum dalam mempersiapkan benih sebelum di tebar di persemaian adalah proses seleksi dan perendaman. Proses seleksi ini merupakan perlakuan yang diberikan untuk benih padi metode SRI dimana benih diseleksi dengan perlakuan air garam dan telur sebagai indikatornya (Lampiran 1), seleksi benih ini berguna untuk memisahkan benih yang bernas dengan benih hampa dan kotoran benih lainnya. Namun setelah itu benih diberi perlakuan yang sama dengan benih padi konvensional yaitu perendaman benih.

Perendaman benih adalah suatu perlakuan yang berguna untuk merangsang perkecambahan, sehingga diperoleh benih yang siap disebar dan tumbuh optimal di lahan persemaian. Perendaman benih ini berlaku bagi benih padi metode SRI maupun konvensional. setelah direndam selama dua hari benih ditiriskan selama dua hari, sampai benih mengeluarkan kecambah maka benih siap untuk ditanam.

67

5.3.3. Penanaman (Tandur)

Bibit yang siap ditanam ialah bibit yang telah mencapai umur yang optimal untuk dipindahkan ke lahan. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, khususnya perkembangan anakan setelah ditanam. Petani padi metode SRI umunya menanam bibit yang relatif muda (7–14 hari). Bibit pada umur ini telah memiliki dua helai daun atau lebih dengan tinggi ± 10–15 cm. Sehingga bibit perlu diperlakukan secara hati–hati terutama pada bagian akar agar tidak rusak saat dicabut dari persemaian.

Benih muda pada metode SRI ini diharapkan dapat menumbuhkan tunas lebih awal dan akan banyaknya pertumbuhan tunas primer sebagai tunas yang produktif serta lebih cepat pembentukannya. Hal ini berbeda dengan metode konvensional yang menanam bibit yang telah berumur relatif tua yaitu 20–28 hari setelah tanam.

Sebelum bibit ditanam, lahan dibuat pola jarak tanam dengan menggunakan alat caplakan. Menaplak lahan dilakukan dua kali dengan arah yang berlawanan (vertikal–horizontal) sehingga terbentuk pola tanam dengan jarak tanam yang ukurannya telah ditentukan pada caplakan. Usahatani padi metode SRI di Desa Cipeuyeum menggunakan jarak tanam lebar yaitu 27 x 27 cm2 sampai 40 x 40 cm2. Jarak tanam tersebut relatif lebih luas dibandingkan jarak tanam padi konvensional (27 x 27 sampai 30 x 30 cm2). Jarak tanam yang lebar pada SRI dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada tanaman dalam pembentukan anakan, pertumbuhan akar dan masuknya sinar matahari kedalam perakaran di dalam tanah. Terdapat pula penanaman padi yang bertujuan untuk menanggulangi jika ada tanaman padi yang tidak tumbuh, yaitu dengan menanam bibit di salah satu sudut secara bergerombol, penanaman ini dinamakan penyulaman.

Penanaman padi metode SRI berbeda dengan penanaman padi konvensional. Bibit yang di tanam pada padi konvensional paling sedikit tiga per rumpun dan ujung akar tanaman biasanya masih berada dipermukaan tanah. Berbeda dengan cara penanaman padi SRI, pada metode ini banyaknya bibit per rumpun yaitu satu bibit per rumpun (benih tunggal), namun di Desa Cipeuyeum ini ada satu orang atau (5,88 persen) petani padi SRI yang menanam bibitnya 51

68 sebanyak dua bibit per rumpun, alasan petani padi SRI tersebut ialah masih takut dan ragu jika hanya menanam satu bibit disaat cuaca buruk yaitu hujan atau terkena serangan hama dan penyakit. Pada proses penanaman ini kegiatan pencabutan bibit dari tempat persemaian harus secara hati–hati dengan jarak waktu dari cabut ke tanam tidak lebih dari 15 menit dan bulir padi tetap dijaga serta kondisi akar horizontal sehingga membentuk huruf L. Kemudian benih di tanam dangkal antara 0,5–1 cm, hal ini dilakukan untuk menghindari kematian akibat busuk akar.

Kendala pada usahatani padi SRI ialah jika faktor cuaca yang tidak mendukung biasanya terjadi pada musim hujan, ketika musim tanam dan hujan cukup besar maka bibit padi yang baru saja ditanam terlepas dari benamannya karena areal sawah terendam air, hal ini dapat terjadi karena pada metode SRI padi yang ditanam berumur muda tidak terlalu dibenamkam atau ditanam dangkal, sehingga hal tersebut membuat bibit padi tidak kuat menahan genangan air yang membanjiri sawah. Selain cuaca, faktor hama juga merupakan salah satu kendala pada pertanian organik SRI maupun usahatani padi konvensional, seperti hama keong pada musim hujan yang dapat merusak bibit tanaman padi yang baru saja ditanam sehingga dapat menurunkan produktivitas. Hal ini berbeda dengan sistem konvensional, petani konvensional hanya menanam bibit pada umur tua dan ditanam dalam sehingga jika ada hama atau musim hujan, mereka tidak akan terlalu takut jika bibit yang baru ditanamnya mengalami kerusakan karena hama atau cuaca (musim hujan).

5.3.4. Penyulaman

Penyulaman dalam usahatani padi metode SRI dan padi konvensional di Desa Cipeuyeum dilakukan dengan melihat terlebih dahulu kondisi tanaman, apakah tumbuh dengan baik atau tidak. Jika tanaman ada yang roboh atau bila ada kerusakan akibat adanya gangguan hama seperti serangga atau keong. Sehingga harus dilakukan penyulaman dengan cara menanaminya kembali, pada umumnya penyulaman dilakukan maksimal pada umur tujuh hari setelah tanam. Penyulaman pada usahatani padi SRI lebih sering dilakukan oleh petaninya, terlebih jika bibit yang baru ditanam lepas dari lubang tanam karena air hujan yang terlalu menggenang atau karena serangan hama dan penyakit.

69

5.3.5. Penyiangan

Penyiangan dilakukan dengan tujuan untuk mebersihkan atau mengurangi tanaman lain selain tanaman pokok yaitu padi atau sering disebut dengan tanaman gulma. Penyiangan ini dilakukan untuk mengurangi populasi gulma yang dapat menjadi pesaing dalam penyerapan unsur hara sekaligus dapat memberi dukungan terhadap kondisi pertukaran dan perputaran udara agar lancar (aerasi), selain itu penyiangan juga dapat mencegah serangan hama.

Kegiatan penyiangan ini dapat dilakukan dengan cara manual atau menggunakan tangan sering disebut ngarambet. Ngarambet dilakukan disekitar rumpun padi, kemudian dibenamkan kelumpur atau dibuang ke pematang sawah. Selain itu petani biasanya melakukan kegiatan ngagasrok dalam penyiangan, kegiatan ini dilakukan dengan cara mengerok permukaan tanah menggunakan bantuan alat yang pada umumnya dibuat sendiri oleh petani. Adapun cara pembuatan pestisida nabati ini terdapat pada Lampiran 3.

Penyiangan yang dilakukan oleh petani pada usahatani padi metode SRI sebenarnaya tidak jauh berbeda dengan padi konvensional, hanya saja yang membedakannya ialah frekuensi kegiatan penyiangan yang dilakukan. Kegiatan penyiangan pertama pada metode SRI dilakukan pada umumnya ketika tanaman berumur 7–14 hari, penyiangan kedua dan seterusnya dilakukan setiap 10 hari sekali. rata–rata penyiangan dilakukan salama 3–5 kali dalam satu kali musim tanam. Sedangkan kegiatan penyiangan padi konvensional dilakukan sebanyak dua kali dalam satu musim tanam.

5.3.6. Pemupukan

Pemupukan merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan hara tanah yang sangat terbatas terkandung di dalam tanah, sehingga dengan pemupukan kebutuhan hara tersebut dapat ditambah dari luar dengan pupuk organik maupun pupuk anorganik (kimia). Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani padi SRI di Desa Cipeuyeum sepenuhnya berupa pupuk organik mulai dari pemupukan dasar hingga pemupukan susulan yang berbentuk padat ataupun cair yaitu MOL (Mikro Organisme Lokal).

Pupuk organik yang diberikan petani padi metode SRI berupa pupuk kompos. Pupuk kompos terdiri dari bahan–bahan organik yang berasal dari alam, 53

70 seperti jerami, rerumputan, limbah sayuran, limbah buah–buahan dan kotoran hewan. Bahan–bahan tersebut dikompos melalui proses penguraian dengan bantuan mikro organisme. Bahan jerami sendiri banyak mengandung unsur hara seperti yang terdapat pada pupuk kimia anorganik.

Pemupukan dasar pada metode SRI yang berupa pupuk kandang dilakukan pada saat pengolahan tanah pertama, kebutuhan pupuk kandang yang digunakan petani padi metode SRI di Desa Cipeuyeum rata–rata 467,65 kg atau sebesar 1805,07 kg jika telah dikonversikan kedalam luasan satu hektar. Pemupukan kedua atau susulan diberikan setelah kegiatan penyiangan pertama yaitu pada saat tanaman berumur 15 HST, pupuk yang diberikan ialah pupuk kompos, kebutuhan pupuk kompos rata-rata 961,76 kg atau 3649,66 kg per luasan satu hektar.

Pemberian MOL pada metode SRI adalah pemberian cairan yang terbuat dari bahan–bahan alami yang disukai sebagai media hidup dan berkembangnya mikro organisme yang bertujuan untuk mempercepat penghancuran bahan–bahan organik dan sebagai aktivator atau tambahan nutrisi bagi tanaman padi.

Petani padi SRI di Desa Cipeuyeum mengaplikasikan MOL sebagai campuran dalam pembuatan kompos (aktivator) dan juga dalam bentuk cairan yang pengaplikasiannya dilakukan penyemprotan dengan menggunakan

handsprayer. MOL biasanya dinamakan sesuai dengan bahan dasar pembuatannya

dengan berbagai fungsi yang berbeda–beda, seperti MOL brenuk berfungsi sebagai penambah unsur nitrogen, MOL rebung berfungsi sebagai zat peninggi tanaman, MOL bonggol pisang berfungsi sebagai konsumsi perbanyakan anakan (unsur KCL) dan lainnya. MOL tidak memiliki efek samping yang menyebabkan overdosis pada tanaman terutama padi. Sehingga dalam pemberiannya terhadap tanaman padi dapat disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan kemampuan petani itu sendiri.

Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan MOL pertengki sprayer yaitu 440 cc cairan MOL di campur dengan 14 liter air tawar, namun petani di Desa Cipeuyeum biasanya menggunakan campuran air sebanyak 14-17 liter, dengan cairan MOL yang juga diberi bahan–bahan penambah lainnya seperti contohnya MOL brenuk (buah maja) yang bahannya adalah pencampuran dari air beras, urin kelinci dan air kelapa. Rata–rata kebutuhan MOL yang digunakan petani padi SRI 54

71 di Desa Cipeuyeum adalah sebanyak 31,59 liter atau 105,61 liter per luasan hektar dan kegiatan penyemprotan MOL biasanya dilakukan pada umur tanaman sebagai berikut: 10 HST, 20 HST, 30 HST, 40 HST, 50 HST, 60 HST dan 70 HST. Adapun cara pembuatan MOL yang biasa dilakukan di Desa Cipeuyeum dapat dilihat pada Lampiran 2. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pemupukan pada usahatani SRI lebih sering frekuensinya dibandingkan usahatani padi konvensional.

Pemupukan yang diberikan kepada padi metode konvensional di Desa Cipeuyeum biasanya sampai dua kali pemupukan dalam satu musim tanam. Pupuk yang digunakan ialah pupuk buatan pabrik yaitu urea, TSP dan KCL namun terdapat pula petani yang menggunakan pupuk Ponska. Dosis yang dianjurkan pemerintah untuk pemupukan per hektar adalah 200–300 kg Urea, 100 kg TSP dan 50 kg KCL. Sedangkan petani padi konvensional di Desa Cipeuyeum menggunakan pupuk kimia dengan rata–rata kebutuhan pupuk urea sebanyak 151,81 kg per hektar, TSP 190,70 kg per hektar dan KCL 31,68 kg per hektar, sedangkan petani padi konvensional lebih banyak dalam penggunaan pupuk majemuk yaitu Ponska dengan rata–rata kebutuhannya yaitu sebanyak 160,77 kg perhektar.

5.3.7. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit sangat penting dilakukan agar hasil produksi tidak menurun. Dalam pemberantasan hama dan penyakit, budidaya padi metode SRI berbeda dengan budidaya padi secara konvensional. Penggunaan obat–obatan anorganik seperti pestisida kimia buatan pabrik merupakan pengendalian kimiawi yang biasa dilakukan petani padi konvensional. Cara ini dianggap paling efektif untuk mengendalikan hama dan penyakit karena mengandung racun yang langsung kontak dengan hama atau meracuni hama secara sistemik.

Berbeda dengan petani padi konvensional, petani padi metode SRI menggunakan pestisida nabati yang ramah lingkungan. Biasanya pestisida nabati dibuat sendiri oleh petani sama halnya pembuatan MOL. Bahkan petani padi metode SRI di Desa Cipeuyeum tidak membedakan kedua jenis obat–obatan tersebut, sehingga dalam pengaplikasiannya sering disatukan di dalam satu tengki 55

72 sprayer. Bahan–bahan yang digunakan petani untuk pestisida nabati diperoleh dari bahan–bahan yang terdapat di lingkungan sekitar yang telah diketahui efektif dalam pengendalian hama dan penyakit pada padi.

Bahan–bahan alami yang terdapat di lingkungan Desa Cipeuyeum dan biasanya dapat dijadikan cairan pestisida alami antara lain daun sirsak, gadung, tembakau dan nimba, bahan- bahan tersebut dapat dijadikan insektisida. Bahan– bahan alami yang berfungsi sebagai fungisida antara lain mindi dan lada, sedangkan untuk bakterisidanya menggunakan buah picung serta sebagai perekat dapat digunakan buah labu.

Pengendalian hama dan penyakit secara teknik budidaya merupakan pengendalian secara tidak langsung yang biasa dilakukan oleh petani padi SRI dan petani padi konvensional. Kegiatan ini dilakukan petani melalui pemeliharaan pematang sawah dan penyiangan gulma. Sehingga diharapkan tidak tidak ada tempat bagi hama atau patogen lain yang hinggap dan berkembang biak di tempat–tempat tersebut.

Selain kedua pengendalian tersebut biasanya petani juga melakukan pengendalian secara fisik yaitu dengan cara mengumpulkan hama dari pertanaman padi, adapun pengendalian secara fisik yang hanya dilakukan oleh petani padi SRI ialah dengan sistem perangkap, biasanya petani menanam tanaman genjer di sekeliling pematang sawah, sehingga jika ada serangan keong tidak ke tanaman padi namun lebih dahulu menyerang tanaman genjer.

Pengendalian hama lainnya yang hanya dilakukan oleh petani padi SRI adalah secara biologis dengan menggunakan predator alami yaitu telur trichogama dengan sistem perangkap. Pengendalian ini dilakukan dengan cara telur serangga dimasukan ke dalam botol bekas air mineral yang telah diberi terasi, telur ini nantinya berkembang dan akan memakan predator merugikan yang terperangkap kedalam botol. Pengendalian ini dilakukan pada umur padi 20–30 hari pada saat tanaman padi berbunga (fase generatif) dan dalam satu hektar sawah biasanya perangkap ini disebar sekitar 20 botol, sehingga hama sejenis walang sangit dapat dikendalikan.

Pengendalian hama dan penyakit antara budidaya padi SRI dan konvensional menunjukkan perbedaan. Kegiatan pengendalian dan pencegahan 56

73 pada budidaya padi SRI relatif lebih banyak dan sering dibandingkan dengan pengendalian pada konvensional yang hanya dilakukan jika ada serangan hama atau penyakit dengan pestisida kimia, bahkan tidak hanya hama sasaran yang musnah, organisme lainnya yang bukan sasaran seperti serangga, kupu-kupu dan sebagainya ikut musnah.

5.3.8. Pengairan Sawah

Kebutuhan air di Desa Cipeuyeum untuk kegiatan usahatani padi pada umumnya tercukupi dengan adanya irigasi yang bersumber dari sungai Cihea. Pengelolaan air irigasi untuk usahatani padi SRI tidak dipungut biaya dikarenakan pengaturan dan pemeliharaannya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sekitar. Namun pengairan yang dilakukan oleh petani padi SRI berbeda dengan petani padi konvensional. Dalam metode konvensional biasanya padi selalu tergenang dari awal penanaman sampai panen, sedangkan metode SRI pengairan dilakukan secara berselang (intermitten). Sehingga padi tidak selalu tergenang oleh air, karena pada dasarnya padi bukanlah tanaman air tetapi tanaman yang butuh air.

Pengairan yang dilakukan oleh petani padi metode SRI adalah pada saat penanam (tandur) lahan dalam kondisi tidak terlalu tergenang (macak–macak), hal ini berguna dalam mengoptimalkan pertumbuhan akar. Kemudian pada umur padi 7–10 hari hingga umur 45–50 kondisi lahan tetap macak–macak terkecuali jika akan dilakukan penyiangan kondisi lahan harus tergenang, hal ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan agar tanah lebih berstruktur. Pada umur padi 45–50 ialah fase generatif yaitu pada saat padi akan berbunga, keadaan lahan pada kondisi ini dikeringkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga tunas atau anakan agar tidak terus menerus menumbuhkan anakan yang tidak produktif. Setelah itu pada saat umur padi 60 hari kondisi lahan kembali macak–macak hingga dalam waktu seminggu menjelang panen kondisi air dikeringkan, hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak tumbuh tunas tersier yang akan mengganggu pemasakan bulir.

Kegiatan pengaturan pengairan pada usahatani padi SRI dilakukan secara terus menerus hingga panen, berbeda halnya dengan kegiatan pengairan yang dilakukan pada budidaya padi konvensional yang tidak ada pengaturan air. Hal ini 57

74 menunjukkan kegiatan pengairan sawah usahatani padi SRI lebih banyak daripada kegiatan padi konvensional.

5.3.9. Panen dan Pasca Panen

Hasil panen merupakan indikasi keberhasilan suatu budidaya. Oleh karena itu penanganan pada saat sebelum panen, panen dan pasca panen perlu diperhatikan. Pemanenan padi harus dilakukan pada waktu yang tepat karena akan berpengaruh terhadap kualitas gabah. Panen dapat dilakukan setelah bulir padi sebagian besar telah menguning (90 %) dan bernas.

Cara pemanenan yang dilakukan petani masih menggunakan tahapan dan

Dokumen terkait