• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulat sutera adalah sejenis serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu-kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola yang sudah mengalami metamorphosis sempurna, dimana dalam siklus hidupnya melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (ulat), pupa dan ngengat atau yang lebih dikenal sebagai kupu-kupu. Selama proses metamorphosis, stadia larva atau ulat adalah satu-satunya masa dimana ulat makan, sehingga stadia larva merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur.

Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut: Phyllum : Arthropoda.

Kelas : Insecta. Ordo : Lepidoptera. Familia : Bombycidae. Genus : Bombyx.

Spesies : Bombyx mori L. 2.2.2. Siklus Hidup Ulat Sutera

Telur ulat yang menetas akan menghasilkan larva yang memiliki warna tubuh yang gelap. Panjang ulat yang baru menetas sekitar 3 mm. Setelah satu hari,

16 panjang tubuh menjadi 7 mm dan permukaan kulit mengkilap. Pada umur 2 hari, seta yang ada di permukaan tubuh akan menjadi kurang jelas dan ulat akan berhenti makan sekitar 24 jam lalu berganti kulit atau ekdisis.

Dalam satu siklus hidup stadia larva akan mengalami 4 kali pergantian kulit, sehingga akan terdapat 5 periode makan atau biasa disebut instar. Masa pergantian kulit biasanya akan sama pada berbagai galur tetapi panjangnya masa makan berbeda. Ketika larva telah berkembang penuh dan berhenti makan, kulit larva menjadi transparan. Larva yang telah matang kemudian diletakkan pada alat pengokonan untuk proses mengokon. Setelah 2 hari, larva berhenti mengeluarkan serat sutera dan 24 jam kemudian larva berubah menjadi pupa. Proses keluarnya kupu-kupu dewasa dari pupa berlangsung sekitar 8 hari. Jika dihitung, waktu pemeliharaan instar I-III menghabiskan kurang lebih 12 hari dan waktu pemeliharaan instar IV-V membutuhkan 13 hari, sehingga dalam satu kali musim pemeliharaan mulai dari telur menetas hingga menjadi kokon membutuhkan waktu 25 hari.

2.2.3. Kondisi Lingkungan

Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di lokasi pemeliharaan, yaitu suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara, aliran udara, dan cahaya. Kondisi iklim tempat pemeliharaan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas kokon yang dihasilkan. Pada masing-masing masa makan atau instar, kondisi iklim untuk menghasilkan pertumbuhan ulat yang maksimal akan berbeda. Pada umumnya, kondisi suhu yang cocok untuk pemeliharaan ulat sutera adalah diantara 200-300 C dan kelembaban udara yang tinggi.

Tabel 7. Suhu dan Kelembaban Nisbi Optimum pada Setiap Periode Pertumbuhan

Ulat Sutera

Periode Pertumbuhan Suhu Optimum Kelembaban Nisbi Optimum

Instar I 270-290C 90%

Instar II 260C 85%

Instar III 250C 80%

Instar IV 240C 70% -75%

Instar V 220-230C 60% - 65%

17 Secara umum, untuk periode pertumbuhan awal ulat sutera membutuhkan suhu udara dan kelembaban nisbi yang tinggi sebagai syarat pertumbuhan optimum. Semakin bertambahnya waktu pemeliharaan, suhu dan kelembaban nisbi yang dibutuhkan semakin rendah untuk mencapai hasil yang optimum.

Selain suhu dan kelembaban nisbi, kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga ditetapkan oleh kesegaran udara dan tingkat pergantian udara. Bila ventilasi baik, maka kisaran suhu dan kelembaban nisbi yang dapat ditahan menjadi semakin luas. Meskipun udara panas dan lembab namun bila ventilasi tempat pemeliharaan baik, kepadatan dapat dikurangi dan evaporasi air dari tubuh ulat dapat ditingkatkan, sehingga ulat mendapat kesejukan (Atmosoedarjo et al, 2000). Di daerah tropis seringkali suhu udara lebih tinggi dari suhu yang dianjurkan. Penanaman pohon-pohonan di sekitar rumah pemeliharaan, untuk mengurangi panas yang dipancarkan oleh lahan terbuka dan mengusahakan masuknya udara ke dalam rumah pemeliharaan, adalah baik untuk menurunkan suhu (Ohtsuki, 1987 dalam Atmosoedarjo et al, 2000).

Teknik pemeliharaan dan perlakuan ulat sutera secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori, pada kategori satu adalah pemeliharaan ulat dari instar I sampai IV dan pada kategori dua meliputi pemeliharaan ulat untuk instar V. Sampai instar IV titik berat pemeliharaan ulat ditekankan pada kesehatan ulat sutera, untuk itu lingkungan yang sehat harus diperhatikan. Selama instar V perlu diberikan prioritas pada peningkatan kualitas kokon dan efisiensi mengokon serta penggunaan tenaga kerja yang ekonomis.

2.2.4. Ruang Pemeliharaan dan Peralatan

Di negara tropis suhu udara umumnya berada pada kisaran yang cocok untuk pemeliharaan ulat sutera. Di berbagai daerah terdapat musim hujan dan musim kemarau dengan batas waktu yang jelas. Namun di daerah tropis muncul berbagai hama seperti semut, tikus dan lalat. Karena itu ruang pemeliharaan harus menggunakan atap yang memadai untuk memberi perlindungan terhadap hujan dan teriknya cahaya matahari dan perlu pula pembagian ruangan serta untuk mengatasi suhu yang terlalu tinggi perlu ada fasilitas untuk menurunkan suhu dan mengatur ventilasi.

18 2.2.5. Pemeliharaan Ulat Sutera

Pemeliharaan ulat sutera membutuhkan perencanaan awal. Perencanaan yang perlu dilakukan adalah jumlah musim pemeliharaan dalam satu tahun, waktu memulai pemeliharaan, dan proporsi waktu untuk pemeliharaan tiap musim berdasarkan luas kebun murbei, fasilitas-fasilitas pemeliharaan yang dimiliki, peralatan dan tenaga kerja yang ada.

Pada umumnya jumlah box telur digunakan sebagai unit untuk menyatakan skala pemeliharaan. Satu box berisi 20.000 butir telur dengan berat 10,6-12,8 gram. Hasil kokon yang diharapkan dari satu box telur adalah 27-33 Kg untuk varietas bivoltin, sedangkan untuk varietas Candiroto, satu box berisi 25.000 telur dengan hasil kokon diharapkan 40 Kg.

Secara teoritis daerah tropis dimungkinkan untuk pemeliharaan ulat sutera sepanjang tahun. Akan tetapi musim pemeliharaan yang memadai dan berpotensi menghasilkan output yang maksimal terbatas. Di Indonesia, waktu pemeliharaan ulat sutera yang paling baik adalah bulan November hingga Agustus tahun berikutnya dengan menghindari musim kemarau pada waktu nilai gizi dari daun murbei rendah.

Setiap panen setelah satu musim pemeliharaan, ruangan pemeliharaan, peralatan dan lingkungan sekitar akan terkontaminasi bibit-bibit penyakit ulat sutera. Sebelum memulai musim berikutnya, dilakukan kegiatan desinfeksi secara menyeluruh dan intensif. Desinfeksi dilakukan dengan penyemprotan, atau menyelupkan peralatan dalam larutan 2 persen formalin atau kaporit untuk membasmi bibit-bibit penyakit, virus, bakteri, dan cendawan.

Pemeliharaan ulat sutera sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu pemeliharaan ulat kecil dan pemeliharaan ulat besar. Perbedaan mendasar dalam jenis pemeliharaan berdasarkan ukuran ulat adalah kondisi dalam ruangan, pemilihan dan pemberian pakan daun murbei, serta pemeliharaan dan perlakuan. Pada pemeliharaan ulat kecil, membutuhkan suhu dan kelembaban nisbi yang tinggi di dalam ruangan. Pemberian pakan yang berkualitas dengan metode rajang sangat cocok untuk perkembangan ulat kecil. Jumlah pakan yang diberikan pada masing-masing periode pertumbuhan ulat kecil terus meningkat. Pada permulaan

19 setiap instar nafsu makan ulat tidak begitu tinggi, tetapi akan meningkat dalam pertumbuhan selanjutnya dan kemudian menurun lagi pada akhir setiap instar.

Pemeliharaan ulat besar dimulai pada instar IV dan V. Pada pemeliharaan ulat besar, khususnya ulat instar IV, pemeliharaan dititikberatkan kepada pemeliharaan lingkungan yang bebas penyakit dengan suhu dan kelembaban nisbi yang cocok, cukup pakan murbei segar dan bergizi tinggi. Pada pemeliharaan ulat instar V, suhu dan kelembaban nisbi harus dikurangi, karena ulat pada instar V tidak tahan terhadap suhu dan kelembaban nisbi yang tinggi serta peredaran udara yang buruk. Pada fase ini nafsu makan ulat sangat tinggi karena itu perlu ada ventilasi yang baik agar suhu badan dapat diturunkan. Keadaan lingkungan yang memadai akan membuat produksi kokon yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik secara ekonomi.

2.2.6. Pengokonan dan Panen Kokon

Pengokonan dan panen kokon adalah tahap akhir dalam pemeliharaan ulat sutera. Kualitas filament kokon sangat dipengaruhi oleh setiap tahapan dalam pemeliharaan ulat sutera. Ciri-ciri ulat sutera yang akan memasuki masa pengokonan diantaranya, badan ulat sedikit berkurang besarnya, kotoran menjadi lunak, ulat berhenti makan dan mulai berputar-putar dengan mengangkat kepala dan badannya. Karena geotropism negatif, ulat-ulat mulai naik vertikal. Pada fase ini bagian badan ulat mulai tampak agak transparan.

Tabel 8. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Berat Kokon

No. Berat Kokon (Gram) Klasifikasi

1. 2. 3. 4. > 2 1,5 – 1,9 1 – 1,4 < 0,9 A B C D Sumber: Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi Selatan, 2000

Tingkat kualitas filament yang dihasilkan dalam proses pengokonan dipengaruhi oleh umur ulat ketika mengokon. Bila pengokonan dilakukan pada sesaat sebelum dewasa, atau lewat matang, maka daya pintal (yaitu mudahnya filament kokon terurai pada saat pemintalan) menjadi kurang dan panjang filament yang didapat akan berkurang juga (Atmosoedarjo el al, 2000).

20 Ulat yang akan melakukan pengokonan, mula-mula mulai berputar-mutar mencari tempat mengokon yang baik di tempat pengokonan yang telah disediakan dan kemudian menetap di tempat yang telah dipilihnya. Beberapa waktu kemudian ulat akan membuat lapisan kokon yang tipis. Ulat yang akan mengeluarkan kokon akan melakukan buang air besar dan kencing untuk terakhir kali.

Material dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filament, serta terhadap tenaga kerja untuk pengokonan dan panen kokon. Tempat pengokonan yang baik harus memiliki syarat-syarat utama, diantaranya kekuatan, struktur yang cocok untuk mengokon, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokon dan kemudahan dalam panen kokon. Tempat pengokonan dapat berbentuk bambu spiral, tempat yang berputar, tempat yang berombak, dan yang terbuat dari plastik.

Kondisi iklim selama pengokonan sangat mempengaruhi kualitas filament kokon yang dihasilkan, terutama pada kualitas pemintalan. Suhu udara yang baik berkisar antara 230-250C, kelembaban nisbi 60 persen-75 persen, sirkulasi udara 0,2-1 m/s, dan cahaya yang remang-remang dengan intensitas 10-20 lux.

Tabel 9. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Persentase Kulit Kokon

No. Persentase Kulit Kokon Klasifikasi

1. 2. 3. 4. > 25% 20 – 24,9% 15 – 19,9% < 14,9% A B C D Sumber: Balai Penelitian Kehutanan Sulewesi Selatan, 2000

Pemanenan kokon sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim. Bila suhu lingkungan berada diantara 240-270C, maka pada hari ke-6 dan ke-7 sesudah ulat mulai mengokon, kokon yang dihasilkan sudah dapat dipanen. Setelah proses pengokonan dan pemanenan berlangsung, tempat pemeliharaan akan tertutup oleh sisa-sisa tunas murbei, kotoran ulat sutera, dan sampah lain. Sampah ini merupakan bahan yang bermanfaat sebagai pupuk organik untuk kebun murbei,

21 namun bila tidak dibersihkan akan menjadi sumber penyakit dan hama bagi ulat sutera periode pemeliharaan selanjutnya.

Dokumen terkait