• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bukti Sumpah

Dalam dokumen Macam macam Alat Bukti yang Dapat Diajuk (Halaman 37-47)

11 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, HUKUM ACARA PERDATA dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 80-84

Sumpah diatur dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan pasal 177 HIR; pasal 182-185, dan 314 RBg; 1929-1945 BW. Sumpah sendiri tidak dijelaskan definisinya dalam HIR. Namun, doktrin mengatakan bahwa sumpah berarti suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.12 Menurut Retnowulan Sutantio, sumpah adalah keterangan yang benar, dan bahwa orang yang disumpah tidak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar. Pasal 177 HIR menyatakan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah tersebut.13

Yang disumpah adalah salah satu pihak, penggugat atau tergugat, oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri. Ada 2 macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim (Sumpah Suppletoir) atau Sumpah Penambah dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan (Sumpah Decissoir) atau Sumpah Pemutus.

A. Sumpah yang Dibebankan oleh Hakim atau Sumpah Penambah Pasal 155

12

Fauzan, Loc Cit diakses dari http://fauzanjauhari.blogspot.com/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html ,

13 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, HUKUM ACARA PERDATA dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 85.

(1) Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak cukup terang, akan tetapi ada juga kebenarannya, dan sekali-kali tidak ada jalan lagi akan menguatkannya dengan upaya keterangan-keterangan yang lain, maka ketua pengadilan negeri dapat karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah, baik oleh karena itu untuk memutuskan perkara itu atau untuk menentukan jumlah uang yang akan diperkenankan.

(2) Dalam hal yang terakhir itu ketua pengadilan negeri menentukan jumlah uang hingga jumlah mana penggugat dapat dipercaya atas sumpahnya.

Pada ayat (1) dijelaskan bahwa sumpah penambah terlebih dahulu harus suda hada bukti, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna, sehingga perlu ditambah dengan bukti yang lain. Sedang untuk mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan kata lain bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain. Oleh karena sumpah itu adalah untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed).

Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang tela hada, tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah.

Dalam praktek adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang tela hada dan belum cukup itu dengan sumpah penambah, melainkan hanya hakim sendiri, yang tanpa ada permintaan dari pihak yang bersangkutan, karena jabatan, akan memerintahkan sumpah tersebut. Sumpah penambah dapat dibebankan kepada penggugat atau tergugat.

Menurut Retnowulan Sutantio, tidaklah tepat perkataan pengadilan negeri yang diuraikan dalam pasal 155 HIR tersebut, karena dalam taraf pemeriksaan banding apabila dianggap perlu masih dapat dibebankan suatu sumpah penambah kepada pihak-pihak, Ada kemungkinan, bahwa untuk meneguhkan baik penggugat maupun tergugat adalah anak angkat almarhum, kepada kedua belah pihak masing-masing dibebankan sumpah penambah, yang satu oleh Pengadilan Negeri dan yang lainnya atas perintah Pengadilan Tinggi dalam taraf banding.

Apabila hakim akan menambah bukti tersebut dengan suatu penambah, maka dibuatlah suatu putusan sela, lengkap dengan pertimbangannya,.yang memuat alasan sebabnya sumpah penambah tersebut diperlukan. Perkataan “tidak ada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan lain” sering diartikan “apabila hakim putus asa dalam mencari bukti lain.”

Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah. Oleh karena tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak akan memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak gugatan tersebut. Dalam taraf, pemeriksaan banding, apabila hakim banding berpendapat lain: Pengadilan Tinggi leluasa, untuk memerintahkan sumpah penambah tersebut. Ada kemungkinan bahwa hakim Pengadilan Negeri telah memerintahkan kepada pihak tergugat untuk melakukan sumpah penambah, akan tetapi hakim Pengadilan Tinggi berpendapat lain dan justru pihak penggugat yang dibebani sumpah. Pernah pula terjadi bahwa berdasarkan sumpah penambah menolak gugat penggugat, kemudian putusan tersebut dibatalkan dan Pengadilan

Tinggi yang menganggap bahwa dalil-dalil yang menjadi dasar gugat telah cukup terbukti, lalu mengabulkan gugat penggugat.14

Dalam hal orang yang dibebani sumpah penambah enggan untuk melakukannya atau belum sempat melakukan sumpah, lalu wafat, karena dalil gugatannya belum terbukti, ia harus dikalahkan. Jika yang dibebani sumpah, telah menyatakan kesediaannya untuk disumpah guna melengkapi bukti-bukti yang telah ada, namun hanya karena ia wafat, tidak sempat lagi untuk menambah bukti tersebut. Maka hakim harus mempertimbangkan adanya “kesanggupan” tersebut, hal mana dapat dianggap sebagai persangkaan hakim, bahwa fakta yang hendak dikuatkan oleh sumpah tersebut benar-benar ada atau pernah terjadi. Oleh karena bukti yang tela hada dan belum lengkap itu, telah ditambah dengan satu persangkaan hakim lagi, maka pihak yang telah sanggup itu dapat dimenangkan. Berbeda dengan sumpah pemutus, sumpah penambah ini tidak boleh dikembalikan kepada lawannya.

Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah Aestimatoir Eed

atau Waarderingseed (penaksiran) yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang tertentu yang disengketakan. Hal ini diatur dalam pasal 155 ayat (2) HIR. Sumpah ini dibebankan kepada pihak penggugat. Dalam istilah penggugat termasuk penggugat dalam gugat balasan, ialah penggugat dalam rekonpensi.15

B. Sumpah yang Dimohonkan oleh Pihak Lawan

Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus atau juga disebut sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan. Oleh karena itu,

14 Ibid. hal. 86-88

15 Fauzan. Loc.Cit, http://fauzanjauhari.blogspot.com/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html

maka sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu, sumpah yang menentukan.

Pasal 156

(1) Bahkan jika sekalipun tidak ada keterangan untuk memperkuat gugatan atau lawanan atas gugatan, satu pihak meminta supaya pihak lain disumpah di hadapan hakim, agar membuat keputusan bergantung dari pada itu, asal saja sumpah itu tentang satu perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, dari pada sumpahnyalah keputusan itu akan bergantung.

(2) Jika perbuatan itu, satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka ia, yang tidak mau bersumpah itu, dapat menolak sumpah itu kepada lawannya.

(3) Barang siapa disuruh bersumpah, tetapi ia enggan bersumpah atau. menolak sumpah itu kepada lawannya, ataupun barang siapa menyuruh bersumpah, tetapi sumpah itu ditolak kepadanya dan ia enggan bersumpah, maka ia akan dikalahkan.

Apabila tentang yang diperselisihkan tidak dapat dimajukan bukti apapun juga, maka salah satu pihak dapat memohon kepada hakim, agar pihak lawannya disumpah, untuk menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan.

Jadi dalam hal ini berbeda dengan suatu sumpah penambah, ada tidaknya sumpah pemutus diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang bersengketa, apakah mereka atau salah seorang dari mereka akan mempergunakan alat bukti yang menentukan ini atau tidak. Apabila pihak yang dalilnya yang menjadi dasar gugat disangkal oleh pihak lawan, dan tidak dapat mengajukan sesuatu bukti untuk meneguhkan dalil tersebut, sudah barang tentu perkara pihak tersebut akan kalah perkara, gugat yang diajukan olehnya ditolak. Hukum masih memberikan kemungkinan kepadanya, untuk

toh bisa memenangkan perkara tersebut, yaitu dengan mempergunakan semata terakhirnya yang berupa sumpah pemutus.

Sumpah pemutus ini dapat diumpamakan sebagai pedang bermata dua yang tajam sekali, harus hati-hati bagi yang mempergunakannya karena akan menimbulkan suatu akibat yang berupa kemenangan atau sebaliknya, yaitu suatu kekalahan total.

Apabila salah satu pihak memiliki bukti misalnya, seorang saksi atau surat biasa yang tidak cukup membuktikan dalil atau apabila suatu lawan memiliki akta otentik misalnya akta PPAT sebagai bukti yang sempurna, maka sumpah pemutus tidak dapat dipergunakan untuk memenangkan perkara. Karena, dibuatnya akta otentik dihadapan ataupun oleh pejabat yang berwenang untuk itu, yang sebelum ia memangku jabatannya itu telah disumpah, telah terbukti bahwa yang bersangkutan menarik “pengakuan yang telah terbukti” itu; sedangkan ”pengakuan yang telah terbukti berkedudukan sebagai bukti yang tidak dapat diganggu gugat itu

Sumpah pemutus apabila menyangkut perjanjian timbal balik bisa dikembalikan, artinya bahwa pihak tergugat misalnya yang dimintakan agar ia bersumpah, mengembalikan sumpah tersebut dengan mengatakan bahwa pihak penggugat sajalah yang disumpah. Dalam persoalan pinjam-meminjam (utang-piutang) misalnya, yang dilakukan oleh kedua pihak atas dasar saling mempercayai, sehingga tidak dibuat suatu surat perjanjian, atau tidak pula dibuat suatu tanda penerimaan uang, hanya uang tersebut di atas telah diserahkan begitu saja tanpa disaksikan oleh orang lain, atau kebetulan ada yang melihat, akan tetapi, yang melihat atau menyaksikan penyerahan uang dan mendengar tentang permohonan meminjam uang itu, adalah isteri dan anak penggugat, yang dapat didengar sebagai saksi, maka kalau dalil penggugat disangkal oleh tergugat yang menyatakan, bahwa ia tidak pernah meminjam uang tersebut diatas dari penggugat, maka penggugat dapat meminta kepada hakim di depan sidang, agar tergugat disumpah. Adapun

lafas sumpahnya berbunyi sebagai berikut: “Saya bersumpah, bahwa saya tidak merasa meminjam uang sebesar Rp. 100.000,- dari penggugat” atau lebih lengkap lagi dengan menyebut tanggal peminjaman dan sebagainya. Kalau sumpah ini dikembalikan kepada penguggat, dan tergugat meminta penggugat saja yang disumpah maka bunyi sumpahnya sebagai berikut: “Saya bersumpah bahwa betul saya telah meminjamkan uang sebesar Rp. 100.000,-kepada tergugat”

Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan perkara, bukan hanya sewaktu diperiksa oleh Pengadilan Negeri saja akan tetapi juga apabila sedang berada pada taraf banding di Pengadilan Tinggi. Selain itu, sumpah pemutus dapat diminta meskipun tidak ada bukti sama sekali. Oleh Prof. R. Subekti S.H yang telah dikutip oleh Ny. Retnowulan Sutantio menyatakan bahwa mengenai sumpah pemutus ini merupakan “senjata pamungkas” (artinya senjata terakhir) bagi suatu pihak yang tidak memajukan suatu pembuktian. Kalau pihak lawan berani bersumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah. Jadi yang dilepaskan adalah suatu hak, oleh karena itu sudah barang tentu hak yang dapat dilepaskan, hanyalah hak yang berada dalam kekuasaannya untuk dilepaskan, misalnya hak untuk menagih utang, untuk mendapatkan barang dan sebagainya (hak untuk menang).

Apabila mengenai persoalan yang menyangkut ada atau tidak adanya perzinahan atau betul tidaknya seorang adalah bapak dari bayi yang sedang dikandung, sumpah pemutus tidak dapat dimohonkan. Karena hal tersebut tidak litis decisoir, dan harus ditolak. Litis Decisoir maksudnya sumpah tersebut dapat memutuskan perkara, sehingga harus benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan.

Maksud dijatuhkannya sumpah pemutus adalah untuk mengakhiri perkara, jadi jikalau maksud tersebut tidak akan tercapai dengan pembebanan sumpah termaksud, maka permohonan agar pihak lawan disumpah, tidak

dikabulkan. Perihal penentuan apakah suatu sumpah itu litis decisoir atau tidak, merupakan persoalan hukum, dan bukan saja dalam taraf banding, akan tetapi juga dalam taraf kasasi. Mahkamah Agung berhak untuk menilai kembali, apakah sumpah tersebut litis decisoir atau tidak. 16

Untuk lebih jelasnya kami membuatkan tabel tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;

Sumpah

Decissoir Suppletoir

- Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan

- Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;

- Dapat dikembalikan;

- Dilakukan dalam tiap keadaan.

- Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak);

- Merupakan alat bukti tambahan; - Tidak dapat dikembalikan;

- Hanya dilakukan apabila telah ada bukti permulaan bukti.17

Pasal 157 HIR membuka kemungkinan dengan memberikan izin kepada salah satu pihak untuk bersumpah melalui seorang wakilnya yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah, baik berupa sumpah penambah yang diperintahkan oleh hakim, maupun sumpah pemutus yang diminta atau uang dikembalikan oleh pihak lawan, asalkan kuasa yang memberikannya itu dilakukan dengan akta otentik yang menyebutkan dengan seksama tentang sumpah yang akan diangkatnya itu.

Menurut ketentuan pasal 158 ayat (1) HIR tentang hal mengangkat sumpah itu selalu dilakukan dalam persidangan Pengadilan Negeri, kecuali jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang syah. Dalam hal sumpah pemutus yang diminta oleh salah satu pihak agar lawannya yang ditunjuk sehubungan dengan kepercayaan yang dianutnya, misalnya: di Masjid, Gereja, Vihara, atau Kelenteng,

16 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Op Cit, hal. 89-93.

17 Fauzan. Loc.Cit, http://fauzanjauhari.blogspot.com/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html

maka sumpah dilakukan di tempat yang ditunjuk tersebut. Panitera pengadilan membuat berita acara tentang hal itu, sedang biaya yang timbul sehubungan upacara sumpah tersebut ditanggung oleh pihak yang kalah perkara.

Ayat (2) Pasal 158 HIR menentukan, bahwa baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus, pengangkatan sumpahnya hanya boleh diambil di hadapan pihak lawannya atau sesudah pihak lawan itu dipanggil dengan patut dalam hal ia tidak hadir. Hal ini dilakukan karena sifat sumpah yang demikian penting, dengan maksud agar pihak lawan mengetahui bahwa sumpah tersebut benar-benar dilakukan.18

Bab. IV Penutup Kesimpulan

Alat pembuktian yang diakui dalam Hukum Acara Perdata terdiri dari, Bukti Surat, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Keempat alat bukti tersebut dapat diajukan sebagai pembuktian untuk membuktikan dalil dalam gugat-ginugat.

Alat Bukti Surat dan Bukti Saksi merupakan bukti yang paling kuat, karena bukti tersebut dapat berdiri sendiri dalam membuktikan suatu dalil. Seperti surat memang disengaja untuk dijadikan suatu bukti telah terjadi suatu peristiwa hukum dan saksi adalah orang yang mengamati, mendengar, dan melihat sendiri suatu peristiwa hukum.

Sedangkan, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah merupakan bukti yang harus didukung dengan bukti lain agar dalil tersebut dapat diakui benar.

Dalam dokumen Macam macam Alat Bukti yang Dapat Diajuk (Halaman 37-47)

Dokumen terkait