• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam macam Alat Bukti yang Dapat Diajuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Macam macam Alat Bukti yang Dapat Diajuk"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Bab. I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, banyak sekali perkara yang diajukan ke pengadilan, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Setiap perkara yang diajukan pastilah membutuhkan pembuktian untuk membuktikan sebuah dalil dalam hukum perdata atau kesalahan terdakwa dalam hukum pidana. Pembuktian tersebut nantinya akan menjadi kunci yang menentukan hasil dari pemeriksaan suatu peristiwa hukum.

Hukum Acara merupakan salah satu cabang hukum yang mempelajari tentang cara-cara beracara dalam persidangan. Termasuk juga mempelajari tentang bukti-bukti apa saja yang dapat diajukan dan berlaku dalam persidangan. Tentunya, pembuktian dalam Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acara Perdata berbeda.

Masyarakat pada umumnya sering tertukar dalam memahami macam-macam alat bukti yang berlaku pada Acara Pidana dan Acara Perdata dan menganggap sama saja tidak ada bedanya. Padahal sebetulnya alat bukti dalam Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana

(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP

Tulisan/Surat

Saksi-saksi

Persangkaan

Ket. Saksi

Ket. Ahli

(2)

Pengakuan

Sumpah

Petunjuk

Ket. Terdakwa1

Berdasarkan permasalahan tersebut, makalah kelompok kami diberi judul

Macam-macam Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas perlu kami berikan batasan, agar pembahasan makalah kelompok kami lebih mengerucut, yaitu :

1) Alat bukti apa yang dapat diajukan dalam persidangan perdata?

C. Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan makalah kami adalah:

1) Untuk mengetahui macam-macam alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan perdata.

(3)

Bab. II Tinjauan Pustaka A. Pengertian Alat Bukti

Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian:

1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

2. Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

 kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)

 kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

(4)

konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.2

B. Prinsip-prinsip Pembuktian

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh

(5)

pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :

1. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui 2. hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

3. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.3 Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"4

C. Teori-teori tentang Penilaian Pembuktian

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang

3 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, HUKUM ACARA PERDATA dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 58-59

(6)

saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :

1. Teori Pembuktian Bebas.

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

2. Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)

3. Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).5

D. Teori-teori tentang Beban Pembuktian

Seperti telah diuraikan sekilas diatas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

(7)

Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.

2. Teori hukum subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.

3. Teori hukum obyektif

Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.

4. Teori hukum publik

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

5. Teori hukum acara

Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

Bab. III Macam-macam Alat Bukti yang Dapat Diajukan dalam Persidangan Perdata

(8)

Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut. Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian alat bukti tulisan, antara lain:

1) Menurut A. Pitlo, “ alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran.

2) Menurut Sudikno Mertokusumo, “ alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. “

3) Menurut Teguh Samudera, “ surat adalah suatu pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda. “

4) Menurut H. Riduan Syahrani, “ alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dapat dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. “

(9)

tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat.

Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :

1. Akta

Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.

Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya. Dan dengan penandatanganan itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang dimaksud dengan penandatanganan ialah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi sesuatu surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal dengan waarmerking.

Ditinjau dari segi hukum pembuktian akta mempunyai beberapa fungsi,

a. Akta Berfungsi sebagai Formalitas Kausa

(10)

terjadi.Dalam hal ini dapat diambil contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-pasal 1681, 1682, 1683 KUHPerdata tentang cara menghibahkan ; 1945 KUHPerdata tentang sumpah di muka hakim, untuk akta otentik sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti dalam Pasal-pasal 1610 KUHPerdata tentang pemborongan kerja, 1767 KUHPerdata tentang meminjamkan uang dengan bunga, 1851 KUHPerdata tentang perdamaian. Jadi akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.

b. Akta Berfungsi sebagai Alat Bukti,

Fungsi utama akta ialah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat akta memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti.Dalam masyarakat sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk akta.Misalnya, dalam perjanjian jual-beli para pihak menuangkannya dalam bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian tersebut.Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk membuktikan kebenaran transaksi.

c. Akta Berfungsi sebagai Probationis Kausa,

(11)

jual-beli tertentu, tetapi dapat dibuktikan dengan keterangan saksi, persangkaan, pengakuan ataupun dengan sumpah, tidak harus dengan akta.

Akta ini dapat di bagi lagi ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.

a) akta otentik Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa :

akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.“

Definisi ini tidak berbeda jauh dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan:

suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Dari kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat ( acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai ( acte partij ).

(12)

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru sita, dan polisi. Sedangkan akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.

Untuk membuat akta partai ( acte partij ) pejabat tidak pernah memulai insiatif, sedangkan untuk membuat akta pejabat ( acte ambtelikj ) justru pejabatlah yang bertindak aktif, yaitu dengan insiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena itu, akta pejabat berisikan tidak lain daripada keterangan tertulis dari pejabat. Sedangkan dalam akta partai berisikan keterangan para pihak sendiri, yang dituangkan ( diformulasikan ) oleh pejabat ke dalam akta.

b) Akta di bawah tangan

Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No. 29, tidak dalam HIR.Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg.

Dalam Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :

dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum.

Pasal 1874 KUHPerdata, menyebutkan :

sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.

(13)

Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum.Misalnya, kuitansi, perjanjian sewamenyewa, dan sebagainya.

2. Tulisan bukan akta

Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.

2. Bukti Saksi-saksi

Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam pasal 169-172 HIR. Dalam hukum acara perdata saksi berada di urutan kedua sebagai alat bukti, sedangkan dalam hukum acara pidana saksi berada di urutan pertama. Hal ini dikarenakan dalam permasalahan perdata, orang selalu dengan sengaja membuat alat-alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu di kemudian hari. Misalnya orang yang memberikan pinjaman uang, akan meminta dibuatkan suatu perjanjian pinjam meminjam. Dengan demikian alat bukti yang tepat berada dalam urutan pertama dalam permasalahan perdata memang tulisan. Kemudian apabila tidak terdapat bukti tulisan, maka orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa tersebut dapat diajukan sebagai saksi.6

Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.

Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:

(14)

 Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.

 Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui, dan dialami sendiri.

 Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.

 Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.

 Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.

 Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu).

 Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.

Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut (Pasal 145 ayat (1) HIR):

 Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.

 Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.

(15)

 Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.

 Keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat didengar keterangannya dan tidak boleh ditolak dalam perkara-perkara mengenai kedudukan perdata antara kedua belah pihak.

Anak-anak yang belum dewasa dan orang gila dapat didengar keterangannya tanpa disumpah. Keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.

Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai saksi adalah sebagai berikut:

 Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.

 Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.

 Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia.7

3. Persangkaan

Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUH Perdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan

(16)

rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG.

Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBG adalah sebagai berikut:

Pasal 173 HIR:

Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.

Pasal 310 RBG:

Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.

Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).

Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah ”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti. Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui. Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk dipahami.

(17)

dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBG Pasal 310 dan pada KUH Perdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.

Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBG hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUH Perdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.

Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:

Pasal 1915

Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.

Ada dua macam persangkaan, yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.

Pasal 1916

Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.

Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:

(18)

2. Hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;

3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak;

4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

Pasal 1917

Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya.

Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.

Pasal 1918

Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seseorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 1919

Jika seseorang telah dibebaskan dari suatu kejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu di muka Hakim perdata tidak dapat dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan ganti rugi.

(19)

Putusan-putusan Hakim perihal kedudukan hukum orang-orang, yang mana putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.

Pasal 1921

Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut.

Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu pembuktian, jika berdasarkan persangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak mengurangi apa yang telah ditetapkan mengenai sumpah di muka Hakim dan pengakuan di muka Hakim.

Pasal 1922

Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan.8

Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat

(20)

terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur, berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati kepastian, yakni bahwa telah terjadi perzinahan.

Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui. Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.

Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan alat bukti atau fakta lain, sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain terlebih dahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBG dianggap kurang tepat.

(21)

kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X, sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat X, adalah merupakan persangkaan.

Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary), pelaksanaan pembuktian berada dalam keadaan ketidakmungkinan atau imposibilitas. Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian.

(22)

kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut.

Misalnya A menggugat B atas sebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli dan dibayar lunas, tetapi tidak mau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A mengajukan alat bukti akta jual beli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi. Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.

Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.

(23)

Baik di dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, di dalamnya tidak mengatur mengenai klasifikasi alat bukti Persangkaan. Akan tetapi, KUH Perdata mengatur klasifikasi bentuk dan jenis persangkaan. Hal ini diatur dan dijelaskan di dalam Pasal 1915 KUH Perdata. Yang mana Persangkaan itu dibagi menjadi dua, yakni: Persangkaan Undang-undang dan Persangkaan Hakim. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kedua persangkaan tersebut:

A. Persangkaan Undang-undang

Persangkaan undang-undang ada juga yang menyebut dengan sebutan persangkaan berdasarkan undang-undang, ada juga yang menterjemahkan dengan persangkaan menurut undang-undang. Terjemahan seperti itu berasal dari redaksi aslinya wettelijke vermoeden, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1915 ayat (2) dan Pasal 1916 ayat (1) KUH Perdata. Jika bertitik tolak dari rumusan asli tersebut menurut Yahya Harahap lebih tepat menyederhanakan istilah dan penulisannya dalam bahasa Indonesia cukup dengan persangkaan undang-undang. Oleh karena itu dapat disetujui apa yang dikemukakan oleh Subekti, yang hanya menyebut dengan persangkaan undang-undang saja.

(24)

diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak. Misalnya kekuatan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum mutlak tadi lebih dari sekedar soalnya putusan. Putusan hakim pidana dapat menjadi alat bukti dalam perkara perdata tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Persangkaan menurut Undang-undang disebut juga sebagai persangkaan hukum (rehtsvermoeden). Dalam penulisan sering juga disebut juga dengan presumptiones juris (presumption of law). Bentuk persangkaan undang-undang dibagi menjadi dua, yakni: persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah dan persangkaan undang-undang yang dapat dibantah.

a. Persangkaan Undang-undang yang Tidak Dapat Dibantah (irrebuttable presumption of law)

Bentuk persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah diatur dalam Pasal 1916 KUH Perdata. Hal ini digariskan dalam ayat (2) yang terdiri dari angka 1, 3, 4. Untuk mengetahui ciri atau sifat persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah dalam Common Law adalah sebagai berikut:

1) Pada ancaman pasal yang bersangkutan terdapat ancaman batal, batal demi hukum atau dianggap tidak ada

a) Perbuatan Batal (null)

Misalnya, Pasal 1323 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat berdasarkan paksaan (dwang) merupakan alasan batalnya perjanjian, berarti undang-undang sendiri menyimpulkan perjanjian batal.

b) Perbuatan Batal Demi Hukum (null and void)

(25)

c) Perbuatan Dianggap Tak Pernah Ada (never existed)

Misalnya, perjanjian milik beding dalam hipotek, oleh Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata ditegaskan segala janji yang memberi hak kepada kreditur (pemegang hipotek) memiliki barang objek hipotek adalah batal dalam arti klausul perjanjian itu dianggap tak pernah ada.

2) Pasal Undang-undang Memuat Larangan

Sebagai contoh, Pasal 1337 KUH Perdata, menegaskan setiap perjanjian harus berdasarkan kausa yang halal, dan suatu perjanjian dilarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Contih lain Pasal 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974, yakni melarang poligami tanpa persetujuan istri pertama dan tanpa izin dari pengadilan. Apabila larangan tersebut dilarang, mengakibatkan perbuatan tersebut batal demi hukum, dan hal tersebut disimpulkan berdasarkan persangkaan yang digariskan Pasal 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974.

Sebenarnya larangan tidak terlepas dari batal atau batal demi hukum. Itu sebabnya sulit membedakan antara keduanya. Pada dasarnya setiap yang dilarang pasti berakibat batal atau batal demi hukum. Begitu juga sebaliknya, setiap tindakan atau perbuatan yang batal atau batal demi hukum, dikarenakan melanggar aturan yang telah digariskan oleh undang-undang. Yang pokok apabila ditemukan ketentuan pasal undang-undang yang memuat larangan atau ancaman batal dalam ketentuan pasal undang-undang yang bersangkutan terkandung persangkaan undang-undang-undang-undang, sifat persangkaannya tidak dapat dibantah. Oleh karena sifatnya tidak dapat dibantah, kesimpulan yang ditarik dari persangkaan undang-undang itu:

a) Berwujud pembuktian yang pasti dan menentukan

(26)

c) Nilai kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah bersifat:

(1) Sempurna (volledig)

(2) Mengikat (bindende)

(3) Menentukan (beslissend)

3) Beberapa contoh persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah

a) Pasal 1152 KUH Perdata

Menurut pasal ini, objek barang gadai atas barang bergerak harus diserahkan (berpindah tangan) di bawah kekuasaan kreditur. Tidak sah atau batal hak gadai atas segala benda, apabila objek barang gadai itu tetap dibiarkan berada dalam kekuasaan debitur.

Berdasarkan ketentuan ini, apabila objek barang gadai tetap berada di bawah kekuasaan pemberi gadai atau dikembalikan pemegang gadai kepada pemberi gadai, perjanjian gadai dianggap atau disangka batal demi hukum. Atau bila objek barang gadai dikembalikan pemegang gadai kepada pemberi gadai, oleh undang-undang, perjanjian gadai dianggap telah telah berakhir. Anggapan ini merupakan persangkaan yang lahir atau disimpulkan dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata, dan sifat persangkaannya tidak dapat dibantah.

b) Pasal 1168 KUH Perdata

(27)

tersebut, dianggap batal demi hukum. Persangkaan yang lahir dari anggapan hukum yang digariskan Pasal 1168 KUH Perdata tersebut tidak dapat dibantah.

b. Persangkaan Menurut Undang-undang yang Dapat Dibantah (rebuttable presumption of law).

Persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah adalah hal-hal yang disebut pada angka 2 Pasal 1916 KUH Perdata.Yakni hal-hal yang oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hutang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh Pasal 633 KUH Perdata, yang bunyinya:

Setiap tembok yang dipakai sebagai batas antara bangunan tanah, tanaman dan kebun milik seseorang dengan orang lain harus dianggap sebagai tembok batas milik bersama, kecuali kiranya ada sesuatu alas hak atau tanda-tanda, yang menunjuk akan sebaliknya.

Di dalam ketentuan ini ditegaskan anggapan hukum, tembok yang terletak pada perbatasan antara dua orang atau lebih dari pemilik hak yang berbatasan dengan tembok itu dianggap milik bersama. Akan tetapi pada kalimat berikutnya anggapan hukum tersebut dapat dilawan atau dilumpuhkan. Dasar unntuk melawannya ditegaskan dalam kalimat yang berbunyi: kecuali ada sesuatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya.

1) Ciri Persangkaan Menurut Undang-undang yang Dapat Dibantah

Memperhatikan pasal-pasal yang telah dikemukakan di atas, sudah dapat dilihat bagaimana ciri persangkaan yang dapat dibantah. Ciri pokoknya dalam pasal tersebut adalah:

a) terdapat perkataan kecuali, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, dan

b) melainkan, melainkan dapat dibuktikan sebaliknya

(28)

seperti ciri di atas, maka perkataan dan kalimat tersebut menunjukkan ciri persangkaan hukum yang disebutkan di dalamnya adalah dapat dilawan.

2) Alat Perlawanan Persangkaan

Mengenai alat perlawanan persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah, telah ditegaskan dalam pasal-pasal yang telah dikemukakan di atas. Memperhatikan perkataan kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, berarti perlawanan terhadap persangkaan tersebut:

a) Dengan mempergunakan pembuktian apa yang telah disangkakan undang-undang sebagai kebenaran, dapat dilawan dan dilumpuhkan dengan pembuktian, bahwa apa yang disangkakan undang-undang tidaklah benar.

b) Oleh karena perlawanan terhadapnya melalui pembuktian, berarti setiap perlawanan yang ditujukan untuk melumpuhkan suatu persangkaan menurut undang-undang, harus menggunakan alat bukti yang sah.

c) Mengenai penggunaan alat bukti untuk mencapai tujuan itu tidak dibatasi, boleh dipergunakan setiap jenis alat bukti yang disebut Pasal 164 HIR, Pasal 289 RBG, Pasal 1886 KUH Perdata.9

B. Persangkaan Hakim

Bentuk persangkaan ini diatur dalam Pasal 1992 KUH Perdata. Persangkaan Hakim merupakan lawan dari persangkaan undang-undang, tetapi persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim. Misalnya menyimpulkan seseorang berada di suatu tempat atau tidak, berdasarkan keadaan atau fakta tertentu.

(29)

Merujuk kepada ketentuan Pasal 173 HIR, Pasal 1992 KUH Perdata, pengertian persangkaan hakim adalah: persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan. Hal ini dilakukan hakim karena undang-undang sendiri memberi kewenangan kepadanya berupa kebebasan menyusun persangkaan.

Dalam pasal-pasal tersebut di atas, undang-undang menyerahkan kepada pendapat dan pertimbangan hakim untuk mengkonstruksi alat bukti persangkaan yang bertitik tolak atau bersumber dari alat bukti yang telah ada dalam persidangan. Dari mana data yang terbukti itu diambil adalah bebas. Yakni boleh diambil dari data yang dikemukakan penggugat, boleh juga dari data yang berasal dari tergugat.

a. Cara Merumuskan Persangkaan yang Memenuhi Syarat Formil

Beranjak dari data fakta yang sudah diketahui, yang sudah terbukti untuk mengungkap fakta yang belum diketahui.Cara mengungkapnya dengan jalan menarik kesimpulan dari fakta yang sudah terbukti tadi. Sebagai contoh: Apabila melihat dari luar, sebuah rumah gelap, dapat ditarik persangkaan, bahwa lampu dalam rumah tersebut tidak dihidupkan. Dalam hal ini fakta yang terbukti dan diketahui adalah melihat rumah dari luar pada waktu malam berada dalam keadaan gelap. Fakta yang belum diketahui adalah, apakah lampu hidup atau dimatikan. Maka berdasar fakta yang terbukti dan diketahui ”gelap”, dicoba menarik kesimpulan mengenai fakta yang belum diketahui melalui persangkaan, yakni lampu dimatikan atau tidak dihidupkan.

b. Faktor yang Menjadi Unsur Membentuk Persangkaan

Dalam teori dan praktek, ada dua faktor atau unsur pokok yang dapat membentuk persangkaan hakim:

(30)

Faktor fakta yang sudah terbukti adalah yang sudah diketahui, inilah unsur pertama, yakni fakta yang sudah terbukti dalam proses persidangan.

2) Faktor akal atau intelektualitas

Kalau fungsi faktor fakta yang sudah terbukti menjadi landasan sumber untuk mengungkap fakta yang belum diketahui, maka faktor akal merupakan unsur yang berfungsi sebagai alat menyusun uraian kesimpulan untuk menemukan dan menentukan fakta yang belum diketahui.

3) Tanpa memanfaatkan fungsi akal dan intelektual tidak mungkin ditemukan dan ditetapkan kesimpulan apa dan bagaimana wujud dan bentuk fakta yang belum diketahui.

c. Persangkaan yang Mendekati Kepastian

Terdapat perbedaan antara persangkaan yang satu dengan yang lain. Ada persangkaan yang mendekati kepastian, ada persangkaan yang kurang mendekati kepastian.Hal ini terjadi disebabkan landasan fakta yang menjadi sumber persangkaan.Ada fakta yang sumbernya sangat kuat, ada fakta yang sumbernya sangat lemah, atau fakta yang sumbernya bersifat subyektif. Bertitik tolak dari kuat atau lemahnya fakta sumber persangkaan dalam praktek:

1) persangkaan yang benar-benar mendekati kepastian

Seperti pada contoh yang telah dijelaskan di atas, jika gelapnya rumah itu dilihat dari dekat, dan yang melihatnya orang masih muda yang memiliki penglihatan yang cukup terang, apalagi jika yang terdiri dari 2 atau 3 orang, maka fakta yang terbukti diketahui memiliki kualitas yang sangat kuat. Oleh karena itu kesimpulan persangkaan yang ditarik dari fakta tersebut boleh dikatakan mendekati kepastian.

(31)

Masih seperti contoh di atas, apabila yang melihat rumah tersebut adalah orang tua yang sudah rabun dan hanya satu orang saja, fakta yang sudah terbukti dan diketahui bersifat fakta yang kurang kuat.Oleh karena itu apabila fakta itu ditarik kesimpulan untuk menyingkap fakta yang belum diketahui tentang mati atau tidaknya lampu adalah hampir dapat dikatakan bahwa kesimpulan persangkaan yang diambil hakim merupakan persangkaan yang kurang mendekati kepastian.

3) fakta yang sumbernya bersifat subyektif

Apabila fakta yang terbukti dan diketahui diperoleh dari seorang saksi yang bersifat subyektif atau dengan kata lain kejujurannya kurang dapat dipercaya sehubungan dengan perilakunya adalah dapat dikatakan merupakan fakta yang tidak kuat.

d. Memperhitungkan Persangkaan-persangkaan Hakim

Nilai kekuatan pembuktian persangkaan bersifat bebas. Satu persangkaan saja tidak cukup, paling tidak harus ada dua persangkaan agar terpenuhi batas minimal pembuktian. Atau paling tidak ditambah deengan salah satu alat bukti yang lain.

Cara memperhitungkan persangkaan yang memenuhi syarat materil yakni dengan cara memperhitungkan persangkaan-persangkaan yang sah menurut hukum. Caranya adalah, antara persangkaan yang satu dengan yang lain harus terjalin saling persesuaian, dari satu kenyataan fakta yang sudah terbukti di persidangan, ditarik satu persangkaan, kemudian dari fakta-fakta atau dari berbagai fakta lain yang ditemukan di persidangan yang ternyata antara yang satu dengan yang lain terdapat saling persesuaian ditarik pula satu lagi persangkaan lain.

(32)

fakta-fakta yang saling bertentangan. Persangkaan-persangkaan yang demikian dianggap saling bertentangan satu sama lain, karena itu dianggap saling berdiri sendiri. Oleh karena itu dia saling berdiri sendiri, maka tidak dapat dijumlah menjadi dua alat bukti, sehingga tidak tercapai batas minimal pembuktian. Maka terhadap persangkaan-persangkaan yang seperti itu, berlaku asas satu persangkaan, bukan persangkaan.10

4. Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).

Hal-Hal yang dapat diakui berkenaan dengan pengakuan adalah secara umum, para pihak dapat mengakui segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

Menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

a. dilakukan principal sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);

b. kuasa hukum penggugat atau tergugat.

(33)

Berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.

Dalam H.I.R ketentuan yang mengatur perihal pengakuan adalah pasal 174, 175, dan 176. Inti dari pasal-pasal tersebut adalah:

 Pasal 174 HIR :

Pengakuan di muka hakim mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma bagi yang mengakui. Kekuatan sempurna bukan saja berarti kekuatan yang memaksa, melainkan juga bersifat menentukan sehingga tidak ada kemungkinan bagi pihak lawan untuk pembuktian perlawanan. Pengakuan di muka hakim itu hanya mengenai hal yang dikuasai sepenuhnya oleh yang mengakui, misal; hak kebendaan.

Pengakuan tergugat membebaskan penggugat untuk membuktikan lebih lanjut karena dengan pengakuan maka perkara selesai sehingga tidak ada pembuktian lebih lanjut. Pengakuan dapat dikuasakan sebagai kuasa istimewa.

 Pasal 175 HIR :

Mengenai pengakuan di luar sidang, kekuatan pembuktiannya yaitu

vrijbewijst, karena dilakukan di luar sidang, kebenarannya masih harus dibuktikan lebih lanjut di muka sidang sehingga umumnya dengan kesaksian.

 Pasal 176 HIR :

Dikenal dengan doktrin onsplitsbare bekentennis; bahwa pengakuan itu tidak boleh dipisah-pisahkan untuk kerugian yang mengakuinya. Hakim tidak boleh mengabulkan sebagian dari pengakuan tergugat sedangkan sebagian lainnya ditolak, misal; pengakuan murni tapi dengan tambahan.

(34)

lawannya, maka dalil tersebut sebenarnya tidak udah dibuktikan lagi. Sudah diterangkan di muka, bahwa yang harus dibuktikan hanyalah terhadap dalil-dalil yang disangkal oleh pihak lawan.

Terdapat dua macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu:

1. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang 2. Pengakuan yang dilakukan di luar persidangan

Kedua macam pengakuan yang disebutkan di atas, satu sama lain berbeda dalam nilai pembuktian. Dalam ketentuan pasal 174 H.I.R, bahwa pengkuan yang diucapkan di hadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri, baik pun diucapkan oleh seorang yang istimewa dikuasakan untuk melakukannya. Sebaliknya dalam pasal 175 H.I.R diatur perihal pengakuan yang dilakukan di luar sidang yang berbunyi, bahwa diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim,, akan menentukan kekuatan mana akan diberikan kepada sesuatu pengkuan dengan lisan yang diperbuat di luar hukum.

Dengan dmeikian, pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna, sedangkan mengenai pengakuan di luar sidang perihal penilaian terhadap kekuatan pembuktiannya, diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, atau dengan lain perkataan merupakan bukti bebas. Hal itu berarti, bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian, atau pula, hanya menganggap sebagai bukti permulaan.

(35)

Pengakuan didepan sidang tidak boleh ditarik kembali. Pengecualian terhadap azas itu adalah apabila pengakuan itu merupakan suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Suatu pengakuan di depan sidang dalam proses tertulis, dilakukan tertulis dalam surat jawaban, dimana kekuatan pembuktiannya dipersamakan sebagai suatu pengakuan secara lisan di depan sidang.

Apabila ditinjau dari Burgerlijk Wetboek, pengakuan yang dikemukakan di depan sidang merupak persangkaan undang. Salah satu persangkaan undang-undang yang disebut dalam ketentuan pasal 1916 B.W. adalah pengakuan di depan sidang.

Menurut pasal 1921 alinea 2 B.W. pembuktian melawan terhadap persangkaan undang-undang tidak diperkenankan. Oleh karena itu, dengan diakuinya dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan, maka kebenaran gugat yang didasarkan atas dalil yang diakui itu seketika cukup terbukti dan karenanya gugat harus dikabulkan. Dalam hukum pembuktian perihal pengakuan dan tidak disangkalnya dalil pihak lawan mempunyai kekuatan bukti yang sama.

Dalam putusan-putusan pengadilan pada umumnya terlebih dahullu dikemukakan dalil-dalil ynag diakui, setidak-tidaknya yang disangkal, baru kemudian meningkat kepda hal-hal yang merupakan persoalan. Dengan demikian putusan menjadi padat berisi dan hanya dalil-dalil yang menjadi dasar gugat dan disangkal saja, yang harus dibahas secara mendalam. Dari kekuatan pembuktian pengakuan di depan sidang ini, ternyata benar bahwa dalam hukum acara perdata tidak dicari kebenaran yang hakiki, melainkan cukup dengan kebenaran formil belaka.

(36)

supaya perkara tersebut dapat segera diputus, tergugat mengkui saja tentang adanya perzinahan yang didalilkan oleh penggugat.

Pengakuan diluar sidang yang dilakukan secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terletak, bahwa pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikannya lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedangkan bagi pengkuan di luar sidang yang dilakukan secara lisan, apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya pengakuan semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti lainnya.

Di samping pengertian pengakuan bulat atau pengakuan yang murni, di mana semua dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan diakui sepenuhnya, dalam hukum acara perdata dikenal pula apa yang dinamakan pengakuan berembel-embel. Pengakuan berembel-embel terdapat 2 macam, yaitu;

1. Pengakuan dengan klausal 2. Pengakuan dengan kualifikasi

Pengakuan dengan kualifikasi itu menunjukan, bahwa hubungan hukum antara kedua belah pihak lain daripada yang menjadi dasar gugat.

(37)

Dr. Wirjono Prodjodikioro, S.H. dalam buknya “Hukum Acara Perdata di Indonesia” yang mengatakan bahwa ajaran tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisah, sangat mengecewakan dan tidak masuk akal, lagi pula tidak dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa sebaiknya dalam menghadapi pengkuan dengan embel-embel ini, hakim diberi kebebasan untuk menetapkan seberapa jauh akan memberi kekuatan kepada pengkuan semacam itu, seperti halnya apabila hakim berhadapan dengan pengakuan yang dilakukan di luar sidang, dengan lain perkataan pengakuan dengan embel-embal hendaknya diberi kekuatan sebagai bukti bebas.

Jika tergugat menyatakan bahwa ia benar berhutang, akan tetapi sudah dibayarnya, maka hakim tidak ada salahnya untuk memerintahkan kepada tergugat membuktikan bahwa ia benar telah membayar utangnya. Dan adalah merupakan kelalaian dari tergugat apabila ia sudah membayarnya, namun alpa atau tidak meminta kwitansi tanda penerimaan uang sebagai bukti adanya pelunasan hutangnya itu (bandingkan dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 25 Nopember 1976 No. 22 K/Sip/1973 yang menyatakan : “Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian”.

Bagian terakhir dari pasal 176 H.I.R tersebut menyatakan, bahwa larangan memisah-misahkan suatu pengakuan tidak berlaku lagi, apabila tergugat dalam pengakuannya tadi, guna membebaskan dirinya telah mengemukakan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu. Hal itu berarti, bahwa pabila pengugat dapat membuktikan, bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat sebagai pembebasan adalah palsu, maka pengakuan berembel-embel tadi oleh hakim dapat dianggap sebagai pengakuan yang murni.11

5. Bukti Sumpah

(38)

Sumpah diatur dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan pasal 177 HIR; pasal 182-185, dan 314 RBg; 1929-1945 BW. Sumpah sendiri tidak dijelaskan definisinya dalam HIR. Namun, doktrin mengatakan bahwa sumpah berarti suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.12 Menurut Retnowulan Sutantio, sumpah adalah keterangan yang benar, dan bahwa orang yang disumpah tidak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar. Pasal 177 HIR menyatakan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah tersebut.13

Yang disumpah adalah salah satu pihak, penggugat atau tergugat, oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri. Ada 2 macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim (Sumpah Suppletoir) atau Sumpah Penambah dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan (Sumpah Decissoir) atau Sumpah Pemutus.

A. Sumpah yang Dibebankan oleh Hakim atau Sumpah Penambah

Pasal 155

12

Fauzan, Loc Cit diakses dari http://fauzanjauhari.blogspot.com/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html ,

(39)

(1) Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak cukup terang, akan tetapi ada juga kebenarannya, dan sekali-kali tidak ada jalan lagi akan menguatkannya dengan upaya keterangan-keterangan yang lain, maka ketua pengadilan negeri dapat karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah, baik oleh karena itu untuk memutuskan perkara itu atau untuk menentukan jumlah uang yang akan diperkenankan.

(2) Dalam hal yang terakhir itu ketua pengadilan negeri menentukan jumlah uang hingga jumlah mana penggugat dapat dipercaya atas sumpahnya.

Pada ayat (1) dijelaskan bahwa sumpah penambah terlebih dahulu harus suda hada bukti, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna, sehingga perlu ditambah dengan bukti yang lain. Sedang untuk mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan kata lain bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain. Oleh karena sumpah itu adalah untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed).

Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang tela hada, tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah.

(40)

Menurut Retnowulan Sutantio, tidaklah tepat perkataan pengadilan negeri yang diuraikan dalam pasal 155 HIR tersebut, karena dalam taraf pemeriksaan banding apabila dianggap perlu masih dapat dibebankan suatu sumpah penambah kepada pihak-pihak, Ada kemungkinan, bahwa untuk meneguhkan baik penggugat maupun tergugat adalah anak angkat almarhum, kepada kedua belah pihak masing-masing dibebankan sumpah penambah, yang satu oleh Pengadilan Negeri dan yang lainnya atas perintah Pengadilan Tinggi dalam taraf banding.

Apabila hakim akan menambah bukti tersebut dengan suatu penambah, maka dibuatlah suatu putusan sela, lengkap dengan pertimbangannya,.yang memuat alasan sebabnya sumpah penambah tersebut diperlukan. Perkataan “tidak ada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan lain” sering diartikan “apabila hakim putus asa dalam mencari bukti lain.”

(41)

Tinggi yang menganggap bahwa dalil-dalil yang menjadi dasar gugat telah cukup terbukti, lalu mengabulkan gugat penggugat.14

Dalam hal orang yang dibebani sumpah penambah enggan untuk melakukannya atau belum sempat melakukan sumpah, lalu wafat, karena dalil gugatannya belum terbukti, ia harus dikalahkan. Jika yang dibebani sumpah, telah menyatakan kesediaannya untuk disumpah guna melengkapi bukti-bukti yang telah ada, namun hanya karena ia wafat, tidak sempat lagi untuk menambah bukti tersebut. Maka hakim harus mempertimbangkan adanya “kesanggupan” tersebut, hal mana dapat dianggap sebagai persangkaan hakim, bahwa fakta yang hendak dikuatkan oleh sumpah tersebut benar-benar ada atau pernah terjadi. Oleh karena bukti yang tela hada dan belum lengkap itu, telah ditambah dengan satu persangkaan hakim lagi, maka pihak yang telah sanggup itu dapat dimenangkan. Berbeda dengan sumpah pemutus, sumpah penambah ini tidak boleh dikembalikan kepada lawannya.

Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah Aestimatoir Eed

atau Waarderingseed (penaksiran) yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang tertentu yang disengketakan. Hal ini diatur dalam pasal 155 ayat (2) HIR. Sumpah ini dibebankan kepada pihak penggugat. Dalam istilah penggugat termasuk penggugat dalam gugat balasan, ialah penggugat dalam rekonpensi.15

B. Sumpah yang Dimohonkan oleh Pihak Lawan

Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus atau juga disebut sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan. Oleh karena itu,

14 Ibid. hal. 86-88

(42)

maka sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu, sumpah yang menentukan.

Pasal 156

(1) Bahkan jika sekalipun tidak ada keterangan untuk memperkuat gugatan atau lawanan atas gugatan, satu pihak meminta supaya pihak lain disumpah di hadapan hakim, agar membuat keputusan bergantung dari pada itu, asal saja sumpah itu tentang satu perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, dari pada sumpahnyalah keputusan itu akan bergantung.

(2) Jika perbuatan itu, satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka ia, yang tidak mau bersumpah itu, dapat menolak sumpah itu kepada lawannya.

(3) Barang siapa disuruh bersumpah, tetapi ia enggan bersumpah atau. menolak sumpah itu kepada lawannya, ataupun barang siapa menyuruh bersumpah, tetapi sumpah itu ditolak kepadanya dan ia enggan bersumpah, maka ia akan dikalahkan.

Apabila tentang yang diperselisihkan tidak dapat dimajukan bukti apapun juga, maka salah satu pihak dapat memohon kepada hakim, agar pihak lawannya disumpah, untuk menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan.

(43)

toh bisa memenangkan perkara tersebut, yaitu dengan mempergunakan semata terakhirnya yang berupa sumpah pemutus.

Sumpah pemutus ini dapat diumpamakan sebagai pedang bermata dua yang tajam sekali, harus hati-hati bagi yang mempergunakannya karena akan menimbulkan suatu akibat yang berupa kemenangan atau sebaliknya, yaitu suatu kekalahan total.

Apabila salah satu pihak memiliki bukti misalnya, seorang saksi atau surat biasa yang tidak cukup membuktikan dalil atau apabila suatu lawan memiliki akta otentik misalnya akta PPAT sebagai bukti yang sempurna, maka sumpah pemutus tidak dapat dipergunakan untuk memenangkan perkara. Karena, dibuatnya akta otentik dihadapan ataupun oleh pejabat yang berwenang untuk itu, yang sebelum ia memangku jabatannya itu telah disumpah, telah terbukti bahwa yang bersangkutan menarik “pengakuan yang telah terbukti” itu; sedangkan ”pengakuan yang telah terbukti berkedudukan sebagai bukti yang tidak dapat diganggu gugat itu

(44)

lafas sumpahnya berbunyi sebagai berikut: “Saya bersumpah, bahwa saya tidak merasa meminjam uang sebesar Rp. 100.000,- dari penggugat” atau lebih lengkap lagi dengan menyebut tanggal peminjaman dan sebagainya. Kalau sumpah ini dikembalikan kepada penguggat, dan tergugat meminta penggugat saja yang disumpah maka bunyi sumpahnya sebagai berikut: “Saya bersumpah bahwa betul saya telah meminjamkan uang sebesar Rp. 100.000,-kepada tergugat”

Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan perkara, bukan hanya sewaktu diperiksa oleh Pengadilan Negeri saja akan tetapi juga apabila sedang berada pada taraf banding di Pengadilan Tinggi. Selain itu, sumpah pemutus dapat diminta meskipun tidak ada bukti sama sekali. Oleh Prof. R. Subekti S.H yang telah dikutip oleh Ny. Retnowulan Sutantio menyatakan bahwa mengenai sumpah pemutus ini merupakan “senjata pamungkas” (artinya senjata terakhir) bagi suatu pihak yang tidak memajukan suatu pembuktian. Kalau pihak lawan berani bersumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah. Jadi yang dilepaskan adalah suatu hak, oleh karena itu sudah barang tentu hak yang dapat dilepaskan, hanyalah hak yang berada dalam kekuasaannya untuk dilepaskan, misalnya hak untuk menagih utang, untuk mendapatkan barang dan sebagainya (hak untuk menang).

Apabila mengenai persoalan yang menyangkut ada atau tidak adanya perzinahan atau betul tidaknya seorang adalah bapak dari bayi yang sedang dikandung, sumpah pemutus tidak dapat dimohonkan. Karena hal tersebut tidak litis decisoir, dan harus ditolak. Litis Decisoir maksudnya sumpah tersebut dapat memutuskan perkara, sehingga harus benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan.

(45)

dikabulkan. Perihal penentuan apakah suatu sumpah itu litis decisoir atau tidak, merupakan persoalan hukum, dan bukan saja dalam taraf banding, akan tetapi juga dalam taraf kasasi. Mahkamah Agung berhak untuk menilai kembali, apakah sumpah tersebut litis decisoir atau tidak. 16

Untuk lebih jelasnya kami membuatkan tabel tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;

Sumpah

Decissoir Suppletoir

- Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan

Pasal 157 HIR membuka kemungkinan dengan memberikan izin kepada salah satu pihak untuk bersumpah melalui seorang wakilnya yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah, baik berupa sumpah penambah yang diperintahkan oleh hakim, maupun sumpah pemutus yang diminta atau uang dikembalikan oleh pihak lawan, asalkan kuasa yang memberikannya itu dilakukan dengan akta otentik yang menyebutkan dengan seksama tentang sumpah yang akan diangkatnya itu.

Menurut ketentuan pasal 158 ayat (1) HIR tentang hal mengangkat sumpah itu selalu dilakukan dalam persidangan Pengadilan Negeri, kecuali jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang syah. Dalam hal sumpah pemutus yang diminta oleh salah satu pihak agar lawannya yang ditunjuk sehubungan dengan kepercayaan yang dianutnya, misalnya: di Masjid, Gereja, Vihara, atau Kelenteng,

16 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Op Cit, hal. 89-93.

(46)

maka sumpah dilakukan di tempat yang ditunjuk tersebut. Panitera pengadilan membuat berita acara tentang hal itu, sedang biaya yang timbul sehubungan upacara sumpah tersebut ditanggung oleh pihak yang kalah perkara.

Ayat (2) Pasal 158 HIR menentukan, bahwa baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus, pengangkatan sumpahnya hanya boleh diambil di hadapan pihak lawannya atau sesudah pihak lawan itu dipanggil dengan patut dalam hal ia tidak hadir. Hal ini dilakukan karena sifat sumpah yang demikian penting, dengan maksud agar pihak lawan mengetahui bahwa sumpah tersebut benar-benar dilakukan.18

Bab. IV Penutup Kesimpulan

Alat pembuktian yang diakui dalam Hukum Acara Perdata terdiri dari, Bukti Surat, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Keempat alat bukti tersebut dapat diajukan sebagai pembuktian untuk membuktikan dalil dalam gugat-ginugat.

(47)

Alat Bukti Surat dan Bukti Saksi merupakan bukti yang paling kuat, karena bukti tersebut dapat berdiri sendiri dalam membuktikan suatu dalil. Seperti surat memang disengaja untuk dijadikan suatu bukti telah terjadi suatu peristiwa hukum dan saksi adalah orang yang mengamati, mendengar, dan melihat sendiri suatu peristiwa hukum.

Referensi

Dokumen terkait

sebagai supervisor, motivator, dan pada beberapa kesempatan kegiatan pelatihan, dihadirkan trainer yang secara khsusus dikontrak oleh MDC untuk mengisi kegiatan pelatihan

Pengendalian Pemanfaatan Flora dan Fauna Yang Tidak Dilindungi yang selanjutnya disingkat izin adalah penerbitan dokumen Surat Izin Pengumpul, Pengedar dan Pedagang

Tipe 5 adalah strategi fokus nilai terbaik (best-value focus) yang menawarkan produk atau jasa kepada sejumlah kecil konsumen dengan nilai harga terbaik yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana pengaruh variabel self efficacy dan social support terhadap individual performance baik secara langsung atau melalui burnout

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung keong mas tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan gabus, peningkatan persentase

Strategi peningkatan daya saing industri manufaktur untuk dapat meningkatkan kandungan lokal pada pembangunan PLTN di Indonesia meliputi: 1) Komitmen dan

[r]

Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih