• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Bukti Saksi. 3. Persangkaan-persangkaan. 4. Pengakuan. 5. Sumpah.

Sedangkan alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur menurut Pasal 184 KUHAP sebagai berikut : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.

Dalam Peradilan TUN alat-alat bukti diatur dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pasal 100 Undang-undang ini merinci alat-alat bukti secara limitatif sebagai berikut :22

(1) Alat bukti ialah : a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan saksi; d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan hakim.

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

21

Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm.65.

22 Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara

22

Perkembangan terakhir adalah adanya Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang ini menyebutkan:

(1) Alat bukti ialah: a. Surat atau tulisan; b. Keterangan saksi; c. Keterangan ahli; d. Keterangan para pihak; e. Petunjuk; dan

f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Dengan demikian jika dirinci peraturan tentang pembuktian yuridis itu dapat kita dapatkan dari Kitab undang Hukum Perdata (BW), HIR atau R.Bg, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-Undang-undang No. 8 Tahun 1981,Undang-Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Di samping peraturan perundang-undangan di atas, ternyata khusus untuk arsip elektronik ada pengaturan tambahan yang disinyalir sebagai antisipasi terhadap perkembangan Zaman, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan atau disingkat UUDP. Selanjutnya diperjelas lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari UUDP itu yaitu PP No. 88 tahun 1999 tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan Ke Dalam Mikrofilm atau Media Lainnya Dan Legalisasi.

Perkembangan arsip elektronik menjadi alat bukti yang sah ini dimulai dari adanya Pasal 41 Keputusan Menteri Keuangan No. 245/KM.1/1979 nilai salinan photo-copy, microfilm dan sebagainya, diakui dalam komunikasi administrasi, hanya sebagai petunjuk tentang adanya arsip/dokumen aslinya dan tidak mempunyai nilai pembuktian atau tidak secara langsung dapat mengakibatkan pengeluaran uang.

Kemudian pada tanggal 14 Januari 1988 keluar pendapat resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa microfilm atau microfiche dapat digunakan sebagai alat bukti yang

23

sah dalam perkara pidana di Pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP, dengan catatan bahwa baik microfilm maupun microfiche itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acaranya. Terhadap perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama.

Keluarnya Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang berdasarkan Pasal 28 Ayat (3)nya menyebutkan bahwa eksistensi Undang-undang tersebut dapat juga berlaku bagi Lembaga atau Instansi Pemerintah disamping Perusahaan. Oleh karena itu Undang-undang tersebut dapat dipakai sebagai rujukan oleh semua pihak untuk menyikapi persoalan status arsip modern sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 di atas, disebutkan bahwa Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

yang sah.

Kemudian dalam Pasal 5 Undang-undang ITE telah menjawab secara tegas bahwa informasi maupun dokumen elektronik merupakan bukti hukum yang sah. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Ayat (2)nya menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya ayat (3) menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang‐Undang ini. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang‐ Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang‐ Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Demikian pula dalam Pasal 24 UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik ditegaskan kembali bahwa dokumen, akta, dan sejenisnya yang berupa produk elektronik atau nonelektronik dalam penyelenggaraan pelayanan publik dinyatakan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

24

Bahkan dalam Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan pengiriman Keputusan Pemerintahan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan melalui media elektronis diperbolehkan jika anggota masyarakat dan Badan Hukum memiliki akses untuk menerima dan membuka secara elektronis keputusan tersebut. Bentuk cetak tertulis sebuah Keputusan Pemerintahan dapat diganti dengan bentuk elektronis, jika tidak ada ketentuan perundang-undangan yang melarangnya atau mengatur lain. Keputusan Pemerintahan yang berbentuk elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan Pemerintahan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan. Keputusan Pemerintahan dalam bentuk elektronis diikuti dengan pengiriman keputusan asli baik dari Badan atau Pejabat Pemerintahan selambatlambatnya 15 (limabelas) hari sejak tanggal pengiriman melalui media elektronik.

Penyusutan Arsip

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1979 tentang Penyusutan Arsip, Penyusutan arsip itu adalah kegiatan pengurangan arsip dengan cara :

1. Memindahkan arsip inaktif dari Unit Pengolah ke Unit Kearsipan dalam lingkungan Lembaga-Lembaga Negara atau Badan-badan Pemerintahan masing-masing.

2. Memusnahkan arsip sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, 3. Menyerahkan arsip statis oleh Unit Kearsipan kepada Arsip Nasional.

Sebelum lahirnya UUDP hanya cara kedua yang diatur oleh PP 34 di atas yang masih mengandung permasalahan yuridis. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa suatu larangan yang dicantumkan dalam Undang-undang hanya dapat ditiadakan oleh Undang-undang lagi yang tingkatannya sederajat. Jelasnya pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan yang mewajibkan penyelamatan arsip, bahwa dapat dibenarkan penyimpangannya bilamana dalam Undang-undang itu sendiri diatur klausula penyimpangannya. Sedangkan dalam Undang-undang klausula seperti itu tidak ada dan peraturan-peraturan yang menjadi dasar pemusnahan arsip tersebut di atas, tingkatannya di bawah Undang-undang yaitu PP 34 tersebut.

25

Tetapi sejak keluarnya Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan maka semua permasalahan di atas menjadi tidak berarti lagi, sebab Undang-undang baru ini mengatur jelas tentang pemusnahan arsip ini dalam Pasal 17, 18, 19, 20, 21, dan Pasal 22. Dengan demikian ada semacam lex posteriore derogat legi priori. Menurut Undang-undang baru ini ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan dan pemusnahan dokumen perusahaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintahnya adalah Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penyerahan dan Pemusnahan Dokumen Perusahaan.

Selain itu menurut penulis pasca lahirnya UUDP cara penyusutan arsip ini bertambah satu yaitu dengan cara mengalihkan arsip tekstual/dokumen ke dalam media arsip modern. Aspek yuridis pengalihannya akan di uraikan di bawah ini. Tetapi sebelumnya harus mengetahui dulu pengertian otentikasi dan legalisasi.

Otentikasi dan Legalisasi Arsip

Otentikasi adalah berkas/dokumen yang dianggap memberi nilai pembuktian yang

sempurna dalam komunikasi administrasi kedinasan karena cara pembuatannya menurut dan oleh Pejabat yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Surat Keputusan Ganti Rugi, ditentukan otentikasinya harus dibuat oleh Pejabat sekurang-kurangnya eselon II dan harus ditandatangani sendiri (eigenhandig getekend).23

Pemahanan otentikasi ini tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman tentang jenis-jenis akta dan kekuatan pembuktiannya. Setelah suatu arsip atau dokumen diotentikasi maka akan menjadi akta otentik dan pembuktiannya sempurna. Hati-hati dengan pengertian keotentikan yang diartikan hanya sebatas ”keasliannya”. Dari segi pemaknaan hal ini berbeda dengan kata ”otentik” dalam ilmu akta.

Legalisasi adalah pengukuhan naskah/dokumen bahwa naskah/dokumen tersebut

benar-benar dibuat oleh orang yang bersangkutan dan dikenal oleh Pejabat tang mengukuhkan. Contoh : menurut Pasal 187 ayat (b) KUHAP, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

26

yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.24

Dari segi kearsipan, salinan yang memperoleh legalisasi bernilai lebih tinggi dari salinan biasa yang tidak memperoleh legalisasi. Ungkapan yang mendahului legalisasi antara lain : Salinan sesuai dengan aslinya, salinan dari salinan, petikan dari salinan dan seterusnya.

Bisakah legalisasi sekaligus otentikasi? Jawabannya bisa jika yang mengukuhkan arsip/dokumen itu adalah para pejabat umum yang telah penulis uraikan di atas. Jadi ada peristiwa hukum yang berbarengan yaitu legalisasi sekaligus otentikasi.

Bagaimana dengan pengertian autentikasi yang diatur UU No. 43 Tahun 2009 atau UUBK? Dalam Pasal 68 UUBK menyatakan :

(1) Pencipta arsip dan/atau lembaga kearsipan dapat membuat arsip dalam berbagai bentuk dan/atau melakukan alih media meliputi media elektronik dan/atau media lain.

(2) Autentikasi arsip statis terhadap arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga kearsipan.

(3) Ketentuan mengenai autentisitas arsip statis yang tercipta secara elektronik dan/atau hasil alih media sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan persyaratan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Selanjutnya Pasal 69 UUBK menyatakan lagi :

(1) Lembaga kearsipan berwenang melakukan autentikasi arsip statis dengan dukungan pembuktian.

(2) Untuk mendukung kapabilitas, kompetensi, serta kemandirian dan integritasnya dalam melakukan fungsi dan tugas penetapan autentisitas suatu arsip statis, lembaga kearsipan harus didukung peralatan dan teknologi yang memadai.

(3) Dalam menetapkan autentisitas suatu arsip statis, lembaga kearsipan dapat berkoordinasi dengan instansi yang mempunyai kemampuan dan kompetensi.

27

Penulis melihat yang dimaksud autentikasi dalam UUBK adalah keaslian dan bukan pengertian otektikasi dalam ilmu peraktaan. Bahkan redaksional dalam Pasal 69 cendrung ke arah pengertian legalisasi.

Aspek Yuridis dalam Pengalihan Dokumen

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 1999 Tentang Tata cara Pengalihan Dokumen Perusahaan Ke Dalam Mikrofilm Atau Media Lainnya Dan Legalisasi, setiap perusahaan dapat mengalihkan dokumen perusahaan yang dibuat atau diterima baik di atas kertas maupun dalam sarana lainnya ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Pengalihan dokumen perusahaan ini dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima oleh perusahaan bersangkutan.

Dalam pengalihan dokumen perusahaan, pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang perlu disimpan karena mengandung nilai tertentu demi kepentingan nasional atau kepentingan perusahaan. Pimpinan perusahaan wajib tetap menyimpan naskah asli dokumen perusahaan yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya, dalam hal dokumen tersebut masih : a. mempunyai kekuatan pembuktian otentik; b. mengandung kepentingan hukum tertentu.

Dalam pengalihan dokumen perusahaan, pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk wajib menjamin keamanan proses pengalihan agar:

1. Dokumen perusahaan hasil pengalihan, yang disimpan di dalam mikrofilm atau media lainnya tersebut, merupakan dokumen pengganti yang sepenuhnya sama dengan naskah aslinya;

2. Mikrofilm atau media lainnya tetap dalam keadaan baik untuk dapat disimpan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan mengenai daluawarsa suatu tuntutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

3. Dokumen hasil pengalihan dapat dibaca atau dicetak kembali di atas kertas.

Perusahaan dapat menunjuk perusahaan lain untuk melaksanakan pengalihan dokumen perusahaan ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Perusahaan yang ditunjuk melaksanakan

28

pengalihan dokumen ini wajib memenuhi syarat sebagai berikut: a. berbadan hukum; dan b. memperoleh izin usaha.

Setiap pengalihan dokumen perusahaan ke adalam mikrofilm atau media lainnya wajib dilegalisasi oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang bersangkutan dengan dibuatkan berita acara. Berita acara ini sekurang-kurangnya memuat:

1. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya legalisasi; 2. Keterangan mengenai jenis dokumen yang dialihkan;

3. Keterangan bahwa pengalihan dokumen perusahaan yang dibuat di atas kertas atau sarana lainnya ke dalam mikrofilm atau media lainnya telah dilakukan sesuai dengan naskah aslinya;

4. Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.

Berita acara dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan dilampiri dengan daftar pertelaan atas dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya, dengan ketentuan:

1. Lembar pertama untuk pimpinan perusahaan; 2. Lembar kedua untuk unit pengolah;

3. Lembar ketiga untuk unit kearsipan.

Berita acara dan daftar pertelaan di atas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Dalam hal pengalihan dokumen perusahaan dilakukan oleh perusahaan lain maka pembuatan berita acara menjadi tanggung jawab pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Dalam satu mikrofilm atau media lainnya dapat memuat beberapa proses pengalihan dokumen perusahaan yang masing-masing dibuatkan berita acaranya. Pembuatan berita acara pengalihan dokumen perusahaan, yang sejak semula dibuat atau diterima dalam sarana lainnya, dapat dilakukan secara elektronis.

Dokumen yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Hasil cetak dokumen yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm dapat dilegalisasi untuk keperluan proses peradilan dan kepentingan hukum lainnya.

29

Nama lain untuk daluwarsa adalah lewat waktu, bahasa Belandanya verjaring. Daluwarsa menurut Pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( BW) adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Menurut Subekti,25 daluwarsa itu ada dua macam, yaitu daluwarsa sebagai cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda atau disebut acquisitieve verjaring. Satu lagi adalah suatu akibat dari lewatnya waktu seseorang dapat dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum atau disebut dengan extinctieve verjaring.

Antara Daluwarsa Arsip dan Jadwal Retensi Arsip terdapat saling hubungan sekaligus terdapat perbedaan. Hubungannya terutama dalam masalah penentuan arsip yang sudah tidak berguna dari segi hukum yang akan dijadikan sebagai alat pembuktian di Pengadilan. Artinya bisa saja daluwarsa arsip ini ditentukan atau bersandarkan kepada jadwal retensi arsip. Arsip yang sudah melewati jangka waktu yang telah tertentu dalam Jadwal Retensi Arsip dapat berarti sudah daluwarsa, tetapi dapat juga tidak jika secara tegas ada peraturan yang mengatur lain mengenai jangka waktu daluwarsanya. Sebab Jadwal Retensi Arsip ini tidak hanya menentukan arsip yang harus dimusnahkan saja tetapi juga menentukan arsip yang harus disimpan permanen walaupun menurut Peraturan Perundang-undangan sudah daluwarsa.

Dengan demikian perbedaannya adalah adanya daluwarsa arsip menjadikan arsip tidak berfungsi sebagai alat bukti di Pengadilan walaupun menurut Jadwal Retensi Arsip, “arsip” yang bersangkutan termasuk kategori permanen sehingga harus disimpan selamanya (umpamanya di ANRI), tetapi dari segi hukum pembuktian sudah tidak ada gunanya lagi karena sudah lewat waktu atau daluwarsa umpamanya sudah 30 tahun.

Undang-undang No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UUDP) kalau dicermati hanya merespon KUHD Pasal 6, walaupun tidak juga memecahkan persoalan. Mengapa demikian? Sebab, apakah UUDP ini mengatur daluwarsa atau jadwal retensi arsip perubahan dari 30 tahun ke-10 tahun itu, sebab ada ganjalan di Pasal 11 ayat (5) dan penjelasan pasal 11 ayat (5) UUDP.

30

Pasal 11 ayat (5) UUDP menyebutkan “Kewajiban penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak menghilangkan fungsi dokumen yang bersangkutan sebagai alat bukti sesuai dengan kebutuhan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan mengenai daluwarsa suatu tuntutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau untuk kepentingan hukum lainnya. Kemudian menurut penjelasannya disebutkan bahwa sekalipun suatu dokumen telah melewati masa wajib simpan (dalam hal ini 10 tahun), tetapi dokumen tersebut tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti sesuai dengan ketentuan mengenai daluwarsa suatu tuntutan. Jadi UUDP ini tidak menegasikan aturan daluwarsa yang diatur dalam BW yaitu 30 tahun. Sehingga menurut pendapat penulis perusahaan atau instansi tetap akan “was-was” atau ada kekhawatiran ada tuntutan sehingga akan tetap menyimpan dokumen atau arsip selama 30 tahun.

Padahal sebenarnya UUDP dapat menegasikan aturan daluwarsa dalam BW, sebab keduanya sederajat, sehingga berlaku lex posteriore derogat legi priori atau aturan yang terbaru mengalahkan aturan yang telah lama. Jika hal ini terjadi, yaitu aturan daluwarsa itu hanya 10 tahun maka tentu akan mempunyai dampak ekonomis sebagaimana dikehendaki oleh konsiderans huruf d UUDP yaitu meringankan beban ekonomis dan administratif perusahaan.26

Berdasarkan Pasal 66 UU No. 43 Tahun 2009, (1) Terhadap arsip statis yang dinyatakan tertutup berdasarkan persyaratan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) atau karena sebab lain, kepala ANRI atau kepala lembaga kearsipan sesuai dengan lingkup kewenangannya dapat menyatakan arsip statis menjadi terbuka setelah melewati masa penyimpanan selama 25 (duapuluhlima) tahun.

Pernyataan Pasal 66 UUBK di atas telah secara resmi menegasikan aturan daluwarsa selama 30 tahun yang selama ini diatur oleh BW yang tidak sempat dinegasikan oleh UUDP.

Keterbukaan dan Ketertutupan Arsip

Keterbukaan dan ketertutupan arsip digunakan untuk mengistilahkan boleh tidaknya suatu arsip diperlihatkan kepada semua orang. Jika arsip itu boleh dilihat, dipelajari atau bahkan

26 Lihat tulisan penulis, Wacana Amandemen Undang-undang No. 7 Tahun 1971 Tentang

31

dipinjam oleh semua orang maka istilahnya arsip tersebut “terbuka”. Sedangkan jika arsip itu tidak boleh diperlihatkan, dipelajari, dipinjam dan sebagainya oleh semua orang kecuali orang yang berhak karena ditunjuk oleh peraturan saja maka istilahnya adalah arsip yang “tertutup”.

Selintas antara ketetutupan dan kerahasiaan seperti sama, tetapi menurut Moeftie

Wiriadihardja terdapat perbedaan antara kerahasiaan dan ketertutupan sesuatu arsip dinamis.27

“Kerahasiaan” sesuatu naskah/dokumen dinyatakan secara tegas dan nyata dengan membubuhkan kode tingkat kerahasiaan tertentu pada dokumen tersebut. Menurut Penjelasan Undang-undang No. 8 Tahun 1974 Jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 505/KM.1/1979 kualifikasi kerahasiaan secara berurutan dari tingkat tertinggi adalah :

1. Sangat Rahasia- kode SR, top secret; 2. Rahasia - kode R, secret;

3. Terbatas/konfidensial - kode K, confidential.

Pelanggaran terhadap kerahasiaan dokumen dapat dikenakan ancaman hukuman 20 tahun penjara bahkan seumur hidup ( Pasal 11 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1971) dan Pasal 554 dan Pasal 417 KUHP.

Sedangkan “ketertutupan” sesuatu naskah/arsip dinamis berarti sekalipun naskah itu tidak dibubuhi kode kerahasiaan namun isi, nomor, disposisi dan tentang adanya dokumen tersebut tetap tidak boleh diketahui dan atau diberitahukan/diperlihatkan kepada siapapun yang tidak berhak, meski dia sesama Pegawai Negeri sekalipun. Surat-surat dinas hanya terbuka untuk kepentingan dinas.

Tetapi menurut Moeftie jika dihubungkan dengan yang tersirat di Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 1971 “Ketertutupan dan Kerahasiaan” intinya sama adalah dirahasiakan. Hanya yang satu memakai “kode” yang lain tidak. Kedua-duanya sama, merupakan proses pemilihan berguna atau tidak?, bernilai atau tidak? Pada akhirnya untuk menentukan dipilih untuk “dimusnahkan” atau “disimpan”.

Mengidentifikasi apakah di Indonesia itu menganut keterbukaan atau ketertutupan arsip menjadi cukup sulit. Karena perkembangan politik hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini berganti-ganti kebijakannya. Ketertutupan asrip dinamis dasarnya terdapat

32

dalam Pasal 1 Stb 1854 No.18 yang berbunyi: ….tidak seorangpun diperkenankan dalam pangkat atau kedudukan apapun, tanpa kuasa secara tegas dari pemerintah, : (a) memperlihatkan kepada yang tidak berhak, memberikan salinan atau kutipan arsip Pemerintah.

Dasar hukum keterbukaan dapat dibaca dari Pasal Archiefwet 1918 yang berbunyi : “Arsip yang ditangani dan dipindahkan ke berbagai tempat yang ditunjuk secara terpisah dimaksud dalam undang-undang ini, kecuali pembatasan yang boleh dipersyaratkan pada saat pemindahan, adalah terbuka.

Kemudian menjadi tertutup lagi setelah adanya UU No. 7 Tahun 1971 berdasar pada bunyi Pasal 11 ayat (2) : “…dengan sengaja memberitahukan hal-hal tentang isi naskah itu kepada pihak ketiga yang tidak berhak mengetahuinya sedang ia diwajibkan merahasiakannya hal-hal tersebut…”.

Kemudian mucul juga Penjelasan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1979 menyebutkan : Sifat arsip dinamis pada dasarnya tertutup, oleh karena itu pengelolaan dan perlakuannya berlaku ketentuan tentang kerahasiaan surat-surat. Sifat arsip statis pada dasarnya terbuka, namun bilamana Lembaga Negara atau Badan Pemerintahan menganggap harus tetap dipegang kerahasiaannya, dapat tetap diperlakukan ketentuan tentang kerahasiaan surat/dokumen.28

Tetapi pasca amandemen UUD 1945 yang Kedua muncul Pasal 28 F suatu penegasan sebagai berikut:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Pasal di atas seperti menjadi jaminan bagi adanya suatu ”keterbukaan arsip” lagi. Tetapi menurut penulis prinsip kebebasan di atas mesti dibarengi dengan rasa tanggung jawab dari semua pihak seperti yang telah diatur juga pasca amandemen kedua UUD 1945 dalam Pasal 28 J

Dokumen terkait