• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KETENTUAN ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA

B. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.103

101

Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Opcit. Halaman 9

102

Adami Chazawi, Opcit. halaman 349

103 Hari Sasangka & Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 10

Pada umumnya, seperti Negara Anglo-Saxon, memerlukan penerapan asas pembalikan beban pembuktian (Omkering van het Bewijslast)104. Asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases) yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification) dan yang berkaitan dengan penyuapan (bribery).105

Berkenaan dengan polemic mengenai Asas Pembalikan beban

pembuktian yang dikenal secara luas sebagai asas “Pembuktian Terbalik” ternyata

tetap dipertahankan, meski pun pada saat proses pembahasan ada kehendak untuk menghapuskan atau mencabut ketentuan asas tersebut. Alasan yang ditekankan untuk menghapuskan asas pembalikan beban pembuktian tersebut adalah alasan-alasan sosiologis dan praktis yang mungkin kelak akan ditemukan dalam kehidupan praktik pemberantasan tindak pidana korupsi.106

Ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mengisyaratkan bahwa hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang akan menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan, baik yang diajukan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh terdakwa sendiri (dengan mekanisme pembuktian terbalik).

Ikhwal “pembuktian terbalik” diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UU PTPK yang

104

Asas ini merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana yang menyatakan bahwa siapa ya g e u tut dialah ya g harus e uktika ke e ara tu tuta ya. Dala hal Pe alika Be a Pe uktia , terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika ia tidak dapat membuktikannya maka dianggap bersalah (Indrayanto Seno Adji, Opcit. halaman 193)

105 Indrayanto Seno Adji, Opcit. halaman 192-193

106

menyatakan, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindak pidana korupsi.107

Pembuktian terbalik bersifat premium remedium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri, yang diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan pada tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana (predicate

crime).108

Defenisi dari alat bukti itu sendiri adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan sesuatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya sutu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.109

Pembuktian itu sendiri mempunyai tujuan dan fungsi bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan sebagai berikut:110

a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuia dengan surat atau catatan dakwaan.

b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum

107

Aziz Syamsuddun, Opcit. halaman 168-169

108

Ibid, halaman 169

109 Hari Sasangka & Lily Rosita, Opcit. halaman 11

110

atau meringankan pidananya. Biasanya alat bukti yang dihadirkan disebut dengan bukti kebalikan.

c. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum ataupun yang berasal dari penasihat hukum/terdakwa dibuat berdasarkan untuk membuat keputusan.

Sistem pembuktian mengenal 4 (empat) teori, yaitu:111 1. Conviction in time

Teori ini adalah ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada atau mengabaikan alat bukti yang ada dipersidangan. Akibatnya hakim memutuskan menjadi sujektif sekali dan tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya.112

2. Conviction in raison

Ajaran pembuktian ini masih menyandarkan pada keyakinan hakim dan tidak terikat pada alat bukti yang ditetapkan undang-undang. Hakim juga bisa mempergunakan alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun hakim dalam mengambil keputusannya haruslah didasari oleh alasan-alasan yang jelas dan harus dapat diterima oleh akal (reasonable).113

3. Sistem pembuktian negatif

111

Ibid, halaman 14

112

Sistem pembuktian ini dipergunakan dalam sistem peradilan juri (Jury Rechtspraak) (Ibid, halaman 14-15)

113

Sistem pembuktian ini sangat mirip dengan sistem pembuktian

conviction in raisone dimana hakim dalam mengambil keputusan terikat dengan

alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

4. Sistem pembuktian positif

Sistem pembuktian positif ini adalah sistem yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Alat bukti yang ditentukan undang-undang adalah penting, keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Intinya, apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa dalam membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi bersalah atau tidak terdapat 5 (lima) jenis alat bukti, yaitu:

1) Keterangan Saksi;114

Dalam memberikan keterangan oleh saksi pada proses pengadilan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi saksi, yaitu:115

114

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengena suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Ibid, halaman 22)

115

a) Setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi ( Pasal 1 Butir 26 KUHAP);

b) Keterangan saksi sebisa mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa, dalam hal ini KUHAP membagi dalam 3 (tiga) golongan pengecualian, yaitu:

1. Golongan A

Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP):

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2. Golongan B

Golongan ini adalah golongan ini yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan (Pasal 170 KUHAP):

a. Mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,116 yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundang-undangan;

b. Jika ada yang mengatur ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapat kebebasan tersebut. 3. Golongan C

Gologan ini adalah golongan yang boleh diperiksa tanpa harus diambil sumpahnya (Pasal 171 KUHAP):

a. Anak yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau belum pernah kawin;

b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang0kadang ingatannya baik kembali.

2) Keterangan Ahli;117

Pasal 186 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Suatu keterangan saksi ahli mempunyai nilai pembuktian apabila ahli tersebut dimuka hakim harus bersumpah dahulu sebelum memberikan keterangan. Jika ahli tidak bisa hadir

116

Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan adalah dokter,apoteker, notaries, dsb. Orang yang karna harkat martabatnya, adalah pastor. Orang yang karena jabatannya adalah banker terhadap keuangan nasabah. (Ibid, halaman 27)

117 Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang pendidikan khusus (Ibid, halaman 56)

dalam persidangan dan sebelumnya sudah mengucapkan sumpah di muka penyidik maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang diucapkan dalam persidangan.118

Keterangan yang dilakukan oleh seorang ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan.119 Hal ini berbeda dengan keterangan dari seorang saksi yang tidak diperbolehkan memberikan kesimpulan-kesimpulan.

3) Surat;120

Surat yang dimaksud disini adalah surat yang sesuai dengan ketentuan Pasal 187 KUHAP adalah surat biasa, surat otentik, surat di bawah tangan. Adapun penjelasan dari 3 (tiga) jenis surat tersebut, yaitu:

a. Surat Biasa

Surat biasa adalah sebuah alat bukti yang dibuat tanpa maksud dijadikan alat bukti. Jika kemudian dijadikan alat bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan. Dalam pembuktian, surat biasa mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti bebas. Dalam prakteknya surat-surat ini sering dipergunakan untuk menyusun persangkaan.121 b. Surat Otentik 118 Ibid, halaman 60 119 Ibid 120

Menurut Sudikno Mertokusumo, surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksuddkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Ibid, halaman 62)

121

Surat otentik adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian sekalian orang yang mendapat hak daripadanya.122

c. Akta dibawah tangan

Arti dari akta dibawah tangan ini adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta dibawah tangan ii juga

mempunyai nilai sebagai “permulaan bukti tertulis”.123

4) Petunjuk;124

Ketentuan yang mengatur petunjuk sebagai alat bukti terdapat dalam Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi:125

a. Petunjuk adalah perbuatan kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;

b. Petunjuk sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 122 Ibid, halaman 69 123 Ibid, halaman 71 124

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Ibid, halaman 75)

125

3. Keterangan terdakwa.

c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

5) Keterangan Terdakwa.126

Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa, keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:127

a. Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan; b. Mengaku bersalah.

Namun dengan demikian ada kemungkinan terdakwa memberikan pengakuan untuk sebagian:128

a. Terdakwa mengaku melakukan delik yang didakwakan; b. Tetapi ia tidak mengaku bersalah.

Kelima alat bukti inilah yang digunakan oleh para penegak hukum dalam memeriksa dan mengungkap suatu perkara pidana termasuk tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan UU PTPK juga menyebutkan dan mengatur tentang alat bukti yang digunakan dalam mengungkap kasus korupsi. UU PTPK mengatur

126

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan sendiri tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga bisa dikatakan bahwa keterangan terdakwa lebih maju daripada pengakuan terdakwa (Ibid, halaman 83).

127

Ibid, halaman 83-84

128

secara khusus tentang alat bukti yang dapat digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 26A menjelaskan tentang alat bukti yang sah yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam persidangan tindak pidana korupsi. Alat bukti yang dapat diperoleh selain dalam ketentuan dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut dengan KUHAP) dijelaskan dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik129 dengan alat optik atau yang serupa dengan itu130; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik, apapun selain kertas, mapun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti yang kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti ; keterangan saksi, surat, dan

129Ya g di aksud de ga disi pa se ara elektro ik isal ya data ya g disi pa dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM) (penjelasan UU PTPK Pasal 26A)

130Ya g di aksud de ga alat optik atau ya g serupa de ga itu dala ayat i i tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik ( e-mail), telegram, teleks, dan faksimili (Ibid)

keterangan terdakwa (pasal 188 ayat 2). Dalam rumusan pasal 26A huruf a disebut

secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya, kedudukan informasi dan dokumen adalah

sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan alasan itu, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja, tanpa menggunakan alat bukti lain. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 183 KUHAP alat bukti petunjuk tidak boleh menjadi satu-satunya alat bukti yang berdiri sendiri. Haruslah diperlukan satu alat bukti lain yang isinya sama dan bersesuaian. Artinya, haruslah ada salah satu dari alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Penjelasan atas ketentuan ini, sebatasnya perluasan alat bukti berupa

sciencetific evidence” dalam bentuk alat bukti “Pertunjuk” ini karena dalam

rumusan pembahasan masih terdapat debatable diantara perumus mengenai sulitnya pembuktian dan disalahgunakannya dari para penegak hukum terhadap perluasan alat bukti tersebut, pula secara teknis, alat bukti berupa teknologi informasi ini memiliki dinamisasi yang polemik.131

Sehingga dapat disimpulkan bahwa alat bukti dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berupa sebagai berikut:

1. Alat bukti yang sesuai dengan ketentuan pasal 188 ayat (2) KUHAP;

131

2. Alat bukti lain yang tertuang di dalam pasal 26 A Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan dari aturan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang mengatur tentan alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Sehingga dalam persidangan, alat bukti yang sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang tersebut yang dapat dihadirkan dalam persidangan.

BAB I

A. LATAR BELAKANG

Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali

memerlukan “pendekatan sistem (system approach)” terhadap pemberantasannya karena cenderung sulit memperoleh procedural pembuktiannya. Korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tetapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi

invisible crime tsb. 1

Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sector kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis.2 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hal-hak social masyarakat yang mulai endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa pemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile

crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.3

Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan dan/ atau perekonomian Negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Terdapat cukup alasan yang rasional untuk

1 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta,2009, halaman 191.

2

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Paragraf ke-2.

3 Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289.

mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary

crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar

biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrument-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument-instrument).4

Indonesia pada saat ini mulai aktif dalam penggunaan teknologi elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital.5 Perkembangan teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik dan prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.6

Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan

bahwa “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran

undang-undang pidana”.7

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di siding pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa. Hasil dari pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap

4

H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. Halaman 76.

5

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005, halaman 31.

6

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara,Jakarta, 2006, halaman, 3.

7 Andi Hamzah,dkk, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia,Jakarta, 2004, halaman 2.

terdakwa, maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs

kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.

Pembuktian menurut KUHAP, menganut system pembuktan menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in

time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif

(berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang). Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim dimana media sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif.8

Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem pembuktian di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan hakim, sistem ini sejalan dengan yang dianut dalam pasal 183 KUHAP yang juga merupakan batas minimum pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standard terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonable doubt). Dalam pembuktian di

8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, halaman 278

persidangan tercapainya batas minimum pembuktian namun mengandung cacat materiil yang disebabkan antara lain oleh keterangan palsu, tidak relevan, ketarangan bohong, keterangan tidak jelas sumbernya, lemahnya alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain, tidak bersentuhan dan bertalian, masing-masing alat bukti berdiri sendiri dan dokumen palsu. Dengan demikian maka pembuktian sebagai dasar perkara pidana dapat didasarkan pada petunjuk-petunjuk, hal itu dikarenakan setiap kejahatan khususnya tindak pidana korupsi dilakukan dengan terencana, terorganisir dan melibatkan banyak jaringan yang kemudian akan menghilangkan jejak perbuatannya. Maka dengan demikian Penyadapan dijadikan alat bukti petunjuk dengan tujuan agar kejahatan yang disembunyikan itu dapat terungkap.

Tujuan pokok sistem peradilan pidana berdasarkan sah dan meyakinkan untuk mencari dan mewujudkan kebenaran sejati (Ultimate Truth, Absolute

Truth). Hasil penyadapan bisa mewujudkan kebenaran sejati selama

pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan bersesuaian dengan alat-alat bukti yang lain maka keterbuktian kesalahan terdakwa dianggap beralasan. Banyak hal yang akan menimbulkan keraguraguan akan membuat terdakwa bisa dibebaskan atau sebaliknya akan dijatuhi hukuman karena dianggap tidak bersalah oleh karena itu penyadapan dijadikan sebagai alat

Dokumen terkait