• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), 2008, Strategi Pencegahan dan

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: PT Refika Aditama.

Chazawi, Adami, 2005, hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di

Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing.

Danil, H. Elwi, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan

Pemberantasannya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Hamzah, Andi Dkk, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Hamzah, Andi, 2008, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana

Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Harahap, M. Yahya, 1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika.

Hartanti, Evi, 2008, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Krisnawati,2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam

(2)

Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang, 2009, Delik-delik Khusus Kejahatan

Jabatan dan Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi,

Jakarta: Sinar Grafika.

Logman, Loebby, 1991, Beberapa Ikwal di Dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:

Datacom.

Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta: Rajagrafindo Perkasa.

Moeleong, Lexy J, 1999, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyadi, Mahmud & Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana

Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT. Softmedia.

Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Pena Multi Media.

Saleh, Roeslan, 1987, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru.

Sasangka, Hari & Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana, Bandung: Mandar Maju.

Schaffmeister, D. et.al., 2004, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3.

Seno Adji, Indriyanto, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media.

Soekanto, Soejono dan Sri Mamuji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tujuan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

(3)

Ussama, Arief, 2008, Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana

Korupsi, Bogor: Forum Kajian Hukum UNPAK.

Wijaya, Firman, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Jakarta: Penaku bekerjasama dengan Maharini Press.

Winarta,Frans H, 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Kompas. Wiryono, R., 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

B. Undang-undang

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

C. INTERNET

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-

tindak-pidana/#ixzz32Qu090CVhttp://www.ombar.net/2009/10/pertanggungjawa

ban-terhadap-pelaku.html.

(4)

http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di- indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/ http://www.arti-definisi.com/

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52770db2b956d/syarat-dan-dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana

(5)

BAB III

KEKUATAN HUKUM PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENERAPANNYA DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Penyadapan dalam Tindak Pidana Korupsi

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di era reformasi dan era globalisasi ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendorong perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Perubahan ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat yang saat ini sangat tergantung dan dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang ada.132

Penyadapan dalam tindak pidana korupsi merupakan front-gate untuk membuka tabir bentuk perbuatan koruptik lainnya, seperti halnya penyalahgunaan wewenang dari Aparatur Negara atau pejabat publik. Dalam tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK banyak permasalahan yang timbul. Permasalahan yang mengemuka, adalah (1) sampai sejauh mana legalitas penyadapan KPK yang ditebarluaskan disidang pengadilan tipikor, selain juga, (2) sorotan keras kinerja pengawas penegak hukum terhadap komunikasi pihak-pihak yang berstatus tahanan tersebut, sehingga menimbulkan kritik, kegeraman publik terhadap keleluasaan pelaku berkomunikasi dengan membentuk fabrikasi proses peradilan pidana yang sedang berjalan.133

Penyadapan yang sesuai dengan hukum atau dapat dikatakan sebagai penyadapan yang sah (lawful interception) bukanlah sesuatu yang baru di

132 Kristian & Yopi Gunawan,

Opcit, halaman 3 133

(6)

kehidupan masyarakat internasional. Dikarenakan dalam 50-60 tahun terakhir pemerintah diseluruh dunia telah memperkenankan tindakan yang mampu melacak informasi dan telekomunikasi, yakni tindakan penyadapan.134 Cara penyadapan ini bisa dikatakan adalah cara yang efektif dalam menjerat pelaku tindak pidana berat, salah satunya adalah tindak pidana korupsi.

Tindakan penyadapan yang dikatakan sesuai dengan hukum adalah apabila tindakan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang secara tegas diperintahkan, diamanatkan, atau ditugaskan secara langsung dan tegas oleh hukum, limitative, bukan karena kewenangan yang seketika itu juga muncul (implied trust).135 Apabila tindakan penyadapan tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka tindakan penyadapan tersebut telah bertentangan dengan hukum dan dianggap sebagai tindakan yang illegal. Sehingga memungkinkan pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana.

Menurut pendapat dari Romanidis Evripidis, defenisi dari lawful

interception bahwa penyadapan adalah akuisisi dari panggilan yang

mengidentifikasi informasi dan penyadapan isi komunikasi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum setelah menerima otorisasi pejabat yang berwenang.136 Penyadapan yang sah ini pada dasarnya dapat dilakukan pada semua sistem modern termasuk di dalamnya jaringan nirkabel daerah, sistem televise kabel, dan internet, atau bahkan dalam perkembangannya penyadapan dapt dilakukan pada pelacakan yang menggunakan telepon selular.137

134

Kristian & Yopi Gunawan, Opcit, halaman 182 135

Ibid, halaman 184 136

Ibid, halaman 187 137

(7)

Perlu dikemukakan bahwa istilah “intersepsi” sesungguhnya telah menggambarkan penyadapan telekomunikasi. Namun, konsep penyadapan yang digambarkan dalam istilah ini pada dasarnya lebih luas daripada sekedar penyadapan telekomunikasi. Dikatakan demikian karena konsep penyadapan juga meliputi penyadapan dalam ruangan.138

Istilah penyadapan juga memiliki persamaan pengetian serupa dengan istilah eavesdropping139. Menurut Black‟s Law Dictionary, eavesdropping ini

adalah kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai berikut:140

1. Masuk kedalam wilayah privat seseorang atau mendengarkan secara

diam-diam pembicaraan yang bersifat pribadi atau untuk mengamati tingkah laku seseorang;

2. Memasang alat untuk mendengar pembicaraan pribadi, untuk mendengar, merekam, mengeraskan, atau menyiarkan suara asli di beberapa tempat dengan suara yang biasanya tidak akan terdengar atau diselidiki dari luar, tanpa sepengetahuan dari orang atau pihak yang dipasangkan peralatan tersebut; 3. Memasang alat untuk menyadap telepon, telegram, atau jaringan komunikasi

kabel tanpa izin dari seseorang atau tanpa izin dari pihak yang mempunyai otoritas untuk itu, misalnya dari penyedia layanan jaringan komunikasi kabel sebagaimana diatur dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah atau perintah pengadilan seperti biasanya.

138

Ibid, halaman 200 139

Eavesdropping dapat diartikan secara sederhana sebagai perbuatan yang dengan sengaja dan tanpa izin atau tanpa otoritas hukum. (Ibid, halaman 185)

140

(8)

Pengaturan mengenai tindakan penyadapan di Indonesia dapat ditemukan dalam Peraturan Menkominfo Nomor 11/ PER/ M. KOMINFO/ 02/ 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, dimana dalam peraturan ini dikemukakan bahwa penyadapan didefenisikan sebagai kegiatan mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan perangkat tambahanpada jaringan telekomunikasi.141 Namun, didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi hanya menyebutkan tentang penyadapan saja, tidak disebutkan tentang pengertian penyadapan. Dengan kata lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 hanya menyebutkan dan mengatur tentang pelanggaran penyadapan.

Hukum positif Indonesia sendiri tepatnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri telah dikemukakan dengan tegas defenisi mengenai penyadapan dengan cukup teknis, yang diatur secara tegas di dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa:142

“Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan,

merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti

pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”

Pengertian diatas masih belum menggambarkan perihal penyadapan secara teknis. Dikatakan demikian karen masih terlihat usaha-usaha untuk menkonversi

141

Ibid, Halaman 201 142

(9)

rumusan tersebut kedalam bahasa yang mudah dimengerti masyarakat umum. Dapat menjadi masalah apabila undang-undang ini dijadikan rujukan utama dikarenakan perumusan pengertian penyadapan dalam undang-undang, sesungguhnya merupakan derivasi teknis dari penyadapan.143 Sehingga diperlukan orang-orang yang ahli dibidang teknologi yang mendalami penyadapan.

Terdapat 4 bentuk utama dari kegiatan penyadapan itu sendiri, tindakan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:144

a) Penyadapan Pasif (Passive Interception)

Penyadapan pasif dapat didefenisikan sebagai tindakan penyadapan yang dilakukan secara tidak langsung dengan cara membaca data yang tidak diotorisasi.

b) Penyadapan Aktif (Active Interception)

Penyadapan aktif, dalam hal ini secara sederhana dapat didefenisikan sebagai tindakan penyadapan yang dilakukan secara langsung dan disertai dengan tindakan mengubah data yang tidak diotorisasi.

c) Penyadapan Semi Aktif.

d) Penyadapan yang merupakan penggabungan antara penyadapan aktif dan penyadapan pasif.

Konsep teknis penyadapan yang sering dilakukan adalah penyadapan yang dilakukan dengan sistem Voice Biometric Diversity, yakni teknologi yang memiliki pengenalan suara yang dapt mengenali aksen, frekuensi, dan vocal pitch,

143

Ibid, halaman 205 144

(10)

dan memiliki pola getaran suara. Menggunakan teknologi tersebut, penyadapan dilakukan dengan dua jenis, yaitu sebagai berikut:145

a. Real Time yang dilakukan dengan cara menganalisis percakapan yang

terjadi dengan melakukan akses pada server utama provider seluler. Dengan sampel suara yang ada, dilakukan analisis percakapan, dan jika ditemukan ada kecocokan suara (menggunakan voice graph) maka dilakukan penyadapan.

b. Analisi (Scanning) dilakukan pada database percakapan yang terjadi yang didahului filter melalui asumsi lokal dari objek atau target penyadapan.

Kedua cara ini merupakan cara khusus dengan menggunakan teknologi terkini. Secara umum, penyadapan terbagi dalam lima bentuk utama, yaitu:

a. Penyadapan telepon rumah analog

Penyadapan ini merupakan penyadapan yang dilakukan dengan menggunakan splitter.146 Kabel cabang splitter dipasang pada telepon target penyadapan, kemudian disambungkan langsung ke perekam suara, atau alat perekam lainnya.

b. Penyadapan telepon rumah digital

Penyadapan telepon rumah digital dilakukan dengan menggunakan alat kecil yang disebut bug. Dengan bug tersebut data akan dikirmkan dengan menggunakan frekuensi radio ke penangkap gelombang.

c. Ponsel pengintai

145

Ibid, halaman 206 146

(11)

Penyadapan ini adalah penyadapan yang dilakukan dengan menggunakan perangkat khusus yang telah dimodifikasi pada telepon seluler target atau objek penyadapan. Penyadap kemudian melakukan panggilan kepada tersadap tanpa tanda-tanda adanya panggilan apapun pada telepon seluler tersebut. Dengan cara ini, penyadap dapat mendengarkan segala sesuatu percakapan dan suara yang terjadi disekeliling target.

d. Penyadapan dalam Ruangan

Penyadapan dalam ruangan merupakan cara yang paling klasik dalam melakukan tindakan penyadapan, namun masih digunakan hingga saat ini. Penyadapan dalam ruangan merupakan tindakan penyadapan yang dilakukan dengan cara meletakkan secara diam-diam alat penyadapan di dalam ruangan target penyadapan.

e. Software pengintai

Software pengintai merupakan penyadapan yang dilakukan dengan

menanamkan aplikasi penyadap pada telepon seluler target penyadapan. Ketika objek yang disadap melakukan sambungan telekomunikasi atau menerima sambungan telekomunikasi maka secara otomatis software tersebut mengirimkannya pada penyadap.

(12)

Dengan kata lain penyadapan tidak dilakukan untuk tindak-tindak pidana yang konvensional atau tindak pidana biasa.

Metode penyadapan ini dianggap sebagai metode yang luar biasa dalam rangka mencegah dan memberantas atau bahkan mengungkap tindak pidana. Metode ini memang menimbulkan kontroversi baik di kalangan praktisi hukum maupun kalangan akademisi hukum. Selain itun tindakan penyadapan dianggap tidak lazim atau bahkan tidak patut dilakukan apabila dilihat dari sudut pandang atau menurut ukuran hak asasi manusia.147

Namun, tidaklah berlebihan apabila tindakan penyadapan dilakukan berdasarkan hukum dan dilakukan demi kepentingan hukum dalam pelaksanaannya harus kembali didasarkan pada konstitusi. Maknanya adalah penyadapan tidak boleh dilakukan tanpa legalitas tertentu yang diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.148 Kini tinggal bagaimana hukum di negara tersebut mengatur secara tegas perlindungan terhadap hak-hak individu beserta pengecualian-pengecualian dalam melakukan tindak pidana penyadapan.

Tindakan penyadapan merupakan tindakan yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia tepatnya yang berkenaan dengan hak atas privasi. Namun, bukan berarti kita menutup mata akan kenyataan bahwa dengan berkembangnya zaman, maka berkembang pula modus-modus baru yang semakin sulit dideteksi oleh hukum. Sehingga perlu cara-cara yang luar biasa untuk mencegahnya, yang salah satunya adalah tindakan penyadapan.

147

Ibid, halaman 238 148

(13)

Berdasarkan asas-asas hak asasi manusia, maka tentunya tindakan penyadapan membutuhkan batasan-batasan yang tegas. Oleh karena itu, tindakan penyadapan harus dilakukan pengaturan yang memberikan wewenang kepada lembaga-lembaga penegak hukum tertentu untuk melakukan tindakan penyadapan. Namun, memberikan batasan-batasan secara tegas yang dimulai dari proses permohonan izin sampai pada pelaksanaan tindakan penyadapan tersebut sehingga dapat meminimalisasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.149

Menurut Chairul Huda, wewenang untuk melakukan penyadapan yang diberikan oleh UU PTPK tahun 2002 tidak bertentangan dengan hak-hak yang berada dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), sebab-sebab sebagai berikut:150

1) Penyadapan bukan merupakan serangan terhadap diri pribadi atau keluarga orang yang terkena penyadapan

2) Penyadapan buka merupakan serangan terhadap kehormatan dan/atau

martabat orang yang disadap, karena Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK) hanya menggunakan hasil penyadapan untuk kepentingan pembuktian perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan. Dengan demikian, jika hasil penyadapan tidak menunjukkan adanya keterlibatan orang yang disadap dalam perkara tindak pidana korupsi, KPK tidak dapat menggunakan hasil penyadapan untuk kepentingan apapun.

149

Ibid, halaman 241 150

(14)

3) Penyadapan bukan merupakan serangan terhadap harta benda milik atau yang yang dikuasai oleh orang yang disadap.

4) Penyadapan tidak membuat seseorang merasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang sah menurut hukum.

5) Penyadapan bukan merupakan penyiksaan karena penyadapan tidak menimbulkan rasa sakit.

6) Penyadapan buka merupakan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, karena pelaksanaan penyadapan tidak disertai dengan kata-kata atau tindakan-tindakan yang merendahkan derajat martabat pihak yang disadap dan hasil penyadapan hanya digunakan untuk kepentingan pembuktian dalam proses peradilan atas perkara tindak pidana korupsi, tidak digunakan untuk merendahkan derajat martabat seseorang.

7) Seandainya kewenangan penyadapan tersebut bertentangan dengan

hak-hak yang tercantum di dalam pasal 28G UUD 1945, Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 memperkenankan diterbitkannya undang-undang yang membatasi hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 G UUD 1945. Dengan demikian, pembatasan atas hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 G UUD 1945, sepanjang pembatasan itu ditetapkan di dalam Undang-Undang.

(15)

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPTPK) memang agak berbeda, karena kewengangan diberika kepada KPK, sehingga tidak tepat jika kewenangan diberikan kepada KPK, seharusnya kewenangan diberikan kepada penyidik KPK.151

Pada dasarnya penyadapan bertentangan dengan privasi seseorang. Setiap upaya yang berhubungan dengan penyidikan tindak pidana, maka akan berhubungan pula dengan hak-hak dasar seseorang, oleh karena itu di dalam hukum pidana berlaku prisip due process of law.152 Selagi kewenangan itu tidak

diberikan oleh undang-undang, maka aparat penegak hukum tidak berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang membatasi kebebasan seseorang. Kewenangan melakukan tindakan penyadapan seyogianya tidak diberikan kepada KPK sebagaai kelembagaan, melainkan kewenangan ini diberikan kepada pejabat penyidik, penyelidik, dan penuntut umum KPK.

Pelunya pembatasan dalam melakukan penyadapan juga meneladan pada berbagai ketentuan lain dalam hukum acara pidana. Dalam penyadapan, juga terdapat sesuatu hal yang diambil, yaitu informasi. Informasi yang disadap juga sangant penting bagi yang bersangkutan dan boleh jadi mempunyai nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan uang atau barang lainnya.153

Berkaitan dengan pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK yang mengatur tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya

151

Ibid, halaman 247 152

Dalam literature Indonesia, due process of law diterjemahkan seagai proses hukum

yang wajar, yaitu proses hukum berdasarkan undang-undang (Ibid, halaman 247)

153

(16)

disebut MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tentang Pengujian Konstitusionalitas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK, dimana MK berpendapat bahwa:154

“Hak-hak yang terdapat dalam pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 D UUD 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 I UUD 1945. Dengan demikian, hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana diatur dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Pembatasan itu diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengawasi tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 11 huruf c Jo. Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPTPK. Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman, MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara

penyadapan dan perekaman dimaksud”

Mengingat korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga tidak cukup sekedar metode pemdekatan yang konvensional atau biasa saja. kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KPK sama sekali tidak mengurangi hak warga negara untuk mendapatkan rasa aman. Perinsipnya, penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari tindakan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik terhadap suatu tindak pidana.155 Perlu diketahui bahwa, KPK dalam kasus-kasus yang telah ditanganinya menggunakan penyadapan sebagai penguatan terhadap bukti permulaan dan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.156

154

Ibid, halaman 259-260 155

Ibid, halaman 260 156

(17)

Tindak pidana jenis baru atau tindak pidana modern dewasa ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat canggih serta modus oprandi yang semakin sulit untuk dideteksi. Untuk mendeteksi tindak pidana ini perlu dilakukan upaya-upaya baru yang penuh dengan terobosan hukum salah satunya adalah penyadapan. Menurut hemat penulis, tidak semua tindak pidana dapat dilakukan tindakan penyadapan. Tindak pidana yang dapat dilakukan tindakan penyadapan adalah tindakan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime), tindak pidana yang teroganisir, tindak pidana kerah putih, tindak pidana kejahatan manusia, serta kejahatan lain yang dianggap sebagai tindakan kejahatan berat, yang salah satunya adalah kejahatan yang dapat mengancam kedaulatan negara.

Sistem penyadapan di Indonesia harus dibentuk dengan prinsip efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Artinya, dalam melakukan penyadapan tidak perlu memperpanjang rantai birokrasi atau bahkan menambahkan lembaga khusus lainnya, melainkan mengoptimalkan lembaga yang sudah ada. Namun, haruslah menentukan substansi pengaturan dan pengawasan yang lebih baik sehingga tindakan penyadapan yang dilakukan dapat mencapai tujuannya.157

B. Kedudukan Hukum Alat Bukti Penyadapan Dalam Pembuktian Di Persidangan Tindak Pidana Korupsi

Alat bukti penyadapan dalam Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut TIPIKOR) dewasa ini cenderung sering dipergunakan. Dalam upaya menjerat perlaku TIPIKOR, pemerintah menggunakan berbagai upaya untuk melindungi

157

(18)

keuangan negara dan mengembaikan kerugian negara. Salah satunya dengan cara melakukan tindakan penyadapan. Namun, kedudukan hukum dari tindakan penyadapan ini masih menentukan peran dari keterangan ahli untuk memperkuat pembuktiannya di persidangan.

Penjelasan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikemukakan pula ketentuan mengenai sumber pengolahan alat bukti

yang sah berupa petunjuk dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain

diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.158

Tidaklah berlebihan apabila disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana kerah putih (white collar crime) yang bersifat ekstra ordinary (extra ordinary crime) dan terorganisasi (organized crime) dengan dimensi kejahatan baru (new dimention of crime) yang sudah tentu akan sangat berdampak negatif dan berbahaya sehingga dalam upaya pencegahan dan

158

(19)

pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula, salah satu caranya adalah dengan melakukan tindakan penyadapan dan mengakui hasil penyadapan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi.159

Terkait dengan pengaturan dan legitimasi tindakan penyadapan sebagai salah satu upaya luar biasa dalam menangani maraknya tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan sebagai berikut:160

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang

ini.”

Sedangkan apabila dilihat dari penjelasannya, dikemukakan dengan tegas bahwa:

“Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk

melakukan penyadapan (wiretapping).”

Mengenai hasil sadapan sebagai alat bukti petunjuk dapat dilihat dari ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur dengan jelas bahwa:161

“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi, juga dapat diperoleh dari: alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain

159

Ibid

160

Ibid, halaman 280 161

(20)

kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau

perforasi yang memiliki makna.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa kewenangan yang memiliki oleh seorang penyidik dalam rangka membuat terang dan menemukan pelaku dari suatu dugaan tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan penyadapan (wiretrapping) dan berdasarkan ketentuan di atas pula dapat dilihat bahwa dalam hal terjadi tindak pidana korupsi maka hasil penyadapan diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, yaitu berupa alat bukti petunjuk.162

Khusus terkait dengan tindakan penyadapan, pengaturan mengenai penyadapan dalam Undang-Undang ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan dengan tegas bahwa :163

“Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa

telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirm dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”

Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi di atas, dapat dilihat bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh

162

Ibid

163

(21)

penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk kepentingan proses peradilan pidana. Namun, hal tersebut baru dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Jaksa Agung bagi Jaksa yang ingin melakukan penyadapan dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia bagi Polisi yang ingin melakukan tindakan penyadapan atau berdasarkan permintaan penyidik lainnya dan tindakan ini diajukan untuk tindak pidana tertentu atau tindak pidana yang bersifat khusus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.164

Pasal tersebut juga mengatur tentang subjek atau lembaga yang berwenang melakukan tindakan penyadapan. Menurut undang-undang ini, subjek atau lembaga yang memiliki wewenang dalam melakaukan tindakan penyadapan bukanlah merupakan penyidik tindak pidana yang bersangkutan melainkan penyelenggara jasa telekomunikasi.165 Dengan demikian, penyidik baik itu kepolisian ataupun kejaksaan atau penyidik lainnya yang tidak berwenang untuk melakukan tindakan penyadapan secara langsung dapat meminta untuk dilakukan tindakan penyadapan kepada penyelenggara telekomunikasi.166

Menurut Kristian, kondisi demikian mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak negatif dalam hal ini adalah penyidik tidak dapat langsung melakukan tindakan penyadapan secara langsung, sehingga harus melalui rantai birokrasi dan prosedural yang lebih panjang, lebih rumit, dan membutuhkan waktu yang lama. Dan juga akan membuka peluang untuk terbukanya rahasia

164 Kristian & Yopi Gunawan,

Opcit, halaman 281-282 165

Berbeda halnya dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat langsung melakukan tindakan penyadapan sebagaimana telah disinggung pada bagian 2 diatas. (Ibid, halaman 282)

166

(22)

tindakan penyadapan yang akan dilakukan ataupun hasil sadapan atau bahkan melanggar hak asasi manusia dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan dampak positif dalam hal ini adalah terkontrolnya tindakan penyadapan oleh pihak yang diberikan wewenang, untuk keperluan apa tindakan penyadapan dilakukan serta tindakan penyadapan tidak dapat dilakukan secara sembarangan.167

Tindakan penyadapan sering kali dikaitkan dengan penegakan hak asasi manusia. Dengan adanya tindakan penyadapan dikhawatirkan akan menderogasikan atau bahkan meniadakan hak asasi manusia. Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada seluruh warga negaranya. Hal ini dikemukakan dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5). Bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Sehingga, untuk melindungi hak asasi setiap warga negaranya adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh negara.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 32 Undang-Undang ini mengemukakan bahwa:168

“Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, data dilihat bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam

167

Ibid. halaman 282 168

(23)

hubungan komunikasi melalui sarana elektronik dapat dikesampingkan atau dikecualikan selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut adalah dengan adanya perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan pertaruan perundang-undangan yang berlaku.

Hal senada juga diatur secara tegas dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang meyatakan bahwa:169

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan denga Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis.”

Dapat disimpulkan, dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dikaitkan dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa tindakan penyadapan diperkenankan untuk dilakukan terhadap hak asasi manusia yang dilakukan dengan pembatasan.

Tindakan penyadapan juga diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang meyatakan bahwa:170

“Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pada dasarnya, ketentuan mengenai penyadapan dalam undang-undang ini berkaitan erat dengan kekuatan pembuktian dari hasil sadapan di Pengadilan.

169 Undang-Undang Dasar 1945

170

(24)

Namun demikian, yang menjadi poin penting adalah berkaitan dengan cara melakukan penyadapan yang akan sangat mempengaruhi kekuatan hasil sadapan sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan.171

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) di atas, dapat diketahui bahwa penyadapan dapat dilakukan dan hasil dari penyadapan akan dianggap sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan apabila penyadapan yang dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan SOP(Standart Operation Procedure) yang telah ditentukan. Sebaliknya, apabila tindakan penyadapan yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, maka hasil sadapan tersebut tidak dapt dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan atau disebut juga dengan istilah unlawful gathering evidence.

Adapun prosedur yang harus dilakukan sebelum melaksanakan tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik, antara lain yaitu:172

1) Telah Memperoleh Bukti Permulaan yang Cukup

Bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana173 harus diartikan sebagai bukti minimal, berupa alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahuhn 1981 tentang Hukum Acara

171 Kristian & Yopi Gunawan,

Opcit, halaman 302 172

Ibid. halaman 346. 173

(25)

Pidana174. Sehingga, tindakan penyadapan baru dapat dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana maupun sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana yang bersangkutan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

2) Dokumen Perintah Kepada Penegak Hukum yang Bersangkutan Dokumen ini berisi nama penyidik yang akan melakukan tindakan penyadapan dan nama pejabat yang memberikan perintah melakukan penyadapan. Pejabat yang memberikan perintah tersebut secara organisatoris merupakan atasan dari penyidik yang akan melakukan tindakan penyadapan dan perintah ini juga harus dketahui oleh pimpinan tertinggi dari masing-masing lembaga sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

3) Identifikasi Sasaran Penyadapan

Identifikasi tindakan penyadapan ini akan diuraikan indentitas lengkap mengenai pihak yang akan disadap (objek penyadapan). Identitas lengkap tersebut akan memuat namu tidak terbatas pada: nama tersadap, tempat lahir tersadap, tanggal lahir atau umur tersadap, jenis kelamin, kebangsaan atau kewarganegaraan, tempat tinggal atau alamat tersadap, agama, pekerjaan, dan pendidikan. Hal ini sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya error in

174

(26)

persona dalam tindakan penyadapan yang dilakukan serta

mengurangi potensi pelanggaran hak asasi manusia. 4) Pasal Tindak Pidana yang Disangkakan

Pasal tindak pidana yang disangkakan kepada objek penyadapan harus dicantumkan di dalam berkas yang akan diberikan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Tinggi apabila penyadapan yang dilakukan, dilakukan oleh badan-badan tertentu atau kepada Komisi Yudisial apabila objek penyadapan adalah Hakim atau Ketua dan/atau Wakil Ketua Pengadilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau bahkan Mahkamah Agung. Hal ini bertujuan agar pihak pemberi izin dapat menilai apakah suatu tindak pidana perlu dilakukan penyadapan atau tidak dan dapat mengetahui seberapa penting tindakan penyadapan itu dilakukan.

5) Tujuan dan Alasan Dilakukannya Penyadapan

Tujuan dan alasan dilakukannya penyadapan ini disusun oleh pejabat penegak hukum yang bermaksud atau akan melakukan tindakan penyadapan. Tujuan dan alasan ini dimaksudkan sebgai bahan pertimbangan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Tinggi atau Komisi Yudisial untuk menilai apakah penyadapan itu memang perlu untuk dilakukan atau tidak.

(27)

Substansi informasi yang dicari dalam hal ini berisi unsur-unsur dari pasal tindak pidana yang disangkakan sebagaimana diuraikan dalam poin 4 diatas. Dengan demikian, dapat diuraikan sejauh mana tindakan penyadapan akan dilakukan, yakni tindakan penyadapan hanya akan dilakukan dalam proses membuktikan telah terjadi tindak pidana dan menemukan pelakunya atau bahkan membongkar jaringan atau sindikat dari tindak pidana tersebut. 7) Jangka Waktu Penyadapan

Dalam hal jangka waktu penyadapan hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan, namun dapat diperpanjang setiap 12 (dua belas) bulan sesuai dengan keperluan. Meskipun demikian, mengenai berapa lama atau jangka waktu untuk dilakukannya tindakan penyadapan ini dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi, misalnya dapat ditentukan jangka waktunya 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, dan lain sebagainya.

Terkait dengan alat bukti penyadapan sebagai alat bukti sah, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tepatnya pada Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dinyatakan dengan tegas bahwa:175

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

175

(28)

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Ketentuan diatas dapat dilihat bahwa alat bukti penyadapan merupakan alat bukti yang sah. Dimana pasal 1 tersebut menyebutkan alat bukti berupa informasi elektronik, dokumen elektronik, dan hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dan di Pasal 2 menyebutkan informasi elektronik, dokumen elektronik, dan hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah

wadah atau „bungkus‟ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita

berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.176

176

(29)

Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Josua Sitompul yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya:177

a. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;

b. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.

Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.178

177

Ibid.

178

(30)

Josua Sitompul juga menambahkan bahwa Informasi dan Dokumen Elektronik harus memenuhi syarat formil dan syarat materil agar menjadi alat bukti yang sah. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.179

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa alat bukti penyadapan termasuk dalam alat bukti yang sah di Pengadilan. Hanya saja alat bukti penyadapan tersebut haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang ataupun peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan. Sehingga, jika disesuaikan dengan pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait alat bukti penyadapan adalah sah adanya sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan dalam pasal 26 A UU

179

(31)

PTPK dijelaskan bahwa alat bukti secara elektronik merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti penyadapan merupakan alat bukti yang termasuk dalam alat bukti elektronik yang sesuai dengan maksud dalam Pasal 5 (1) UU ITE.

C. Peran Keterangan Saksi Ahli Tentang Alat Bukti Penyadapan di dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi

Seorang ahli dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan membutuhkan penelaahan dan ketelitian dalam memberikan keterangannya, terutama untuk kejahatan yang tergolong dalam kejahatan luar biasa (extra

ordinary crimes). Tindak Pidana Korupsi tergolong dalam kejahatan luar biasa

sehingga diperlukan penegakan hukum yang luar biasa pula pada hal tersebut terbukti dengan diaturnya suatu aturan khusus yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi diubah dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi serta aturan lain yang memiliki andil dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.180

Pada umumnya, alat bukti yang dihadirkan di Peradilan Tindak Pidana Korupsi dibutuhkan keterangan ahli dalam memperkuat kebenaran dari alat bukti tersebut. Sehingga peran keterangan ahli tidak dapat dihilangkan dari proses

180

(32)

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Keterangan ahli juga dapat memberikan pencerahan kepada majelis hakim terkait perkara tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan:

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pengertian diatas memiliki makna jika KUHAP menerangkan ahli dan memposisikannya dalam peradilan sebagai penjernih dan penerang, karena dalam keterangan yang diberikan seorang ahli, hakim akan melihat dari apa yang disampaikannya kemudian disandingkan dengan keterangan saksi dan alat bukti yang lain, jika ada persusesuaian maka jelaslah sebuah perkara tersebut dan menjadi petunjuk bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pada terdakwa.

Keterangan ahli dalam memeriksa tindak pidana korupsi dalam hal keterangan alat bukti penyadapan dapat memberikan keyakinan terhadapan hakim bahwa alat bukti penyadapan yang dihadirkan di persidangan adalah benar dan tidak dimanipulasi. Ahli yang dihadirkan dipersidangan dalam pembuktian kebenaran alat bukti penyadapan adalah ahli yang berkaitan dengan IT, yang akan menjelaskan tentang informasi elektronik dan hal lain yang masih di bidang IT.

(33)

suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

Melihat ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka

dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk

memeriksanya.181 Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.

Mengenai peran ahli dalam memberikan keterangannya dalam pemeriksaan di persidangan terdapat dalam sejumlah peraturan dalam KUHAP, antara lain:182

Pasal 132 ayat (1) KUHAP

Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli;”

Pasal 133 ayat (1) KUHAP

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan

181

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 120 ayat (1)

182

(34)

keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”

Pasal 179 ayat (1) KUHAP

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”

KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi. Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai Visi apabila:183

a. apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk

dalam ruang lingkup keahliannya;

b. apa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hukum di pengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan putusan yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan

183

(35)

putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi. Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin diperlukan. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.

Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183 KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.

(36)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan alat bukti dalam tindak pidana korupsi dalam hal alat bukti

(37)

karena dalam melakukan tindakan penyadapan juga harus sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. Karena tindakan penyadapan ini merupakan tindakan yang sangat rentan melanggar hak asasi manusia, sehingga perlu tata cara mekanisme yang harus dilakukan untuk melaksanakan kegiatan penyadapan ini. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 J ayat (2) jika dikaitkan dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa kegiatan penyadapan dapat dilakukan dan diperkenankan, hanya saja dilakukan pembatasan. Artinya, kegiatan penyadapan haruslah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Sehingga tindakan penyadapan tidak melanggar ketentuan dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik yang berwenang dalam tindak pidana korupsi (Dalam hal ini adalah KPK) memang harus dilakukan, mengingat tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa sehingga perlu pula dilakukan cara-cara yang luar biasa dalam menjerat pelakunya yaitu salah satunya adalah dengan cara melakukan tindakan penyadapan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi.

2. Kedudukan hukum alat bukti penyadapan di dalam persidangan telah

(38)

yang sah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (4) yang menjelaskan kedudukan dari pada alat bukti penyadapan. Pasal tersebut merupakan syarat formil untuk mejelaskan kedudukan dari pada alat bukti penyadapan. Alat bukti dari hasil penyadapan juga harus dibuktikan kebenaran, keotentikannya, serta keutuhannya sehingga dapat dihadirkan dipersidangan dan menguatkan kedudukan hukum dari pada alat bukti hasil penyadapan tersebut. Selain itu juga, kedudukan hukum alat bukti penyadapan juga tidak terlepas dari proses prosedur yang dilakukan untuk memperoleh hasil penyadapan tersebut. Haruslah juga sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar alat bukti penyadapan dapat di pergunakan di pengadilan.

B. Saran

1. Perlu dibentuknya pengaturan mengenai tindakan penyadapan dalam

(39)

tidak terjadi tumpang tindih dalam hal kewenangan yang dapat melakukan tindakan penyadapan tersebut.

(40)

BAB II

KETENTUAN ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya

Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan Negara.24 Fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat, bahkan jauh sebelum zaman penjajahan. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat tertentu kepada penguasa setempat atau kepada penjajah pada masa itu.25

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.26

24

Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui egagalan. (http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081, Opcit.)

25

http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di- indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/halaman 1

26

(41)

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.27

1. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideransnya, yang antara lain enyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.28 Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti denga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.29

Tujuan pemerintah dan pembuatan undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi

27

Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman 3

28 H. Elwi Danil.

Opcit, halaman 5

(42)

yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.30 Pemahaman atas hal tersebut sangat membantu mempermudah segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

Pemahaman tentang korupsi perlu dijelaskan, karena korupsi merupakan bagian dari tindak pidana itu sendiri. Secara umum pertbuatan korupsi adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dimana dampak yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat dalam arti luas dan jika dibiarkan secara terus menerus, maka akan merugikan keuangan Negara/ perekonomian Negara yang mengakibatkan Negara tersebut gagal dalam mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Black „s Law Dictionary mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hal-hak dari pihak lain.31

Syed Husein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjekujuri dalam ativitas korupsi, yaitu

30 Ibid. 31

(43)

subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.32

Modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan (occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu cirri yang bersifat umum dari kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga ditujukan terhadap kepentingan hukum dari Negara.33

Secara harfiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Di dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003 United Nation Convention Againts

Corruption 2003 (UNCAC), yang telah diratifikasi Pemerintah RI dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, ada beberapa perbuatan yang dikategorikan korupsi, yaitu sebagai berikut.34

1. Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat public atau swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat public atau swasta atau internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam

32

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/ halaman 1

33

P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 7

34

(44)

pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut.

2. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat public/swasta/internasional.

3. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.

Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagaimana

yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang tindak pidana korupsi”.35

Syed Hussein Alatas mengemukakan secara sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.36

Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak pidana korupsi tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga sanksi hukuman yang diancamkan dan ditetapkan akan membantu memperlancar upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.

Syed Hussein Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:37

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Krupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang;

35

Firman Wijaya, Opcit, halaman 7

36 Ibid. 37

(45)

d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan public atau umum (masyarakat);

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Selanjutnya ia mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai berikut:38

1. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara

seorang pendonor denga resipien untuk keuntungan kedua belah pihak;

2. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan

untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi;

3. Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan

investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;

4. Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik

dalam pengangkatan kantor public maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat;

5. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat

keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan public yang seharusnya dirahasiakan;

38 Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa),

(46)

6. Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi

intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan; dan

7. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.

(47)

dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-contoh yang kongkrit.39

Adawi Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa criteria/bagian, yaitu:

a) Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi; b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi; c) Atas dasar sumbernya;

d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;

e) Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian

negara.

1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subtansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a) Tindak Pidana Korupsi Murni

Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan Negara, perekonomian Negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam Pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,

39

(48)

11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP).40

b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana yang substansi objek mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan disini hanya diatur dalam 3 Pasal, yakni Pasal 21, 22, dan 24 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK).41

2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:42

a) Tindak Pidana Korupsi Umum

Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam keompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal-Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.

40

Adami Chazawi, hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman 20

41

Ibid, halaman 22

(49)

b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibenntuk untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Orang yang bukan pegawai negeri tida dapat melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri ini. Disini, kualitas pegawai negeri meupakan unsure esensalia tindak pidana.43

3. Atas Dasar Sumbernya

Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni:

a) Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP

Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:44

1. Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam UU PTPK. Rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. 2. Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada Pasal-Pasal tertentu dalam

KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah

43

Ibid, halaman 23

44

(50)

ancaman dan sistem pemidanaannya. Termamsuk dalam kelompok tindak pidana ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan dalam pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.

b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan sendiri sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang dibentuk oleh Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Termasuk dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, dan 24.45

4. Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana.

Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara lain:

a. Tindak pidana korupsi aktif

Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif ialah tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yan

Referensi

Dokumen terkait

Ä Bersyukur untuk penyertaan Tuhan dalam setiap pengurusan perkuliahan Ä Doakan tetap bisa membagi waktu perkuliahan, KP dan pelayanan. Ä Doakan keuangan tercukupi untuk uang kuliah

Berdasarkan hasil kerja praktik penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Upaya Meningkatkan Nasabah Melalui Produk Pembiayaan Rehab Rumah Dengan Menggunakan Akad Murabahah

6 3DQML 0DV\DUDNDW , No.. me nyatakan bahwa kalender tersebut adalah yang di- dasarkan pada sistem Qamariyah semata. Satu tahun di tetapkan berjumlah 12 bulan, sedang penghitungan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat konsumsi konsumen, menganalisis preferensi konsumen serta untuk menganalisis kombinasi atribut yang paling disukai konsumen

Pada siklus I ini hanya 34 peserta didik yang menjadi responden dari 35 peserta didik, dikarenakan satu siswa sedang sakit pada saat tes siklus dilaksanakan. terdiri dari

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi adanya pengaruh keadaan yang terbentuk dari kondisi fisik ruang luar perumahan seperti taman, kolam renang, dan lapangan voli

[r]

Pada website ini anggota klub motor ataupun pengguna lainnya dapat mencari informasi seputar klub motor dari seputar kegiatan, struktur organisasi sampai tips tentang sepeda