• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA DAN MINAT MENGIKUTI

B. Bunda Maria

Berdasarkan kesaksian Injil Yohanes dan kisah para rasul, Maria kemudian dihormati oleh umat katolik sebagai “Mater Ecclesiae”, yang artinya “Bunda Gereja”. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja menjelaskan sebagai berikut:

Maria memang Bunda para anggota (Kristus), karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerjasamanya, supaya dalam Gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota Kepala itu. Oleh karena itu, ia menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, juga sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih. Menganut bimbingan Roh Kudus, Gereja Katolik menghadapinya penuh rasa kasih sayang sebagai bundanya tercinta (LG, art 53).

Menurut Konsili Vatikan II, Gereja katolik mengakui peranan Maria bukan sebagai anggotanya yang serba unggul dan sangat istimewa, melainkan pula

sebagai pola-teladannya yang mengagumkan serta sebagai bundanya yang tercinta. Maka, sesuai dengan penegasan Konsili Vatikan II ini, Paus Paulus VI memaklumkan Maria bukan hanya sebagai “Bunda Kristus”, Sang Kepala, tetapi juga sebagai “Bunda Gereja”, para anggota-Nya (Njiolah, 2003:21-22).

Maria adalah Bunda Gereja, yaitu bunda dari orang-orang beriman sebagai yang pertama dalam tatanan rahmat. Sebutan Bunda Gereja mengungkapkan inti perhatian akan keibuan Maria. Dalam hal ini, Maria adalah Bunda universal dari semua umat Allah, dan di dalam Gereja ia menempati kedudukan sebagai ibu. Seluruh Gereja memanggil Bunda Tuhannya sebagai Bundanya sendiri (NN, 2011 :23-25).

Maria adalah Bunda Gereja karena ia termasuk dalam kelompok manusia yang dipulihkan kembali oleh Kristus kepada Bapa dan karena ia juga mendapat keuntungan dari rahmat penebusan yang datang kepadanya saat ia dikandung tanpa noda dosa (NN, 2011:25-26).

2. Bunda Allah

Konsili Efesus (431) menetapkan dogma atau ajaran resmi Gereja, bahwa Maria adalah “Theotokos” atau “Bunda Allah” (Njiolah, 2003:28-30). Pada abad ke tiga, sebutan Theotokos, yang berarti “Bunda Allah” atau “orang yang melahirkan Allah”, diberikan kepada Maria. Hal ini tersebar luas dan kemudian disiarkan oleh Konsili Efesus pada tahun 431. Sirilus dari Aleksandria, misalnya, mengumumkan hal ini dalam Kutukan Pertamanya Melawan Nestorius,

“Jika seseorang tidak mengakui bahwa Emmanuel benar-benar Allah dan karena itu Perawan Suci adalah Bunda Allah (karena dia melahirkan dalam daging Sabda Allah yang menjadi daging), terkutuklah dia.”

Beberapa anggota konsili mengakui kata-kata Sirilus sebagai pernyataan iman Kristen yang sejati dan sejak itu sebutan Theotokos dinyatakan sebagai sebuah dogma yang diakui oleh semua anggota Gereja. Dengan mengakui Maria sebagai Bunda Allah, kita juga mengakui bahwa ia melahirkan Sang Ilahi dengan hakikatnya sebagai manusia sejati (NN, 2011:11-12).

Majalah inspirasi oleh Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja (2013:10) mengatakan bahwa Maria menjadi ibu karena naungan Roh Kudus, Roh Kesucian. Maria sepenuhnya menyerahkan diri kepada karya Roh Kudus, dengan menjawab “Terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk 1:38). Iman yang total kepada Allah membuatnya kudus dan suci. Maria dapat bersikap demikian karena Maria “penuh rahmat”, sejak dari kandungan ibu Anna, telah “dikaruniai” dan bebas dari noda dosa. Perawan Maria adalah sungguh Allah, sungguh manusia, maka Maria sungguh Bunda Allah.

3. Bunda Sang Pendoa

Bunda Maria memang seorang pendoa yang tulus dan jujur di hadapan Allah. Kehidupan doa adalah sebagian besar dari hidupnya. Sikap pendoa dari Bunda Maria terjadi begitu saja, bukan sebagai beban dan tugas berat. Hal ini terlihat saat Maria berjumpa dengan Elisabeth, saudarinya (Purnomo, 2001:46-47).

Sikap dasar iman Bunda Maria sebagai seorang pendoa tampak dalam sikap penyerahannya seperti terungkap dalam sikap pasrah-percaya-sepenuhnya kepada Allah dalam kerendahan hati. “Aku ini hamba Tuhan, terjadi padaku menurut

kehendak-Mu!” sikap iman sebagai pendoa inilah yang terwariskan kepada diri Yesus (Purnomo, 2001:48).

4. Ibu Yesus Kristus

Dalam Injil Matius, orang banyak mengenal Yesus sebagai “anak tukang kayu”, dan “anak Maria” serta “saudara Yakobus, Yusuf, Simon, dan Yudas”. Sedangkan dalam Injil Lukas, malaikat Gabriel-lah yang membawa kabar gembira, dengan berkata kepada Maria: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung

dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus!” (Njiolah, 2003:17-20). Maka dengan perkataan malaikat itu, Maria

kemudian mengandung dan melahirkan Yesus, sehingga Maria disebut Ibu Yesus Kristus.

5. Maria Perawan

Agustinus dari Hippo (354-430) menegaskan bahwa, “Maria tetap perawan, ketika ia sedang mengandung Puteranya, perawan ketika ia melahirkan-Nya, perawan ketika ia menyusui-Nya; pendek kata ia selalu perawan”. Supaya tidak menimbulkan keraguan lagi, Konstantinopel II (553) akhirnya menetapkan “keperawanan” Maria sebagai dogma atau ajaran resmi Gereja. Mengenai “keperawanan” Maria, Konsili Vatikan II menguatkan pernyataan Konsili Lateran (649), yaitu kelahiran Yesus Kristus sama sekali tidak mengurangi keutuhan “keperawanan” Maria, melainkan justru menyucikan (LG 57) (Njiolah, 2003:30-31).

Keibuan Maria diimani Gereja sebagai keibuan seorang perawan. Gereja mengajarkan keperawanan Maria lebih dihubungkan dengan iman Maria yang total, sikap penyerahan diri yang utuh terhadap kehendak Allah dalam dirinya. Kata “ya” terhadap panggilan hidup sebagai Ibu Penyelamat dunia meski tidak beliau ketahui apa arti sesungguhnya merupakan gambaran sikap ketaatan iman yang mutlak dan cinta bakti yang penuh dan total kepada Allah yang tiada bandingnya.

Konsili Vatikan II memutuskan “Dalam iman dan ketaatan Maria melahirkan Putra Bapa sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria; dalam naungan Roh Kudus, sebagai Hawa yang baru, karena percaya kepada utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan” (LG 63).

Majalah inspirasi oleh Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja (2013:10) mengatakan bahwa keperawanan Maria berhubungan dengan keibunannya sejauh ia melahirkan Anak Allah, sebab, “ia percaya bahwa apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (Luk 1:45).

C. Minat Mengikuti Perayaan Ekaristi

Dokumen terkait