• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bupati di bawah Kekuasaan Asing

Dalam dokumen PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MOD (Halaman 29-35)

MENJADI BUPATI KOLONIAL

A. Bupati di bawah Kekuasaan Asing

Konsep kekuasaan dalam tradisi Sunda mengharuskan bupati sebagai penguasa adalah sosok terusing ratu, menak rembesing kusumah64 yang telah dititisi pulung bupati sebelumnya. Kabupaten adalah kerajaan dalam bentuk kecil, maka bupati disamakan dengan raja yang menguasai dan memiliki seluruh daerah kekuasaan serta segala isinya. Meskipun bupati memerintah atas nama penguasa di atasnya, rakyat tetap menganggap bupati sebagai raja.65 Rakyat patuh dan tunduk kepada bupati, sementara bupati mengimbangi dengan mengayomi serta melindungi rakyatnya. Hubungan timbal balik itu harus senantiasa dijaga karena kedua pihak saling membutuhkan dan melengkapi.

Bupati harus memiliki sorot yang kuat dan legeg menak,66 bertabiat luhur, pandai, rajin, setia, teguh, dan mampu memutuskan perkara berdasarkan pertimbangan baik dan buruk. Bupati harus menguasai berbagai pengetahuan, termasuk pengetahuan kenegaraan dan keagamaan yang luas. Integritas bupati sangat ditentukan oleh pengetahuannya, jika ia pandai dan cerdas maka ia

64 Setiap penguasa harus keturunan raja, bangsawan, dan leluhur yang agung. Lihat R. Memed Sastrahadiprawira, Pangeran Kornel, (Bandung: Rahmat Cijulang), 1986, hlm. 91.

65 Suhardjo Hatmosuprobo, Bupati-Bupati di Jawa pada Abad 19, (Yogyakarta: Javanologi, 1986), hlm. 5.

66 Legeg menak adalah tindak tanduk ideal menak, yaitu gagah, cakap, sabar, arif, toleran, tenang, rendah hati, berani, ksatria, percaya diri, sacangreud pageuh sagolek pangkek

dapat memahami, menjawab, dan menyelesaikan setiap persoalan dengan bijak. Bupati harus mampu membaca dan memahami keadaan rakyat, melindungi rakyat dari segala ancaman dan bahaya, serta menjadi andalan rakyat terutama ketika mendapatkan masalah.

Kehidupan kabupaten adalah kehidupan ideal sekaligus menjadi pujaan rakyat kabupaten, sehingga mereka akan bangga jika bisa masuk dan menjadi bagian di dalamnya. Rakyat akan merasa terpanggil dan suka rela untuk

ngawula kepada bupati dan keluarganya. Setiap tugas dan perintah, terutama dari bupati akan dilaksanakan dengan sepenuh hati. Tugas-tugas yang dilakukan kawula kabupaten antara lain bertugas jaga di rumah bupati, mengantar surat dinas, dan membawa berbagai pusaka serta perlengkapan upacara. Berbagai pusaka, simbol, dan atribut kebesaran bupati harus selalu ada di dekat bupati, baik saat audiensi maupun saat melakukan kunjungan ke daerah.67

Leluhur bupati Galuh memerintah secara otonom sebelum dikuasai oleh Mataram Islam pada tahun 1595. Meski dengan berat hati, bupati berikutnya memerintah di bawah kekuasaan Mataram Islam. Kehadiran Belanda disambut baik oleh bupati karena diharapkan dapat membantu memperkuat kedudukan

67 Contohnya senenan dan tournee. Senenan adalah perjalan dinas bupati yang dilakukan setiap hari Senin. Agaknya kebiasaan senenan di Priangan meniru kebiasaan saptonan

di Mataram, karena Raja Mataram melakukan kebiasaan saptonan. Tournee adalah tugas meninjau secara langsung keadaan daerah sebagai bahan laporan kepada Residen. Ketika tournee,bupati diikuti oleh 6 hingga 10 pejabat bawahan lengkap dengan pangderek dalam jumlah besar. Semua keperluan tournee menjadi tanggungan pejabat daerah yang dikunjungi, mulai dari wedana hingga lurah. Tournee sering dimanfaatkan oleh bupati dan pejabat lain sebagai ajang nyanggrah, yaitu meminta barang-barang milik rakyat, misalnya gadis dan kuda. Lihat D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia II (diterjemahkan dan disadur oleh Prajoedi Atmosoedirdjo), (Jakarta: Pradnja. 1967), hlm. 118.

mereka untuk melepaskan diri dari kekusasaan Mataram. Secara bertahap Belanda berhasil memisahkan daerah-daerah kekuasaan Mataram dari raja Mataram. Priangan menjadi daerah pertama yang berhasil dikuasai oleh Belanda, disusul oleh Pesisir Utara, dan akhirnya pada tahun 1830 Belanda berhasil menguasai seluruh Jawa.

Rakyat Galuh mengingkari kekuasaan Mataram, tetapi melakukan pembenaran terhadap kekuasaan Belanda yang menggantikan Mataram. Kehadiran Belanda yang berhasil mengusir Mataram dianggap sebagai suatu suratan nasib,68 sehingga bupati dan rakyat tidak perlu takut terhadap Belanda.69 Bukan suatu kesalahan jika bupati dan rakyat Galuh patuh kepada Belanda, karena Raja Jawa telah menyerahkan mereka kepada kekuasaan asing itu. Keadaan kabupaten menjadi lebih baik setelah kekuasaan Mataram atas Galuh berakhir. Rakyat tidak perlu melakukan tugurtundan70 dan mengeluarkan upeti dua kali.71

68 Babad Galuh menyebutkan bahwa masuknya kekuasaan Belanda sudah diramalkan oleh ajar, oleh karena itu kedatangan Belanda tidak bisa ditolak. Bangsa asing itu dianggap sebagai Ratu Adil yang akan membalas perbuatan raja Jawa yang telah menyakiti keturunan Galuh. Ramalan seperti itu dikenal sebagai uga, yaitu ramalan tentang perubahan penting yang menyangkut keadaan negara, politik, dan sosial. Lihat Sunarsih Warnaen et.al. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, (Bandung: Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, 1987), hlm. 7-12.

69 Rakyat pribumi menyamaratakan semua orang Barat dengan sebutan Walanda, bahkan ada yang menyebutnya Perteges (maksudnya adalah Portugis). Semua orang Barat itu lebih dikenal dengan sebutan Kumpeni.

70 Tugurtundan adalah bakti (kewajiban) menjaga keamanan Mataram dan mengangkut barang ke Mataram yang tempatnya jauh sekali. Kewajiban lain yang dibebankan Mataram kepada Galuh adalah pengiriman orang-orang Galuh ke ibu kota Mataram untuk bekerja pada raja Mataram.

71 Rakyat Galuh tidak perlu lagi menyerahkan upeti kepada raja Mataram, mereka hanya menyerahkan upeti kepada bupati Galuh.

Belanda mengembangkan kekuasaannya melalui berbagai kontrak yang disepakati dengan para penguasa pribumi. Untuk memperlancar misinya, Belanda tidak segan-segan bersikap luwes, yaitu menyesuaikan diri dengan keadaan tradisi pribumi yang telah mapan. Belanda dengan sengaja memperkuat posisi bupati yang secara otomatis mempertahankan hierarki sosial masyarakat pribumi. Belanda melindungi feodalisme yang telah ditanamkan oleh Mataram kepada bupati, karena feodalisme dapat menjamin otoritas tradisional bupati terhadap rakyatnya. Belanda melihat bahwa ikatan feodal (feodale gebondenheid) antara bupati dengan rakyatnya sebagai alat penting yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung eksploitasi kolonial.

Pemerintah Belanda harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Birokrasi pribumi dibiarkan bersifat dualistik, yaitu memiliki otoritas tradisional sekaligus legal-rasional. Kebijakan mempertahakan budaya feodal telah memberikan kesempatan kepada budaya kebangsawanan di masa lampau untuk dipertahankan, walaupun mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman dan kemampuan pendukungnya.72

Pejabat VOC pada umumnya tidak mengetahui kondisi lapangan yang sebenarnya. Akses mereka terhadap rakyat pribumi sangat terbatas, sehingga memerlukan perantara yang handal dan terpercaya. Bupati adalah orang yang paling mengetahui tradisi dan kondisi rakyatnya, maka bupati adalah sosok yang tepat menjadi perantara VOC dengan rakyat pribumi. Sebagai imbalannya, VOC menjamin kedudukan, kekuasaan, hak-hak istimewa bupati,

72 Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 19-20.

dan melindungi struktur sosial-politik pribumi. VOC juga melarang bupati melakukan hubungan politik dan atau dagang dengan pihak lain. Kesepakatan itu menjamin bupati tetap memiliki otoritas penuh dan memerintah secara otonom.

VOC tidak mengusik wilayah politik dan pemerintahan bupati, termasuk kewajiban dan haknya. Bupati tetap berkewajiban memerintah dan melindungi rakyat, mengadili, dan memelihara ketertiban, keamanan, serta ketertiban wilayahnya.73 VOC juga tidak mengusik privileges (hak-hak istimewa) bupati, yaitu hak pemilikan atas tanah, penguasaan pengabdian dari rakyat, pemungutan pajak,74 hak perburuan dan perikanan, dan penentuan hukum kecuali pidana mati.75

VOC mulai melanggar kesepakatan dengan mengusik otoritas bupati, yaitu ikut campur dalam pemerintahan kabupaten. VOC mengambil alih hak bupati dalam bidang peradilan, terutama hukum pidana. VOC juga mengambil hak bupati atas pemilikan tanah, bupati diwajibkan membayar sewa berupa penyerahan hasil tanaman perdagangan. Pada tahun 1799 VOC bangkrut, kekuasaannya diambil alih kerajaan Belanda dan diserahkan kepada pemerintah kolonial. Di bawah pemerintahan kolonial, otoritas bupati semakin

73 Suhardjo Hatmosuprobo, loc.cit.

74 Pajak dan penggunaan tenaga rakyat adalah ciri utama yang terkandung dalam kekuasaan dan pemerintahan tradisional. Pajak adalah sumber utama keuangan bupati untuk mewujudkan penyelenggaraan kehidupan yang megah dan mewah. Umumya pajak berupa hasil bumi, uang, dan tenaga kerja.

75 Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung: Sundanologi, 1998), hlm. 72; R.A.A.A Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie, (Bandung: A.C. Nix & Co, 1936), hlm. 59.

merosot. Bupati hanya berhak mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan, pemeliharaan jalan, pengumpulan pajak, dan mengamati perkembangan agama Islam. Bupati sering dikucilkan dalam pengambilan keputusan pemerintahan, sehingga mereka terjebak ke dalam status figur belaka.

Bupati (dalem atau pagusten)76 adalah elite penguasa yang menduduki posisi puncak dalam struktur politik dan sosial pribumi. Bupati menjalankan kekuasaannya dibantu oleh bawahan-bawahan yang mempunyai loyalitas kepadanya.77 Jika perlu, pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada pejabat yang lebih rendah tetapi cakap yaitu patih. Patih adalah pemegang jabatan pemerintahan tertinggi di kabupaten sekaligus menjadi wakil pemerintahan. Tugas tambahan untuk patih adalah mengkoordinir pejabat yang berada di bawahnya, mengurusi pesawahan, jalan, jembatan, dan bangunan-bangunan kabupaten.78

Pejabat lain dalam struktur pemerintahan pribumi adalah jaksa kepala (hoofddjaksa), kepala penghulu (hoofdpenghoeloe), kepala prajurit, dan

mantri. Menurut Staatsblad no. 124 tahun 1870, pejabat pribumi yang tergabung dalam pemerintahan tradisional terdiri dari bupati, patih, mantri

kabupaten, hoofddjaksa, adjunct-djaksa, jaksa, hoofdpenghoeloe, penghulu, 76 Samiaty Alisjahbana, A Preliminary Study of The Class Structure among The Sundanese in The Priangan, (New York: Cornell University Press, 1956), hlm. 3-5.

77 Biasanya masih terhitung keluarga atau kerabatnya. Lihat Sartono Kartodirdjo,

Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 232.

78 Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (terj.), (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 37.

wedana, asisten wedana atau camat, ondercontrolleur, mantri pengairan, juru tulis, dan opas. Seluruh pejabat itu tergabung dalam birokrasi pribumi yang digaji oleh pemerintah kolonial yang disebut pangreh praja.

Dalam dokumen PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MOD (Halaman 29-35)

Dokumen terkait