• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MOD"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MODERN: PERUBAHAN KEKUASAAN DAN KEDUDUKAN BUPATI-BUPATI

GALUH (1836-1916)

(2)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Galuh adalah sebuah kabupaten di wilayah Priangan yang tampil sebagai sebuah kerajaan mandiri setelah kerajaan Sunda ditaklukan oleh Banten pada tahun 1579. Pusat kekuasaan Galuh pada saat itu bertempat di daerah Panaekan dengan penguasanya bergelar Sanghiang Cipta Permana. Kabupaten Galuh Batas wilayah Galuh sebelah timur adalah sungai Citanduy, Sumedang Larang dan Cirebon di sebelah utara, Galunggung dan Sukapura di sebelah barat, dan sungai Cijolang di sebelah selatan. Majenang, Dayeuhluhur, dan Pagadingan yang berada di perbatasan timur masuk ke dalam wilayah Galuh. Pada tahun 1595, Galuh dikuasai oleh kerajaan Mataram Islam yang berada di bawah pimpinan Panembahan Senapati.1

Raja Mataram mengakui kedudukan penguasa Galuh sebagai raja yang memerintah tidak di atas nama penguasa Mataram, sehingga Mataram tidak mengeksploitasi kekuasaan politik Galuh.2 Kekuasaan Mataram atas Galuh semakin berkembang ketika Sultan Agung menggantikan Panembahan Senapati. Sultan Agung menjadikan Galuh sebagai salah satu wilayah

1 Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung: Sundanologi, 1998), hlm. 30; Asikin Wijaya Kusumah, Tina Babad Pasundan: Riwayat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Padjadjaran dina Taun 1580, (Bandung: Kalawarta Kudjang, 1961), hlm. 15.

(3)

Mancanagara Kilen Mataram. Sultan Agung mengangkat Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.3

Awal abad 17, Mataram menyerahkan Priangan termasuk Galuh kepada VOC (Vereeniging Oost-Indie Compagnie) sebagai balas jasa karena membantu menyelesaikan permasalahan di Mataram. Kekuasaan VOC atas Galuh dimulai setelah Mataram secara resmi menyerahkan Priangan Timur kepada VOC melalui perjanjian 19-20 Oktober 1667. VOC menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule system) di seluruh tanah jajahannya. VOC tidak mencampuri urusan politik pribumi karena hal itu adalah tanggung jawab para kepala pribumi (volkshoofden), yaitu bupati. VOC menuntut pengakuan kedaulatan dari bupati dengan cara melarang mereka mengadakan hubungan politik dan atau dagang dengan pihak lain. VOC sengaja melibatkan bupati dalam jaringan eksploitasi ekonomi, yaitu sebagai agen perdagangan yang bertugas mengumpulkan dan menyerahkan tanaman perdagangan yang jumlah, jenis, dan harganya telah ditentukan oleh VOC.4

Kedudukan dan kekuasaan bupati mengalami pasang surut seiring dengan berubahnya kebijakan pemerintah kolonial yang menjadi atasannya. Pada pertengahan kedua abad 19, pemerintah kolonial semakin gencar melakukan usaha pembentukan birokrasi legal-rasional. Bupati adalah orang

3 Pengangkatan Adipati Panaekan sebagai wedana Mataram di Galuh adalah yang pertama dilakukan di Mancanagara Kilen. Sultan Agung memberikan kekuasaan kepada Adipati Panaekan untuk memerintah Galuh atas nama raja Mataram, kepadanya diberikan tambahan cacah

sebanyak 960 jiwa. Bupati Galuh sejak Adipati Panaekan tercatat dalam sumber-sumber VOC dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Lihat R.A.A.A. Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie, (Bandung: A.C. Nix & Co, 1936), hlm. 7; T.S. Raffles, History of Java. Vol.2, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), hlm. 2.

(4)

pertama yang merasakan langsung akibat kebijakan itu. Secara berangsur-angsur kedudukan bupati sebagai penguasa daerah yang otonom berubah menjadi pegawai pemerintah kolonial.

B. Pokok Permasalahan

Ikatan feodal bupati dengan rakyat merupakan hal yang penting dalam jaringan eksploitasi ekonomi VOC karena pejabat VOC memanfaatkannya untuk menggunakan tenaga rakyat. Para pejabat VOC tidak memiliki akses terhadap rakyat pribumi, sementara bupati memiliki keterikatan khusus dengan rakyatnya. Bupati adalah pejabat pribumi yang mengetahui secara pasti situasi dan kondisi rakyatnya. Faktor itulah yang menjadi alasasan VOC menjadikan bupati sebagai perantara (middle man) VOC dengan rakyat, sekaligus menjadi perpanjangan tangan VOC dalam memobilisasi rakyat pribumi untuk menanam tanaman perdagangan.

(5)

ulang kebijakan untuk mengesampingkan bupati dari percaturan politik kolonial.

Besarnya campur tangan pemerintah kolonial terhadap kehidupan pejabat pribumi telah menyebabkan berbagai benturan dalam kehidupan bupati. Selain itu juga menjadi penyebab utama atas pasang surut dalam kekuasaan, kedudukan, kekayaan bupati. Di satu sisi, bupati harus mempertahankan wibawanya dan memelihara simbol kebesaran yang menjadi identitasnya, sementara di sisi lain harus menerima kenyataan bahwa kedaulatannya sebagai pemimpin politik semakin merosot.

Pokok permasalahan penelitian ini adalah memahami perubahan kedudukan dan kekuasaan bupati-bupati Galuh pada tahun 1800 hingga 1916, terutama setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Dari pokok permasalahan itu, maka pertanyaan penelitian adalah:

1. Apa yang terjadi dalam kehidupan bupati-bupati Galuh setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial?

2. Bagaimana bupati-bupati Galuh menyesuaikan diri jika memang terjadi perubahan status dan kekuasaan mereka?

Lingkup tempat dalam penelitian ini adalah wilayah administratif kabupaten Galuh.5 Lingkup tempat ini termasuk sempit, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu detil sejarah yang menampilkan keunikan. Tahun 1800 hingga tahun 1916 ketika Kusumadiningrat dan Kusumasubrata menjabat bupati Galuh dipilih sebagai lingkup temporal penelitian karena pada

(6)

masa bupati-bupati ini memerintah, kekuasaan dan kedudukan mereka cenderung mengalami perubahan yang signifikan. Rentang waktu itu merupakan masa perubahan kekuasaan, kedudukan, peran, dan kekayaan para bupati di pulau Jawa yang diakibatkan oleh perubahan sistem kolonial. Tahun 1914 merupakan tahun terakhir pemerintahan Kusumasubrata, sekaligus berakhirnya kekuasaan bupati Galuh berdasarkan keturunan.

C. Kajian Pustaka

Penulisan sejarah Galuh terutama periode kolonial masih terbatas, jika pun ada dari segi isi dan teknik penulisannya masih bersifat sederhana. Ade Tjangker Soedradjat menulis Silsilah Roendajan Boepati Raden Adipati Aria Koesoemadiningrat (1995). Isinya adalah riwayat singkat Kusumadiningrat dan uraian silsilah keluarganya. Garis keturunan Kusumadiningrat ditarik dari Sri Baduga Maharaja Dewata Prana atau Prabu Siliwangi yang kemudian menurunkan raja-raja Galuh, termasuk Prabu Haur Kuning yang menjadi leluhur bupati-bupati Galuh.

Babad Galoeh Imabanagara disusun dan ditulis pada masa pemerintahan Kusumadiningrat, isinya adalah tentang cerita sejarah Galuh sepanjang masa. Babad Dipagah disusun dan ditulis sendiri oleh Kusumasubrata dengan bahasa Sunda dengan huruf Sunda kuno dan dalam bentuk pupuh Pangkur, Maskumambang, Dangdanggula, Kinanti,

(7)

bupati Galuh, tepatnya hari Kamis, tanggal 08 Agustus 1890. Isinya adalah pengalaman hidup Kusumasubrata yang dijadikan petuah bagi keturunannya. Tulisan Kusumasubrata lainnya adalah Ti Ngongkoak Doegi Ka Ngoengkoeeoek (1926), isinya adalah tentang masa pemerintahannya sebagai bupati Galuih dari tahun 1886 hingga 1914.

Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (1936) ditulis oleh P.A. Ahmad Djajadiningrat, bupati Serang yang menjadi menantu Kusumasubrata. Tulisan ini adalah biografi yang komprehensif pada masanya, menceritakan kehidupan penulisnya lengkap dengan segala aspek di sekitarnya. Galuh dan keluarga Kusumasubrata diuraikan secara singkat di dalamnya. Sementara itu, Regenten Positie (1936) yang ditulis oleh bupati Cianjur yang bernama R.A.A.A Soeria Nata Atmadja merupakan tulisan yang secara rinci memaparkan posisi bupati Priangan pada masa pemerintahan kolonial.

(8)

dengan kaca mata antropologi, tulisan ini dapat membantu dalam penelitian sejarah.

D. Tujuan Penelitian

Merumuskan tujuan penelitian adalah hal yang penting karena dapat menjadi acuan dalam penulisan dan menentukan langkah agar apa yang direncanakan terwujud dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami gaya hidup bupati-bupati Galuh Kusumadiningrat dan Kusumasubrata pada tahun 1839 hingga tahun 1914, terutama ketika kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Gaya hidup di sini meliputi sikap hidup, adat kebiasaan, dan simbol-simbol serta atribut-atribut kebesaran yang menjadi identitas bupati.

E. Kerangka Konseptual

(9)

pada struktur sebagai inti suatu perubahan, sedangkan pendekatan historis digunakan untuk melihat segi proses yang akan menghasilkan asumsi.

Struktur masyarakat tradisional yang masih tersisa dalam masyarakat bupati, analisis gaya hidup, dan aspek-aspek kultural masyarakat dapat digambarkan dengan bantuan pendekatan antropologi budaya. Hubungan status dengan kekuasaan, hubungan-hubungan sosial, permasalahan birokrasi dan otoritas, dan cara-cara bupati memperoleh kekuasaannya dapat diperjelas dengan bantuan pendekatan sosiologi dan politik.

Pemahaman konsep kekuasaan dan kepemimpinan tradisonal diperlukan untuk memahami kekuasaan dan kedudukan bupati. Kekuasaan dan kepemimpinan tradisional yang legal-rasional dan kharismatik diartikan sebagai suatu kepemimpinan yang berakar pada struktur sosial yang tersusun berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.6 Kedudukan dan kekuasaan bupati mengalami pasang surut, terutama karena berkembangnya kekuasaan kolonial. Kekuasaan bupati sebagai kepala daerah dibatasi oleh pemerintah kolonial, sehingga yang bertahan dari kekuasaan bupati hanya kekuasaan tradisionalnya. Pemberian berbagai gelar dan tanda jasa oleh pemerintah kolonial justru semakin memperkuat kekuasaan tradisional bupati.

Konsep elite awalnya digunakan untuk menyebut barang dagangan dengan keutamaan khusus, tetapi kemudian bergeser untuk menyebut kelompok sosial tingkat tinggi, misalnya kalangan bangsawan tinggi dan

(10)

kasatuan militer utama.7 Elite umumnya digunakan untuk menyebut kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi di dalam masyarakat. Jika merujuk kepada konsep ini, maka bupati-bupati Galuh adalah bagian dari kaum elite.

Konsep menak dalam budaya Sunda diartikan dengan kirata basa dimemen-memen dienak-enak, yaitu orang yang harus dilayani agar kehidupannya menjadi enak. Kaum menak adalah kaum bangsawan yang umumnya berasal dari keturunan pejabat pemerintah kolonial yang memiliki gelar-gelar kebangsawanan dan kehormatan.8 Kaum menak diperlakukan secara beda, ada aturan dan tata cara khusus baik dalam bahasa (usuk basa), maupun dalam perlakuan (unggah-ungguh).9

Bupati memiliki unsur kepemimpinan tradisional yang tersusun berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.10 Bupati mendapatkan jabatannya karena hak waris secara turun-temurun yang sudah melembaga menjadi tradisi. Faktor keturunan dalam pengangkatan bupati adalah hal yang penting bagi pemerintah kolonial karena berpengaruh terhadap kepercayaan dalam pemberian prioritas (berupa fasilitas pelayanan dan kesempatan) kepada bupati. Pemberian prioritas juga didasarkan kepada kemampuan bupati

7 T.B. Bottomore, Elites and Society, (Middlesex: Penguin Books, 1974), hlm.7.

8 Profil Propinsi Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), hlm. 250.

9 Undak-usuk basa adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa Sunda, yaitu lemes (halus),

sedeng (sedang), dan loma (kasar). Unggah-ungguh adalah tata cara memperlakukan orang lain, terutama kepada yang berderajat tinggi atau orang tua, yaitu dengan penuh kesopanan. Jika undak-usuk dan unggah-ungguh dilanggar akan dianggap tidak tahu diri dan menghina orang lain.

(11)

memerintah rakyatnya, ketaatan, dan kepatuhannya kepada pemerintah kolonial.

Kedudukan bupati disamakan dengan “raja kecil”, sehingga ia berhak menikmati penghormatan tertinggi yang tidak dipaksakan dari rakyatnya11. Bupati adalah pemegang kekuasaan tertinggi di kabupaten yang memiliki otoritas tradisional sekaligus otoritas legal.12 Budaya politik tradisional itulah yang menjadi sandungan utama gagalnya usaha pemerintah kolonial mewujudkan sistem birokrasi legal-rasional dalam struktur pemerintahan pribumi.

Bupati memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai kepala daerah karena fungsinya sebagai alat pemerintah kolonial, dan sebagai pemimpin tradisional karena konsensus rakyat pribumi. Di satu sisi bupati adalah pihak yang dikuasai oleh pemerintah kolonial, hubungan mereka adalah bawahan dan atasan. Di sisi lain bupati menguasai rakyat pribumi, sehingga hubungan yang terjalin karena ikatan feodal itu adalah tuan dan hamba. Perubahan kebijakan kolonial telah mengakibatkan berbagai benturan dalam kehidupan bupati yang akhirnya menimbulkan konflik pengharapan dan motivasi para bupati.

Kontak bupati dan keluarganya dengan orang-orang Barat telah memperkenalkan budaya Barat ke dalam kehidupan mereka. Tanggapan bupati terhadap pengaruh Barat umumnya baik, ditunjukkan dengan adanya beberapa nilai Barat yang diadopsi ke dalam kehidupannya. Penerimaan terhadap

11 Ibid, hlm. 28

(12)

budaya Barat tidak lantas merombak segi-segi yang telah mapan dalam kehidupan bupati, karena dalam banyak hal bupati masih memegang teguh unsur-unsur tradisional.

Perubahan pola politik kolonial dari konservatif menjadi liberal telah memperluas pengaruh modernitas dalam kehidupan masyarakat pribumi. Pendidikan Barat adalah salah satu alat yang digunakan dalam rangka mencapai modernitas. Pendidikan telah menciptakan inovasi, yaitu tumbuhnya benih-benih progresif dalam kehidupan kabupaten. Suatu kelas baru tumbuh dalam masyarakat pribumi, yaitu kelas elite pendidikan yang dibutuhkan dalam mekanisasi administrasi pemerintahan. Secara perlahan jabatan-jabatan dalam pemerintahan yang awalnya didominasi keluarga bupati mulai dipegang oleh keluarga non bupati.

Nilai baru dapat hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan jika didukung oleh masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, keberadaan tokoh yang mampu mengusung dan menganjurkan suatu nilai baru menjadi sangat penting. Bupati adalah salah satu tokoh yang bisa menerima, mengembangkan, bahkan mempertahankan nilai baru. Ia menyebarkan pembaharuan dalam kehidupan kabupaten dan bertindak sebagai penganjur perubahan terhadap lingkungan di sekitarnya.

(13)

selanjutnya, nilai-nilai baru itu mengakibatkan perubahan dalam kehidupan kabupaten, salah satunya dalam hal gaya hidup.

Gaya hidup dapat diartikan sebagai pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain.13 Melalui gaya hidup dapat dipahami apa yang dilakukan oleh orang-orang, mengapa mereka melakukannya, apa maknanya bagi mereka, dan juga bagi orang lain. Gaya hidup dapat menunjukkan bagaimana seseorang mengatur kehidupan pribadinya dan kehidupan bermasyarakat, serta bagaimana membedakan statusnya dari orang lain melalui simbol-simbol.14 Gaya hidup menentukan tatanan, prinsip, dan kriteria pada setiap pilihan yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memiliki implikasi normatif, politik, dan estetik. Memilih gaya hidup tertentu, disadari atau tidak, akan menentukan bentuk masa depan seseorang.

Gaya hidup bupati dapat dihayati melalui simbol-simbol, baik berupa ide ataupun bentuk simbol yang nyata. Bentuk simbol berupa ide contohnya pendidikan, sedangkan bentuk simbol yang nyata antara lain simbol dan atribut kebesaran, mitos genealogis, dan upacara. Simbol atribut kebesaran contohnya adalah nama dan gelar, tempat tinggal, perabotan, pakaian, dan upacara-upacara. Melalui simbol-simbol itu dapat dijelaskan hal-hal yang menyangkut bupati, misalnya kedudukan dan kekuasaan bupati

13 David Chaney, Lifestyles. Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.), (Yogyakarta: Jalasutra, 1996), hlm. 40.

(14)

BAB II

GALUH HINGGA PERTENGAHAN ABAD XX

Kabupaten Galuh secara geografis terletak di bagian timur propinsi Jawa Barat dengan luas 2.560 km2. Wilayahnya berbatasan dengan kabupaten Majalengka dan Kuningan (utara), Tasikmalaya (barat), Cilacap (timur), dan Samudera Indonesia (selatan). Topografi wilayah barat berupa pegunungan (500-1000 m), wilayah tengah berupa perbukitan (100-500 m), dan wilayah timur-selatan berupa dataran rendah serta rawa (25-100 m).

Penelusuran jejak nama Galuh lebih sering terbentur kepada mitos. Berbagai mitos tentang asal-usul Galuh dapat dibaca dalam beberapa naskah kuno yang berbentuk babad atau wawacan. Mitos erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat, maka melalui mitos dapat diidentifikasi perkembangan pola pikir dan mentalitas masyarakat pada periode tertentu.

A. Dari Kerajaan menjadi Kabupaten

Keterangan mengenai kerajaan Galuh diungkapkan dalam beberapa

babad atau wawacan. Secara umum, naskah-naskah kuno itu merupakan historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur historis, mitos, legenda, dan dongeng. Semakin mendekati waktu penulisan dengan waktu terjadinya peristiwa, maka semakin tinggi nilainya sebagai sumber sejarah.15 Keterangan mengenai Galuh di antaranya dapat dibaca dalam naskah Carita

(15)

Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, Wawacan Sajarah Galuh, Ciung Wanara, dan Carios Wiwitan Raja-Raja di Pulo Jawa.

Galuh16 dalam bahasa Sansekerta diartikan sebagai permata atau perak. Nama Galuh muncul pada abad VI sebagai nama sebuah kerajaan di ujung timur Priangan, tepatnya di wilayah Bojong Galuh. Wilayah tersebut berada di tepat di daerah pertemuan dua buah sungai, yaitu sungai Citanduy dan Cimuntur.17

Bojong Galuh adalah pusat kekuasaan kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Ciung Wanara,18 leluhur penguasa Galuh Rakean Jambri yang bergelar Rahiang Sanjaya.19 Ia adalah putra Sanna yang dibunuh oleh saudaranya yang bernama Purbasora. Sanjaya berhasil merebut tahta Galuh dari Purbasora. Ia menikah dengan putri kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran,

16 Kata Galuh disejajarkan dengan galeuh yang berarti beli atau inti dan galih yang berarti hati. Arti kedua kata itu bergeser menjadi inti manusia. Galuh diartikan sebagai permata kehidupan yang letaknya ada di dalam hati (Galuh galeuhna galih). Kata-kata itu mengandung makna bahwa permata kehidupan adalah kejujuran, dalam menjalani hidup harus jujur agar mencampai kesempurnaan hidup dan terhindar dari kesengsaraan. Secara filosofis, Galuh dimaknai sebagai pedoman atau tuntunan hidup untuk mencapai kebahagiaan.

17 Carita Parahyangan membedakan Galuh dengan Sunda. Keduanya adalah penguasa Priangan dengan batas sungai Cimanuk. Dari Cimanuk ke barat merupakan wilayah Sunda, sedangkan dari Cimanuk ke timur adalah wilayah Galuh. Nama Galuh juga dipakai untuk mengidentifikasi beberapa wilayah, yaitu Ujung Galuh (Jawa Timur), Segaluh (Purwodadi), Rajagaluh (Majalengka), Samigaluh (Purworejo), Begaluh atau Segaluh (Leksono), Galuh (Purbalingga), Galuh Timur (Bumiayu), dan Sirah Galuh (Cilacap).

18 Bojong Galuh berada sekitar 20 km di sebelah timur ibu kota kabupaten Ciamis, sekarang dikenal dengan nama Karangkamulian.

(16)

sehingga berhak atas tahta kerajaan itu. Ia menyatukan Sunda ke dalam Galuh dengan pusat pemerintahan di Bojong Galuh.

Tahta Galuh diserahkan kepada keponakannya yang bernama Seuweu Karma, sedangkan tahta Sunda diberikan kepada putranya yang bernama Rahiang Tamperan. Nama Galuh tenggelam hingga akhirnya muncul kembali pada abad XIII sebagai nama sebuah kerajaan yang berpusat di Kawali.20 Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali dipimpin oleh Prabu Maharaja. Keterangan mengenai Galuh periode Kawali disebutkan dalam Prasasti Kawali yang berjumlah enam buah.21

Naskah sejarah kuno berupa babad Carita Parahyangan menyebutkan bahwa tokoh Raja Wastu sama dengan tokoh Niskala Wastu Kancana, yaitu putra raja Galuh yang memerintah di Kawali. Ayah Niskala Wastu Kancana adalah Prabu Maharaja (1350-1357) yang didentikkan dengan tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa Pasundan Bubat.22 Selain dalam Carita

Parahyangan, keterangan mengenai Pasundan Bubat terdapat juga dalam kitab Pararaton dari Majapahit. Pararaton menyebutkan bahwa di sebelah barat Majapahit terdapat sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan rajanya bernama Prabu Maharaja.23

20 Daerah Kawali berada sekitar 20 km di sebelah utara ibu kota kabupaten Ciamis.

21 Keenam prasasti itu ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda kuno, memberitakan bahwa di Kawali pernah memerintah seorang raja bernama Raja Wastu yang memperindah keraton Surawisesa, mengelilingi kota Kawali dengan parit, memakmurkan seluruh desa di negaranya, bertindak adil, dan mengharapkan orang-orang yang akan datang kemudian berbuat kebaikan agar hidup lama dan bahagia di dunia.

22 Berita tentang Pasundan Bubat yang terjadi tahun 1357 diceritakan pula dalam naskah

Kidung Sundayana dari Bali.

23 Pararaton menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357, sedangkan

(17)

Hubungan Galuh dengan Majapahit terjadi karena adanya pinangan raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk kepada putri Prabu Maharaja yang bernama Citra Kirana Diah Pitaloka. Rencana pernikahan itu gagal karena patih Majapahit yang bernama Gajah Mada mensyaratkan bahwa pernikahan itu adalah tanda tunduknya Galuh kepada Majapahit. Prabu Maharaja menolak, ia lebih memilih perang dengan Majapahit dari pada menjadi taklukan kerajaan itu. Perang antara prajurit kedua kerajaan terjadi di daerah yang bernama Bubat, menewaskan Prabu Maharaja dan seluruh prajurit Galuh.24 Hanya mangkubumi (patih) Rahyang Bunisora dan putra bungsu raja yang bernama Niskala Wastu Kancana yang selamat dan berhasil kembali ke Kawali.

Periode keemasan kerajaan Galuh dicapai pada masa pemerintahan putra Prabu Maharaja yang bernama Niskala Wastu Kancana (1371-1475).25 Abad XIV, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran oleh cucunya yang bernama Sri Baduga Maharaja Dewata Prana (Prabu Siliwangi). Ia menikah dengan putri penguasa kerajaan Sunda, sehingga memiliki hak atas

1350. Berdasarkan dua keterangan itu, dapat disimpulkan bahwa Prabu Maharaja yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1357 sezaman dengan Hayam Wuruk dari Majapahit.

24 Konon Gajah Mada mendatangi rombongan Galuh yang beristirahat di daerah Bubat sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Prabu Maharaja menolak syarat yang diajukan oleh Gajah Mada karena pada awal pinangan tidak ada persyaratan apapun. Prabu Maharaja memutuskan kembali ke Kawali tetapi dicegah oleh pasukan Gajah Mada yang akhirnya menjadi peperangan. Raja dan keluarganya, para pengiring, dan seluruh pasukan Galuh gugur dalam pertempuran itu. Calon pengantin putri memutuskan bunuh diri dari pada harus menikah dengan Hayam Wuruk yang dianggap sebagai penyebab kematian seluruh rombongan Galuh.

(18)

tahta kerajaan itu. Ia menggabungkan kerajaan Galuh ke dalam kerajaan Sunda dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan Pajajaran.26 Peristiwa itu sekaligus mengakhiri berita tentang Galuh periode Kawali.

B. Penguasa Kabupaten Galuh

Nama Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah kerajaan mandiri yang berpusat di Panaekan.27 Bersama dengan Sumedang Larang, Galuh menjadi penerus kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten. Pada tahun 1595 ketika Galuh dipimpin oleh Sanghiang Cipta Permana, Mataram Islam berhasil menanamkan pengaruh politiknya di Galuh.28

Pengganti Panembahan Senapati yang bernama Sultan Agung mengangkat putra Sanghiang Cipta Permana yang bergelar Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.29 Langkah awal Adipati Panaekan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Panaekan ke Gara Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang bernama Adipati Kertabumi.30 Pembunuhan itu dipicu oleh perbedaan faham dalam menanggapi

26 Menurut keterangan beberapa naskah kuno, alasan pemindahan pusat kekuasaan itu karena Kawali telah tercemar oleh ulah Dewa Niskala (ayah Prabu Siliwangi) yang menikahi istri larangan, yaitu perempuan yang berasal dari Majapahit.

27 Panaekan adalah sebuah tempat yang berada di sisi selatan sungai Citanduy (berseberangan dengan Karangkamulian). Tempat ini sekarang masuk ke dalam wilayah kecamatan Cimaragas, sekitar 20 km di sebelah selatan ibu kota kabupaten Ciamis.

28 F. de Haan, Priangan: De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1818, (Batavia: BGKW.1941), hlm. 161.

29 Penguasa Galuh sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang diangkat sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan anugerah 960 cacah. Tidak berlebihan jika Adipati Panaekan disebut sebagai De oudste der Wedana’s in de Wester Ommelanden van Mataram. Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68

(19)

rencana penyerangan terhadap Batavia oleh Mataram. Adipati Panekan berpendapat lebih baik menyerang Batavia secepatnya agar kekuasaan VOC tidak semakin berkembang. Singaperbangsa I sependapat dengan Rangga Gempol I, yaitu menginginkan Galuh memperkuat pasukannya dahulu sebelum menyerang Batavia. Adipati Panaekan dituduh membantu Adipati Ukur yang memberontak kepada Mataram karena ingin melepaskan Priangan dari kekuasaan raja Jawa.

Pengganti Adipati Panaekan adalah putranya yang bernama Adipati Imbanagara (1625-1636). Sama seperti ayahnya, ia mati dibunuh oleh prajurit Mataram pada tahun 1636.31 Kematiannya mengakibatkan terjadinya kekosongan kepala pemerintahan kabupaten Galuh yang kemudian dimanfaatkan oleh patih Wiranangga untuk mengangkat dirinya sebagai bupati Galuh. Ia berbuat curang dengan cara mengganti nama calon bupati yang ditunjuk penguasa Mataram dengan namanya. Piagam pengangkatan itu disembunyikan Wiranangga di kolong rumahnya. Pengasuh putra Adipati Imbanagara berhasil menemukannya lalu melaporkan kepada prajurit Mataram. Sebagai hukuman atas kecurangannya, Wiranangga dihukum mati oleh raja Mataram.

pemberontakan Ukur (1630-1632). Wilayahnya meliputi Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, dan daerah pantai Selatan. Sultan Agung menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga daerah yang paling dekat dengan Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai bupatinya. Salah satu keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914 menjadi bupati Galuh menggantikan Kusumasubrata.

(20)

Pengganti Adipati Imbanagara adalah putranya yang bergelar Adipati Panji Aria Jayanagara (1636-1642).32 Ia resmi menjadi bupati Galuh pada 5

Rabi’ul Awal tahun Je yang bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran raja Mataram, ia mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Galuh Imbanagara.33 Jayanagara memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke Barunay.34 Pada masa pemerintahannya, Galuh dikenai kebijakan reorganisasi Priangan oleh raja Mataram. Tahun 1641 Mataram membentuk kabupaten-kabupaten baru di sekitar Galuh, yaitu Bojong Lopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas.35

Reorganisasi Priangan terulang kembali pada tahun 1645, yaitu ketika Amangkurat I berkuasa di Mataram. Tetapi pada reorganisasi wilayah kali itu, luas wilayah kabupaten Galuh tidak berubah, bahkan ketika diserahkan kepada VOC pun relatif tetap. Mataram menyerahkan Priangan Timur yang terdiri dari kabupaten Limbangan, Sukapura, Galuh, dan Cirebon kepada VOC melalui perjanjian 19-20 Oktober 1677. Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A. Angganaya (1678-1693).36 VOC

32 Namanya adalah Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar Raden Panji Aria dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu visi dengan raja Mataram.

33 Nama Galuh akan tetap dipakai dalam tulisan ini untuk mengidentifikasi kabupaten Galuh.

34 Barunay berada sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama Barunay diganti menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru. Pemindahan pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi kabupaten Ciamis.

35 F. de Haan, op. cit, hlm. 73.

(21)

menetapkan jumlah cacah untuk kabupaten Galuh sebanyak 708 jiwa, Kawasen sebanyak 605 jiwa, sedangkan Bojong Lopang sebanyak 20 jiwa dan 10 desa. Beralihnya kekuasaan dari Mataram kepada VOC telah memberikan keuntungan, yaitu semakin teraturnya sistem pemerintahan kabupaten.37

Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata (1693-1706).38 Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule

sebagai sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Amangkurat III.

Pengganti Sutadinata adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata I (1706-1727).39 Untuk mengawasi para bupati di wilayah Priangan Timur, VOC mengangkat Pangeran Aria dari Cirebon sebagai

opziener.40 Ia mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan Galuh, yaitu

dan R. Kartadinata.

37 Selain bupati, ada beberapa kepala daerah di bawahnya yaitu wedana, penghulu, dan kepala cutak. Penghasilan para pejabat pemerintahan kabupaten diatur oleh VOC melalui pembagian tanah jabatan (bengkok) dan wajib kerja (pancen).

38 Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum

dan 55 pikul kapas.

39 Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R. Danukria, R. Danumaya, R.Ay. Sarati.

(22)

mengangkat patih Cibatu sebagai bupati Kawasen karena dianggap sebagai

menak tertua dan pandai. Ia juga melebur kabupaten Utama ke dalam kabupaten Bojong Lopang.

Pengganti Kusumadinata I adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata II (1727-1751).41 Ia menjabat bupati dalam waktu yang singkat karena meninggal dalam usia muda. Ia belum berkeluarga, sehingga jabatan bupati diwariskan kepada keponakannya yang kelak bergelar R.A. Kusumadinata III. VOC tidak mengangkat salah satu adik Kusumadinata II, yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka berlainan ibu, oleh karena itu VOC memutuskan untuk mencalonkan putra kakak perempuan Kusumadinta II.

Pemerintahan Galuh dijalankan sementara oleh 3 orang wali Kusumadinata III yang dipimpin oleh R.T. Jagabaya. Pada masa pemerintahannya, terjadi kericuhan besar di daerah Ciancang yang menyebabkan daerah itu porak-poranda.42 Peristiwa itu dipimpin oleh Tumenggung Banyumas dan dibantu oleh Ngabehi Dayeuh Luhur. VOC menggabungkan Ciancang ke dalam wilayah Imbanagara dan menyerahkan pengawasannya kepada Jagabaya. Pemerintahan Galuh diserahkan kepada Kusumadinta III (1751-1801) setelah dewasa.43 Ia berhasil memulihkan

41

Kusumadinata II memiliki nama kecil Mas Baswa, ia juga mendapatkan sebutan Dalem Kasep yang artinya bupati tampan.

42 Nama Ciancang diubah menjadi Utama setelah tiga kali berturut-turut dilanda kericuhan (nista maja utama).

43 Nama kecil Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk sebagai calon pengganti Kusumadinata II.

(23)

kondisi Ciancang yang telah digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara.44 Selain berhasil memulihkan kondisi wilayah Galuh yang menurun, Kusumadinta III berhasil memperkuat kehidupan agama masyarakat Galuh.45

Pengganti Kusumadinata III adalah putranya yang bergelar R.A. Natadikusuma (1801-1806).46 Natadikusuma menjabat bupati Galuh dalam waktu yang relatif singkat. Ia dianggap menghina pejabat Belanda yang bernama Van Bast, sehingga dipecat dari jabatan bupati.47 Akibat perbuatannya itu, ia ditahan untuk beberapa waktu di Cirebon tetapi kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke Imbanagara. Jabatan bupati Galuh tidak diwariskan kepada putra Natadikusuma, tetapi diserahkan kepada bupati penyelang dari Limbangan, yaitu R.T. Surapraja (1806-1811).48

Akibat perbuatan Natadikusuma, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengurangi wilayah kekuasaan Galuh. Banyumas dan Dayeuh Luhur dikeluarkan dari wilayah Galuh. Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan Cijulang digabungkan ke dalam wilayah kabupaten Sukapura, sedangkan

44 Berkat keberhasilan Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC menganugerahkan baju kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij Niet.

45 Ia bersahabat dengan beberapa ulama besar dari Cirebon. Salah satu guru agamanya adalah Kyai Bagus Satariyah yang mengajarkan tarikat satariyah.

46 Natadikusuma memiliki nama kecil Demang Gurinda, ia dikenal sebagai bupati yang sangat dekat dengan rakyatnya dan membenci Belanda. Ia cenderung keras dalam menghadapi para pejabat Belanda. Ayahnya sempat merasa khawatir dengan sikapnya yang sering menentang kebijakan kolonial. Ia sangat melindungi rakyatnya dan tidak segan-segan melawan pejabat Belanda yang dianggap bertindak keterlaluan. Tidak heran jika pemerintah kolonial mengawasinya secara ketat karena tingkah lakunya lebih banyak memberontak dari pada patuh kepada mereka. Ia memiliki 22 orang anak dari 8 orang istri.

47 Edi S. Ekajati, op.cit, hlm. 81.

(24)

Utama dan Cibatu digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara.49 Bupati Cibatu yang bernama R.T. Jayengpati Kartanagara (1811-1812) diangkat menjadi bupati Galuh, ia dibebankan kewajiban membayar utang kabupaten Galuh sebanyak 23.000 Rds.50

Jayengpati memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Imbanagara ke Cibatu. Ia tidak lama menjabat karena pemerintah kolonial menggantinya dengan R.T. Natanagara (1812) dari Cirebon. Natanagara mengusulkan kepada pemerintah kolonial untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Randengan, tetapi usul itu ditolak. Natanagara dipecat karena dianggap tidak mampu mengatasi pemberontakan yang terjadi di Nusa Kambangan. Penggantinya adalah P. Sutawijaya (1812-1815) dari Cirebon.

Sutawijaya didampingi oleh tiga orang patih, yaitu Wiradikusuma, Wiratmaka, dan Jayadikusuma.51 Pada masa pemerintahannya, daerah Dayeuh Luhur, Madura, dan Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten Banyumas. Imbanagara diserahkan kepada patih Wiradikusuma, Cibatu kepada Jayakusuma, sedangkan Utama kepada Wiratmaka. Sutawijaya memindahkan pusat pemerintahan dari Cibatu ke Burung Diuk untuk memudahkan pengawasan pembangunan Dayeuh Anyar yang dipersiapkan sebagai ibu kota kabupaten yang baru.52

49 Nama Galuh dipakai kembali sebagai nama kabupaten mengganti Galuh Imbanagara.

50 Natadikusuma dianggap tidak membayar upeti selama 4 tahun, seingga ia berhutang kepada pemerintah kolonial sebesar 200.000 real yang harus ditanggung oleh bupati berikutnya.

51 F. de Haan, op.cit, hlm. 84.

(25)

Patih Galuh yang bernama Wiradikusuma (1815-1819) diangkat sebagai bupati Galuh menggantikan Sutawijaya yang kembali ke Cirebon.53 Meskipun sudah lanjut usia, pemerintah kolonial mempercayainya untuk memimpin kabupaten Galuh. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan dari Cibatu ke Ciamis.54 Ia mengajukan pensiun kepada pemerintah kolonial yang disetujui pada tahun 1819. Penggantinya adalah putranya yang bergelar R.A. Adikusuma (1819-1939).55 Pada masa pemerintahannya, kabupaten Kawali dan Panjalu digabungkan ke dalam kabupaten Galuh. Untuk selanjutnya kabupaten Galuh dibagi menjadi 4 distrik, yaitu Ciamis, Kepel, Kawali, dan Panjalu.56 Pada masa pemerintahan Adikusuma, pemerintah kolonial menggulirkan Sistem Tanam Paksa atau

Cultuurstelsel. Komoditas tanaman perdagangan yang dikenai tanam wajib di Galuh adalah kopi, beras, tebu, dan tarum.

Pengganti Adikusuma adalah putranya yang bergelar R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886).57 Galuh mengalami perkembangan relatif

53 Wiradikusuma mendapat gelar Raden Tumenggung dari pemerintah kolonial setelah menjabat bupati Galuh. Ia memiliki 9 orang anak dari dua orang istri.

54 Kabupaten Galuh resmi menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon berdasarkan

Besluit no. 23/ 5 Januari 1819.

55 Pada tahun 1820, Adikusuma secara resmi mendapatkan gaji dari pemeritnah kolonial sebesar f. 500 dan bengkok seluas 100 bau.

56 Kabupaten Galuh dibagi ke dalam empat distrik, yaitu distrik Ciamis, Panjalu, Kawali, dan Kepel (diubah menjadi distrik Rancah). Jumlah desa mencapai 91 desa, yang kelak bertambah menjadi 238 desa pada pemerintahan Kusumadiningrat.

57 Kusumadiningrat yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Prebu sangat besar minatnya dalam kesenian. Beberapa kesenian rakyat seperti angklung, reog, ronggeng, calung,

(26)

signifikan di bawah kepemimpinannya, terutama di bidang pendidikan dan pembangunan fisik. Kusumadiningrat memprakarsai pembangunan beberapa saluran irigasi yang sangat berguna bagi pertanian rakyat, yaitu bendungan Nagawangi, Wangundireja, Cikatomas, dan Nagawiru. Ia juga memprakarsai pembangunan 3 buah pabrik minyak kelapa dan sebuah pabrik penggilingan kopi.58 Ia juga membangun masjid agung Galuh dan gedung-gedung perkantoran di daerah Ciamis. Selain itu, ia juga berhasil meyakinkan pemerintah kolonial untuk mengalihkan jalur kereta api melewati daerah kota Ciamis. Jalur kereta itu terpaksa dibangun di atas jembatan Cirahong agar bisa dialihkan ke kota Ciamis.

Pengganti Kusumadiningrat adalah putranya yang bernama R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Sejak kecil ia sudah dibimbing dan persiapkan oleh ayahnya untuk menjadi penggantinya. Salah satu bentuknya adalah memasukkan Kusumasubrata (juga saudara-saudaranya) ke sekolah formal selain pesantren.59 Awalnya Kusumasubrata disekolahkan di Sakola

Kabupaten Sumedang yang memiliki guru bahasa Belanda bernama Warnaar.60 Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena sakit, lalu dibawa pulang ke Galuh dan di sekolahkan di Sakola Kabupaten Galuh. Kusumasubrata melanjutkan

58 Salah satunya adalah pabrik minyak Olvado yang didirikan di Ciamis, sedangkan pabrik penggilingan kopi didirikan di Kawali.

59 Semua putra Kusumadiningrat disekolahkan di berbagai sekolah, ada yang di Sakola Kabupaten Galuh, Bandung, dan Sumedang, bahkan di Hoofdenschool.

(27)

sekolahnya, ia didaftarkan ke Kweekschool di Bandung, tetapi tidak diterima.61 Akhirnya ia sekolah di Hoofdenschool yang baru saja dibuka di Bandung.62 Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia magang di kabupaten Galuh sebagai juru tulis kabupaten.63

Keturunan Kusumasubrata tidak ada yang menjadi bupati Galuh. Meskipun dekat dengan para pejabat Belanda, namun tidak membuat mereka memihak kepada Belanda. Tidak hanya kepada pejabat Belanda saja mereka memberontak, kepada para ayah angkatnya yang berkebangsaan Belanda pun mereka cenderung memberontak. Putra Kusumasubrata yang bernama R. Otto Gurnita Kusumasubrata menjadi salah satu pendiri Negara Pasundan yang menentang Belanda.

Bupati Galuh berikutnya adalah R.A.A. Sastrawinata (1914-1936). Ia mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Ciamis pada tahun 1916. Tahun 1926 bersama-sama dengan kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Ciamis dimasukkan ke dalam afdeeling Priangan Timur. Sastrawinata mendapat Bintang Willems Orde karena berhasil menumpas pemberontakan komunis yang dipimpin oleh Egom, Hasan, dan Dirja yang meletus di Ciamis. Ia juga mendapatkan penghargaan Bintang Tanjung dan stempel singa dari

61 Tidak ada keterangan mengenai alasan tidak diterimanya Kusumasubrata di sekolah itu.

62 Sikap Kusumadiningrat mencerminkan kesadarannya dalam menghadapi dan menyikapi perkembangan serta perubahan zaman. Ia beranggapan bahwa kualitas para putranya harus ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman.

(28)

pemerintah kolonial atas jasanya membuka rawa-rawa di daerah Cisaga untuk dijadikan area pesawahan.

BAB III

MENJADI BUPATI KOLONIAL

Bupati adalah penguasa kabupaten dengan segenap isinya, sehingga rakyat menganggap bupati sebagai rajanya. Kontras dengan itu, para pejabat Belanda menganggap bupati tidak lebih dari sekedar pemimpin pribumi yang disebut

(29)

adalah pejabat-pejabat yang berada di bawah kekuasaan asing yang lebih tinggi yaitu pemerintah kolonial Belanda.

A. Bupati di bawah Kekuasaan Asing

Konsep kekuasaan dalam tradisi Sunda mengharuskan bupati sebagai penguasa adalah sosok terusing ratu, menak rembesing kusumah64 yang telah

dititisi pulung bupati sebelumnya. Kabupaten adalah kerajaan dalam bentuk kecil, maka bupati disamakan dengan raja yang menguasai dan memiliki seluruh daerah kekuasaan serta segala isinya. Meskipun bupati memerintah atas nama penguasa di atasnya, rakyat tetap menganggap bupati sebagai raja.65 Rakyat patuh dan tunduk kepada bupati, sementara bupati mengimbangi dengan mengayomi serta melindungi rakyatnya. Hubungan timbal balik itu harus senantiasa dijaga karena kedua pihak saling membutuhkan dan melengkapi.

Bupati harus memiliki sorot yang kuat dan legeg menak,66 bertabiat luhur, pandai, rajin, setia, teguh, dan mampu memutuskan perkara berdasarkan pertimbangan baik dan buruk. Bupati harus menguasai berbagai pengetahuan, termasuk pengetahuan kenegaraan dan keagamaan yang luas. Integritas bupati sangat ditentukan oleh pengetahuannya, jika ia pandai dan cerdas maka ia

64 Setiap penguasa harus keturunan raja, bangsawan, dan leluhur yang agung. Lihat R. Memed Sastrahadiprawira, Pangeran Kornel, (Bandung: Rahmat Cijulang), 1986, hlm. 91.

65 Suhardjo Hatmosuprobo, Bupati-Bupati di Jawa pada Abad 19, (Yogyakarta: Javanologi, 1986), hlm. 5.

66 Legeg menak adalah tindak tanduk ideal menak, yaitu gagah, cakap, sabar, arif, toleran, tenang, rendah hati, berani, ksatria, percaya diri, sacangreud pageuh sagolek pangkek

(30)

dapat memahami, menjawab, dan menyelesaikan setiap persoalan dengan bijak. Bupati harus mampu membaca dan memahami keadaan rakyat, melindungi rakyat dari segala ancaman dan bahaya, serta menjadi andalan rakyat terutama ketika mendapatkan masalah.

Kehidupan kabupaten adalah kehidupan ideal sekaligus menjadi pujaan rakyat kabupaten, sehingga mereka akan bangga jika bisa masuk dan menjadi bagian di dalamnya. Rakyat akan merasa terpanggil dan suka rela untuk

ngawula kepada bupati dan keluarganya. Setiap tugas dan perintah, terutama dari bupati akan dilaksanakan dengan sepenuh hati. Tugas-tugas yang dilakukan kawula kabupaten antara lain bertugas jaga di rumah bupati, mengantar surat dinas, dan membawa berbagai pusaka serta perlengkapan upacara. Berbagai pusaka, simbol, dan atribut kebesaran bupati harus selalu ada di dekat bupati, baik saat audiensi maupun saat melakukan kunjungan ke daerah.67

Leluhur bupati Galuh memerintah secara otonom sebelum dikuasai oleh Mataram Islam pada tahun 1595. Meski dengan berat hati, bupati berikutnya memerintah di bawah kekuasaan Mataram Islam. Kehadiran Belanda disambut baik oleh bupati karena diharapkan dapat membantu memperkuat kedudukan

67 Contohnya senenan dan tournee. Senenan adalah perjalan dinas bupati yang dilakukan setiap hari Senin. Agaknya kebiasaan senenan di Priangan meniru kebiasaan saptonan

(31)

mereka untuk melepaskan diri dari kekusasaan Mataram. Secara bertahap Belanda berhasil memisahkan daerah-daerah kekuasaan Mataram dari raja Mataram. Priangan menjadi daerah pertama yang berhasil dikuasai oleh Belanda, disusul oleh Pesisir Utara, dan akhirnya pada tahun 1830 Belanda berhasil menguasai seluruh Jawa.

Rakyat Galuh mengingkari kekuasaan Mataram, tetapi melakukan pembenaran terhadap kekuasaan Belanda yang menggantikan Mataram. Kehadiran Belanda yang berhasil mengusir Mataram dianggap sebagai suatu suratan nasib,68 sehingga bupati dan rakyat tidak perlu takut terhadap Belanda.69 Bukan suatu kesalahan jika bupati dan rakyat Galuh patuh kepada Belanda, karena Raja Jawa telah menyerahkan mereka kepada kekuasaan asing itu. Keadaan kabupaten menjadi lebih baik setelah kekuasaan Mataram atas Galuh berakhir. Rakyat tidak perlu melakukan tugurtundan70 dan

mengeluarkan upeti dua kali.71

68 Babad Galuh menyebutkan bahwa masuknya kekuasaan Belanda sudah diramalkan oleh ajar, oleh karena itu kedatangan Belanda tidak bisa ditolak. Bangsa asing itu dianggap sebagai Ratu Adil yang akan membalas perbuatan raja Jawa yang telah menyakiti keturunan Galuh. Ramalan seperti itu dikenal sebagai uga, yaitu ramalan tentang perubahan penting yang menyangkut keadaan negara, politik, dan sosial. Lihat Sunarsih Warnaen et.al. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, (Bandung: Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, 1987), hlm. 7-12.

69 Rakyat pribumi menyamaratakan semua orang Barat dengan sebutan Walanda, bahkan ada yang menyebutnya Perteges (maksudnya adalah Portugis). Semua orang Barat itu lebih dikenal dengan sebutan Kumpeni.

70 Tugurtundan adalah bakti (kewajiban) menjaga keamanan Mataram dan mengangkut barang ke Mataram yang tempatnya jauh sekali. Kewajiban lain yang dibebankan Mataram kepada Galuh adalah pengiriman orang-orang Galuh ke ibu kota Mataram untuk bekerja pada raja Mataram.

(32)

Belanda mengembangkan kekuasaannya melalui berbagai kontrak yang disepakati dengan para penguasa pribumi. Untuk memperlancar misinya, Belanda tidak segan-segan bersikap luwes, yaitu menyesuaikan diri dengan keadaan tradisi pribumi yang telah mapan. Belanda dengan sengaja memperkuat posisi bupati yang secara otomatis mempertahankan hierarki sosial masyarakat pribumi. Belanda melindungi feodalisme yang telah ditanamkan oleh Mataram kepada bupati, karena feodalisme dapat menjamin otoritas tradisional bupati terhadap rakyatnya. Belanda melihat bahwa ikatan feodal (feodale gebondenheid) antara bupati dengan rakyatnya sebagai alat penting yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung eksploitasi kolonial.

Pemerintah Belanda harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Birokrasi pribumi dibiarkan bersifat dualistik, yaitu memiliki otoritas tradisional sekaligus legal-rasional. Kebijakan mempertahakan budaya feodal telah memberikan kesempatan kepada budaya kebangsawanan di masa lampau untuk dipertahankan, walaupun mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman dan kemampuan pendukungnya.72

Pejabat VOC pada umumnya tidak mengetahui kondisi lapangan yang sebenarnya. Akses mereka terhadap rakyat pribumi sangat terbatas, sehingga memerlukan perantara yang handal dan terpercaya. Bupati adalah orang yang paling mengetahui tradisi dan kondisi rakyatnya, maka bupati adalah sosok yang tepat menjadi perantara VOC dengan rakyat pribumi. Sebagai imbalannya, VOC menjamin kedudukan, kekuasaan, hak-hak istimewa bupati,

(33)

dan melindungi struktur sosial-politik pribumi. VOC juga melarang bupati melakukan hubungan politik dan atau dagang dengan pihak lain. Kesepakatan itu menjamin bupati tetap memiliki otoritas penuh dan memerintah secara otonom.

VOC tidak mengusik wilayah politik dan pemerintahan bupati, termasuk kewajiban dan haknya. Bupati tetap berkewajiban memerintah dan melindungi rakyat, mengadili, dan memelihara ketertiban, keamanan, serta ketertiban wilayahnya.73 VOC juga tidak mengusik privileges (hak-hak istimewa) bupati, yaitu hak pemilikan atas tanah, penguasaan pengabdian dari rakyat, pemungutan pajak,74 hak perburuan dan perikanan, dan penentuan hukum kecuali pidana mati.75

VOC mulai melanggar kesepakatan dengan mengusik otoritas bupati, yaitu ikut campur dalam pemerintahan kabupaten. VOC mengambil alih hak bupati dalam bidang peradilan, terutama hukum pidana. VOC juga mengambil hak bupati atas pemilikan tanah, bupati diwajibkan membayar sewa berupa penyerahan hasil tanaman perdagangan. Pada tahun 1799 VOC bangkrut, kekuasaannya diambil alih kerajaan Belanda dan diserahkan kepada pemerintah kolonial. Di bawah pemerintahan kolonial, otoritas bupati semakin

73 Suhardjo Hatmosuprobo, loc.cit.

74 Pajak dan penggunaan tenaga rakyat adalah ciri utama yang terkandung dalam kekuasaan dan pemerintahan tradisional. Pajak adalah sumber utama keuangan bupati untuk mewujudkan penyelenggaraan kehidupan yang megah dan mewah. Umumya pajak berupa hasil bumi, uang, dan tenaga kerja.

(34)

merosot. Bupati hanya berhak mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan, pemeliharaan jalan, pengumpulan pajak, dan mengamati perkembangan agama Islam. Bupati sering dikucilkan dalam pengambilan keputusan pemerintahan, sehingga mereka terjebak ke dalam status figur belaka.

Bupati (dalem atau pagusten)76 adalah elite penguasa yang menduduki posisi puncak dalam struktur politik dan sosial pribumi. Bupati menjalankan kekuasaannya dibantu oleh bawahan-bawahan yang mempunyai loyalitas kepadanya.77 Jika perlu, pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada pejabat yang lebih rendah tetapi cakap yaitu patih. Patih adalah pemegang jabatan pemerintahan tertinggi di kabupaten sekaligus menjadi wakil pemerintahan. Tugas tambahan untuk patih adalah mengkoordinir pejabat yang berada di bawahnya, mengurusi pesawahan, jalan, jembatan, dan bangunan-bangunan kabupaten.78

Pejabat lain dalam struktur pemerintahan pribumi adalah jaksa kepala (hoofddjaksa), kepala penghulu (hoofdpenghoeloe), kepala prajurit, dan

mantri. Menurut Staatsblad no. 124 tahun 1870, pejabat pribumi yang tergabung dalam pemerintahan tradisional terdiri dari bupati, patih, mantri

kabupaten, hoofddjaksa, adjunct-djaksa, jaksa, hoofdpenghoeloe, penghulu, 76 Samiaty Alisjahbana, A Preliminary Study of The Class Structure among The Sundanese in The Priangan, (New York: Cornell University Press, 1956), hlm. 3-5.

77 Biasanya masih terhitung keluarga atau kerabatnya. Lihat Sartono Kartodirdjo,

Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 232.

(35)

wedana, asisten wedana atau camat, ondercontrolleur, mantri pengairan, juru tulis, dan opas. Seluruh pejabat itu tergabung dalam birokrasi pribumi yang digaji oleh pemerintah kolonial yang disebut pangreh praja.

B. Pasang Surut Kekuasaan dan Kedudukan Bupati

Wilayah kekuasaan Mataram di luar Kuthagara dan Nagaragung adalah

Mancanegara Kilen, Mancanegara Wetan, Pesisir Kilen, dan Pesisir Wetan.79 Priangan adalah salah satu wilayah yang berada di Mancanegara Kilen, terdiri dari beberapa kabupaten mandiri yang dipimpin oleh mantri agung

(ministeriales) atau bupati yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.80 Para bupati Priangan berada di bawah kekuasaan raja Mataram, tetapi berkuasa penuh atas rakyatnya. Mereka dipimpin oleh seorang wedana bupati yang diangkat langsung oleh raja Mataram.81 Sebagai bawahan Mataram, mereka wajib menyerahkan upeti kepada raja Mataram,82 terutama pada perayaan Garebeg.83 Kewajiban lainnya adalah membuat koloni baru yang

79 Tiap-tiap Mancanegara dipimpin wedana bupati (bupati kepala). Lihat F.A. Sutjipto, “Beberapa Aspek Kehidupan Priyayi Jawa Masa Dahulu” dalam Bacaan Sejarah. (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada), No.6/1982.

80 Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia. Tradition and Transformation: A Socio-Historical Perspective. Second Edition, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1988), hlm. 171.

81 Wedana bupati Priangan adalah bupati Sumedang yang bernama Rangga Gempol Kusumaadinata.

82 Kedatangan bupati dan para pejabat bawahan untuk menyerahkan upeti diartikan sebagai tanda tunduk dan loyalitas mereka terhadap kewibawaan dan kekuasaan raja Mataram. Lihat Soemarsaid Moertono, Negara dan Bina Usaha Negara di Jawa Masa Lampau (terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 97.

83 Garebeg dilaksanakan tiga kali dalam setiap tahunnya. Garebeg Mulud dirayakan tanggal 12 Rabingulawal untukmemperingati kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Garebeg Sawal

(36)

penduduknya didatangkan dari Jawa. Misalnya Penduduk Wirasaba (Mojoagung) ditempatkan di daerah Bojonglopang, sedangkan penduduk Banyumas ditempatkan di daerah Rancah.84

Priangan tidak luput dari kebijakan reorganisasi wilayah yang ditetapkan oleh raja Mataram. Tahun 1641, Priangan dipecah menjadi empat kabupaten, yaitu Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, dan Sukapura. Kabupaten Galuh dipecah menjadi lima kabupaten, yaitu Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas. Tidak berselang lama, kabupaten Utama dilebur ke dalam wilayah kabupaten Bojonglopang.

Reorganisasi wilayah Priangan oleh Mataram terus berlanjut. Tahun 1645, Amangkurat I membagi wilayah Priangan menjadi dua belas ajeg

(kabupaten) yang masing-masing dipimpin oleh seorang bupati.85 Tahun 1674, Mataram memecah Galuh menjadi tiga kabupaten, yaitu Imbanagara, Kertabumi, dan Kawasen. Tahun 1684, kabupaten Kertabumi yang dipimpin oleh Panatayuda berganti nama menjadi Bojonglopang. Daerah pantai selatan dan Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten itu. Masih pada tahun yang sama, Mataram memindahkan Panatayuda ke Karawang dan membagi dua wilayah kabupaten Bojonglopang. Separuh wilayahnya (bagian barat)

84 Edi S. Ekajati, Ceritera Dipati Ukur, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1982), hlm. 28.

(37)

digabungkan kembali dengan kabupaten Imbanagara, sedangkan sisanya (bagian timur) diberikan kepada Adipati Wirabangsa (namanya kembali menjadi Kertabumi). Sementara itu, wilayah kabupaten Imbanagara bertambah dengan masuknya daerah Manonjaya (awalnya daerah ini merupakan bagian dari kabupaten Sukapura).

Mataram menetapkan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya, termasuk Priangan. Tidak heran jika sebagian besar bupati dan kaum menak Priangan dapat berbahasa Jawa. 86 Mataram juga mempertahankan hak istimewa bupati, yaitu hak pemilikan atas tanah, penguasaan atas pengabdian dari penduduk, hak atas hukum, dan hak memungut pajak dari rakyat, baik berupa uang, barang, atau tenaga.

Priangan sangat jauh dari Mataram, sehingga kontrol Mataram terhadap Priangan relatif lemah. Pengaruh raja Mataram terhadap bupati Priangan relatif kecil, sehingga ikatan di antara mereka tidak cukup kuat. Jarak yang jauh dan komunikasi yang terbatas menyebabkan para bupati Priangan cenderung berkuasa secara otonom. Pada abad 17, VOC Mataram menyerahkan Priangan kepada VOC sebagai balas jasa membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Mataram. VOC mengangkat bupati-bupati Priangan menjadi bawahannya, dan sejak 15 Nopember 1684 mendapatkan Acte van Aanstellingen.87

86 Penguasaan bahasa Jawa menjadi simbol status baru dalam kehidupan kaum menak

Priangan. Berbeda dengan bahasa Jawa yang feodalistik, bahasa Sunda lebih bersifat egaliter. Pada perkembangannya, bahasa Sunda mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, sehingga memiliki undak-usuk basa atau tingkatan seperti bahasa Jawa. Penggunaan undak-usuk basa dibedakan oleh hubungan kekerabatan, umur, dan status sosial. Lihat Samiaty Alisjahbana, op.cit, hlm. 7.

(38)

Bupati adalah agen VOC yang berugas menyerahan tanaman perdagangan sesuai dengan kuota yang ditentukan oleh VOC, di antaranya adalah lada, kopi, cengkih, tarum, dan kapas. Pemerintah kolonial mempertahankan penanaman tarum di kabupaten Galuh hingga tahun 1862.88 Jenis tarum yang ditanam di kabupaten Galuh adalah tarum kembang atau

tarum siki.89 Pemilihan jenis tarum tersebut didasarkan pada masa tanam yang pendek, cepat tumbuh, berakar kuat, hasilnya banyak, dan dikenal secara luas oleh rakyat pribumi. Tarum tidak ditanam di sawah atau lahan pertanian penduduk, melainkan di tanah-tanah yang tidak dipakai untuk pertanian yang umumnya terletak di pedalaman.

Bupati sebagai pemegang kekuasaan lokal adalah sosok yang tepat menjadi perantara VOC dengan rakyat pribumi. Bupati memiliki pengaruh besar terhadap rakyat dan mengetahui secara pasti tradisi serta kondisi rakyatnya. Pengaruh bupati yang besar terhadap rakyatnya dimanfaatkan oleh VOC untuk kepentingan eksploitasi ekonomi. VOC tidak segan-segan mengikat diri dengan bupati, karena di dalam ikatan itu mereka melihat kelangsungan masa depannya.

mendapatkan Acte van Verband. Bupati Priangan bertugas menyerahkan verplichte leverantie yang mendapat ganti dari VOC, sedangkan bupati Pesisir bertugas memungut contingenten tanpa mendapat ganti rugi dari VOC. Hubungan VOC dengan para bupati Priangan adalah rekan, sedangkan dengan para bupati Pesisir Utara adalah atasan dan bawahan. Lihat B.J.O. Schrieke,

Penguasa-Penguasa Pribumi (terj.), (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm 59-62.

88 Tahun 1695, bupati R.A. Sutadinata dikenai kewajiban menyerahkan 80 pikultarum

(di samping 90 pikul lada, 55 pikul kapas). Kawasen, Kawali, Imbanagara, Ciamis, Rancah, dan Panjalu adalah daerah utama penanaman tarum di kabupaten Galuh. Khusus untuk tarum ditanam hanya di daerah Kawasen. Tarum adalah komoditas yang terkena kebijakan penyerahan wajib. Lihat Muhammad Ali, Sejarah Jawa Barat: Suatu Tanggapan, (Bandung: Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung), 1973, hlm. 117.

(39)

VOC adalah sebuah badan dagang yang berorientasi dan memprioritaskan masalah ekonomi. Pejabat VOC hanya menentukan kebijakan ekonomi, sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada bupati yang lebih mengetahui keadaan di lapangan. VOC membiarkan bupati memerintah daerahnya secara otokratis dengan imbalan pengakuan kedaulatan dari bupati. Hak istimewa dan fungsi bupati dibiarkan utuh, bupati dibiarkan menjalankan kehidupan sesuai dengan tradisinya, termasuk gaya hidupnya. Bahkan lebih jauh lagi, VOC melindungi struktur politik dan sosial masyarakat pribumi.

Bupati mendapat cultuurprocenten sebagai imbalan atas tugasnya menjadi agen perdagangan VOC. Cultuurprocenten adalah pendapatan terbesar di samping penghasilan resmi bupati.90 Eksploitasi ekonomi yang semakin intensif secara tidak langsung membuat kehidupan bupati yang megah dan mewah semakin bergelimang dengan kemewahan. Menjelang keruntuhan VOC, bupati menikmati kekuasaan yang besar dan gaya hidup yang mewah seperti bangsawan feodal. Salah satu bukti kebesarannya, bupati memiliki pengiring dan pelayan dalam jumlah yang besar. Sistem monopoli dan pemerintahan tidak langsung yang diterapkan oleh VOC memberikan kesempatan kepada bupati untuk menjalankan kekuasaan otonomi yang jauh

(40)

lebih besar dibandingkan dengan para leluhurnya, sehingga memberikan peluang kepada mereka untuk memperkuat diri.91

Campur tangan VOC terhadap urusan politik dan pemerintahan kepala pribumi semakin besar pada tahun-tahun berikutnya.92 VOC menghapuskan hak bupati atas pemilikan tanah, sehingga bupati harus membayar sewa kepada VOC berupa penyerahan tanaman perdagangan. Penghasilan bupati semakin berkurang, bahkan beberapa bupati terbelit hutang kepada VOC karena harus membiayai kehidupan mewahnya. VOC bangkrut pada tahun 1799, kekuasaannya diambil alih oleh Republiek Bataaf untuk dijadikan daerah administrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Seperti VOC, pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung, yaitu menyerahkan urusan politik pribumi kepada para bupati.

Posisi bupati pada dasarnya dipertahankan, setidaknya hingga sebelum Willem Herman Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.93 Daendels menghendaki adanya pengawasan ketat terhadap administrasi dan keuangan, sehingga ia melakukan perombakan terhadap struktur birokrasi kolonial. Bupati yang menjadi salah satu mata rantai birokrasi kolonial tidak

91 Sartono Kartodirdjo, “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa” dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa. Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 33.

92 VOC menempatkan Koffieopziener (pejabat pengawas kopi) dan Gecommiteerde tot en over de Zaken der Inlanders (pegawai untuk urusan pribumi, rakyat pribumi menyebutnya

Kumetir atau Tuan Kawasa) di setiap kabupaten. Pada prakteknya, kedua pejabat itu ikut memerintah kabupaten, bahkan menjadikan kabupaten sebagai kantor VOC. Lihat R.A.A.A. Soeria Nata Atmadja, op.cit, hlm. 160-161.

(41)

luput dari perombakan itu. Posisi dan status bupati mengalami perubahan besar di tangan Daendels. Bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah, hak serta kewajibannya ditentukan secara jelas, dan mereka digaji untuk jasa-jasanya.94 Hak bupati atas kepemilikan tanah, jaminan kerja wajib, dan penarikan pajak diturunkan jumlahnya, sedangkan prinsip pewarisan jabatan dihilangkan sama sekali.

Bupati menjalankan kekuasaannya di bawah seorang prefect yang ditempatkan di setiap kabupaten. Setiap surat resmi yang dikeluarkan oleh bupati harus dibubuhi stempel negara.95 Selain itu, Daendels juga berusaha memisahkan bupati dari desa-desanya. Hak bupati untuk memungut pajak dari rakyat dihapuskan, sebagai gantinya bupati mendapat gaji.96

Kedudukan bupati semakin merosot setelah Daendels melakukan reorganisasi Priangan,97 yaitu membagi Priangan menjadi Jaccatrasche en

Prianger-Bovenlanden (daerah surplus tanaman kopi, terdiri dari Priangan Barat, Priangan Tengah, dan Jakarta), dan Chirebonshce-Priangerlanden

94 Sartono Kartodirdjo, 1982, loc. cit.

95 Tujuannya adalah untuk menjelaskan bahwa bupati adalah pegawai pemerintah kolonial dan bekerja semata-mata kepada pemerintah kolonial.

96 Untuk mempermudah penggajian, bupati diberi pangkat kehormatan seperti dalam hierarki militer sebagai Pangkat itu diberikan sebagai penghormatan untuk menjaga keselarasan hubungan pemerintah kolonial dengan pejabat pribumi. Pangkat Mayor diberikan kepada bupati yang bergelar Adipati, Letnan Kolonel untuk bupati yang bergelar Tumenggung, dan Kapten untuk bupati yang bergelar Ngabehi. Selain gaji, para bupati mendapat tunjangan sebesar 30000

(42)

(daerah minus tanaman kopi, terdiri dari Cirebon dan Priangan Timur, yaitu Reorganisai Priangan semakin memperburuk keadaan bupati.99 Kekuasaan para bupati di daerah minus tanaman kopi semakin berkurang bahkan hilang, terutama setelah terjadinya pemutasian dan pemberhentian terhadap bupati yang kadang-kadang disebabkan oleh alasan yang sepele.100

Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles menghendaki adanya suatu efisiensi, sehingga ia keluar dari tradisi VOC yang dianggapnya sebagai suatu hambatan.101 Raffles menganggap ikatan feodal adalah hambatan terbesar bagi

98 Luas wilayah kabupaten Galuh kurang lebih 1.185, 4 km persegi, atau kira-kira 16,34 % luas wilayah Keresidenan Cirebonyang dihuni oleh 350.000 jiwa. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm. 110.

99 Kabupaten Utama, Imbanagara, dan Cibatu digabungkan menjadi kabupaten Galuh. Bupati bupati Imbanagara diangkat sebagai bupati, sedangkan bupati Utama dan Cibatu diberhentikan. Bupati Imbanagara harus menanggung utang kabupaten sebesar f. 58.750. Pejabat Belanda yang menangani urusan reorganisasi kabupaten Galuh adalah Jowan Pitter Hemler yang dikenal sebagai sosok bengis, kasar dan senang menghina bupati. Sikapnya itu sering menuai protes dari para bupati Priangan, bahkan bupati Sumedang yang terkenal sangat santun dan patuh pada pemerintah kolonial tidak segan-segan menunjukkan ketidaksenangannya terhadap Hemler. Periksa Edi S. Ekajati, Wawacan Sejarah Galuh, (Bandung: EFEO, 1977), hlm. 241.

100 Contohnya adalah kasus pemecatan bupati Galuh R.A. Natadikusuma yang memukul seorang pejabat Belanda rendahan bernama Van Bast karena menyuruhnya melakukan tugas yang bukan kewajibannya, yaitu menimbang benang dan tarum. Akibatnya ia dilepas tina regen

(dipecat dari jabatan bupati) karena dianggap melawan pemerintah kolonial.

(43)

birokrasi modern, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menghapuskannya.102 Raffles membebaskan rakyat dari pembayaran pajak in natura dan kerja wajib, sebagai gantinya mereka harus membayar pajak dengan uang. Raffles menganggap bahwa bupati tidak lebih dari pegawai pemerintah yang harus ditempatkan berada di bawah Residen. Raffles menempatkan seorang Asisten Residen dan pejabat pengawas pendapatan tanah di setiap kabupaten untuk mendampingi bupati. Asisten Residen itulah yang akhirnya lebih berperan memerintah dari pada bupati, sedangkan bupati hanya berperan sebagai pejabat polisi yang bertugas mengawasi keamanan daerahnya.

Kebijakan-kebijakan yang dicanangkan oleh Daendels dan Raffles telah menyebabkan kekuasaan dan kehormatan bupati merosot hingga titik terendah.103 Kebijakan pemerintah kolonial berhasil mengubah posisi dan status bupati, tetapi gagal menciptakan perubahan mendasar dalam struktur kekuasaan tradisional. Pemerintah kolonial tidak dapat memisahkan bupati dari rakyatnya karena ikatan feodal di antara mereka terlanjur mengakar. Kuatnya struktur tradisional dan birokrasi feodalistik adalah penyebab utama gagalnya pemerintah kolonial dalam menghapuskan hak-hak feodal bupati.

Java, (Singapore: Periplus, 1997), hlm. 44

102 Idealisme Raffles adalah menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan dengan cara membebaskan rakyat dari pemerasan penguasanya. Idealisme itu kandas karena pemerintah kolonial Belanda lebih jeli melihat kenyataan di negeri jajahan. Struktur agraris dan birokrasi feodal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pribumi sudah berakar kuat dan melembaga menjadi tradisi, sehingga tidak mudah dihapus begitu saja. Hal itulah yang menjadi rintangan utama sekaligus mengkandaskan idealisme Raffles.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Struktur sekresi luar ber+ariasi komplekitasnya, kadang-kadang sederhana misalnya bagian dari epidermis sebagai struktur sekresi. adang kadang sel-sel sekresi adalah

Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, yoghurt probiotik dengan penambahan 3% tepung kacang merah dan 7% susu skim menghasilkan yoghurt dengan kualitas yang baik dengan kadar

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan rasio Si/Al yang berkaitan dengan dealuminasi dalam proses pengasaman dengan menggunakan konsentrasi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum sintesis CMC pelepah kelapa sawit dengan faktor, yaitu konsentrasi NaOH, berat NaMCA, dan suhu

Kalaupun hukum adat ini tidak sempat dibentuk dalam wujudnya sebagai hukum perundang-undangan nasional (yang akan dapat difungsikan sebagai sumber hukum yang formal),

elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik. Masalah yang terjadi adalah Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau