• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. BURNOUT

kepala; (b) kelelahan emosi muncul dalam bentuk depresi, frustasi, merasa terperangkap didalam pekerjaan, dan merasa tidak berdaya; (c) kelelahan mental atau sikap berupa prasangka negatif dan bersikap sinis terhadap orang lain; (d) perasaan tidak mampu mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup, ditandai oleh ketidakpuasan terhadap diri sendiri, pekerjaan, kehidupannya.

Burnout memiliki dampak terhadap kualitas organisasi, yaitu

pemberian pelayanan yang berkualitas rendah bagi klien, menurunnya sikap keterlibatan kerja pada divisinya, bahkan meningkatnya orang yang pindah kerja (Jackson, dalam Jewell & Siegall, 1998). Selain itu, dapat menimbulkan kemerosotan kualitas ketelitian terhadap tugas yang diberikan oleh staff (Maslach dan Jackson, 1981).

Nurjayadi (2004) mengungkapkan bahwa burnout akan menyebabkan penurunan efektivitas kinerja individu, sebagai dampak dari sikap dan perilakunya yang negatif. Dampak dari burnout tersebut menyebabkan karyawan menjadi kurang energik dan kurang tertarik pada pekerjaannya. Hal tersebut dikarenakan mereka mengalami kelelahan secara emosional (Schultz & Schultz, 2006).

Burnout tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya,

yaitu faktor individu dan faktor situasional. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor individu dari penyebab adanya burnout, Maslach dan Jackson (dalam Cherniss, 1987:137) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional. Burnout juga dipengaruhi oleh usia. Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987) maupun Schaufeli dan Buunk (Cooper, dkk, 2001) menemukan pekerja yang berusia muda lebih tinggi mengalami burnout daripada pekerja yang berusia tua.

Menurut Dewe & O’Driscoll (2001), faktor situasional meliputi

karakteristik pekerjaan dan karakteristik organisasi. Karakteristik pekerjaan meliputi tuntutan kerja dan beban kerja yang berlebih. Sedangkan pada karakteristik organisasi adanya proses komunikasi yang kurang dalam proses organisasi maupun tingkat organisasi mempengaruhi munculnya burnout (O’Driscoll and Schubert, dalam Dewe & O’Driscoll

2001). Terkait dengan karakteristik organisasi, sekarang karyawan juga diharapkan lebih banyak memberikan waktunya, tenaga, keterampilan, dan

fleksibilitas untuk organisasi dimana tempat karyawan bekerja. Namun, berlawanan dengan organisasi sendiri yang cenderung tidak memberikan peluang karir, keamanan kerja, bahkan pekerjaan seumur hidup (Maslach, dkk, 2001).

Organisasi sendiri merupakan suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia, yang berinteraksi pada suatu pola tertentu sehingga setiap anggota dalam organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, sebagai satu kesatuan yang mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya (Budi dalam Lubis & Husaini, 1987). Berdasarkan tujuannya organisasi dapat dibedakan menjadi organisasi yang tujuannya mencari keuntungan atau berorientasi pada profit dan organisasi sosial yang orientasinya pada pelayanan masyarakat atau organisasi non-profit (Richard, 1986).

Contoh dari organisasi profit yaitu bank, perusahaan-perusahaan swasta yang bertujuan mencari laba dari hasil usahanya. Sedangkan organisasi non-profit contohnya yaitu gereja, masjid, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundang - undangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum dan beberapa para petugas pemerintah (Gortner et al, 1987).

Organisasi profit dan organisasi non profit memiliki perbedaan yang terletak pada misi dan tugas (Wolf, 1984). Menurut De Cooman

(2011) organisasi profit dipengaruhi oleh motif bisnis dan motif keuntungan, lain halnya dengan organisasi non profit, umumnya diberbagai negara organisasi ini memiliki karakteristik yang sama yaitu dibentuk untuk melayani kepentingan dan kebaikan masyarakat (Salusu, dalam McCarthy, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu karyawan yang bekerja di organisasi profit, yaitu di dealer motor yang ada di Malang, Jawa Timur (1 Oktober 2015). Menurutnya, dalam setiap bulan subjek mendapatkan target dari supervisi nya untuk menjual unit motor yang telah ditetapkan untuk memperoleh keuntungan dari hasil penjualan. Hal ini sesuai yang dikatakan Wolf (1984) bahwa organisasi profit lebih menekankan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.

Sedangkan pada organisasi non profit, berdasarkan hasil wawancara (10 Oktober 2015) dengan salah satu perawat yang bekerja pada organisasi non-profit, yaitu rumah sakit. Subjek setiap harinya harus melayani pasien ataupun keluarga pasien yang berbeda, dan tidak jarang keluarga pasien yang selalu meminta pelayanan yang cepat dan tidak sabaran. Hal ini terkadang membuat subjek merasa kesal dan stres (10 Oktober 2015).

Organisasi non-profit memang erat kaitannya dengan pekerjaan

public service atau berkaitan dengan kualitas pelayan yang diberikan oleh

pekerja kepada kliennya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Wolf (1984) bahwa organisasi non-profit erat kaitannya dengan pelayanan

sector public. Hal ini juga yang dapat menyebabkan terjadinya stress

berkepanjangan dan mengakibatkan burnout pada karyawan yang bekerja pada sektor pelayanan masyarakat. Weiten (2010) juga mengemukakan bahwa burnout biasanya terjadi pada individu yang bekerja dalam bidang pelayanan masyarakat ataupun sosial.

Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa burnout terjadi pada pekerjaan human service yang merupakan hasil dari respon terhadap stress kerja (Berry, 1998). Human service Organization atau organisasi pelayanan manusia merupakan organisasi yang bergerak dibidang pelayanan manusia. Hasenfeld (1983) menjelaskan bahwa organisasi pelayanan manusia, secara mendasar memiliki fungsi untuk melindungi, memelihara, atau meningkatkan kesejahteraan individu melalui pemahaman, pembentukan atau pengubahan atribut personal mereka.

Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2005) juga menemukan bahwa

burnout lebih banyak dialami oleh individu yang bekerja dibidang

pelayanan sosial. Hal ini dikarenakan pada profesi ini, para pekerja cenderung bekerja pada bidang yang berkaitan langsung dengan banyak orang dan melakukan pelayanan kepada masyarakat umum (Wulandari, 2013).

Maslach (2001) mengemukakan bahwa burnout dapat terjadi pada orang yang profesinya terkait dengan pelayanan masyarakat (guru, terapis, pekerja sosial, polisi, dan pekerja rumah sakit) di mana mereka akan merasa frustrasi dengan ketidakmampuannya untuk membantu masyarakat

dengan baik dan optimal. Selain itu, burnout dialami oleh seseorang yang bekerja disektor pelayanan yang relatif lama, dan dalam situasi yang menuntut secara emosi (Pines & Aronson, 1989).

Berdasarkan paparan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai apakah ada perbedaan burnout pada karyawan yang bekerja di organisasi profit dan organisasi non-profit. Peneliti berasumsi bahwa karyawan yang bekerja di organisasi non-profit lebih cenderung

burnout. Hal ini disebabkan, organisasi non-profit memiliki prioritas yang

lebih pada upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan burnout pada karyawan di organisasi profit dan organisasi non-profit?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan

burnout yang dialami oleh karyawan yang bekerja di organisasi profit dan

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Memberikan wawasan dalam ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO), terkait dengan perbedaan

burnout pada karyawan di organisasi profit dan organisasi non profit.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Karyawan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan bahan refleksi dan evaluasi pada karyawan yang bekerja di organisasi profit dan organisasi non-profit terkait burnout yang dialaminya.

b. Bagi Perusahaan/Organisasi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil terkait dengan seberapa besar tingkat burnout yang dialami oleh karyawan di organisasi profit dan non-profit, sehingga berguna untuk memberikan pendampingan pada karyawannya.

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. BURNOUT

1. Pengertian Burnout

Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974. Freudenberger (dalam lambert, Barton-Bellessa, & Hogan., 2015) mengemukakan bahwa burnout adalah kelelahan psikologis yang diakibatkan karena tuntutan kerja yang berlebihan. Maslach dan Jackson (dalam Lambert, Hogan, Altheimer, Jiang, & Stevenson., 2010) mengemukakan bahwa burnout didefinisikan sebagai sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang sering terjadi antara individu-individu yang bekerja.

Menurut Maslach dan Jackson (dalam Lambert dkk., 2015)

burnout adalah keadaan karyawan merasa lelah secara emosional, dan

sinisme pada berbagi jenis pekerjaan. Burnout juga dapat didefinisikan sebagai kondisi karyawan merasa tertekan, kebosanan, dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang mengakibatkan kelelahan emosional dan depresi fisik (Pines dan Kafry, dalam lambert dkk., 2015).

Selain itu, burnout juga didefinisikan sebagai efek dari stres kerja akibat pekerjaan yang berlebihan sehingga individu akan mengalami kurangnya energi dan minat terhadap pekerjaan (Schultz &

Schultz, 2010). Kondisi seperti ini yang mengakibatkan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, misalnya bersikap sinis terhadap klien maupun rekan kerja, membolos, sering terlambat, dan menjaga jarak pada klien (Cherniss, 1987).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, yang dimaksud

burnout adalah keadaan karyawan merasa kelelahan, bosan, tertekan,

bahkan menarik diri dari lingkungan pekerjaannya, akibat dari tuntutan pekerjaan yang berlebihan.

2. Dimensi Burnout

Maslach (dalam Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001) memberikan gambaran adanya tiga dimensi burnout yaitu :

a. Kelelahan emosional (Emotional Exhaustion)

Kelelahan emosional mengacu pada hilangnya perasaan dan kelelahan secara emosional dan psikologis terhadap pekerjaan (Maslach & Jackson, dalam lambert dkk., 2015). Selain itu Lin (dalam lambert dkk., 2015) menyatakan bahwa kelelahan emosional juga disebut sebagai hilangnya perasaan emosional, dan perasaan emosional yang berlebihan. Selain itu, menurut Schultz dan Schultz (dalam Herati, 2012), kelelahan emosional disebabkan karena kelelahan psikologis dan tuntutan emosional, sering melakukan pekerjaan yang berlebihan, atau ekspektasi tinggi yang tidak realistis.

b. Depersonalisasi (Depersonalization)

Depersonalisasi mengacu pada ketidakpedulian, sinisme, dan perasaan negatif (Maslach & Jackson, 1981, 1984). Sehingga ketika seseorang mengalami depersonalisasi dalam pekerjaannya, mereka cenderung memperlakukan orang lain secara impersonal, dan tanpa perasaan. Maslach (2001) mengemukakan bahwa depersonalisasi adalah perilaku memberi jarak antara diri sendiri pada klien serta mengabaikannya. Selain itu juga, muncul sikap ketidakpedulian atau sikap sinis ketika mereka merasa kelelahan dan putus asa.

c. Rendahnya pencapaian prestasi diri (Lack of personal

accomplishment)

Dimensi ketiga ini mengacu pada rendahnya pencapaian prestasi diri ditandai dengan individu merasa tidak puas dengan hasil karya dirinya sendiri, dan tidak mampu melakukan tugas (Maslach & Jackson, 1981). Selain itu, individu merasa tidak efektif dalam bekerja dan merasa tidak mampu dalam menyelesaikan pekerjaan (Maslach, 1982; Maslach et al., 2001). Hal ini mengakibatkan perasaan enggan memberikan dampak positif dalam pekerjaan dan enggan berhubungan dengan orang lain di tempat kerja (Maslach & Schaufeli, dalam Lambert dkk., 2015).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga dimensi Burnout, yaitu : dimensi kelelahan emosional (emotional exhaustion), dimensi depersonalisasi

(depersonalization), dan dimensi rendahnya pencapaian prestasi diri

(lack of personal accomplishment).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Burnout

Menurut Maslach (dalam Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001), faktor yang mempengaruhi munculnya burnout dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Faktor Situasional

Faktor situsasional terjadinya burnout berasal dari karakteristik pekerjaan dan karakteristik organisasi. Karakteristik pekerjaan meliputi tuntutan kerja, termasuk ambiguitas peran dan konflik peran, dan beban kerja yang berlebih (Dewe &

O’Driscoll, 2001). Hal ini bisa terjadi karena kurangnya informasi yang memadai untuk melakukan pekerjaan dengan baik serta tuntutan yang saling bertentangan dengan pekerjaan. Selain itu, juga komunikasi interpersonal dengan klien seperti pada pekerjaan helping profession memiliki hubungan yang kuat terhadap munculnya burnout (Dewe & O’Driscoll, 2001).

Karakteristik organisasi dalam pengembangan burnout juga telah memiliki banyak perhatian. O’Driscoll dan Schubert (dalam

komunikasi antara tingkat organisasi dan proses organisasi antara manajer dan karyawan sangat terkait dengan burnout di kalangan pekerja sosial, sedangkan jika karyawan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dikaitkan dengan menurunnya tingkat burnout. Selain itu juga, sekarang karyawan dituntut oleh suatu organisasi untuk lebih memberikan banyak waktu, tenaga, serta keterampilan untuk melaksanakan pekerjaannya, sehingga kesejahteraan mereka akan terkikis dan menghasilkan burnout (Maslach, dkk, 2001).

b. Faktor Individu

Faktor individu terjadinya burnout berasal dari faktor demografis dan faktor kepribadian. Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, dan status perkawinan. Maslach menyatakan bahwa usia merupakan salah satu penyebab yang konsisten berhubungan dengan burnout, khususnya pada individu yang lebih muda dalam karir pekerjaannya.

Maslach (dalam Maslach, dkk., 2001) mengemukakan bahwa faktor kepribadian dapat digunakan sebagai prediktor terjadinya burnout. Misalnya individu yang memiliki lokus kontrol external akan lebih tinggi mengalami burnout dari pada yang memiliki lokus kontrol internal.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi burnout dapat dikategorikan menjadi faktor

situasional dan faktor individu. Pada faktor situasional dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan dan karakteristik organisasi. Sedangkan faktor individu dipengaruhi oleh faktor demografis dan faktor kepribadian.

Dokumen terkait