• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Burung Panta

Burung pantai dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai shorebird atau wader. Secara umum burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara ekologis bergantung pada kawasan pantai sebagai tempat mencari makan dan atau berbiak, berukuran kecil sampai sedang dengan berbagai bentuk dan ukuran paruh yang disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsanya (Howes et al. 2003).

Sebagian besar burung pantai dikenal sebagai burung migran atau burung pendatang. Burung pantai di Indonesia sebagian besar merupakan burung pantai pendatang atau migran yang menghabiskan waktu di wilayah lahan basah untuk mencari makan serta menunggu kembali ke daerah berbiaknya, baik di belahan bumi utara (Rusia dan sekitarnya) maupun belahan bumi selatan (Australia dan Negara-negara Pasifik) (Howes et al. 2003, Diana, 2007).

Burung pantai melakukan migrasi sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi alam yang ekstrim di lokasi berbiaknya sehingga menyebabkan berkurangnya pasokan makanan. Perjalanan migrasi burung pantai ke belahan bumi selatan dilakukan sebagai upaya menghindari perubahan alam (cuaca) yang ekstrim dan memenuhi kebutuhan makanan untuk keberlangsungan hidupnya (Howes et al. 2003). Hewan melakukan migrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kepadatan populasi dan faktor kondisi fisik lingkungan, seperti adanya perubahan suhu dan persediaan sumber makanan (Susanto, 2000).

2.1.1 Taksonomi Burung Pantai

Sebagian besar burung pantai tergolong ke dalam dua suku besar, yaitu

Charadriidae dan Scolopacidae. Beberapa spesies lainnya termasuk ke dalam famili Jacanidae, Haematopodidae, Recurvirostridae, Glareolidae, Burhinidae,

Rostratulidae, Dromadidae, Ibidorhynchidae, Pluvianellidae dan Thinocoridae. Jumlah burung pantai yang ada di dunia sekitar 214 jenis. Dimana 65 spesies

diantaranya tercatat ditemukan di Indonesia (Howes et al. 2003, Diana, 2007). Penyebaran dan jumlah jenis burung pantai yang terdapat di dunia, Asia dan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa burung pantai dari famili Charadriidae dan Scolopacidae memiliki jumlah spesies yang paling banyak di bandingkan dengan famili yang lainnya.

Tabel 2.1. Kelompok Burung Pantai di Indonesia dan Dunia

No. Famili Jumlah Spesies per Kawasan

Dunia(1) Asia(1) Indonesia(2)

1 Jacanidae 8 3 3 2 Rostratulidae 2 1 1 3 Dromadidae 1 1 - 4 Haematopodidae 11 2 2 5 Ibidorhynchidae 1 1 - 6 Recurvirostridae 7 2 1 7 Burhinidae 9 3 1 8 Glareolidae 17 6 2 9 Charadriidae 65 19 16 10 Pluvianellidae 1 - - 11 Scolopacidae 88 46 39 12 Thinocoridae 4 - - Total 214 84 65

Sumber: (1)Howes and Bakewell (1989) (2) Rusila (1994) dalam Howes et al. (2003)

2.1.2 Morfologi dan Stratifikasi Paruh Burung Pantai

Kelompok burung pantai memiliki ukuran tubuh mulai dari yang terkecil, yaitu

Calidris minutila dengan panjang tubuh sekitar 11 cm (4,5 inci) dan bobot sekitar 23-37 gram dengan bentangan sayap sepanjang 33 cm (Harrison, 1991). Burung pantai yang terbesar adalah gajahan timur (Numenius madagascariensis) dengan panjang tubuh 63 cm (25 inci) dan bobot sekitar 860 gram (Perrins, 1986), bobot yang terberat mencapai 2 kg (Neithammer, 1972). Selain itu, kelompok burung ini umumnya memiliki kaki yang panjang, bentuk tubuh dan paruh disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari makan (Howes et al. 2003).

Famili Charadriidae merupakan burung perencah dengan ciri khas berparuh lurus, terdapat penebalan pada ujungnya. Tungkai panjang yang kuat, sebagian besar tidak memiliki jari belakang. Sayap agak panjang dengan ekor pendek. Warna tubuh dari famili Charadriidae (Gambar 2.1) kebanyakan coklat, hitam dan putih. Sedangkan famili Scolopacidae (Gambar 2.2), mempunyai kaki

yang panjang dengan paruh ramping memanjang. Pada beberapa jenis, paruh sangat panjang, yang digunakan untuk mengais ke dalam lumpur, mencari cacing dan udang-udangan yang bersembunyi. Famili ini memiliki jenis yang banyak dan tersebar luas. Umumnya ditemukan di pantai atau daerah lahan basah terbuka, sering di dekat laut (Howes et al. 2003).

Gambar 2.1.Famili Charadriidae Gambar 2.2. Famili Scolopacidae

Berbagai jenis burung pantai yang hidup di lahan basah secara bersamaan akan mengakibatkan terjadinya hubungan kompetitif antara jenis satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan pemisahan kegiatan (partition). Burung pantai yang hidup di lahan basah memiliki spesialisasi dalam hal memperoleh makanan (Susanto, 2000). Hal ini ditegaskan juga oleh Howes et al. (2003), burung pantai biasanya hidup secara berkelompok selama periode tidak berbiak, yang mengakibatkan adanya kompetisi baik dalam mencari makan maupun beristirahat. Kompetisi tersebut berkurang karena adanya spesialisasi morfologi, yaitu bentuk dan ukuran paruh, bentuk dan ukuran kaki serta ukuran mata. Untuk mengatasi hal tersebut, sangat penting bagi burung pantai untuk menerapkan mekanisme strategi makan yang efisien.

Kondisi di atas akan teratasi karena adanya spesialisasi dalam bentuk penampakan morfologi, sehingga burung pantai dapat mencari makan pada strata (berbagai kedalaman) lumpur dan jenis makanan yang berbeda pada lokasi yang sama. Seperti, pada beberapa jenis burung pantai, terdapat perbedaan panjang paruh antara jantan dan betina (betina mempunyai paruh yang lebih panjang). Perbedaan tersebut kemudian berpengaruh terhadap kompetisi antar jenis kelamin

terhadap sumber daya makanan yang dieksploitasi. Sebagai contoh, Calidris ferruginea betina dapat menangkap mangsa di strata dangkal maupun yang dalam. Sementara yang jantan hanya dapat menangkap mangsa pada lubang yang dangkal. Perbedaan panjang paruh antar jenis burung pantai dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Hubungan Panjang Paruh dengan Kedalaman Keberadaan Jenis Mangsa (Howes et al. 2003)

2.1.4 Habitat Burung Pantai

Lahan basah merupakan habitat penting bagi burung air termasuk burung pantai yang digunakan sebagai tempat berbiak, bersarang dan membesarkan anaknya, tempat mencari makan, sumber air minum, tempat berlindung dan melakukan interaksi sosial.

Burung pantai menyukai habitat lahan basah, seperti hutan mangrove, hamparan lumpur (mudflat), rawa rumput, savana, rawa herba, danau alam dan buatan, serta lahan basah buatan. Keberadaan lahan basah sebagai habitat burung air telah dirumuskan sebagai salah satu kepentingan internasional dalam Konvensi Ramsar Iran pada tahun 1971 (Sibuea et al. 1997). Berdasarkan Konvensi Ramsar, lahan basah merupakan daerah rawa, lahan gambut, atau air, baik yang alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, dengan air tergenang atau mengalir, bersifat tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan yang pada waktu surut tidak lebih dari 6 meter (Dugan, 1990).

Faktor yang paling penting dalam suatu habitat adalah ketersediaan pakan bagi satwa (Jamaksari, 2011). Pola pemilihan habitat oleh burung pantai berhubungan erat dengan kedalaman air dan morfologi dari masing-masing spesies. Morfologi (paruh, kaki dan leher) sangat mempengaruhi dalam perilaku mencari makan dan keberhasilan memperoleh makan (Howes et al. 2003). Menurut Burger et al. (1996), burung pantai lebih banyak ditemukan pada hamparan lumpur yang memiliki pasang surut air laut jika dibandingkan dengan pantai terbuka dan rawa baik dipengaruhi oleh pasang surut maupun tidak. Tetapi, burung pantai lebih menyukai hamparan lumpur dan rawa dengan pasang surut rendah dibandingkan dengan daerah yang sama memiliki fluktuasi pasang surut tinggi.

2.1.4 Makanan Burung Pantai

Makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk burung air (burung pantai). Burung merupakan konsumer penting pada komunitas intertidal, burung membutuhkan energi yang tinggi dan efisiensi dalam memperoleh makanan (Botto et al. 1998). Kuantitas dan kualitas makanan yang diperlukan oleh satwaliar berbeda menurut jenis, perbedaan kelamin, kelas umur, fungsi fisiologi, musim, cuaca, dan kondisi geografisnya. Oleh karena itu, ketersediaan makanan merupakan hal yang sangat mendasar untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan hewan (Alikodra, 2002).

Burung air (termasuk burung pantai) membutuhkan makanan sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai proses fisiologi dalam kelangsungan hidup, diantaranya untuk bergerak, berbiak dan interaksi dengan burung air lainnya. Makanan merupakan sumber daya yang sangat penting dalam banyak aspek bagi ekologi burung (Wiens, 1989). Burung pantai memanfaatkan lokasi lahan basah yang terdapat pakan untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber pakan burung pantai sebagian besar terdiri dari bentos. Makrozoobentos yang sering dijadikan makanan bagi burung pantai dari bivalvia, gastropoda, crustacea, polychaeta dan ikan (Howes et al. 2003).

Bentos adalah organisme air yang mendiami bagian dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan (Suin, 2002, Odum, 1971).

Bentos yang termasuk hewan disebut zoobentos, sedangkan yang tergolong tumbuhan disebut fitobentos. Pada umumnya zoobentos adalah makroinvertebrata yang meliputi insekta, moluska, oligochaeta, crustacea, dan nematoda.

Berdasarkan hidupnya di substrat dibedakan menjadi 2, antara lain epifauna yaitu, bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna merupakan bentos yang hidupnya terbenam didalam substrat perairan (Cummnis, 1975 dalam Setiawan, 2008). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Makrozoobentos yang hidup di atas dan di dalam substrat dasar perairan (Cummins, 1975 dalam Setiawan, 2008).

Dokumen terkait