• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

G. Campur Kode

PKK tidak mendeskriminasikan anak yang tidak memiliki ayah. Fungsi penggunaan campur kode tersebut adalah lebih persuasif dalam membujuk atau menghimbau ibu-ibu PKK agar lebih menghargai anak yang tidak memiliki ayah seperti anak-anak lain, atau tidak membeda-bedakan dengan anak lain yang memiliki ayah.

Penelitian sosiolinguistik sebelumnya, khususnya terkait dengan alih kode dan campur kode, yang pernah dilakukan baik yang berbentuk buku, tesis, dan skripsi adalah sebagai berikut.

Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode, buku terbitan oleh Kunjana Rahardi

(2001). Penelitian tersebut mengenai komponen tutur, sistem tutur sebagai salah satu jenis kode, pemerian wujud kode, dan alih kode dalam wacana jual-beli sandang di pasar Bringharjo, Yogyakarta.

commit to user

“Campur Kode dalam Komunikasi Lisan Masyarakat Multilingual (Studi Kasus di Pesantren Pabelan Magelang),” thesis oleh R. Jamaluddin (2002). Penelitian ini menunjukkan di Pesantren Pabelan banyak digunakan campur kode dalam wujud kata, frasa, idiom, pengulangan kata dan klausa. Faktor utama penutur menggunakan CK diidentifikasikan sebanyak 14 macam faktor utama diantaranya ingin menekankan atau menjelaskan makna, menyesuaikan dengan audien, menyrsuaikan dengan topik pembicaraan, menyesuaikan dengan latar, peranan pembelajaran (untuk tujuan edukatif), untuk mengurangi kefulgaran memperhalus dan metafora, karena kebiasaan kebahasaan penutur, ingin mencairkan suasana, agar terdengar santai, ingin menggugah perhatian, registeral, gejala kelaziman, dan ketidakmampuan sementara penutur. Apabila 14 faktor disederhanakan maka terdapat dua penyebab utama yaitu faktor kebahasaan dan faktor non kebahasaan.

“Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Pesantren Modern “Arrisalah” Kabupaten Ponorogo (Kajian Sosiolingustik),” thesis oleh Mulyani (2004). Penelitian ini difokuskan pada temuan pokok yaitu peristiwa yang mononjol terjadinya alih kode dan campur kode di pesantren modern Arrisalah dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode di pesantren tersebut.

“Campur Kode dan Alih Kode dalam Acara Ketoprak Humor di RCTI (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik),” skripsi oleh Lamini (2003). Penelitian tersebut mengklasifikasi bentuk campur kode dari kata sampai klausa, mengelompokan data alih kode dalam bahasa Jawa, dialek Jakarta, dan alih kode bahasa Inggris, kemudian identifikasi frekuensi variasi bahasa dalam bentuk-bentuk alih kode dan campur kode pada acara Ketoprak Humor di RCTI.

commit to user

“Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni Karya Suwendi Endraswara (Anaisis Sosiolinguistik),” skripsi oleh Etik Yuliati (2010). Penelitian tersebut mengklasifikasi bentuk alih kode dan campur kode dalam cerbung Dolanan Geni karya Suwandi Endraswara. Bentuk alih kode yang ditemukan yaitu dari BJRN ke dalam BJRK, dari BI ke dalam BJ, dari BJ ke dalam BI, dari BJRK ke dalam BJRN. Bentuk campur kode yang ditemukan dari kata, frasa, baster, perulangan kata, ungkapan/idiom, dan klausa. Ditemukan 5 fungsi alih kode yaitu (1) membangkitkan rasa humor, (2) menghormati mitra tutur, (3) pada saat berganti suasana atau dalam suasana berbeda dari awal tuturan berlangsung, (4) untuk bergengsi, (5) menyeimbangkan bahasa dengan mitra tutur. Ada 12 fungsi campur kode dalam cerbung Dolanan Geni di antaranya (1) menghormati mitra tutur atau objek yang dibicarakan, (2) memudahkan jalannya komunikasi antara penutur dan mitra tutur jika kesulitan mencari padanan dalam bahasa Jawa, (3) menunjukkan keakraban antara penutur dan mitra tutur, (4) untuk bercanda, (5) meluapkan perasaan gembira, (6) menunjukkan rasa syukur, dan (7) mempermudah menyampaikan maksud penutur kepada mitra tutur.

Ternyata dari beberapa penelitian sebelumnya, belum ada yang mengkaji alih kode dan campur kode bahasa Jawa pada rapat ibu-ibu PKK. Penelitian mengenai alih kode dan campur kode ini diposisikan sebagai jembatan untuk lebih memperdalam pembahasan mengenai bentuk, faktor yang melatarbelakangi, serta fungsi penggunaan alih kode dan campur kode bahasa Jawa dalam rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon, Surakarta. Penelitian ini mengambil pembahasan mengenai alih kode dan campur kode bahasa Jawa karena penggunaan keduanya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat tutur khususnya dalam rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon, Surakarta.

commit to user

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah digunakan agar penelitian tidak keluar dari sasaran yang akan dicapai. Penelitian ini membatasi masalah pada bentuk, faktor yang melatarbelakangi, dan fungsi alih kode dan campur kode bahasa Jawa dalam rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon. Peneliti membatasi peristiwa alih kode dan campur kode bahasa Jawa pada komunikasi lisan, rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon, Surakarta.

C. Perumusan Masalah

Berikut masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini.

1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta? (Permasalahan ini dikaji untuk menggambarkan bentuk penggunaan alih kode dan campur kode bahasa Jawa dalam rapat PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta).

2. Bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta? (Permasalahan ini dikaji untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode bahasa Jawa dalam rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon, Surakarta).

3. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon Surakarta? (Permasalahan ini dikaji untuk mengetahui bagaimana fungsi alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta).

commit to user

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta.

2. Mendeskripsikan faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta.

3. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang terjadi dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Berikut ini manfaat penelitian secara teoretis dan praktis. 1. Manfaat teoretis.

Penelitian ini dapat menambah khasanah teori sosiolinguistik, khususnya mengenai alih kode dan campur kode.

2. Manfaat praktis.

a.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan penelitian sosiolinguistik selanjutnya, khususnya yang berkaitan langsung dengan alih kode dan campur kode.

b.Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada Ibu-ibu PKK, peneliti dan masyarakat mengenai alih kode dan campur kode bahasa Jawa yang dapat terjadi dalam masyarakat multilingual tidak terkecuali dalam rapat ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta.

c.Penelitian ini bisa digunakan sebagai alternatif model penelitian sosiolinguistik selanjutnya.

commit to user

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I Pendahuluan

Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka dan Kerangka Pikir

Kajian pustaka meliputi sosiolinguistik, hakikat kedwibahasaan dan diglosia, ragam bahasa, pembagian tingkat tutur bahasa Jawa (undha-usuk), kode, alih kode, campur kode, komponen tutur, situasi sosiologis di Kelurahan Kepatihan Kulon, dan PKK sebagai organisasi kemasyarakatan. Kerangka pikir meliputi gambaran penelitian.

Bab III Metode Penelitian

Metode penelitian berisi jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, populasi dan sampel, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

Bab IV Hasil Analisis data dan Pembahasan

Hasil analisis data dan pembahasan berisi faktor yang melatarbelakangi, bentuk, dan fungsi alih kode dan campur kode Jawa yang digunakan dalam rapat PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon, Surakarta.

Bab V Penutup.

Penutup terdiri dari simpulan dan saran. Daftar Pustaka

commit to user

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Kajian pustaka dalam penelitian ini meliputi sosiolinguistik, hakikat kedwibahasaan, bilingual dan diglosia, ragam bahasa, pembagian tingkat tutur bahasa Jawa (undha-usuk), kode, alih kode, campur kode, komponen tutur, situasi sosiologis di Kelurahan Kepatihan Kulon, dan PKK sebagai organisasi kemasyarakatan. Kerangka pikir digunakan untuk memberikan gambaran permasalahan, proses dan hasil penelitian.

A. Sosiolinguistik

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Sosiolingusitik mengkaji mengenai bahasa yang dihubungkan dengan masyarakat penuturnya. Seperti yang diungkapkan oleh Suwito, sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari suatu masyarakat tertentu (1983: 2).

Sumarsono dan Paina Partana menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi) (2004: 1).

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 2). Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa sosiolingustik

commit to user

merupakan kajian yang menggabungkan antara dua bidang ilmu antardisiplin, dan mempelajari penggunaan bahasa dalam masyarakat penuturnya.

B. Hakikat Kedwibahasaan, Bilingualisme, dan Diglosia

Suwito berpendapat bahwa baik kedwibahasaan maupun diglosia pada hakikatnya adalah peristiwa menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu masyarakat, maka antara kedua peristiwa itu nampak adanya hubungan timbal-balik yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya (1983: 47). Pendapat mengenai pengertian kedwibahasaan atau yang disebut dengan bilingualisme, diperkuat oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustine, secara harfiah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa (1995: 111-112).

Terkait dengan hakikat kedwibahasaan, bilingualisme, dan diglosia, Nababan mengutarakan bahwa kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu memakai dua bahasa, disebut bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan menggunakan dua bahasa. Dapat dibedakan pengertian itu dengan “kedwibahasaan” (untuk kebiasaan) dan kedwibahasawanan (untuk kemampuan) (1990: 27).

Pengertian diglosia diperinci oleh Harimurti Kridalaksana, diglosia adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan (2008: 50).

Kemudian Aslinda dan Leni Syafyahya juga berpendapat mengenai hakikat diglosia, kedwibahasaan, dan bilingualisme. Pengertian diglosia boleh dikatakan sama

commit to user

dengan kedwibahasaan, tetapi istilah diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Disisi lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakai bahasa itu (2010: 27).

Dapat disimpulkan bahwa hakikat kedwibahasaan, bilingual dan diglosia adalah pemakaian dua bahasa dalam kelompok masyarakat. Jadi ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon yang menggunakan dua bahasa disebut dengan bilingual atau dwibahasawan.

C. Ragam Bahasa

Sebelum lebih jauh membahas mengenai ragam bahasa, sekilas gambaran mengenai posisi ragam bahasa sebagai salah satu wujud dari variasi bahasa yang khusus diutarakan oleh Soepomo Poedjosoedarmo. Soepomo Poedjosoedarmo berpendapat bahwa variasi bahasa adalah bentuk-bentuk dalam suatu bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Ada lima wujud variasi bahasa, yaitu, idiolek, dialek, ragam bahasa, register, dan tingkat tutur atau unddha usuk (speech levels). 1. Idiolek merupakan variasi bahasa yang sifatnya individual, maksudnya sifat khas

tuturan seseorang berbeda dengan tuturan orang lain.

2. Dialek merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya perbedaan daerah asal penutur dan perbedaan kelas sosial penutur. Oleh karena itu, maka dikenal adanya dialek geografis.

3. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya perbedaan dari sudut penutur, tempat, pokok tuturan, dan situasi. Sehubungan ragam bahasa ini dikenal adanya ragam bahasa resmi dan ragam bahasa tidak resmi (santai, akrab). 4. Register merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya sifat-sifat khas

commit to user

5. Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya perbedaan anggapan penutur tentang relasinya atau hubungannya dengan mitra tuturnya. Relasi tersebut dapat bersifat akrab, sedang, berjarak, menarik, mendatar, dan menurun (dalam Maryono Dwiraharjo, 2001: 36-37).

Terkait dengan ragam bahasa, Suwito berpendapat bahwa ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Variasi itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dalam konteks sosialnya. Adanya berbagai variasi menunjukkan bahwa pemakaian bahasa tutur itu bersifat aneka ragam (heterogen) (1983: 148).

Soepomo Poedjosoedarmo, dkk, mengutarakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang dihasilkan oleh adanya situasi bahasa yang mewadahinya. Oleh karena itu, apabila situasi bahasanya berbeda, maka bentuk-bentuk bahasa yang dihasilkan berbeda pula sekalipun penuturnya sama (1979: 8). Harimurti Kridalaksana mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium pembicaraan (2008: 206).

Mengenai ragam bahasa selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa ragam bahasa merupakan aneka macam bahasa yang dihasilkan karena adanya fungsi dan situasi yang mewadahinya. Fungsi dan situasi pemakaian bahasa sangat erat kaitanya. Maksudnya adalah penggunaan fungsi disesuaikan dengan situasinya, misalnya apabila seseorang mengutarakan kata-kata humor yang fungsinya untuk membuat orang tertawa tentu saja tidak tepat apabila dikatakan dipidato pada acara pemakaman. Kata-kata humor seharusnya diutarakan pada situasi yang tidak resmi atau santai.

commit to user

D. Pembagian Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Undha-usuk)

Soepomo Poedjosoedarmo membagi tingkat tutur menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur krama dan tingkat tutur madya. Berikut ini pejelasan mengenai ketiganya.

1. Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya O1 tidak memiliki rasa segan (jiguh pakewuh) terhadap O2. Jadi, buat seseorang yang ingin mennyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat tutur ngoko inilah yang seharusnya dipakai.

2. Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan (pekewuh) O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat, priyayi, berwibawa, dan lain-lain.

3. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah atau krama dan ngoko. Ia menunjukkan perasaan sopan secara sedang-sedang saja. Tingkat ini bermula adalah tingkat tutur krama, tetapi dalam proses perkembangannya telah mengalami tiga perkembangan penting. Perkembangan itu adalah perkembangan proses kolokialisasi (informalisasi), penurunan tingkat, dan ruralisasi. Inilah sebabnya bagi kebanyakan orang tingkat madya ini dianggap tingkat yang setengah sopan dan setengah tidak. Adanya anggapan bahwa pengguna madya itu adalah suatu penanda bahwa si pemakai itu orang desa.

Madya juga dianggap suatu tingkat tutur yang setengah-setengah (1979: 14-16).

Pada kenyataannya madya tidak memiliki kosa kata sendiri namun hanya diperoleh dari tingkat tutur krama. Sebagian besar kosa katanya hanya merupakan penggalan dari bentuk krama, ini diperkuat dengan pendapat Soepomo Poedjosoedarmo bahwa Jumlah kata-kata madya ini tak begitu besar. Sebagian besar

commit to user

ialah ambilan bentuk krama. Bentuknya sangat menyerupai padanan krama. Leksikon kata-kata madya ini agak menarik perhatian, sebab hampur kesemuanya adalah kata yang boleh dinamakan dengan kata tugas (kata bantu verba). Pokoknya, semua kata madya berfrekuensi sangat tinggi dan dari yang sekian itu boleh dikata tak ada yang merupakan kata penuh (contentword), kata benda, kata kerja atau sifat (1979: 28-29). Madya juga biasa disebut dengan krama ndesa. Pada masa sekarang madya tidak dianggap berdiri sendiri namun merupakan varian dari bentuk ngoko dan krama.

Suwito berpendapat bahwa variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas (atas status sosial) interlekutornya dikenal dengan istilah

undha-usuk. Suwito juga memberikan gambaran mengenai pihak yang mempunyai

kelas atau status sosial yang lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi (krama) sedangkan yang berstatus sosial lebih tinggi menggunakan bahasa yang lebih rendah (ngoko) (1983: 29). Dari ilustrasi yang diberikan oleh Suwito maka sejalan dengan pendapat Sry Satriya Tjantur W. S, memaparkan mengenai bentuk

unggah-ungguh bahasa Jawa yang dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu ragam

ngoko dan ragam krama. Jika terdapat bentuk unggah-ungguh yang lain dapat

dipastikan bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan varian dari ragam ngoko atau

krama (2007: 102).

Penelitian ini menggunaan gambaran pembagian tingkat tutur yang dikemukakan oleh Soepomo Poedjosoedarmo dan Suwito. Dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur atau undha-usuk bahasa Jawa dibagi menjadi dua yaitu ngoko dan krama.

E. Kode

Sebelum lebih jauh mengenal alih kode dan campur kode terlebih dahulu harus diketahui mengenai kode. Kode dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsurnya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur,

commit to user

relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi yang ada (Kunjana Rahardi, 2001: 21-22). Secara jelas diilustrasikan bahwa ada semacam hierarki kebahasaan yang dimulai dari “bahasa” sebagai level yang paling atas disusul dengan kode yang terdiri dari varian-varian dan ragam-ragam, serta gaya dan register sebagai sub-sub kodenya. Alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan istilah kode (Suwito, 1983: 68, 67). Dapat disimpulkan bahwa kode merupakan suatu sistem tutur yang berada pada hierarki kebahasaan. Kode merupakan bagian dari bahasa yang memiliki maksud sesuai dengan latar belakang penutur, kedekatan penutur dengan mitra tutur dan fungsi penggunaan bahasa tersebut.

F. Alih Kode

Menurut Suwito, alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Apabila alih kode itu terjadi antar behasa-bahasa daerah dalam satu bahasa naisonal, atau antara dialek-dialek dalam saatu bahasa daerah atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti itu disebut bersifat intern. Apabila yang terjadi adalah antar bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern (1983: 68-69).

Terkait dengan alih kode, Abdul Chaer dan Leonie Agustina berpendapat banyak ragam pendapat mengenai beda alih kode dengan campur kode. Namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan otonominya berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (2004: 114).

commit to user

Senada dengan pendapat para peneliti sebelumnya mengenai alih kode maka Harimurti Kridalaksana mengungkapkan bahwa alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain (2008: 9).

Terkait dengan alih kode, Sarwiji Suwandi juga mengemukakan bahwa alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa di dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Alih kode adalah suatu peralihan pemakain suatu bahasa ke dalam bahasa lain atau dari satu variasi bahasa ke variasi bahasa lain (2008: 86).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Dengan catatan bahwa alih kode memiliki dua bahasa yang berbeda sistem gramatikalnya, kemudian dua bahasa itu masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteks, dan fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Alih kode intern terjadi dalam satu bahasa nasional dan alih kode ekstern terjadi dari bahasa nasional ke dalam bahasa asing.

1. Bentuk Alih Kode

Suwito mengungkapkan bahwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya atau alih register. Ciri-ciri alih kode adalah penggunaan dua bahasa (atau lebih) itu ditandai oleh (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi-fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Dapat dikatakan bahwa alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara

commit to user

fungsi kontekstual dan situasi relevansial di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih (1983: 68-69).

Terkait dengan bentuk alih kode, Thomson menyebutkan bahwa …, code

switching-intersentential swithing, which is switching from one language to another at a sentence boundary-and code mixing or intrasentential, in which the switch comes

within a single sentence, “…, alih kode-peralihan antarkalimat, yang beralih dari satu

bahasa ke dalam bahasa lain pada batas kalimat dan campur kode atau intrakalimat, peralihan yang terjadi dalam kalimat tunggal” (dalam Suhardi, 2009: 44).

Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah alih varian, alih ragam, alih gaya atau alih register. Alih kode secara bahasa dapat dilihat dari alih bahasa dan alih ragam dalam dua konteks yang berbeda. Jadi alih kode ditandai dengan satu

Dokumen terkait