• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 AKUNTABILITAS KINERJA

3.1 Capaian kinerja

Pada bab ini disajikan disajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi. Untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis tersebut dilakukan analisis capaian kinerja per setiap indicator:

1. Indikator: Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV a. Definisi Operasional: Persentase ODHA yang baru ditemukan masuk dalam

layanan Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP), yang memulai terapi Anti Retro Virus.

b. Rumus/Cara perhitungan: Jumlah ODHA yang baru ditemukan masuk dalam layanan Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP), yang memulai terapi Anti Retro Virus (ODHA yang inisiasi ART), dibagi dengan jumlah ODHA yang baru ditemukan masuk dalam layanan Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP), dalam kurun waktu tertentu, dikali 100 %.

c. Capaian Indikator

Grafik 3.1

Presentase ODHA Baru yang Ditemukan dan Memulai Pengobatan di Provinsi Sumatera Barat 2016-2020

Pada grafik diatas dapat dilihat pada tahun 2020 ini jumlah kasus HIV yang mendapat obat ARV 87 % yang sudah di atas target (55%). Jika dibandingkan dengan 3 (tiga) tahun sebelumnya (Tahun 2016,2017, 2018, )capaian tahun 2020 ini menurun, sedangkan dibandingan dengan tahun 2019 maka capaian sama.

93,45 96,73 88,7 87 87

55

2016 2017 2018 2019 2020 Target 2020

Presentase Kasus HIV yang Diobati Prov. Sumbar

Tahun 2016-2020

Page | 17 Jika dibandingkan target jangka menengah Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat ( target 79%) maka capaian kinerja tercapai(87%) diatas target

Jika capaian kinerja ODHA on ART Dinkes sumbar dibandingan dengan target Nasional (45%) maka target sudah diatas target.

Grafik 3.2

Jumlah Kasus HIV dan AIDS Provinsi Sumatera Barat 2017-2020

Pada grafik di atas dapat dilihat pada tahun 2020 ini jumlah kasus HIV :441 kasus dan jumlah kasus AIDS : 148 kasus . Pada tahun ini terjadi penurunan kasus dikarenakan situasi Pandemi Covid 19 sehingga kegiatan natifikasi pasangan kurang jalan dan skrining pada kelompok beresiko kurang terlaksana

Grafik 3.3

Jumlah Kasus HIV dan AIDS Provinsi Sumatera Barat 2020

298 347 258 148 566 628 552 441 TAHUN 2017 TAHUN 2018 TAHUN 2019 TTAHUN 2020

Jumlah Kasus AIDS dan HIV

Prov. Sumbar Tahun 2017-2020

HIV AIDS 26 14 9 1 0 0 15 6 3 2 0 0 238 38 9 1 18 0 31 9 5 11 13 2 1 4 4 14 15 1 1 26 3 4 1 3 1 5 3 22 0 50 100 150 200 250

Jumlah Kasus HIV dan AIDS Sumbar TH 2020

Page | 18 Pada grafik diatas dapat dilihar bahwa kasus HIV dan AIDS terbanyak di kota Padang hal ini disebabkan Kota Padang merupakan kota besar di Sumatera Barat yang mempunyai layanan PDP 5 buah dan LSM HIV di Kota Padang cukup aktif melakukan penjamgkauan kasus.

d. Analisis Penyebab keberhasilan, pada tahun 2020 ini ODHA On ART pencapaian kinerja diatas target disebabkan karena :

 Peran yang besar dari Tim yang melayani penderiata HIV di rumah sakit PDP, konselor dan tim pendamping dari penjangkau/LSM.

 Penambahan layanan PDP.

 Distribusi dan Pemantauan Logistik HIV AIDS dan IMS di Kab/Kota

e. Permasalahan P2 HIV Sumatera Barat :

1. Penularan HIV pada subpopulasi heteroseksual masih terus terjadi termasuk penularan pada subpopulasi homoseksual dan biseksual.

2. Penularan IMS dan HIV pada populasi WPS, Waria belum berhasil dikendalikan. Hal ini berkolerasi kuat dengan rendahnya tingkat pemakaian kondom secara konsisten pada setiap kontak seks berisiko dan kesadaran untuk pemeriksaan dan pengobatan IMS yang benar.

3. Penularan IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak sudah menunjukan kecenderungan meningkat, terutama di provinsi-provinsi berprevalensi HIV tinggi.

4. Masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang pencegahan penularan HIV.

5. Perubahan sikap dan perilaku pada masyarakat khususnya populasi berisiko belum mencapai titik aman agar penularan HIV-AIDS dan IMS dapat dikendalikan. Peningkatan kesadaran pada populasi berisiko untuk menolong diri sendiri dan bertanggung jawab pada anggota keluarga serta masyarakat dari risiko penularan HIV-AIDS dan IMS sudah mulai terlihat namun belum maksimal.

6. Kesadaran dan keinginan masyarakat termasuk populasi berisiko untuk mengetahui status HIV nya masih relatif rendah.

7. Masih adanya sikap stigma dan perlakuan diskriminatif masyarakat dan petugas kesehatan kepada ODHA.

Page | 19 8. Terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan komprehensif HIV-AIDS

dan IMS dan layanan Perwatan dukungan pengobatan (layanan PDP) 9. Masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang peduli, terlatih dan

terampil dalam melaksanakan program pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta penyakit oportunistiknya jika dibandingkan dengan luas wilayah prioritas dan besarnya populasi berisiko.

10. Jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan yang mampu memberikan layanan kesehatan komprehensif terkait masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan.

11. Hambatan dalam sistem pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan evaluasi

12. Pencatatan dalam dokumen primer yaitu rekam medis belum mencerminkan penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia

13. Pelaporan pelayanan kesehatan promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi terkait HIV dan IMS serta Hepatitis belum terintegrasi dalam sistem informasi fasilitas layanan kesehatan.

14. Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM petugas pencatatan dan pelaporan program HIV AIDS dan IMS

15. Monitoring dan evaluasi yang tidak kontinu akibat ketidakseragaman komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam pembinaan, pengawasan dan penganggaran kesehatan menyulitkan pengambilan kebijakan yang tepat dalam pengendalian HIV-AIDS dan IMS terutama dalam era desentralisasi.

f. Upaya Pemecahan Masalah :

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia.

Page | 20 3. Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata,

terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif.

4. Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, dengan berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi.

5. Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS melalui Adinkes (Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia).

6. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

7. Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS

8. Penguatan sistem logistik sebagai upaya perbaikan dalam mendistribusikan reagen dan obat HIV, AIDS dan IMS sehingga tepat guna, serta mengurangi risiko kekosongan obat ataupun obat expired

9. Revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS

10. Penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas

11. Peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan kader masyarakat dalam upaya penjangkauan

12. Perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas.

13. Perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS, bahaya Napza dan seks bebas di lingkungan pendidikan formal dan non formal.

14. Meningkatkan peranan Kelompok Dukungan Sebaya dan keluarga sebagai petugas pendamping ODHA.

15. Pemda Kab/Kota perlu mengaktifkan kembali KPAD dan bersinergi dengan Dinas Kesehatan.

16. Meningkatkan pendidikan seksual secara dini

g. Analisis Efisiensi Sumber Daya : Capaian Indikator Persentase kasus HIV yang diobati adalah 158 % dan dibandingkan dengan capaian realisasi anggaran layanan HIV sebesar 94,84 % , maka ada efisiensi sumberdaya 63,11 %

Page | 21 2. Indikator: Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai dengan standar

a. Definisi Operasional: Semua kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar (penegakan diagnosis dan pengobatan sesuai standar) diantara semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan.

b. Rumus/Cara Perhitungan: Jumlah kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar (penegakan diagnosis dan pengobatan sesuai standar) dibagi jumlah semua kasus TB yang ditemukan dan diobati dikali 100%

c. Capaian indikator

Grafik 3.4

Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar Sumatera Barat 2017-2020

Pada tahun 2020 ini capaian kasus tibi ditatalaksana sesuai standar sudah 100% diatas target 74% yang ditetapkan

Dalam 3 (tiga) tahun terakhir capaian presentase kasus TB yang ditatalaksana telah melampaui target.

Analisis Penyebab Keberhasilan:

Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar tahun 2020 ini telah melampaui target yaitu 100 %. Hal yang mendukung capaian ini adalah tenaga kesehatan telah tersosialisasi dengan tatalaksana pasien TB secara program, logistik yang cukup tersedia, paduan obat program cukup efektif dan efisien (Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/ Fixed Dose Combination (FDC), adanya Buku pedoman Pengendalian Tuberkulosis. 100 99,86 99,98 100 74 0 20 40 60 80 100 120 2017 2018 2019 2020 Target 2020 Capaian

Page | 22

Grafik 3.5

Persentase kasus TB yang yang ditemukan dan Diobati Kabupaten/ Kota Sumatera Barat 2020

Page | 23 Dari grafik di atas, semua Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat belum mencapai target (65%) penemuan kasus TB. Hal ini disebabkan pelasanaan investigasikontak belum maksimal, pemahaman masyarakat tentang TB masih rendah dan belum semua layanan melaporkan TB pakai SITB.

Kegiatan yang mendukung pencapaian indikator P2 TB:

1. Monitoring dan Evaluasi TB 2. Kontak Investigasi

3. Surveilans Aktif TBC

Permasalahan P2 TB Sumatera Barat:

1. Belum semua kasus TB berhasil dijangkau/ditemukan 2. Terjadi peningkatan epidemi kasus TB Resisten Obat

3. Pendekatan yang terlalu sentralistik dan global, kurang menggali potensi lokal. 4. Komitmen politis di daerah yang masih rendah, dimana Rencana Aksi Daerah

(RAD) TB belum ditindaklanjuti dengan regulasi dan anggaran P2TB yang memadai

5. Manajemen program dan manajemen logistik belum optimal 6. Masih lemahnya mitra yang bersifat sinergis.

7. Penyisiran kasus di RS belum dilakukan untuk seluruh RS karena keterbatasan tenaga dan RS belum memiliki SIMRS.

8. Kegiatan Ketuk Pintu belum dilakukan secara rutin.

9. KOPI TB baru terbentuk di Provinsi dan kabupaten/ kota , tapi kegitan belum terlaksana sesuai denagn rencana

10. Pelaksanaan PPM belum berjalan.

11. Turn over petugas di daerah yang terlatih masih tinggi

12. Crosscheck slide belum optimal karena kemampuan BLK dan dana yang tidak memadai untuk mengantarkan slide.

13. Surveilans TB dan investigasi kontak belum terlaksana dengan baik

Upaya Pemecahan Masalah :

1. Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota a. Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial.

Page | 24 b. Regulasi dan peningkatan pembiayaan.

c. Koordinasi dan sinergi program.

d. Upaya mandiri daerah agar tidak terjadi kekosongan tenaga terlatih 2. Peningkatan Layanan TOSS TB yang bermutu

a. Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (Public Private Mix) di seluruh kab/kota.

b. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat. Integrasi penemuan kasus dalam kegiatan pendataan PIS PK dan Kegiatan Ketuk Pintu menjadi kegiatan rutin.

c. Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dll.

d. Inovasi diagnosis TB dengan alat/ sarana diagnostik yang baru dan lebih sensitif (TCM). Pemanfaatan alat TCM baik oleh internal RS maupun Puskesmas.

e. Kepatuhan dan kelangsungan pengobatan pasien atau Case Holding

f. Kerjasama dengan Asuransi Kesehatan dalam upaya cakupan layanan semesta (Health Universal Coverage).

g. Terbentuknya Koalisi Organisasi Profesi untuk Penanggulangan TB (KOPI TB) di Provinsi dan Kabupaten/ Kota sehingga pengobatan TB secara program dapat diimplementasikan

3. Pengendalian Faktor Risiko

a. Promosi lingkungan dan hidup sehat

b. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB c. Pengobatan pencegahan dan imunisasi BCG

d. Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan keberhasilan pengobatan yang tinggi.

e. Melakukan Investigasi Kontak.

4. Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB yaitu Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat dan daerah.

5. Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB

a. Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat. b. Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus dan dukungan

Page | 25 c. Pemberdayaan masyarakat melalui integrasi TB dan upaya kesehatan

berbasis keluarga dan masyarakat. 6. Penguatan Sistem Kesehatan

a. Sumber Daya Manusia b. Logistik

c. Regulasi dan pembiayaan

d. Sistem informasi termasuk Mandatory Notification, Bridging SITT dengan SIMRS

e. Melakukan Surveilans Aktif melalui penyisiran data kasus TB di Rumah Sakit

i. Analisis Efisiensi Sumber Daya : Capaian Indikator Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar dalah 135% dan dibandingkan dengan capaian realisasi anggaran layanan tuberkulosis sebesar 63,12% yang berarti terdapat efisiensi sumber pembiayaan sebesar 71,88%.

3. Indikator: Persentase anak 0-11 tahun yang mendapatkan Imunisasi Dasar Lengkap 1) Definisi Operasional: Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi

dasar lengkap meliputi 1 dosis Hepatitis B pd usia 0-7 hari, 1 dosis BCG, 4 dosis Polio, 3 dosis DPT-HB (atau DPT-HB-Hib), serta 1 dosis campak selama kurun waktu 1 tahun.

2) Rumus/Cara Perhitungan: Jumlah bayi 0 -11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu dibagi jumlah seluruh bayi yang bertahan hidup (surviving infant) di suatu wilayah pada kurun waktu yang sama di kali 100%.

Page | 26

Grafik 3.6

Capaian Anak 0-11 bulan Mendapatkan IDL Provinsi Sumatera Barat

Grafik 3.7

Dari grafik diatas terlihat capaian IDL Provinsi Sumatera Barat tahun 2020 untuk anak 0-11 bulan yaitu 56,2 %. Capaian ini belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 93%. Dan, capaian tahun 2020 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2019 dengan persentase penurunan 60,4% dengan capaian IDL tahun 2019 sebesar 56,2 %. Dilihat dari grafik capaian Tahun 2015 – 2020 capaian IDL Provinsi Sumatera Barat mengalami penurunan yang fluktuatif.

87,06 74,0473,5271,0369,29 66,6565,6364,38 60,9760,5858,50 56,1652,7252,5750,50 46,8545,4942,84 34,1134,07 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00

Anak 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2020

74,1 74,1 91 78,3 91,5 81,3 92 74,2 92,5 78,9 93 56,2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 T a rg et C ap a ia n T a rg et C ap a ia n T a rg et C ap a ia n T a rg et C ap a ia n T a rg et C ap a ia n T a rg et C ap a ia n 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Anak 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar

lengkap

Page | 27

Analisa penyebab

Ini disebabkan karena kondisi pandemic covid-19 sehingga orang tua takut membawa anaknya ke fasilitas kesehatan, selain itu orang tua takut anaknya sakit dan juga karena berbagai kesibukan orang tua sehingga anaknya tidak dibawa ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan imunisasi.

Kegiatan yang menunjang pencapaian kinerja Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat Imunisasi Dasar Lengkap Provinsi Sumatera Barat:

1. Tetap melaksanakan imunisasi rutin dengan melaksanakan protocol kesehatan 2. Orientasi dalam rangka Imunisasi di Fasyankes Swasta

3. Pelatihan pelaksanaan imunisasi rutin tingkat provinsi

4. Bimbingan teknis dan monitoring evaluasi pelaksanaan imunisasi

Selain itu Permasalahan yang muncul berupa

 Pencatatan dan pelaporan yang tidak sesuai standar di tk desa & puskesmas  Analisa PWS belum optimal dilakukan

 Belum optimal nya pelacakan terhadap sasaran yang belum/tidak lengkap mendapatkan imunisasi

 Data sasaran belum berdasarkan keadaan riil di lapangan (khususnya untuk tingkat desa)

 Masih kurangnya kesadaran orang tua/masyarakat akan pentingnya imunisasi bagi anak

 Masih belum optimalnya koordinasi dan kemitraan dengan pihak swasta

Pemecahan masalah dan Upaya yang dilakukan:

1) Penguatan PWS : memetakan wilayah berdasarkan cakupan & analisa masalah, RTL penyelesaiannya

2) Tersedianya sumber daya yg dibutuhkan : tenaga yg terampil, logistik (vaksin, alat suntik, safety box&cold chain terstandar), biaya & sarana pelayanan. : Terjaganya kualitas & mutu pelayanan.

3) Pendekatan keluarga & Pemberdayaan masyarakat : kepedulian & Tanggung Jawab bersama

Page | 28 4) Pelacakan sasaran yg belum atau tidak lengkap imunisasinya (Defaulter

Tracking) diikuti dgn upaya Drop Out Follow Up (DOFU) dan sweeping

5) Tetap melaksanakan imunisasi rutin dengan protocol kesehatan.

Analisis Efisiensi Sumber Daya : Persentase anak 0-11 tahun yang mendapatkan Imunisasi Dasar Lengkap adalah 60,4 % dan dibandingkan dengan capaian realisasi anggaran layanan sebesar 65,74% yang berarti terdapat efisiensi sumber pembiayaan sebesar 34,26%.

4. Indikator : Persentase kasus kusta baru tanpa cacat

a. Definisi Operasional: Persentase kasus kusta baru yang ditemukan tanpa cacat (cacat tingkat 0) diantara kasus kusta baru

b. Rumus/Cara perhitungan: Jumlah kasus kusta baru tanpa cacat (cacat tingkat 0) dibagi total jumlah kasus kusta baru dikali 100 persen

c. Capaian Indikator

Grafik 3.8

Penemuan Kasus Baru Kusta Tanpa Cacat Tahun 2015-2020 Provinsi Sumatera Barat

Berdasarkan grafik diatas, capaian penemuan kasus baru kusta tanpa cacat capaian kinerja belum sesuai target indikator, yaitu 68,57% dari target 91%. Angka ini turun dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya maka yahun 2020 ini capaian dibawah capaian 2 tahun sebelumnya.

77,8 87,7 52,6 90,5 87,95 68,57 91 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Indikator 2020 Series1

Page | 29

D. Kegiatan yang mendukung pencapaian indikator P2 Kusta:

5. Pelaksanaan Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta Kab Padang Pariaman 6. Survei Desa atau Survei Sekolah di Kota Pariaman

7. Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Cohort Tingkat Provinsi

D. Analisis Penyebab Kegagalan:

Sebagian besar pasien ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 1 dan cacat tingkat 2. Hal ini terjadi karena penemuan kasus terlambat dan terlambat pula ditangani. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah penemuan kasus baru kusta sedini mungkin sehingga keterlambatan penemuan yaitu ditemukannya kasus dalam kondisi cacat dapat dihindari.

E. Permasalahan P2 Kusta di Propinsi Sumatera Barat:

1) Masih minimnya dukungan Pemda dalam pemberantasan P2 kusta terutama dalam dukungan pendanaan

2) Masih rendahnya SDM petugas kusta di tingkat puskesmas dalam tatalaksana P2 kusta (terutama mendeteksi dini kasus kusta dan penangan reaksi kusta). 3) Masih tingginya penemuan kasus cacat tingkat II.

4) Tidak adanya dukungan lintas sektor dalam penanganan mantan penderita kusta, terutama penderita cacat tingkat II

5) Masih minimnya pemeriksaan kontak serumah (terutama kasus baru)

6) Masih rendahnya pemeriksan tanda tanda reaksi kepada pasien kusta setelah RFT.

7) Masih rendahnya sosialisasi dan promosi P2 kusta.

8) Pencatatan dan pelaporan belum sesuai standar (kohort tidak diisi).

9) Sebagian besar daerah kantong Kusta berada di lokasi sulit dijangkau sehingga menyebabkan sulitnya pencarian kasus dan akses masyarakat menuju pelayanan kesehatan.

10) Sebagian besar wilayah kantung Kusta kurang mendapat dukungan lintas program dan lintas sektor. Dukungan diperlukan untuk proses eliminasi kusta dalam hal penentuan kebijakan, pengalokasian sumber daya dan upaya menghapus stigma.

Page | 30 11) Turn over petugas di daerah cukup tinggi. Hal ini menyebabkan program

pencegahan dan pengendalian penyakit kusta berjalan kurang optimal karena perlu melakukan pelatihan kepada tenaga yang baru.

12) Beban kerja petugas di daerah cukup tinggi, dimana manajemen sumber daya manusia di lapangan belum dikelola dengan baik, sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal.

13) Self stigma pada penderita kusta karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap penyakit ini. Hal ini sebagai penghambat untuk mendapatkan pengobatan sedini mungkin.

14) Pengetahuan dan pemahaman tentang kusta di masyarakat pun masih rendah, sehingga terjadi kecenderungan memberikan stigma kepada penderita dan keluarga. Termasuk stigma oleh petugas kesehatan.

15) Perlu perbaikan manajemen logistik dari sistem kebutuhan MDT secara berjenjang.

16) Perlu perbaikan manajemen program di daerah agar terjadi kemandirian dalam penemuan kasus dini dan kemampuan untuk memulai pengobatan serta mengasah kemampuan Prevention of Disability (POD) petugas terhadap pasien dimana POD harus dilakukan secara kontinu.

17) Rendahnya kemauan masyarakat dalam memeriksaan bercak ( tanda suspeck kusta )

18) Belum maksimalnya KPD ( Kelompok Perawatan Diri )di tingkat Kabupaten / Kota

19) Kabupaten/Kota yag dapat dana untuk Pelaksnaan kegiatan Intebsifikasi Penemuan kasus kusta haya 2 kabupaten yaitu Kab. Padang Pariaman dan Kota Pariaman sedangkan Kasus cacat ditemukan di kabupaten kota lain

F. Upaya Pemecahan Masalah:

1. Meningkatkan advokasi dan sosialisasi program terhadap pemangku kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian eliminasi kusta. Diharapkan pemangku kepentingan dapat merumuskan kebijakan strategis dan meningkatkan alokasi sumber daya daerah dalam pelaksanaan program.

2. Mengganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan secara rutin untuk mengatasi masalah turn over petugas yang tinggi.

3. Melaksanakan intensifikasi penemuan kasus terutama di daerah remote area untuk meningkatkan jangkauan penemuan dan pengobatan penderita kusta serta

Page | 31 memutus dan menghilangkan sumber penularan penyakit kusta dan kontinuitas pelaksanaan surveilans pasca RFT.

4. Meningkatkan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menghilangkan stigma.

5. Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, organisasi profesi, rumah sakit dan dokter praktik swasta agar memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan tupoksi masing-masing.

6. Memperkuat sistem manajemen logistik MDT di semua level.

7. Kegiatan self screening dengan pendekatan keluarga memiliki dampak positif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kusta, mengurangi beban kerja petugas kesehatan dan memperluas cakupan program 8. Membentuk dokter cilik kusta ( di harapkan nanti dokter cilik kusta mengenal

dan mengajak teman sekolah atau orang tuanya untuk melakukan pemeriksaan bercak ) dan akan di catat ke format ayo temukan bercak

h. Analisis Efisiensi Sumber Daya : Capaian Indikator Persentase kasus kusta baru tanpa cacat 75,35% dan dibandingkan dengan capaian realisasi anggaran layanan HIV sebesar 52, 80% , maka ada efisiensi sumberdaya 22,55 %

5. Indikator: Persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standar

a. Definisi Operasional: Persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standar program,

b. Rumus/Cara perhitungan: Jumlah kasus positif malaria yang diobati sesuai standar program dibagi dengan jumlah seluruh kasus positif malaria dikali 100 persen

Page | 32

Grafik 3.9

Presentase Kasus Malaria yang Diobati Sesuai Standar Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017-2020 (%)

Berdasarkan data pada grafik di atas Angka Kasus Malaria yang Diobati sesuai Standar pada tahun 2019 dan 2020 Provinsi Sumatera Barat sudah mencapai target Indikator Kinerja yaitu 100%.

Grafik 3.10

Kasus Malaria yang Diobati Sesuai Standar per Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2020 (%)

Berdasarkan data di atas sudah semua kabupaten/ kota melaksanakan pengobatan Malaria sesuai Standar. Hal ini sudah mencapai target Indikator Kinerja yaitu 100%. Pada Tahun 2020. Hal ini menyatakan sudah semua kasus malaria yang ditemukan dan dilaporkan diobati sesuai standar.

97,46 99,9 100 100 96 97 98 99 100 101 2017 2018 2019 2020 55 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 22 3 0 0 1 1 1 1 55 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 22 3 0 0 1 1 1 1 0 10 20 30 40 50 60

Page | 33

d. Analisa Penyebab Keberhasilan :

Telah dilaksanakannya sosialisasi tatalaksana malaria sesuai standar pada tenaga kesehatan baik di puskesmas maupun rumah sakit

e. Kegiatan yang menunjang pencapaian kinerja P2 Malaria Provinsi Sumatera Barat:

1. Sosialisasi Penemuan Kasus Aktif Respon 1-2-5 2. Pengutan Tatalaksna Malaria

3. Pengutan Survailans dan Sistim Informasi Malaria 4. Penyelidikan epedemiologi (PE) 1-2-5

5. Sediaan Darah Mikroskopis Malaria yang diuji silang 6. Survei Darah Massal Malaria

7. Bimbingan Teknis Penatalaksanaan Pengobatan Malaria dilayanan kesehatan

f. Permasalahan P2 Malaria Provinsi Sumatera Barat:

1. Koordinasi multi sektoral kurang optimal dalam upaya pengendalian yang lebih komprehensif dan terpadu.

2. Pemanfaatan potensi mitra (sektor pemerintah, swasta, masyarakat dan pasien) belum optimal.

3. Kurangnya komitmen pemerintah daerah dan keterbatasan sumber daya pemerintah.

4. Kecenderungan donor dependence. Bagi daerah yang telah eliminasi dana sangat minim untuk kegiatan surveilans aktif maupun kegiatan penyelidikan epidemiologi ap.abila muncul kasus di wilayah tsb.

5. Meningkatnya potensi faktor risiko (lingkungan, iklim), resistensi OAM,

Dokumen terkait