• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKUNTABILITAS KINERJA

3.1. Capaian kinerja

Pada bab ini disajikan disajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi. Untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis tersebut dilakukan analisis capaian kinerja per setiap indikator:

1. Indikator: Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap

1) Definisi Operasional: Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap meliputi 1 dosis Hep B pd usia 0-7 hari, 1 dosis BCG, 4 dosis Polio, 3 dosis DPT-HB (atau DPT-HB-Hib), serta 1 dosis campak selama kurun waktu 1 tahun.

2) Rumus/Cara perhitungan: Jumlah bayi 0 -11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu dibagi jumlah seluruh bayi yang bertahan hidup (surviving infant) di suatu wilayah pada kurun waktu yang sama di kali 100%.

3) Capaian Indikator

Sumber: Laporan Seksi Survim Tahun 2019

93.00% 82.90% 89.14% 76.00% 78.00% 80.00% 82.00% 84.00% 86.00% 88.00% 90.00% 92.00% 94.00%

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.1. Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap Tahun 2019

Tahun 2019 capaian indikator persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap adalah sebesar 82,9 %, (dibawah target Nasional 93%), capaian tahun ini meningkat jika dibandingkan capaian 3 tahun

kebelakang, hal ini sejalan dengan target tahun 2019.

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

a) Meningkatan kualitas manajement keuangan (pemanfaatan dana operasionl secara efektif dan efisien)

b) Meningkatkan kemampuan menejemen pengelola program Imunisasi melalui konsultasi dan supervisi dan pelatihan

c) Identifikasi peran lintas sektor terkait sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.

d) Melaksanakan pertemuan koordinasi/ intregrasi dengan lintas sektor, tokoh masyarakat, dan tokoh agama secara periodik dalam upaya menghilangkan isu haram/halal .

e) Disetiap ada kesempatan berupa pertemuan atau pelatihan selalu mengingatkan petugas agar bekerja sesuai dengan protap, agar kasus KIPI terutama programatic error dapat ditekan sekecil mungkin.

f) Meningkatkan kerja sama lintas program

g) Adanya surat Edaran dari Kemenkes adanya perubahan bisa menggunakan vaksin Td untuk sasaran anak Kelas 2 dan 5 SD (BIAS) h) Dibuat kesepakatan dengan Kab/kota agar setiap tanggal 10 bulan

berikutnya laporan sudah diterima dipropinsi, walaupun data belum lengkap, tetapi masih dapat disusulkan setelah laporan lengkap.

i) Melakukan Pelatihan di tingkat propinsi dengan mengundang petugas puskesmas untuk mengatasi kejenuhan petugas dalam melaksanakan kegiatan rutin

j) Meningkatkan promosi kesehatan terkait pentingnya Imunisasi menurukan kasus PD3I

5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

a) Komitmen stakeholder di Kabupaten Kota masih lemah, masih perlu advokasi yang agar pemahaman stakeholder lebih memadai

dengan pengetahuan dan motivasi yang baik akan meningkatkan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi, pemberian imunisasi dasar lengkap berguna untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya. Dengan memberikan imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal, tubuh bayi dirangsang untuk memiliki kekebalan sehingga tubuhnya mampu bertahan melawan serangan penyakit berbahaya.

6) Kendala/masalah yang dihadapi

a) Penolakan dari masyarakat dengan adanya isu kehalalan vaksin

b) Belum optimalnya pelacakan terhadap sasaran yang belum/ tidak lengkap mendapatkan imunisasi ( Defaulters Tracking)

c) Anti Vaksin

d) Seringnya pergantian petugas 7) Pemecahan Masalah

a) Mengadakan pertemuan dengan Lintas Sektor/Lintas Program (tokoh masyarakat, tokoh agama) terkait penolakan vaksin.

b) Mengadakan Pelatihan Bagi Petugas Puskesmas secara bertahap

c) Melakukan bintek/ Supervisi sampai ke tingkat Puskesmas secara berkesinambungan

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

a) Meningkatkan Kapasitas Petugas Imunisasi

b) Melaksanakan Pertemuan Orientasi Pelaksanaan Imunisasi Rutin c) Melaksanakan Pertemuan Evaluasi Program Imunisasi

2. Indikator: Presentase respon penanggulangan terhadap sinyal kewapadaan dini kejadian luar biasa (KLB) untuk mencegah terjadinya KLB di kabupaten/kota

1) Definisi Operasional: Persentase respon atas sinyal kewaspadaan dini pada Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Puskesmas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau puskesmas dalam kurun waktu satu tahun.

2) Rumus/Cara perhitungan: Jumlah sinyal kewaspadaan dini yang direspon oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau puskesmas dalam kurun waktu satu tahun dibagi Jumlah sinyal kewaspadaan dini yang muncul pada Sistem

Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Puskesmas di kab/kota tersebut di atas di kali 100%.

3) Capaian Indikator

Sumber: Laporan Seksi Survim Tahun 2019

Tahun 2019 capaian indikator Persentase respon atas sinyal kewaspadaan dini kejadian luar biasa adalah sebesar 70,4%, (dibawah target Nasional 80%), capaian tahun ini menurun jika dibandingkan capaian 3 tahun kebelakang, hal ini sejalan dengan target tahun 2019

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indicator

a) Melakukan Pertemuan Evaluasi Tahunan kegiatan surveilans

b) Meningkatkan kemampuan pengelola program Surveilans melalui Bimbingan Teknis ke Kabupaten / Kota.

c) Melakukan Feedback data Laporan Puskesmas tiap minggu. 5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

Komitmen pejabat di Kabupaten/ Kota masih agak lemah, masih perlu advokasi kepada pejabat di kabupaten tentang program surveilans (Respon atas Sinyal

80.00% 70.40% 88.00% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% 100.00%

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.2. Presentase respon penanggulangan terhadap sinyal kewapadaan dini kejadian luar biasa (KLB) untuk mencegah terjadinya KLB di kabupaten/kota Tahun 2019

6) Kendala/masalah yang dihadapi

a) Seringnya Mutasi Petugas Pemegang Program Surveilans Baik di Puskesmas maupun di Kabupaten.

b) Sering Terkendala Internet di Puskesmas menyebabkan respon atas sinyal kewaspadaan dini kejadian luar biasa terlambat.

7) Pemecahan Masalah

a) Mengadakan Pelatihan Bagi Petugas Program Surveilans Kabupaten / Kota

b) Melakukan bimtek sampai ke tingkat Puskesmas secara berkesinambungan

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

a) Meningkatkan Kapasitas Petugas Surveilans

b) Melaksanakan Pertemuan Sistem Kewaspadaan Dini & Respon (SKDR)

3. Indikator: Jumlah Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit lnfeksi Emerging.

1) Definisi Operasional: Jumlah Kabupaten/Kota yang memilki TGC aktif, melakukan pengamatan mingguan dan atau penilaian risiko berkala, memiliki NSPK penanggulangan PIE dan memiliki pembiayaan penanggulangan PIE. 2) Rumus/Cara perhitungan: Jumlah Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan

3) Capaian Indikator

Sumber: Laporan Seksi Survim Tahun 2019

Tahun 2019 capaian indikator Jumlah Kabupaten / Kota yang mampu melaksanakan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Emerging. adalah sebesar 8 Kabupaten ( dibawah target Nasional 10 Kabupaten ), capaian tahun ini hampir sama jika dibandingkan capaian 3 tahun kebelakang, hal ini sejalan dengan target tahun 2019

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator Adanya Pertemuan Orientasi Penyakit Infeksi Emerging 5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

Komitmen Pejabat di Kabupaten Kota masih agak lemah, masih perlu advokasi kepada pejabat di kabupaten tentang program Penyakit Infeksi Emerging.

6) Kendala/masalah yang dihadapi

Seringnya Mutasi Petugas Pemegang Program Penyakit Infeksi Emerging di Kabupaten

7) Pemecahan Masalah

Mengadakan Pertemuan Koordinasi Penyakit Infeksi Emerging

10 8 80% 0 2 4 6 8 10 12

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.3 Jumlah Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian penyakit lnfeksi

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

Melaksanakan Pertemuan Koordinasi Penyakit Infeksi emerging

4. Indikator: Jumlah Kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah

1) Definisi Operasional: Jumlah Kab/Kota yang menyusun kebijakan

kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah berupa dokumen rencana kontijensi.

2) Rumus/Cara perhitungan: Jumlah Kab/Kota yang menyusun kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah berupa dokumen rencana kontijensi.

3) Capaian Indikator

Sumber: Laporan Seksi Survim Tahun 2019

Tahun 2019 capaian indikator Jumlah Kab/ Kota yang mempunyai Kebijakan Kesiapsiagaan dalam Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang berpotensi Wabah adalah sebesar 3 Kabupaten/ Kota, (sama dengan target Nasional 3 Kabupaten/ Kota), capaian tahun ini sama jika dibandingkan capaian 3 tahun kebelakang, hal ini sejalan dengan target tahun 2019

3 3 100% 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.4. Jumlah Kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

Ada kegiatan Sosialisasi dan Penyusunan Dokumen Rencana Kontigensi di 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Bengkayang

5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

Komitmen Pejabat di Kabupaten Kota belum begitu Aktif dalam Kegiatan Sosialisasi dan Penyusunan Dokumen Rencana Kontigensi, tentang program Karantina Kesehatan.

6) Kendala/masalah yang dihadapi

Masih belum kompak dalam berkoordinasi masalah Karantina Kesehatan antara satu Instansi dengan Instansi yang lain.

7) Pemecahan Masalah

Sering Melakukan Pertemuan Tindak Lanjut dari Pertemuan Sosialisasi dan Penyusunan Dokumen Rencana Kontigensi dengan Instansi yang berkaitan dalam penanggulangan Karantina Kesehatan.

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

Pertemuan Sosialisasi dan Penyusunan Dokumen Rencana Kontigensi di 3 Kabupaten

5. Indikator: Persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standar

1) Definisi Operasional: Persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standar program

2) Rumus/Cara perhitungan: Jumlah kasus positif malaria yang diobati sesuai standar program dibagi dengan jumlah seluruh kasus positif malaria dikali 100 persen.

Sumber: Laporan Seksi P2PTVZ Tahun 2019

Persentase kasus malaria possitif yang diobati sesuai standar adalah 100% , dengan target 95 %.

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

a) Menguatkan sistem kewaspadaan dini dan respon cepat

b) Penanggulangan fokus malaria melalui pendekatan massal setempat dan pengendalian vektor

c) Memastikan ketersediaan dan akses diagnosis dan tatalaksana untuk kasus malaria

5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

a) Didalam RENSTRA Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Kegiatan Pengendalian Malaria masuk dalam indikator sasaran Bidang Bina Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, namun untuk penganggaran tidak teranggarkan dalam DPA APBD.

b) Kasus malaria masih merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa apabila tidak diperhatikan dan dikendalikan secara serius dan berkala.

c) Masyarakat masih menganggap malaria adalah penyakit biasa yang tidak terlalu berbahaya karena mereka masih bisa bekerja seperti biasa, padahal apabila malaria falsifarum dapat menyebabkan malaria serebral dan dapat

95% 100% 100% 92% 93% 94% 95% 96% 97% 98% 99% 100% 101%

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.5. Persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standar Tahun 2019

menyebabkan kematian dan apabila ibu hamil terkena malaria dan tidak segera diobati di indikasikan bayi yang lahir akan mengalami stunting. d) Kasus malaria banyak tersebar pada masyarakat yang jauh dari jangkauan

fasilitas layanan kesehatan dasar.

e) Untuk mendapatkan kasus malaria secara efektif harus dilakukan secara aktif melalui survey langsung ke masyarakat.

f) Perlu adanya Monitoring dan Supervisi langsung ke kabupaten/kota.

g) Perlu dilakukan pembinaan baik di tingkat Dinas kabupaten sampai ke tingkat puskesmas.

h) Crosschek laporan di dinas kesehatan kabupaten dengan laporan yang ada di puskesmas.

i) Keseragaman laporan dan tanggal pengiriman laporan setiap bulan yang harus disepakati.

j) Survey langsung ke masyarakat sangat menentukan penemuan kasus secara dini dan early treatment pengobatan sehingga tidak menimbulkan kasus baru dan menekan resiko penyebaran kasus malaria.

k) Monev kegiatan setidaknya 2 kali dalam setahun harus dilakukan oleh provinsi guna mengevaluasi kinerja dan menyusun rencana kegiatan penanggulangan malaria.

l) Edukasi kepada masyarakat hendaknya berkesinambungan.

6) Kendala/masalah yang dihadapi

a) Kasus malaria masih merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa apabila tidak diperhatikan dan dikendalikan secara serius dan berkala.

b) Masyarakat masih menganggap malaria adalah penyakit biasa yang tidak terlalu berbahaya karena mereka masih bisa bekerja seperti biasa, padahal apabila malaria falsifarum dapat menyebabkan malaria serebral dan dapat menyebabkan kematian dan apabila ibu hamil terkena malaria dan tidak segera diobati di indikasikan bayi yang lahir akan mengalami stunting. c) Kasus malaria banyak tersebar pada masyarakat yang jauh dari jangkauan

fasilitas layanan kesehatan dasar. d) Kurang survey langsung ke masyarakat.

f) Perlu dilakukan pembinaan baik di tingkat Dinas kabupaten sampai ke tingkat puskesmas.

g) Crosschek laporan di dinas kesehatan kabupaten dengan laporan yang ada di puskesmas.

h) Keseragaman laporan dan tanggal pengiriman laporan setiap bulan yang harus disepakati.

i) Survey langsung ke masyarakat sangat menentukan penemuan kasus

secara dini dan early treatment pengobatan sehingga tidak menimbulkan kasus baru dan menekan resiko penyebaran kasus malaria.

j) Monev kegiatan setidaknya 2 kali dalam setahun harus dilakukan oleh

provinsi guna mengevaluasi kinerja dan menyusun rencana kegiatan penanggulangan malaria.

k) Edukasi kepada masyarakat hendaknya berkesinambungan

l) Tidak teranggarkan dalam DPA APBD Tahun 2020.

7) Pemecahan Masalah

a) Adanya Regulasi berupa Peraturan Daerah dalam pengendalian malaria sangat dibutuhkan dalam mencapai eliminasi malaria.

b) Perlu adanya penganggaran dalam APBD Provinsi untuk pengendalian malaria di kab/kota.

c) Ditunjang dengan adanya supervise dan monitoring langsung ke kabupaten/kota.

d) Untuk Program Malaria Perlu adanya kegiatan Survey langsung di masyarakat.

e) Fasilitasi dalam bentuk Monev di Provinsi dengan mengundang seluruh pengelola malaria Kabupaten/Kota.

f) Pelatihan tenaga mikroskopis malaria dari seluruh puskesmas untuk

pemantapan mutu tenaga mikroskopis.

g) Sinkronisasi kegiatan dari Kabupaten/Kota dengan Provinsi perlu

ditingkatkan mengingat anggaran dana sudah banyak digelontorkan Pusat ke daerah melalui dana Biaya Operasional Kesehatan.

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

Capaian kinerja 75% dan tingkat efisiensi -14% dikarenakan belum keluarnya hasil dari assesment malaria terhadap Kota Singkawang yang telah dilakukan oleh tim Assesmen Eliminasi Malaria Kementerian Kesehatan, dimana sampai dengan tahun 2019 baru 3 kabupaten yang sudah eliminasi malaria yaitu Kota

Pontianak, Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Kubu Raya. Apabila Kota Singkawang memperoleh sertipikat eliminasi malaria maka target 4 kab/kota mencapai eliminasi malaria tercapai 100 %.

Ada peningkatan capaian IKP program jika dibandingkan dengan tahun- tahun sebelumnya dimana pada tahun 2017 baru 2 kabupaten yang sudah mencapai elimainasi malaria dan ditahun 2018 dan 2019 meningkat menjadi 3 kabupaten yang sudah eliminasi malaria yaitu Kota Pontianak, Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Kubu Raya.

Kegiatan kab/ kota mencapai eliminasi malaria mengalami peningkatan dari tahun 2017 s/d 2019 terus berjalan walaupun tidak mencapai 100 % dikarenakan Kabupaten/ kota belum melakukan persiapan dalam melakukan rangkaian kegiatan eliminasi malaria yang harus diusulkan ke Kementrian Kesehatan pada tahun sebelumnya.

6. Indikator: Jumlah Kabupaten/ Kota endemis Filariasis yang melakukan POPM 1) Definisi Operasional: Jumlah Kab/Kota yang melaksanakan POPM ditahun

berjalan

2) Rumus/Cara perhitungan: Akumulasi jumlah Kab/Kota yang melaksanakan POPM ditahun berjalan

3) Capaian Indikator 8 8 100% 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.6. Jumlah Kabupaten/ Kota endemis Filariasis yang melakukan POPM Tahun 2019

Jumlah kabupaten/Kota endemis filaria yang melakukan POPM dengan cakupan 8 Kab/Kota, target 8 Kab/Kota

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

a) Optimalisasi kegiatan POPM

b) Peningkatan sosialisasi ke Masyarakat terkait Pelaksanaan POPM Filariasis

c) Adanya dukungan Dana dari APBN,APBD, dan Dana Desa (ADD)

5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

a) Pengiriman Logistik (Terutama Albendazole) dari Subdit Filariasis ke Provinsi/ Kabupaten memerlukan waktu yang lumayan lama dan dengan rantai pendistribusian sampai ke Puskesmas tidak bisa dilakukan dengan cepat sehingga sebagian Kabupaten memulai kegiatan di Bulan Akhir Oktober-Desember 2019.

b) Kegiatan POPM belum Optimal dilakukan di Pos Minum Obat sehingga sulit memastikan masyarakat benar-benar meminum Obat

c) Masih Kurangnya Sosialisasi ke Masyarakat terkait Pelaksanaan POPM Filariasis

d) Sulitnya Geografis yang harus di Tempuh Petugas dalam Memberikan Obat kepada Masyarakat

e) Angka Cakupan masih merupakan angka Distribusi Obat.

f) Belum semua Kabupaten mendapatkan dukungan Dana dari APBN,APBD,

dan Dana Desa (ADD)

g) Lambatnya Penyampaian Laporan dari Kabupaten

h) Belum semua Kabupaten di Sosialisasikan system Pelaporan dengan

E-Filca sehingga Penyampaikan Pelaporan masih menggunakan file Exel dan dikirim by email.

6) Kendala/masalah yang dihadapi

a) Pengiriman Logistik (Terutama Albendazole) dari Subdit Filariasis ke Provinsi/ Kabupaten memerlukan waktu yang lumayan lama dan dengan rantai pendistribusian sampai ke Puskesmas tidak bisa dilakukan dengan cepat sehingga sebagian Kabupaten memulai kegiatan di Bulan Akhir Oktober-Desember 2019.

b) Kegiatan POPM belum Optimal dilakukan di Pos Minum Obat sehingga sulit memastikan masyarakat benar-benar meminum Obat

c) Masih Kurangnya Sosialisasi ke Masyarakat terkait Pelaksanaan POPM Filariasis

d) Sulitnya Geografis yang harus di Tempuh Petugas dalam Memberikan Obat kepada Masyarakat

e) Angka Cakupan masih merupakan angka Distribusi Obat.

f) Belum semua Kabupaten mendapatkan dukungan Dana dari APBN,APBD,

dan Dana Desa (ADD)

g) Lambatnya Penyampaian Laporan dari Kabupaten

h) Belum semua Kabupaten di Sosialisasikan system Pelaporan dengan E-Filca sehingga Penyampaikan Pelaporan masih menggunakan file Exel dan dikirim by email.

7) Pemecahan Masalah

a) Pengiriman Logistik di lakukan 3 (Tiga) Bulan sebelum Pelaksanaan POPM Filariasis.

b) Mendekatkan pelayanan ke masyarakat dengan menyiapkan Pos-Pos Minum Obat di setiap desa, dusun, pemukiman, dan lokasi-lokasi strategis lainnya.

c) Menggerakkan masyarakat minum obat d) Minum Obat di depan Petugas

e) Meningkatkan peran lintas sektor dan masyarakat, terutama jajaran

Kementerian Pendidikan Dasar/Menengah,Kementerian

Agama,TNI/POLRI, Media, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya

f) Melakukan Sosialisasi dan Koordinasi dengan Tokoh Masyarakat terkait

Kegiatan POPM Filariasis termasuk Pelatihan Kader

g) Melakukan Bimtek dan Supervisi sebelum/sesudah POPM Filariasis h) Melakukan sosialisasi terkait system Pelaporan e- Filca

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

Dari 14 kabupaten/ kota di kalimantan barat, terdapat 9 kabupaten kota yang endemis filariasis. 8 kabupaten kota yang masih melakukan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dimulai Tahun 2016 dan selesai pengobatan serta dilakukan penilaian pada tahun 2020 (pengobatan selama 5 tahun). Sedangkan 1 kab/ kota yang telah selesai melaksanakan POPM

angka micro filaria rate (MF Rate) lebih dari 1 % yaitu 1,56 %. Hal ini disebabkan karena kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan kader berupa pemberian obat massal, dan tidak bisa memastikan masyarakat minum obat.

Kegiatan POPM Filariasis memang telah dilaksanakan dengan realisasi anggaran 92 % untuk 7 kabupaten/ kota. Sedangkan Kabupaten Sanggau mempergunakan APBD II. Capaian kinerja dan tingkat efisiensi 0 (nol) karena 1 Kabupaten (Melawi) sebagai indikator kegiatan program Filariasis yang diharapkan menyumbang angka keberhasilan 11 % tidak berhasil menurunkan dengan hasil MF Rate 1,56 %. Sedangkan target Indikator Kinerja Program (IKP) < 1%.

7. Indikator: Jumlah Kabupaten/ Kota intervensi stunting yang melakukan POPM cacingan dengan cakupan >= 75% dari sasaran minum obat

1) Definisi Operasional: Jumlah Kab/Kota intervensi stunting yang melaksanakan POPM cacingan dengan cakupan >= 75% dari sasaran minum obat

2) Rumus/Cara perhitungan: Akumulasi jumlah Kabupaten/ Kota intervensi stunting yang melaksanakan POPM ditahun berjalan

3) Capaian Indikator

Sumber: Laporan Seksi P2PTVZ Tahun 2019

3 2 100% 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Target Capaian Kinerja

Grafik 3.1.7. Jumlah Kabupaten/ Kota intervensi stunting yang melakukan POPM cacingan dengan cakupan >= 75% dari sasaran

Jumlah Kabupaten/Kota intervensi stunting yang melakukan POPM cacingan dengan cakupan > = 75% dari sasaran minum obat dengan capaian 2 Kab/Kota, target 3 Kab/Kota, artinya capaian kinerja hanya 66,7 %, masih dibawah target nasional

4) Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

a) Optimalisasi kegiatan POPM

b) Peningkatan sosialisasi ke Masyarakat terkait Pelaksanaan POPM Filariasis

c) Adanya dukungan Dana dari APBN,APBD, dan Dana Desa (ADD)

5) Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

a) Pengiriman Logistik (Terutama Albendazole) dari Subdit Filariasis ke Provinsi/ Kabupaten memerlukan waktu yang lumayan lama dan dengan rantai pendistribusian sampai ke Puskesmas tidak bisa dilakukan dengan cepat sehingga sebagian Kabupaten memulai kegiatan di Bulan Akhir Oktober-Desember 2019.

b) Kegiatan POPM belum Optimal dilakukan di Pos Minum Obat sehingga sulit memastikan masyarakat benar-benar meminum Obat

c) Masih Kurangnya Sosialisasi ke Masyarakat terkait Pelaksanaan POPM Filariasis

d) Sulitnya Geografis yang harus di Tempuh Petugas dalam Memberikan Obat kepada Masyarakat

e) Angka Cakupan masih merupakan angka Distribusi Obat.

f) Belum semua Kabupaten mendapatkan dukungan Dana dari APBN,APBD,

dan Dana Desa (ADD)

g) Lambatnya Penyampaian Laporan dari Kabupaten

h) Belum semua Kabupaten di Sosialisasikan system Pelaporan dengan

E-Filca sehingga Penyampaikan Pelaporan masih menggunakan file Exel dan dikirim by email.

6) Kendala/masalah yang dihadapi

a) Pengiriman Logistik (Terutama Albendazole) dari Subdit Filariasis ke Provinsi/ Kabupaten memerlukan waktu yang lumayan lama dan dengan rantai pendistribusian sampai ke Puskesmas tidak bisa dilakukan dengan cepat sehingga sebagian Kabupaten memulai kegiatan di Bulan Akhir

b) Kegiatan POPM belum Optimal dilakukan di Pos Minum Obat sehingga sulit memastikan masyarakat benar-benar meminum Obat

c) Masih Kurangnya Sosialisasi ke Masyarakat terkait Pelaksanaan POPM Filariasis

d) Sulitnya Geografis yang harus di Tempuh Petugas dalam Memberikan Obat kepada Masyarakat

e) Angka Cakupan masih merupakan angka Distribusi Obat.

f) Belum semua Kabupaten mendapatkan dukungan Dana dari APBN,APBD,

dan Dana Desa (ADD)

g) Lambatnya Penyampaian Laporan dari Kabupaten

h) Belum semua Kabupaten di Sosialisasikan system Pelaporan dengan E-Filca sehingga Penyampaikan Pelaporan masih menggunakan file Exel dan dikirim by email.

7) Pemecahan Masalah

a) Pengiriman Logistik di lakukan 3 (Tiga) Bulan sebelum Pelaksanaan POPM Filariasis.

b) Mendekatkan pelayanan ke masyarakat dengan menyiapkan Pos-Pos Minum Obat di setiap desa, dusun, pemukiman, dan lokasi-lokasi strategis lainnya.

c) Menggerakkan masyarakat minum obat d) Minum Obat di depan Petugas

e) Meningkatkan peran lintas sektor dan masyarakat, terutama jajaran

Kementerian Pendidikan Dasar/Menengah,Kementerian

Agama,TNI/POLRI, Media, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya

f) Melakukan Sosialisasi dan Koordinasi dengan Tokoh Masyarakat terkait

Kegiatan POPM Filariasis termasuk Pelatihan Kader

g) Melakukan Bimtek dan Supervisi sebelum/sesudah POPM Filariasis h) Melakukan sosialisasi terkait system Pelaporan e- Filca

8) Efisiensi penggunaan sumber daya

Dari 14 kabupaten/ kota di kalimantan barat, terdapat 9 kabupaten kota yang endemis filariasis. 8 kabupaten kota yang masih melakukan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dimulai Tahun 2016 dan selesai pengobatan serta dilakukan penilaian pada tahun 2020 (pengobatan selama 5

tahun). Sedangkan 1 kab/ kota yang telah selesai melaksanakan POPM Filariasis adalah kabupaten Melawi, namun mengalami kegagalan karena angka micro filaria rate (MF Rate) lebih dari 1 % yaitu 1,56 %. Hal ini disebabkan karena kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan kader

Dokumen terkait