• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara-cara Tah ̣ ammul al-H ̣ adīŝ

Dalam dokumen ILMU HADIS SISWA edited januari 2015 (Halaman 156-159)

Mengenal Tah ̣ ammul

KATA KUNCI

B. Cara-cara Tah ̣ ammul al-H ̣ adīŝ

Cara atau metode Tah ̣ammul Hadis tidak dapat dipisah-pisahkan dari Ada’, karena

ibarat transaksi dua orang, keduanya harus ada. Metode tah ̣ammul berarti juga metode

adā’ dalam Hadis Cara-cara seseorang menerima atau mengambil hadis dari seorang

rawi sehingga tercatat dalam kitab-kitab hadis sebagaimana yang kita dapati sekarang ini dengan delapan cara sebagai berikut:

• As-Samā’

(عامسلا)

As-Samā’ artinya mendengarkan. Maksudnya adalah seorang rawi mendengarkan

lafad dari guru/syaikh saat syaikh tersebut membacakan atau menyebut matan atau matan hadis bersama sanadnya. Seorang murid hadir dan mendengar bacaan syaikh, baik dari hapalannya maupun dari catatannya, baik dalam majlis imla’ (dikte) atau yang lain. Dalam pengajaran metode ini sebagaimana metode ceramah, seorang syaikh menyampaikan periwayatan hadis dengan cara membaca dan seorang murid

aktif mendengar. Menurut mayoritas ulama metode tahammul as-Samā` ini berada

pada tingkatan yang paling tinggi di antara metode tahammul lainnya, karena

metode as-Samā` meniscayakan bertemunya (liqa’) dan berhadapan langsung

(ber-musyafah{ah) antara syaikh (guru) dan murid.

• Al-‘Ard ̣u

(ضرعلا)

Al-‘Ard ̣u secara etimologi adalah membaca dengan hapalan. Dalam metode ini,

seorang murid membaca hadis sedangkan syaikh (guru) mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari hafalannya atau dari tulisan (kitab) yang telah dikoreksi oleh syaikh, baik langsung didengarkan syaikh atau orang yang dipercaya untuk

pada tingkatan kedua setelah as-Simā’i. • Al-Ijāzah

(ةزاجلا)

Ijazah secara etimologi berarti membolehkan atau mengizinkan.

Misalnya seorang murid diizinkan meriwayatkan suatu ilmu dari guru. Ijāzah secara

terminologi adalah:

ِهِت َي� ِو ْر َم ِض ْعَب ٍةَياَو ِرـِب َ َش�ْكَأ ْوَأ ٍص ْخ َشِل ُهُحاَمَـسَو ِمِـلاَعلْا ُنْذِإ

Artinya: “Izin seorang alim kepada seorang murid atau lebih untuk meriwayatkan sebagian periwayatannya.”

Misalnya, ucapan seorang syaikh kepada muridnya: “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dari padaku Shahih al-Bukhari.” Dalam metode ijazah ini biasanya tidak dibacakan atau dibacakan sebagian saja dari isi kitab tersebut. Metode Ijazah ini memiliki beberapa syarat, di antaranya seorang murid sudah ahli atau layak menerima Ijazah, mampu memahami apa yang diijazahkannya, dan naskah murid hendaknya dipaparkan sesuai dengan aslinya.

• Al-Munāwalah

(ةلوانمـلا)

Munāwalah secara etimologi berarti memberi, menyerahkan. Maksudnya adalah

syaikh (guru) memberikan kitabnya kepada murid. Guru menyalin kitab tersebut untuk diberikan atau dipinjamkan ke muridnya. Atau dapat juga dalam bentuk seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada syaikh (guru)-nya, yang kemudian dikembalikan

kepadanya lagi setelah diperiksa benar-benar oleh gurunya.

Misalnya seorang syaikh mengatakan: haza min hadisī (Ini dari hadisku) atau haza

min sima’atī ‘an fulan (Ini adalah apa yang saya dengar dari si fulan).

Hukum periwayatan metode munāwalah yang disertai dengan ijazah boleh-boleh saja,

bahkan metode ijazah adalah yang paling tinggi dan tingkatannnya di bawah setelah

metode al-Sama` dan al-Qirā’ah `alā al-Syaikh. Sedangkan periwayatan munāwalah

yang tidak disertai ijazah menurut pendapat yang shahih tidak diperbolehkan.

• Al-Mukatabah

(ةبتاما)

Mukātabah secara etimologi berarti bertulis-tulisan surat atau berkorespondensi.

Dalam terminologi studi hadis maksud metode ini ialah seorang syaikh menulis apa yang ia dengar untuk murid yang hadir atau yang tidak hadir di majelis dengan tulisan syaikh sendiri atau dengan perintahnya, untuk dikirim kepadanya melalui orang yang

terpercaya. Hukum metode Mukātabah yang disertai ijazah dapat diterima dan sama dengan tingkatan metode munāwalah berijazah dalam kualitas dan keabsahannya.

Adapun mukatabah yang tanpa ijazah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama, di antara mereka melarang dan yang lain memperbolehkannya. Menurut pendapat yang shahih diperbolehkan, yaitu pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena tulisan seorang syaikh dengan sesamanya atau kepada muridnya memberikan isyarat makna ijazah.

• Al-I’lām

(ماعلا)

Al-I’lām secara etimologi berarti memberitahu atau memberi informasi. Maksudnya, seorang syaikh memberi informasi kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini yang ia dengar atau yang ia riwayatakan, tanpa memberikan ijazah secara eksplisi. (jelas tegas tidak berbelit-belit). Hukum periwayatan metode ini diperselisihkan para ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkan, dengan alasan informasi seorang syaikh secara implisit mengandung ijazah dalam periwayatan. Seorang syaikh yang

śiqqah dan amanah tidak mungkin mengaku menerima hadis yang ia tidak mendengar.

Informasi syaikh kepada muridnya tentang periwayatan menunjukkan adanya

indikasi rida dari syaikh terhadap taḥammul dan ada’ al-hadīs.

Sebagian ulama ahli ushul menetapkan bahwa tidak sah meriwayatkan hadis dengan

cara ini. Karena dimungkinkan bahwa seorang guru telah mengetahui ada sedikit atau

banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli iqih, dan ahli ushul

membolehkannya.

• Al-Wa{siyyah

(ةيصولا)

Was{iyyah secara etimologi berarti memesan, memberi pesan, atau mewasiati.

Yang dimaksud metode al-was{iyah ialah seorang syaikhketika akan pergi jauh atau

sebelum matinya berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan kepada seseorang yang wajar dipercaya baik dekat atau jauh.

Sebagian ulama muta’akhkhirin berpendapat bahwa metode wasiat

mengan-dung makna izin periwayatan seperti halnya metode munāwalah di atas. Sebagian

ulama salaf juga melakukan metode tahammul ini, seperti yang dilakukan Abu

Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jurumi (w. 104 H). Sebelum wafatnya, beliau berpesan agar kitab-kitabnya d i b e r i k a n k e p a d a as-Sukhtiyani ( w. 131 H). Kitab-kitab itu diserahkan kepadanya dan sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham.

• Al-Wijādah

(ةداجولا)

murid mendapatkan sebuah kitab tulisan seorang yang hidup semasa dan dikenal tulisannya, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau tulisan orang yang tidak semasa tetapi diyakini benar bahwa kitab tersebut adalah tulisannya dengan bukti-bukti yang kuat, seperti persaksian ahli ilmu, popularitas kitab bagi pemiliknya, adanya sanad yang kuat, dan lain-lain maka ia boleh meriwayatkannya secara bercerita (hikayah).

Misalnya : “Aku temukan dalam kitab si Fulan begini…., atau si Fulan berkata begini

dalam kitabnya” tidak dengan cara mendengar secara langsung.

Dalam dokumen ILMU HADIS SISWA edited januari 2015 (Halaman 156-159)