• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara Kerja Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan

6.4. Respon Perusahaan

6.4.1. Cara Kerja Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan

Definisi hak properti yang tidak lengkap, kekosongan pranata dan pemindahan tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan IUPHHK-HA, membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatur perlakuan akuntansi atas biaya-biaya yang timbul pada pengelolaan hutan sebagai asset. Pilihan kebijakan yang pertama mempengaruhi perilaku pemerintah dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan selanjutnya. Hubungan-hubungan tersebut diilustrasikan seperti gambar 25.

Struktur peraturan yang tidak secara tegas mengakui tegakan hutan alam sebagai asset dan penjelasan undang-undang yang menyatakan bahwa pengertian negara “menguasai” seluruh hutan di Indonesia tidak berarti “memiliki” menimbulkan kendala bagi pemerintah untuk memposisikan kepemilikan hutan negara sejajar dengan kepemilikan hutan hak oleh individu, meskipun pengertian tersebut dimaksudkan untuk menghindari penafsiran perampasan hak kepemilikan warga negara atas hutan hak oleh negara bukan dimaksudkan sebagai larangan bagi negara untuk memiliki hutan negara. Tidak adanya penegasan tentang kepemilikan hutan negara dan tidak adanya pengakuan tegakan hutan alam sebagai asset mempengaruhi definisi hak properti atas hutan negara, sehingga menghasilkan aturan yang tidak mendefinisikan hak properti secara lengkap.

Gambar 25. Keterkaitan Unsur-unsur Penyebab Institusi Tidak Efektif

Pilihan kebijakan seperti yang diatur atau sengaja tidak diatur dalam peraturan-peraturan pemerintah tersebut, membawa implikasi kepada peraturan-peraturan-peraturan-peraturan tingkat menteri yang menyebabkan banyaknya urusan-urusan pemerintah di tingkat mikro. Seperti telah dingatkan oleh berbagai ahli (Douglas C North, Oliver C Williamson, Joseph E Stiglitz dan Hendix Van den Berg) bahwa peran pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang bersaing, namun kekuasaan yang besar pada pemerintah dapat membahayakan kelangsungan ekonomi. Oleh karenanya tidak diharapkan pemerintah mencampuri urusan-urusan individual kegiatan usaha, pemerintah sebagai regulator dan wasit penegak aturan sebaiknya tidak dalam waktu yang bersamaan berperan sebagai pemain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 56 % kewenangan urusan-urusan pengelolaan dan

Definisi Hak Properti Tidak lengkap & inkonsistensi hirarkhi

wewenag makro, meso, mikro Investasi tidak

menghasilkan asset Perversi

Kekuasaan Informasi asimetrik Konflik Aturan Kesalahan Identifikasi IUPHHK : Pengguna sebagai Pengelola

Biaya Transaksi Tinggi Definisi Hak Properti

Tidak lengkap & inkonsistensi hirarkhi

wewenag makro, meso, mikro Investasi tidak

menghasilkan asset Perversi

Kekuasaan Informasi asimetrik Konflik Aturan Kesalahan Identifikasi IUPHHK : Pengguna sebagai Pengelola

Biaya Transaksi Tinggi Definisi Hak Properti

Tidak lengkap & inkonsistensi hirarkhi

wewenag makro, meso, mikro Investasi tidak

menghasilkan asset Perversi

Kekuasaan Informasi asimetrik Konflik Aturan Kesalahan Identifikasi IUPHHK : Pengguna sebagai Pengelola

pemanfaatan hutan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang seharusnya sementara 44% urusan-urusan yang diatur dalam peraturan menteri telah ditempatkan pada posisi yang sebenarnya. Banyak urusan-urusan tingkat mikro yang diposisikan pada tingkat meso dan makro, demikian pula terdapat urusan tingkat meso yang kewenanganya diposisikan pada tingkat makro. Masih terdapat kecenderungan sentralisasi kekuasaan yang berupa mengangkat urusan tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi.

Struktur yang demikian dan adanya kendala-kendala lain yang dimiliki pemerintah yang menyebabkan pemerintah tidak segera memberdayakan KPH, mendorong pemerintah untuk memposisikan pengguna hak/pemanfaat hutan alam sebagai pengelola melalui pengaturan pemberian beban kewajiban pengelolaaan hutan dan ancaman sanksi-sanksi termasuk pencabutan ijin kepada penerima HPH/IUPHHK. Posisi perusahaan penerima HPH/IUPHHK yang lemah dihadapan pemerintah dan adanya kondisi informasi yang tidak simetrik merupakan insentif bagi pembuatan aturan-aturan yang mengandung perversi kekuasaan, yaitu kebijakan atau tindakan yang menguntungkan satu pihak atas beban pihak lain. Sebaliknya perversi kekuasaan memberikan kemampuan untuk menciptakan kebijakan atau tidak membuat kebijakan yang menimbulkan informasi tidak simetrik.

Struktur yang diciptakan melalui cara-cara di atas menimbulkan kerumitan administrasi dan manajemen, akibat dari kompleksitas ini lahirlah peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan. Dengan struktur yang banyak mengandung masalah ini menimbulkan biaya transaksi tinggi termasuk dengan memberikan peluang kepada pencari rente dan free riders.

Disamping itu, cara pengaturan yang berupa pemindahan tanggung jawab pengelolaan hutan dan perolehan informasi pelaksanaan perjanjian dari pemerintah kepada perusahaan adalah bentuk pengaturan yang mengandung konflik kepentingan. Selain itu kebijakan penggunaan teknik silvikultur intensif (SILIN) yang berdasarkan laporan Heriansyah (2008) menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dan kehilangan sumberdaya genetik, dan demikian pula Peraturan Menteri Kehutanan no P.11/Menhut-II/2007 yang menurunkan batas diameter yang dapat ditebang, adalah peraturan yang mengandung konflik kepentingan pemerintah. Keputusan-keputusan ini diambil karena desakan kebutuhan meningkatkan produksi jangka pendek, sementara kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan multiproduk harus dikorbankan. Konflik kepentingan ini terjadi karena pemerintah berperan sebagai regulator, wasit dan pemain, bangun institusi yang seperti ini akan cenderung tidak stabil, mudah berubah bergantung kepada kekuatan kelompok kepentingan yang bermain.

Bangunan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi, melibatkan pemerintah dalam urusan-urusan tingkat mikro, rancang bangun institusi seperti ini memerlukan dukungan informasi yang kuat. Kapasitas pemerintah dalam penguasaan informasi tentang hutan, hasil hutan, perusahaan, dan tentang perbuatan perusahaan di lapangan tergolong lemah. Data dan informasi tentang kondisi hutan yang dimiliki oleh pemerintah adalah data yang memiliki resolusi rendah dan tidak aktual. Kebutuhan pemerintah atas data beresolusi tinggi dalam rangka menjalankan wewenangnya bergantung dari data informasi milik perusahaan. Situasi penguasaan

informasi yang lemah masih belum berubah jika dibandingkan dengan situasi pada masa HPH (Kartodihardjo, 1998)

Dalam menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian IUPHHK, pemerintah memperoleh informasi dari perusahaan yang bersangkutan. Prosedur evaluasi keberlanjutan ijin usaha yang dilakukan dengan mengundang perusahaan (direksi dan komisaris) untuk mempresentasikan laporannya didepan kelompok kerja adalah bentuk paling kongkrit dari ketergantungan ini. Sementara itu penilaian kinerja yang dilakukan oleh lembaga penilai independen yang dibiayai oleh perusahaan IUPHHK yang dinilai, terutama pada penilaian kedua dan seterusnya, adalah modifikasi dari cara evaluasi tersebut diatas.

Hubungan kontraktual yang berlaku dalam sistem pengusahaan hutan /HPH tidak berbeda dengan sistem ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu/IUPHHK (periksa Lampiran 3). Pada kedua sistem tersebut mempunyai kemiripan dalam proses-proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya banyak melibatkan peran pemerintah pusat dan daerah sampai pada tingkat mikro, demikian pula dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi beban perusahaan. Meskipun terdapat perbedaan dalam proses perolehannya, dimana dalam sistem HPH hubungan koneksitas antara pemohon dengan pemerintah sangat kuat, sedangkan dalam mekanisme IUPHHK perolehan dilakukan dengan mekanisme “lelang” namun mekanisme yang mengharuskan adanya rekomendasi bupati/walikota dan gubernur masih memberikan adanya hubungan koneksitas yang mempengaruhi sistem. Dalam penelitian Kartodihardjo (1998), diketahui bahwa institusi yang bekerja pada sistem pengusahaan hutan (HPH) menimbulkan transaksi biaya tinggi. Sedangkan penelitian

Mardipriyono (2004) dan Darusman dan Bahruni (2003) pada Tabel 44 menunjukkan bahwa institusi yang bekerja pada sistem IUPHHK juga menimbulkan transaksi biaya tinggi, termasuk di dalamnya teridentifikasi biaya-biaya transaksi yang merugikan dan illegal. Kedua penelitian tersebut dilakukan pada dua rejim institusi yang berbeda, namun kedua-duanya menyimpulkan terjadinya biaya transaksi tinggi, merugikan dan illegal. Oleh sebab itu terdapat indikasi bahwa institusi yang bekerja pada sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan belum terbebas dari transaksi biaya tinggi, transaksi merugikan dan transaksi illegal

Hasil penelitian ini menunjukkan respon perusahaan yang berbeda dengan respon layak yang diharapkan. Jumlah perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik hanya berkisar 10 % dari 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh, ini mengindikasikan bahwa hanya sedikit perusahaan yang menempatkan kegiatan pengelolaan hutan lestari sebagai kegiatan prioritas perusahaan. Bagian terbesar dari penerima IUPHHK tidak tertarik untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari yang juga diindikasikan secara kuat oleh banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan visi dan misinya (95%), perilaku ini adalah respon dari struktur dan akibat dari salah pilih.

Perhitungan korelasi antara umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan induk dengan capaian nilai kinerja menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut tidak berhubungan dengan capaian nilai akhir kinerja pengelolaan hutan pada tingkat unit manajemen. Umur atau lamanya kepemilikan ijin oleh perusahaan yang tidak berkorelasi dengan capaian nilai akhir kinerja, menunjukkan perilaku bahwa perusahaan tidak mengalami proses belajar untuk mengelola hutan secara lestari. Diantara 10% perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik terdapat perusahaan baru

dan perusahaan lama, demikian pula masih banyak perusahaan yang telah lama beroperasi namun mempunyai nilai yang tidak termasuk dalam kategori baik. Sedangkan tidak ada korelasi antara luas konsesi dengan nilai akhir menjelaskan bahwa kedudukan perusahaan IUPHHK sebagai pengguna, tidak mempunyai kepentingan langsung dengan keberhasilan pengelolaan hutan, oleh sebab itu ia tidak memiliki kepentingan langsung dengan luas ijin. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel-variabel yang berupa kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan untuk menghasilkan STOK mempunyai korelasi yang tidak nyata dengan potensi hutan dan rentabilitas. Korelasi yang tidak nyata menunjukkan bahwa aktivitas perusahaan tidak sedang membangun stok tegakan melainkan sedang melakukan produksi jangka pendek.

Kedudukannya sebagai pengguna menyebabkan perusahaan tidak memiliki hak mengeksklusi atas manfaat dan biaya, dan tidak memiliki hak mengelola hutan, sehingga luas konsesi tidak dapat menggambarkan efektifitas penggunaan hak-hak tersebut melainkan hanya sebagai informasi untuk memperkirakan manfaat yang dapat ia terima dalam jangka waktu tertentu.

Pada penilaian indikator prasyarat, berdasarkan 6 indikator yang termasuk sebagai indikator fokus yaitu yang mempunyai peranan penting dalam mencapai pengelolaan hutan lestari, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada setiap indikator berkisar pada angka 10%, apabila masing-masing berbobot sama maka rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 8,3%. Sebagian besar perusahaan tidak mampu memenuhi atau mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari. Informasi ini menjelaskan bahwa struktur institusi pengelolaan dan pemanfaatan

hutan tidak memberikan insentif untuk mengarahkan perilaku perusahaan dalam mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari.

Pada indikator produksi, berdasarkan rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada setiap indikator diperoleh nilai rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 8,9 persen, nilai sedang sebanyak 59,6 persen dan 31 persen buruk. Indikator-indikator ini mencerminkan perilaku perusahaan dalam menjalankan aktifitas produksi kayu, sebagian besar berperilaku tidak termasuk dalam kategori baik dan 31 persen nyata-nyata berperilaku buruk. Untuk memahami makna dari hasil nilai ini, sebagai contoh digunakan indikator (P.2.1) sebagaian besar perusahaan mempunyai nilai sedang dan buruk, ini menunjukkan bahwa dokumen perencanaan yang terkait dengan perencanaan blok dan petak tebangan terdapat ketidak sesuaian antara isi dokumen dengan kondisi lapangan, dan sebagian dokumen tersebut hanya formalitas untuk memenuhi syarat administrasi saja. Sementara itu pada indikator (P.2.2) dimana perusahaan yang mendapatkan nilai buruk sebesar 52.5%, berarti bahwa terdapat verifier yang bernilai buruk yang menunjukkan bahwa ada ketentuan yang tidak dilaksanakan. Meskipun produksi adalah tujuan utama perusahaan IUPHHK, namun institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak dapat mengarahkan perilaku perusahaan untuk memberikan prioritas pada cara-cara menjalankan produksi yang lestari.

Jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada kelompok indikator ekologi sangat sedikit, jika diambilkan rata-ratanya hanya sebesar 3,4%. Pada indikator (E.3.4) ketersediaan prosedur identifikasi dan implementasi flora-fauna langka, dilindungi dan endemik, dan indikator (E.3.5) tentang pengelolaanya, tidak ada

satupun dari contoh perusahaan dalam penelitian ini yang mempunyai nilai baik. Perusahaan tidak sungguh-sungguh memperhatikan indikator ekologi, karena produk tindakan-tindakan pengelolaan ekologi adalah berupa barang publik dan atau eksternalitas, sementara itu pemerintah tidak menyediakan mekanisme insentif sebagai koreksi atas adanya persoalan tersebut.

Pada indikator sosial, terdapat 9 % perusahaan yang mendapatkan nilai baik, 81 % sedang dan 10 % buruk. Mengingat bahwa indikator sosial berhubungan dengan kepentingan masyarakat sekitar, maka terdapat tuntutan langsung dari masyarakat terhadap pelaksanaan aktivitas yang diukur dalam kelompok indikator sosial. Sebanyak 81 persen perusahaan mencapai nilai sedang, adalah nilai sedang yang tertinggi diantara kelompok indikator lainnya. Capaian ini juga dapat dimaknai sebagai indikasi kapasitas negosiasi masyarakat dengan perusahaan, tuntutan masyarakat atas kebutuhan ekonominya dapat mempengaruhi keputusan pilihan perilaku perusahaan sampai kepada batas ruang negosiasi yang tersedia.

Dokumen terkait