• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengapa pemerintah tidak dapat merealisasikan perubahan yang dikehendaki oleh UU. North (1990) menyampaikan alasan bahwa resistensi terjadi karena sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien demi melindungi kepentingan tertentu. Sementara Van den Berg (2001) beralasan bahwa birokrasi menggunakan peraturan untuk memperkuat kekuasaannya. Sedangkan Jepperson (1991) dan Scott (2008), menyatakan bahwa birokrasi cenderung resisten karena perubahan tersebut menyangkut tatanan sosial yang cenderung dipelihara diwariskan, dan direporduksi.

Kehutanan, dan telah menjalani karier sebagai pejabat pelaksana kebijakan di daerah. Dua hal ini layak dipertimbangkan sebagai alasan yang mewarnai kebijakannya.

Pertama, konsep hubungan pemerintah dengan swasta dalam memanfaatkan hasil hutan yang paling banyak dikenal adalah konsep Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Konsep ini merupakan konsep yang lahir sebelum konsep-konsep hubungan kontraktual yang lainnya dibuat. Aplikasi yang luas pada masa itu, dan dinilai berhasil dalam kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas, dan berkembangnya industri kehutanan yang pesat dibandingkan dengan industri lainnya, menjadikan HPH sebagai satu-satunya konsep institusi yang sangat dikenal dan di kagumi. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa semua konsep hubungan kontraktual antara pemerintah dengan pihak swasta (pengusaha) dibuat dengan menggunakan model HPH., tabel berikut ini sebagai gambarannya

Tabel 50. Perbandingan Model Institusi HPH dan Bentuk Perijinan Lain di Kehutanan Substansi HPH HPHTI HPHKm HP-WA IUPHHK Syarat Administrasi X X X X X Syarat Teknis X X X X X Umur Ijin X X X X X Kewajiban-kewajiban Teknis X X X X X

Pengesahan Rencana Karya X X X X X

Sanksi-sanksi X X X X X

Substansi yang diatur mempunyai kemiripan struktur, yang membedakan adalah komoditasnya, ukuran-ukuran (luas, volume, biaya, dll). Sebagai sebuah model yang paling dikenal, dapat mempengaruhi pendekatan dan cara berfikir yang diikuti oleh banyak pihak dan menjadi kepercayaan bersama yang cenderung diwariskan.

Pewarisan kultur juga dapat menyebabkan cara berfikir yang terkungkung oleh batas-batas imaginer yang dibuat sendiri, keterkungkungan ini yang membatasi kemampuan menghasilkan perubahan. Konsep berfikir yang digunakan masih bergantung kepada batas-batas kebiasaan yang berlaku umum, rujukan-rujukan yang terbatas, dan pengetahuan yang terbatas. Berfikir keluar dari kerangka yang umum berlaku dianggap sebagai hal yang salah atau tidak baik. Gambar 27 berikut ini biasa digunakan dalam test psikologi, dapat membantu menjelaskannya.

Jika pada gambar 27 (a) diajukan perintah “Hubungkan kesembilan titik dengan menggunakan empat buah garis”!, maka orang yang berfikir terkungkung (Gambar 27.b) akan membatasi pikirannya pada batas imaginer di titik-titik terluar yang mengakibatkan mereka tidak pernah dapat menyelesaikan perintah itu, selalu ada kekurangan satu garis. Sedangkan mereka yang membebaskan diri dari kungkungan dapat menjawab secara kreatif menembus batas-batas imaginer (Gambar 27.c).

(a). Perintah (b). Terkungkung (c). Kreatif Gambar 27. Konsep Berfikir Terkungkung dan Kreatif

Kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan publik juga terjadi dalam pola berfikir terkungkung pantas untuk dipertimbangkan sebagai penyebab resistensi, pertama dalam banyak kasus kebijakan publik bidang kehutanan dilakukan melalui proses konsultasi publik dengan harapan bahwa dominasi kepentingan kelompok tertentu dapat dihilangkan, namun pada kenyataanya masih terdapat peraturan yang mengandung perversi. Kedua sistem pengusahaan hutan telah berlangsung selama 40 tahun merupakan pengetahuan yang paling banyak diketahui oleh komunitas kehutanan, dan komunitas ini adalah pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan termasuk dalam konsultasi publik. Ketiga birokrat kehutanan di pusat dan daerah tebiasa berkerja sebagai pelaksana peraturan, dan terbiasa membuat kebijakan teknis yang berupa aturan-aturan mikro. Hal seperti ini menjadi media yang cocok bagi berkembangnya kultur berfikir terkungkung, yaitu cara-cara berfikir yang terbatas pada hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai kebenaran, dan tabu untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa.

Dalam hal penegakan aturan, Scott (2008) membangun institusi dengan tiga pilar, salah satunya adalah pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kepasitas untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang layak adalah inti dari pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal. Sedangkan oleh North (1987) berpendapat bahwa “ Adalah politik yang akan menentukan dan memaksakan (enforces) aturan ekonomi

dari suatu permainan”. Pendapat-pendapat ini juga layak untuk dipertimbangkan sebagai hal yang memberi kontribusi pada kesulitan melakukan perubahan.

Alasan kedua adalah bahwa Pemerintah bias pada hutan negara sehingga logika penetapan kebijakannya melompat dan mengabaikan hutan hak. Undang-undang mengembangkan logika pengurusan hutan dimulai dengan penetapan status hutan, fungsi hutan, wilayah / unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Penerapan logika pengurusan hutan menurut Undang-undang akan menghasilkan pranata seperti Tabel 51.

Tabel 51. Logika Pengurusan Hutan berdasarkan Undang-Undang dan Pranata yang Dihasilkan

No. Urutan Logika Pranata yang Dihasilkan

1

Status Kepemilikan Hutan

(Pasal 5)

Hutan Negara Hutan Hak

Pengelola (Pasal 5,)

Pemerintah/BUMN

Pemilik atau

Pengelola yang ditunjuk Masyarakat Adat Pemerintah Desa Pengelola Khusus 2 Fungsi Pokok (Pasal 6, Pasal 7) Lindung (L) Lindung (L) Konservasi (K) Konservasi (K) Produksi (P) Produksi (P) 3 Unit Pengelolaan (KPH) (Pasal 8, Pasal 17) KHdTK KHdTK

4 Perijinan Pemanfaatan Pemilik Pemilik

Pengelola Pengelola

L K

P

L K

Kewajiban pemerintah untuk menetapkan status hutan merupakan perintah pertama yang diberikan oleh undang-undang, hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hak properti atas hutan baik pada hutan negara maupun pada hutan hak atau hutan rakyat (Pasal 5). Kepastian tentang kepemilikan ini akan menjadi dasar untuk menentukan pihak-pihak yang berhak untuk mengelola hutan (penjelasan pasal 5). Selanjutnya berdasarkan status kepemilikannya tersebut, pemerintah ditugaskan untuk menetapkan fungsi pokok pada hutan-hutan tersebut berdasarkan fungsi yang dominan (pasal 6 dan 7). Kemudian pada pasal 8 dan pasal 17 pemerintah diberi mandat untuk membentuk unit-unit pengelolaan (KPH) termasuk Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHdTK). Apabila pada hutan hak difungsikan sebagai hutan lindung dan/atau konservasi pemerintah berkewajiban memberikan kompensasi (penjelasan pasal 36). Berdasarkan unit-unit pengelolaan tersebut dilakukan pemanfaatan hutan melalui pemberian ijin-ijin oleh pihak yang berwenang sesuai dengan status kepemilikan hutannya.

Undang-undang mengatur urutan tersebut secara sistemik, namun ditinjau dari sejarah kelahiran peraturan pelaksanaannya aturan yang pertama lahir adalah peraturan pemerintah yang berkaitan dengan perijinan pemanfaatan, yang dalam urutan undang-undang merupakan urutan terkahir. PP. 34/2002 lahir secara premature, yaitu ketika perangkat-perangkat lainnya belum tersedia, seperti organisasi pengelola hutan tingkat unit, mekanisme kompensasi, perencanaan dan konsep hubungan transaksional yang sesuai dengan kehendak perubahan. Sedangkan peraturan yang lahir lebih awal cenderung dijadikan sebagai rujukan bagi peraturan-peraturan yang lahir kemudian, oleh sebab itu bias pada PP. 34/2002 terus terbawa

dan mempengaruhi rumusan-rumusan peraturan dan kebijakan lainnya sehingga biasnya juga terus berkembang. Birokrasi yang bekerja saat ini terjebak oleh aturan yang ada, sebagaimana pernyataan Scott (2008) bahwa kapasitas birokrasi untuk melakukan perubahan sering dibatasi oleh aturan formal dan informal.

Sebagai implikasi dari kelahiran yang premature tersebut, dalam menjalankan undang-undang pemerintah telah bias dengan membuat aturan yang hanya mengurus kepentingannya sendiri yaitu mengurus hutan negara. Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) menyatakan bahwa karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya, hal ini telah terbukti terjadi. Demikian pula Stiglitz (2000) yang mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan adalah karena lemahnya kontrol politik, pemerintah diberikan kewenangan untuk membuat aturan pelaksanaan yang dapat tidak sejalan dengan keinginan undang-undang. Tuntutan undang-undang yang berupa optimasi pengelolaan hutan memerlukan organisasi dan mekanisme baru yang berbeda dengan konsep HPH, namun sebelum konsep baru ini ada, telah dilahirkan PP. 34/2002 yang melanjutkan konsep HPH dengan mengubah nama menjadi IUPHHK.

Peraturan Pemerintah no. 34/2002 dan Peraturan Pemerintah no. 6/2007 adalah peraturan yang hanya mengatur urusan-urusan pemerintah terhadap hutan negara, keberadaan hutan hak terabaikan karena belum ada peraturan yang setara yang berkaitan dengan hutan hak. Akibat dari bias pemerintah pada hutan negara, maka kebijakan-kebijakan publik untuk meningkatkan partisipasi publik dalam membangun hutan masih kurang mendapat perhatian demikian pula pasal 36 UU. 41/1999.

Dokumen terkait