• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV UANG PANIK SUKU BUGIS DALAM TINJAUAN HUKUM

A. Cara Menentukan Uang Panaik

19

mempengaruhi besar kecilnya uang panaik dan bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi uang panaik.

Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari hasil penelitian untuk kemajuan objek penelitian.

20 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TRADISI PERNIKAHAN

A. Tradisi Pernikahan Dalam Islam

Manusia merupakan makhluk sosial jadi secara naluri manusia akan mencari pasangan hidup untuk memenuhi kebutuhan biologis dan melanjutkan keturunan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dalam Islam diwajibkan untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan adalah suatu hal yang dianggap sakral dan istimewa dalam kehidupan seseorang. Maka dari itu, muncul berbagai macam tradisi yang berbeda-beda disetiap negara atau bahkan daerah.

Tradisi nikah adalah sebuah bentuk acara pernikahan yang dilakukan oleh dua orang pasangan calon sumi istri untuk meresmikan ikatan mereka. Acara tersebut biasanya berbeda-beda setiap daerah mengikuti adat dan budaya masing-masing sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi turun temurun.

Dalam Islam terdapat tahap-tahap proses tradisi pernikahan yaitu

ta,aruf, lalu dilanjutkan dengan khit‟bah, lalu masuk ke prosesi akad nikah, keudian dilanjutkan denagan prosesi walimatul „Urs.

1. Ta’aruf

Ta‟aruf menurut bahasa berarti “berkenalan” atau “saling mengenal”. Arti ta‟aruf sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu kata ta‟aarafa. Secara sederhana arti ta‟aruf itu mirip dengan makna berkenalan. Berkenalan disini

21

sama dengan cara kita berkenalan seperti biasa misalnya saat kita berkenalan dengan orang saat di bis atau ketika diruang tunggu. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Al-hujarat ayat 13:

َلِئاَبَكَو ًبِوُع ُش ْ ُكُاَيْوَعَجَو ٰ َثَْهُآَو ٍرَكَذ ْنِم ْ ُكُاٌَْلَوَخ َّنَّّا ُساَّيما اَُّيَُّآ َيَ

ٌيِبَخ ٌيمِوَع َ َّّا َّنا ۚ ْ ُكُاَلْثَآ ِ َّّا َدْيِع ْ ُكَُمَرْكَآ َّنّا ۚ اوُطَراَعَخِمّ

Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikankamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ta‟aruf merupakan suatu langkah awal bagi seorang pria atau wanita untuk untuk mencari pasangan hidup. Ta‟aruf disini bisa dilakukan dengan berusaha sendiri mencari atau bisa juga dengan bantuan orang tua atau saudara dekat untuk membantu mencarikan pasangan. Hal ini perlu dilakukan untuk saling mengetahui sifat dan tingkah laku masing-masing, denagan saling mengenal dan memahami diharapkan nantinya tidak terjadi kesalah pahaman atau bahkan pertengkaran ketika kelak mereka sudah menikah.

Dalam Islam ta‟aruf berarti suatu tindakan pengenalan dan pendekatan terhadap calon pasangan yang dilakukan sebelum malaksanakan pernikahan. Tujuan ta‟aruf adalah mengetahui kriteria calon pasangan. Pada umumnya, laki lah yang biasnya menjadi inisiator ta‟aruf. Sedangkan posisi perempuan hanya dipilih. Jika laki-lakinya merasa cocok dan keluarga

22

perempuna juga cocok maka kebanyakan mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan (Thobroni, 2010: 75-76).

Ta‟aruf tentunya sangat berbeda dengan yang namanya pacaran, dimana ta‟aruf lebih serius untuk mengetahui dan mengenal masing-masing calon dengan tujuan untuk menikah dan membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Sedangkan untuk pacaran sendiri notabenya berindikasi pada niatan yang tidak baik dan hanya berdasarkan pada hawa nafsu seperti halnya hanya ingin untuk bersenang-senang atau berbagai macam modus seperti ingin mendapatkan sesuatu dari pasangan tersebut dan atau bahakan yang lebih parah yaitu hanya untuk mendapatkan sex bebas.

Maka dari itu agama Islam sangat menganjurkan untuk melakukan ta‟aruf sebelum menikah agar kelak ketika sudah berumah tangga tidak kaget dengan pasangannya karena sudah mengetahui hal-hal atau kebiasaan pasangan masing-masing dan juga dapat menjaga keharmonisan keluarga kelak katika sudah menikah.

Sebagai laki-laki dalam mencari calon pasangan tidak dianjurkan untuk asal memilih menurut hawa nafsu. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam mencari calon pasangan sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim dari Abu Hurairah r.a. yang berbunyi:

23

ِتاَذِب ْرَف ْػاَط اَ ِنِْيِ ِلَِو اَِِماَمَجِمَو اَ ِبِ َ سَحِمَو اَِِماَمِم ٍعَبْرَلِ ُةَآْرَمْما ُحَكْيُث

َكاَدَي ْتَبِرَح ِنْيِّلِا

Artinya :

“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya,

keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah karena

agamanya niscaya kamu beruntung”.

Dalam hadits diatas walaupun harta yang disebutkan pertama dari 4 kriteria tersebut tetapi diakhi kalimat ditegaskan untuk mengutamakan agamanya terlebih dahulu jika ingin beruntung dengan kehidupan yang berbahagia ketika sudah berkeluarga. Arti dari agama disini tidak hanya beragam Islam saja tetapi harus yang berakhlak baik dan amanah terhadap pasangannya, sehingga dapat bersamama membangun keluarga dan mencari pahala dalam rangka untuk mendapatkan ridho Allah SWT.

Dengan memilih calon isteri yang baik secara agama dan akhlak perilakunya maka diharapakan akan dapat saling mengingatkan dan dapat menjaga amanah dari suami ketika sedang bekerja dan tidak dapat bertemu dalam waktu dekat. Sangat penting dalam memilih calon pasangan hidup, karena dia lah yang nantinya akan mendampingi kita hingga akhir hayat kita, oleh karena itu sangat dianjurkan untuk mengutamakan agamanya kemudian baru diikuti dengan hartanya, keturunannya dan kecantikannya hal ini kerena agama akan menjadi pondasi utama dalam membangun suatu keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

24

Bagi para wali atau yang secara hukum menjadi wali bagi si perempuan yang ingin mencarikan jodoh bagi anak perempuannya, Nabi juga mengajarkan dalam hadits yang diriwayatkan dari imam Turmudzi dari abi Hatim Al-Muzan yang artinaya: “Apabila datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena kekuatan agama dan kebaikan akhlaknya, nikahkan lah dia dengan anak perempuanmu; apabila kamu tidak menerimanya, akan terjadi bencana dan kerusakan di muka bumi” (Basyir, 1996: 15).

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang harus mencari dan menentukan perempuan yang ingin dinikahi, disana dijelaskan bahwa sebagi wali dari perempuan yang sudah dewasa dan berkecukupan dari segi umur dan mental wali tersebut harus membantu mencari atau menyeleksi para laki-laki yang ingin melamar perempuan tersebut. Ciri-ciri laki-laki yang dianjurkan oleh nabi dalam hadist tersebut adalah yang beragama kuat dan berakhlak mulia

Dengan menyerahkan anak perempuan mereka kepada seorang pria yang beragama kuat dan berakhlak mulia maka diharapkan anak perempuan mereka nanti akan dibimbing ke dalam kebahagiaan di dunia dan akhirat. Seorang pria yang beragama kuat akan menjaga diri mereka sendiri dari berbagai macam godaan yang dapat merusak ikatan pernikahan mereka ketika ia sedang bekerja dan berada jauh dari keluarga.

25 2. Khit’bah

Kata khitbah berasal dari bahasa Arab yaitu, khatabah yang berarti “permintaan kepada seseorang wanita untuk dinikahi”. Peminangan dalam istilah fiqih disebut khit‟bah yang mempunyai arti peminangan. Menurut istilah mempunayi arti menunjukan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki pada seorang perempuan baik secara langsung maupun tidak dengan perantara seseorang yang dapat dipercaya (Mardani, 2011: 9).

Apabila dalam masa ta‟aruf sukses dan terdapat banyak kecocokan antara kedua belah pihak dan si pria sudah yakin maka laki-laki tersebut dapat melakukan khit‟bah atau dalam bahasa Indonesia disebut peminangan atau lamaran. Sangat dianjurkan seorang lelaki muslim untuk meminang calon isterinya terlebih dahulu sebelum mengajuk untuk menikah, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Hal ini dikerenakan Islam melarang seorang laki-laki untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain.

Pada saat peminangan dibolehkan untuk laki-laki yang meminang tersebut untuk melihat perempuan yang kelak akan dinikahinya tersebut. Sedangkan untuk batas-batas yang boleh dilihat oleh laki-laki tersebut terdapat berbagai macam pendapat dari para ulama, ada yang berpendapat hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya saja ada juga yang berpendapat boleh meliahat sealain wajah dan telapak tangannya seperti

26

rambut betis dan sebagainya. Hal ini didasari pada sabda Rasulullah saw. yang artinaya “Apabila seseorang dari kalian meminag perempuan, maka

jika memungkinkan melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah, sebab yang demikian itu lebih menjamin kelanggengan hubungan diantara mereka berdua.

Saat seorang pria ingin meminang wanita yang dicintainya, maka pria tersebut harus datang kepada wali dari wanita tersebut untuk meminangnya. Ketika seorang wali menerima seorang pria yang ingin meminang anak perempuannya maka wali tersebut harus selektif kepada para pria yang ingin melamar anak perempuannya. Sebagaimana sabada rasulullah saw.

ٌةَيْذِط ْنُكَح اْوُوَعْفَث َّلاّا ،ٍُْوُحِكْىاَط ََُلُوُخَو ََُيْيِد َنْوَضْرَح ْنَم ُْكَُءاَج اَذّا

ِضْرَلْا ِفِ

ٌْيِبَك ٌدا َسَطَو

Artinaya:

“jika datang kepada kalian seorang yang kalian ridhai agama dan

akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”

Dalam hukum Islam terdapat aturan tentang siapa yang boleh dipinang dan siapa yang tidak boleh dipinang. Sesuai dengan yang telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 12 mengatur tentang seseorang yang boleh dan tidak boleh dipingan adalah:

27

a. Peminangan dapat dilakukan terhadap sorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj‟iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

c. Dilarang juga meminang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

d. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Wanita yang akan menerima lamaran harus berdasarkan keinginan sendiri untuk mencari pahala dan keberkahan dalam pernikahan tersebut tanpa ada paksaan dari manapun baik itu orang tua, saudara atau pihak manapun. Hal ini diperlukan unutuk meningkatkan keharmonisan keluarga dikemudian hari tapi bukan berarti keluarga lepas tangan dalam menentukan calon menantunya keluarga terutama orang tua harus menyaring calon menantunya.

Dalam hal ini Rasululah saw. mengajarkan dalam haditsnya yang diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. Nabi bersabda, “janganlah kamu nikahi

seorang janda hingga dia setuju dan janganlah nikahi seorang gadis sampai

dia memberi izin.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana izin seorang gadis?” Nabi menjawab, “Jika ia diam”.

28

Dari Al-Khansa binti Khadam, bahwa ayahnya menikahkannya dengan seseorang tanpa persetujuannya padahal ia seorang janda. Rasulullah mendatanginya dan membatalkan pernikahan itu. Hadits ini diriwayatkan oleh banyak perawi kecuali Muslim.

Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah bersabda, “Anak-anak perempuan

adalah urusan para ibunya.”

Tidak diragukan lagi, hal ini menunjukan keindahan petunjuk Nabi saw. karena para ibu adalah orang terdekat, dan yang mengatahui kecenderungan hati putrinya (Kisyik, 1996:42).

Khitbah sangat dianjurkan dalam Islam karena memilik beragam hikmah dan manfaat yang akan didapatkan apabila dilaksanakan sebelum melaksanankan akad nikah.

Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahulukan ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, prilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan.ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah diantara hikmah diisyaratkan khitbah dalam Islam untuk mencapai tujuan yang muliadan impian yang agung (Azzam, 2009: 9-10).

29 3. Aqad Nikah

Setelah melakukan lamaran kepada keluarga calon pengantin dan apabila disetujui maka kedua belah keluarga akan menentukan acara pengikraran atau yang biasa disebut akad nikah.

Sebelum melakukan akad nikah ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan itu ada lima, dan masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat tertentu yaitu:

1. Calon suami, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam

b. Laki-laki c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan 2. Calon istri, syarat-syaratnaya:

a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan 3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a. Laki-laki b. Dewasa

30 c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya. 4. Saksi nikah, syarat-sayaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam

e. Dewasa

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnaya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah f. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi (Mardani, 2011:10).

Dalam syarat dan rukun diatas sesuai dengan Undang-Undang no 1 tahun 1974 pasal 7 yaitu “perkawinan hanya dizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 ( sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas ) tahun” jadi apabila belum mencukupi umur tersebut pasangan tersebut harus meminta dispensasi nikah ke pengadilan.

31

Sedangkan untuk yang mengahalangi perkawinan juga sudah diatur dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 pasal 8 yaitu “perkawinan dilarang antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau lurus ke atas.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

4. Berhubungan dengan susunan, anak susunan, saudara dan bibi/ paman susunan.

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku larangan kawin.

Sedangkan untuk perwalian dalam praktik kehidupan saat ini, dikenal ada pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum wali dalam pernikahan. Sebagian ulama mengatakan bahwa wali adalah syarat nikah dan mereka berpendapat bahwa wanita sama sekali tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebagaimana hadits dari Nabi yang artinya:”Barang siapa diantara

perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya dinyatakan batal, maka nikahnya dinyatakan batal, maka nikahnya dinyatakan batal.

32

(HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Kemudian dalam riwayat lain Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada nikah kecuali

dengan wali, dan sultan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak

mempunyai wali.”(HR.Ahmad). Ibnu Mundzir mengatakan bahwa dia tidak mengetahui seorangpun dari sahabat-sahabatnya yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat tersebut.

Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya, berpendapat lain. Mereka berpendapat bahwa perempuan berhak mengawinkan diri sendiri walaupun tanpa minta restu ayah dan wali terlebih dahulu, asalkan calon suami sekufu dengannya. Menurut mereka, hadits-hadits diatas dinilai tidak sah. Mereka beralasan bahwa dalam Al-Qur‟an selalu dinisbahkan kepada perempuan itu dan bukan pada wali seperti firman Allah SWT.,

اَذ

ّ

ا َّنُ َجَاَوْزَآ َنْحِكْيَي ْنَآ َّنُُوُو ُضْعَث َلاَط َّنَُِوَجَآ َنْغَوَبَط َءا َسًِّما ُ ُتُْلَّو َظ اَذ

ّ

اَو

َو ِ َّّ ِبِ ُنِمْؤُي ْ ُكٌُِْم َن َكَ ْنَم َِِب ُغَعوُي َ ِلََِٰذ ۗ ِفو ُرْعَمْم ِبِ ْمُ َنِْيَب اْو َضاَرَح

ِمْوَِ ْما

َنوُمَوْعَث َلا ْ ُتُْهَآَو َُلَّْعَي ُ َّّاَو ۗ ُرَِ ْظَآَو ْ ُكَُم ٰ َكَ ْزَآ ْ ُكُِمََٰذ ۗ ِرِخٓ ْلا

Artinya:

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma‟ruf. Itulah yang dinasehati kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian, itu lebih baik bagimudan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 232)

33

Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah : 234)

Dalam ayat-ayat diatas, kata nikah selalu disandarkan kepada perempuan, bukan kepada wali. Bahkan, oleh Al-Qur‟an wali dilarang menghalangi perempuan menikah dengan lelaki yang disukai. Perkawinan itu merupakan hak perempuan sepenuhnya dan ia layak menangani secara langsung tanpa meminta restu terlebih dahulu kepada wali.

Karena itu nikah yang dilakukan tetap dinyatakan sah. Hanya saja, Abu Hanifah mensyaratkan perempuan yang boleh mengawinkan diri sendiri, calon suaminya harus sekufu dengannya. Kalau ternyata calon suami tidak sekufu maka wali berhak membatalkan pernikahan itu (Takariawan 2009 : 108-109).

Dalam rukun dan syarat diatas terdapat ijab qabul, maksud dari ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baikberupa kata-kata, tulisan atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan dan ridhanya (Azzam, 2009:59).

Dalam pengucapan ijab qabul dianjurkan untuk diucapakan secara lancar dan jelas dalam satu tarikan nafas dan tanpa diselingi kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan perkataan ijab qabul tersebut. Hal ini juga

34

dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 27 yang berbunyi “ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas dan tidak berselang waktu”. Kemudian juga diatur pengucapan ijab qabul dalam pasal 29 Kompilasi Hukum Islam yaitu:

1. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai secara pribadi.

2. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria member kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

3. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Pernikahan harus diniati untuk selamanya jadi, dalam pengucapan

shighat yang digunakan dalam akad nikah hendaknya selamnya, tidak boleh dibatasi waktunya dengan dengan pemabtasan tertentu, baik dalam waktu panjang atau lama maupun waktu pendek atau sebentar. Pembatasan waktu dalam pernikahan dengan pembatasan waktu tertentu akan membatasi pemanfaatan seksual, dan ini bukan tujuan asal dari pernikahan. Tujuan pernikahan yang asal adalah ketenangan, cinta, kasih sayang, memelihara keturunan, meningkatkan keturunan, gotong royong dalam kehidupan dan kebersamaan dalam keadaan senang dan sedih. Pernikahan yang dibatasi waktu misalnya adalah perkataan seorang laki-laki kepada wanita: ”Nikahkan

35

aku dalam waktu satu bulan dengan mahar sekian”. Wanita itu menjawab: “Aku terima”. Ijab qabul tersebut dilakukan dihadapan para saksi yang telah menyampurnakan syarat (Azzam, 2009: 80).

4. Walimatul ‘Ursy

Secara bahasa, walimah berarti sempurnanya dan berkumpulnya sesuatu, sedangkan arti walimah menurut syara‟ adalah sebutan untuk hidangan makanan pada saat pernikahan. Ibnu Al-Arabi berkata, “dikatakan

aulama ar-rajulu tatkala telah menyatu antara akal pikiran dan tingkah lakunya, dan dikatakan pada ikatan (walam) karena menyatukan sebelah kaki dengan kaki yang lain, kemudian nama walimah berubah menjadi sebutan khusus untuk hidangan makanan saat nikah, dan tidak bisa diartikan pada hidangan selain pesta pernikahan (Takariawan, 2009: 130-131).

Setelah melangsungkan akad nikah biasanya dilanjutkan dengan acara walimatul „ursy, yaitu pesta nikah yang dilaksankan oleh keluarga pasangan pernikahan sebagai bentuk rasa syukur juga untuk memberi tahu tetangga, kerabat, dan kelarga jauh bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan.

Walimah merupakan sunah yang sangat dianjurkan oleh nabi sesuai dengan sabda dari nabi Muhammad saw. dari Buraidah bin Khasnif, ketika Ali meminang Fatimah r.a., ”Perkawinan harus membuat walimah.” Selanjutnya Sa‟ad berkata, “Saya akan menyumbang seekor kambing”. Sedangkan yang lain menyambut, “Saya akan menymbang gandum sekian

-36

sekian”. Dalam riwayat lain, “Maka terkumpullah dari kelompok kaum Anshar sekian gantang gandum.”(HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

Dari riwayat diatas dapat diketahui bahwa walimah sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dalam menjamu tamu undangan juga tidak perlu terlalu berlimpah atau mewah sebab nabi juga hanya memotong seekor kambing dari sumbangan sahabatnya. Hal ini terus dilanjutkan hingga sekarang dimana ketika ada tetangga yang melangsungkan pesta nikah maka tetangga tersebut akan membantu dengan cara menyumbang entah itu bumbu, daging atau tenaga hal ini juga berlaku apabila orang tersebut melangsungkan pesta nikah.

Perlu diketahui bahwa tujuan dari mengadakan acara resepsi pernikahan atau waliamah adalah untuk memberi tahu atau mengumumkan kepada tetangga sekitar, kerabat, dan sanak saudara bahwa pasangan yang mengundang tersebut telah menikah. Jadi tidak perlu melakukannya secara berlebih-lebihan sebab intinya hanya untuk memberi tahukan bahwa mereka telah menikah, nabi pun member contoh hanya dengan menyembelih seekor kambing.

Dalam menyelenggarakan walimah hendaknya perlu diperhatikan untuk tidak memunculkan unsur kemaksiatan di dalamnya. Pernikahan adalah prosesi ibadah. Oleh karena itu, tidak boleh menghadirkan kemaksiatan di dalam setiap langkah dan tahapannya.

Walimah yang merupakan salah satu rangkaian ibadah dalam pernikahan harus dibersihkan dari anasir kesyirikan dan kemaksiatan dalam

37

acara, penampilan pengantin, dekorasi dan perhiasan, maupun dalam hidangannya. Apabila terdapat kemaksiatan di dalamnya, akan merusak nilai ibadah dari walimah tersebut. Demikian pula, para tamu tidak diperbolehkan menghadiri undangan yang jelas-jelas dalam acara walimah tersebut

Dokumen terkait