• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

D. Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB)

Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam, sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku (BPOM RI, 2005).

Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1985).

Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk memenuhi persyaratan minimal tersebut, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain adalah bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia, cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes RI, 1985).

1. Proses pembuatan simplisia (Depkes RI, 1985) a. Pengumpulan bahan baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda, antara lain tergantung dari bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, lingkungan tempat tumbuh (Depkes RI, 1985).

Pada saat panen, bagian tanaman yang diambil adalah rimpangnya. Pengambilan dilakukan pada musim kering dengan tanda-tanda mengeringnya bagian atas tanaman. Dalam keadaan ini ukuran rimpang dalam keadaan besar yang maksimum (Depkes RI, 1985).

b. Sortasi basah

Sortasi basah perlu dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes RI, 1985).

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur dan air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir perlu dilakukan pencucian dalam waktu yang sesingkat mungkin (Depkes RI, 1985).

Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Apabila air yang digunakan untuk mencuci adalah kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat pada

permukaan bahan simplisia tersebut dapat mempercepat pertumbuhan mikroba. Bakteri yang umum terdapat dalam air adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter dan Escherichia. Pada simplisia akar, batang, atau buah dapat pula dilakukan pengupasan kulit luar untuk mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian besar mikroba biasanya terdapat pada permukaan bahan simplisia (Depkes RI, 1985).

d. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil tidak langsung dirajang , tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari. Penjemuran sebelum perajangan diperlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi antara bahan simplisia dan logam pisau. Rimpang diiris-iris arah melintang setebal 3-4 mm dengan pisau yang tajam ataupun dengan mesin pengiris khusus (Depkes RI, 1985), sedangkan menurut Rukmana (1995) ketebalan rajangan rimpang temulawak adalah 7-8 mm pada waktu rimpang masih segar. Setelah dijemur atau dikeringkan dalam ruangan pengering, tebal irisan menjadi 5-6 mm (DepKes, 1979).

Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi, irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu,

bahan simplisia seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk menghindari berkurangnya minyak atsiri. Selama perajangan seharusnya jumlah mikroba tidak bertambah (Depkes RI, 1985).

e. Pengeringan

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik dan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia (Depkes RI,1985).

Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau dengan menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan simplisia. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan menggunakan alat dari plastik karena menghambat aliran udara sehingga pengeringan simplisia menjadi lebih lama (Depkes RI, 1985).

Selama proses pengeringan bahan simplisia, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya face hardening, yakni bagian luar bahan sudah kering, sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini dapat disebabkan oleh irisan bahan simplisia yang terlalu tebal, suhu pengeringan yang terlalu tinggi, atau oleh suatu keadaan lain yang

menyebabkan penguapan air di permukaan bahan jauh lebih cepat dari pada difusi air dari dalam ke permukaan bahan simplisia, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan menghambat pengeringan selanjutnya. Face hardening dapat mengakibatkan kerusakan atau pembusukan di bagian dalam bahan yang dikeringkan. Simplisia rimpang temulawak dikatakan kering apabila kadar airnya 10% yang ditunjukkan dengan simplisia mudah dipatahkan (Depkes RI, 1985).

Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 - 900 C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 600 C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30- 450 C atau dengan cara pengeringan vakum, yaitu dengan mengurangi tekanan udara di dalam ruang atau lemari pengeringan sehingga tekanan kira-kira 5 mmHg. Kelembaban juga tergantung pada bahan simplisia , cara pengeringan, dan tahap-tahap selama pengeringan (Depkes RI, 1985). f. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing, seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain, misalnya kerikil dan bagian tanaman yang busuk yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Depkes RI, 1985).

2. Wadah dan penyimpanan

Penyimpanan simplisia dilakukan dalam wadah tertutup baik disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari. Wadah tertutup baik harus melindungi isinya terhadap masuknya bahan padat dari luar dan mencegah kehilangan isi waktu pengangkutan, penyimpanan dan penjualan dalam keadaan dan dengan cara biasa. Sebaiknya obat tradisional dapat tetap memenuhi persyaratan obat tradisional, meskipun sudah diedarkan dalam waktu yang lama. Wadah dan sumbatnya tidak boleh mempengaruhi obat tradisional yang disimpan di dalam wadah, baik secara kimia maupun secara fisika yang dapat mengakibatkan perubahan keamanan, kemanfaatan, dan mutu (Depkes RI, 1994).

Obat tradisional harus disimpan sedemikian rupa sehingga mencegah mikroba dari luar dan terjadinya peruraian, terhindar dari pengaruh udara, kelembaban, panas dan cahaya, disimpan pada suhu kamar adalah disimpan pada suhu 15 - 300 C (Depkes RI, 1994).

Dokumen terkait