• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Angka Lempeng Total (ALT) simplisia rimpang temulawak (Curcuma Rhizoma) dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbandingan Angka Lempeng Total (ALT) simplisia rimpang temulawak (Curcuma Rhizoma) dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) - USD Repository"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

PE RB ANDI NGAN ANGKA LE MPENG TOTAL (ALT) SIMPL ISIA RIMPANG TE MUL AWAK (Curcum ae Rhizom a)

DAL AM JAMU GODHOG DARI E MPAT PAS AR DI KOT A MADYA YO GYAKARTA DE NGAN YANG DIOLAH

SESUAI CARA PE MBUATAN S IMPLI SIA YANG B AI K

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

I Put u Chandradinat a NIM : 078114002

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PE RB ANDI NGAN ANGKA LE MPENG TOTAL (ALT) SIMPL ISIA RIMPANG TE MUL AWAK (Curcum ae Rhizom a)

DAL AM JAMU GODHOG DARI E MPAT PAS AR DI KOT A MADYA YO GYAKARTA DE NGAN YANG DIOLAH SESUAI CARA PE MBUATAN S IMPLI SIA YANG B AI K (CPSB )

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

I Put u Chandradinat a NIM : 078114002

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

“ ORANG HIDUP BAGAIKAN BERJALAN DI LORONG

PANJANG YANG GELAP, KITA TIDAK PERNAH TAhU

APA YANG ADA DI DEPAN KITA, KADANG JATUH,

TERBENTUR ITU HAL YANG WAJAR, HANYA DENGAN

KESABARAN DAN KEYAKINAN, TERUS BERJALAN

MAKA KITA AKAN SAMPAI DIUJUNG LORONG , ADA

APA DISANA? PALING TIDAK DISANA ADA CAHAYA

AGAR KITA LEBIH JELAS MELIHAT.” (Indra, 2011)

(6)
(7)

vi PRAKATA

Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha Kasih, atas segala berkat dan anugrah-Nya dalam penyelesaian skripsi. Skripsi dengan judul “Perbandingan Angka Lempeng Total (ALT) Simplisia Rimpang Temulawak (Curcumae Rhizoma) Dalam Jamu Godhog Dari Empat Pasar di Kotamadya Yogyakarta Dengan yang Diolah Sesuai

Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB)” merupakan karya ilmiah penulis untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Banyak kesulitan yang penulis hadapi dalam proses penyelesaian skripsi ini. Akan tetapi, di tengah kesulitan tersebut penulis mendapat dukungan, bimbingan, kritik dan saran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc.,Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si selaku Dosen Pembimbing atas kebijaksanaan, perhatian, dan kesabarannya dalam membimbing penyusunan skripsi ini.

(8)

vii

4. Ibu CM. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi sekaligus Ketua Tim Panitia Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

5. Laboran Laboratorium Mikrobiologi dan Farmakognosi-Fotokimia: Mas Sarwanto, mas Wagiran, dan mas Sigit atas semua bantuan yang telah diberikan.

6. Teman-teman seperjuangan penelitian yang selalu men-support dan mengingatkan : I Wayan Arditayasa, Mega Gunawan dan Raisa Wanadri P. 7. Ni Luh Winarti, I Wayan Sucipta, I Kadek Aditya Mahardika, dan Ni Ketut

Ary Widiasih yang selalu mendukung, memberi semangat, dan mendoakan. 8. Teman-teman di saat susah dan senang yang selalu menyejukkan hati

Veronica Dewi P., Margareth Christina H., Margareta Krisantini, Dinar Catur Mardianti, Titien, Fransisca Ayuningtyas Wiranti, Pia Rika Puspawati, Afni Panggar Besi dan Elisabeth Eskaria Chandra Kusuma. 9. Teman-teman angkatan 2007 khususnya FKK A ‟07.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi informasi bagi pembaca.

(9)
(10)

ix INTISARI

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu dari sembilan tanaman obat unggulan yang ditetapkan Direktorat Jenderal POM RI (Yusron, 2009). Temulawak banyak dijual di pasar tradisional sebagai jamu godhog. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994 dinyatakan perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan uji mikroba patogen, Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang Kamir (AKK) dan aflatoksin (Depkes RI, 1994).

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif yang dianalisis dengan perhitungan ALT dengan rancangan penelitian deskriptif komparatif. Nilai ALT yang diperbolehkan dalam sediaan obat tradisional rajangan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994 tidak boleh lebih dari 107 CFU/gram sampel. Perbandingan ALT simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang beredar di empat pasar tradisional di Kotamadya Yogyakarta yaitu Pasar Demangan, Beringharjo, Giwangan dan Kranggan, dianalisis secara statistik Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan bermakna atau berbeda tidak bermakna nilai ALT dibandingkan dengan yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB).

Dari data kuantitatif 5 sampel dengan 6 kali replikasi diperoleh hasil rata-rata nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan rimpang temulawak yang diolah menjadi simplisia berdasarkan CPSB memenuhi persyaratan nilai ALT rajangan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994.

Dari hasil perbandingan statistik Mann-Whitney nilai ALT sampel dari ke empat pasar dengan nilai ALT simplisia rimpang temulawak yang diolah dengan CPSB pada inkubasi 48 jam diperoleh hasil nilai ALT simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari Pasar Beringharjo dan Kranggan berbeda tidak bermakna dengan nilai ALT simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB. Nilai perbandingan ALT simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari pasar Demangan dan Giwangan berbeda bermakna dengan nilai ALT pada simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB.

(11)

x

ABSTRACT

Java turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is one of nine medicinal plants which are set by the Direktorat Jenderal POM RI as beneficial medicine plant (Yusron, 2009). Java turmeric sold in traditional markets as jamu godhog. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994 stated that need to prevent the circulation of traditional medicines that are not pass the test requirements of microbial pathogens, Total Plate Count (TPC), the enumeration of molds and yeast and aflatoxin (Depkes RI, 1994).

This research was an experimental research. The data was quantitative data which were analyzed by calculation of TPC with descriptive comparative study design. TPC value which were allowed in the preparation of traditional medicine based on Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994, were not higher than 107 CFU/g sample. Then the comparison of the TPC value of java turmeric simplicia on jamu godhog that was circulated in the four traditional markets in Yogyakarta, such as Demangan market, Beringharjo, Giwangan and Kranggan, analyzed by Mann Withney‟s statistically was done to know different significantly or different not significantly TPC value with java turmeric simplicia that was made in accordance with Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB).

The average TPC values of java turmeric simplicia on jamu godhog sold in four markets in Yogyakarta and processed into simplicia based on CPSB, which fulfill the requirement of TPC value in Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994, were obtained from the data of 5 quantitative samples with 6 times replication.

The results of Mann Whitney„s statistical comparison, the TPC value of

the four markets with the TPC value of simplicia java turmeric that was processed in accordance with CPSB on 48-hour incubation obtained the result of TPC value of java turmeric simplicia from Beringharjo and Kranggan markets were different not significantly from TPC value of java turmeric simplicia which was made in CPSB.

While the TPC value comparison of java turmeric simplicia samples from and Giwangan and Demangan markets were different significantly from TPC value of java turmeric simplicia that was made in accordance with CPSB.

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...v

PRAKATA ...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...viii

INTISARI ...ix

ABSTRACT ...x

DAFTAR ISI ...xi

DAFTAS GAMBAR ...xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvi

BAB I. PENGANTAR……….. 1

A.Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 5

2. Keaslian penelitian...5

3. Manfaat penelitian ...6

B.Tujuan Penelitian ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………... 7

(13)

xii

1. Keterangan botani ...7

2. Deskripsi tanaman ...7

3. Kandungan senyawa kimia dan kegunaan rimpang temulawak (Curcumae Rhizoma) ...8

B.Jamu Godhog ...9

C.Angka Lempeng Total (ALT) ...10

D.Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) ...13

1. Proses pembuatan simplisia (Depkes RI, 1985) ...14

2. Wadah dan penyimpanan ...18

E. Landasan Teori ... 19

F. Hipotesis ...22

BAB III. METODE PENELITIAN... 23

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ...23

B.Variabel dan Definisi Operasional ...23

1. Variabel penelitian ...23

2. Definisi operasional ...25

C.Bahan Penelitian ... 25

D.Alat Penelitian ...26

E. Tata Cara Penelitian ...26

1. Pengumpulan dan pemilihan sampel rimpang temulawak ...26

2. Pengujian ALT sampel simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB dan dari jamu godhog di empat pasar tradisional di Kotamadya Yogyakarta ...

(14)

xiii

F. Analisis Hasil ...33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 35

A.Penyiapan Rimpang Temulawak ...36

1. Pemilihan sampel jamu godhog dari empat pasar tradisional di Kotamadya Yogyakarta ...36

2. Indentifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta ...38

3. Pembuatan simplisia rimpang temulawak sesuai CPSB (Depkes RI, 1985) ...41

B.Penyerbukan Sampel Rimpang Temulawak ...44

C.Angka Lempeng Total (ALT) ...45

1. Homogenisasi sampel ...46

2. Pengenceran ... 48

3. Uji Angka Lempeng Total (ALT) ...48

D.Hasil uji Shapiro-Wilk nilai ALT pada simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB ………. 63

E. Hasil uji Mann-Whitney nilai ALT pada simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB ……….………. 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………... 72

A.Kesimpulan ...72

B.Saran ...73

DAFTAR PUSTAKA ...74

LAMPIRAN ...77

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hasil identifikasi secara makroskopis simplisia rimpang temulawak... 40 Gambar 2. Kontrol pelarut dan kontrol media... 52 Gambar 3. Perlakuan ALT inkubasi 24 jam dan 48 jam... 52 Gambar 4. Hasil uji ALT simplisia rimpang temulawak dalam jamu

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Hasil identifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB ……… 39 Tabel II. Nilai ALT simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog

yang dijual di Pasar Demangan... 54 Tabel III. Nilai ALT simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog

yang dijual di Pasar Beringharjo... 56 Tabel IV. Nilai ALT simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog

yang dijual di Pasar Giwangan... 57 Tabel V. Nilai ALT simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog

yang dijual di Pasar Kranggan………. 59

Tabel VI. Nilai ALT simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB (Depkes RI, 1985)…... 61 Tabel VII. Hasil uji normalitas nilai ALT waktu inkubasi 24 jam pada

simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai

CPSB………... 64

Tablel VIII. Hasil uji normalitas nilai ALT waktu inkubasi 48 jam pada simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai

CPSB………... 65

Tabel IX. Hasil uji Mann-Withney nilai simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai CPSB ALT inkubasi

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sampel simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB ………..……… 78 Lampiran 2. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Demangan inkubasi 24 jam ... 79 Lampiran 3. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Demangan inkubasi 48 jam... 80 Lampiran 4. Hasil uji ALT pada sampel jamu godhog yang dijual di

Pasar Demangan inkubasi 24 jam dan 48 jam... 83 Lampiran 5. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Beringharjo inkubasi 24 jam………. 84 Lampiran 6. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Beringharjo inkubasi 48 jam………. 85 Lampiran 7. Hasil uji ALT pada sampel jamu godhog yang dijual di

Pasar Beringharjo inkubasi 24 jam dan 48 jam... 88 Lampiran 8. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Giwangan inkubasi 24 jam... 89 Lampiran 9. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Giwangan inkubasi 48 jam... 90 Lampiran 10. Hasil uji ALT pada sampel jamu godhog yang dijual di

Pasar Giwangan inkubasi 24 jam dan 48 jam... 93 Lampiran 11. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Kranggan inkubasi 24 jam... 94 Lampiran 12. Nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog yang

dijual di Pasar Kranggan inkubasi 48 jam... 95 Lampiran 13. Hasil uji ALT pada sampel jamu godhog yang dijual di

Pasar Kranggan inkubasi 24 jam dan 48 jam... 98 Lampiran 14. Nilai ALT rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB

(18)

xvii

inkubasi 48 jam... 100 Lampiran 16. Hasil uji ALT rimpang temulawak yang diolah sesuai

CPSB inkubasi 24 jam dan 48 jam……… 103 Lampiran 17. Hasil analisis statistik nilai angka lempeng total (ALT)

simplisia rimpang temulawak yang terdapat pada jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan nilai ALT simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB inkubasi 24 jam...

104 Lampiran 18 Hasil analisis statistik nilai angka lempeng total (ALT)

simplisia rimpang temulawak yang terdapat pada jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan nilai ALT simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB inkubasi 48 jam……...

(19)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) oleh Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia ditetapkan sebagai salah satu dari sembilan tanaman obat unggulan yang memiliki banyak manfaat dan hampir terdapat pada setiap jenis obat tradisional Indonesia (Yusron, 2009). Bagian yang berkhasiat dari temulawak adalah rimpangnya yang mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan kalsium klorida (Agusta dan Chaerul, 1994). Minyak atsiri rimpang temulawak mengandung banyak sekali komponen yang bermanfaat, antara lain berpotensi sebagai senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, anti hipertensi, melarutkan kolesterol, merangsang air susu (laktagoga), tonik bagi ibu pasca melahirkan, peluruh haid, antibakteri, pewarna makanan dan kain, serta bahan kosmetik (Hadi,1985).

(20)

bagi industri atau pedagang jamu godhog di pasar tradisional dan pengolahannya masih dengan teknologi yang sederhana, maka keamanan, kemanfaatan, dan mutu dari jamu godhog ini tidak terjamin. Proses pengolahan jamu godhog merupakan kunci dalam menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu dari jamu godhog. Proses pengolahan ini meliputi tahapan sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan penyimpanan yang pada masing-masing tahap harus dilakukan secara higienis untuk menghindari kontaminasi mikroba. Dalam pembuatan obat tradisional khususnya jamu godhog, standar yang digunakan dalam proses pembuatan simplisia di Indonesia adalah standar Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) (Depkes RI, 1985).

Untuk menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu dari simplisia, maka diperlukan CPSB yang diikuti dengan evaluasi aspek mikrobiologis sediaan simplisia. CPSB meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan simplisia yang mutu produknya tergantung dari bahan awal dan proses produksi simplisia. Adanya penerapan CPSB diharapkan diperoleh simplisia dengan mutu yang baik dan dengan cemaran mikroba minimal.

(21)

seperti: Salmonella, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa (Depkes RI, 1994).

Bakteri kelompok Salmonella dapat menyebabkan penyakit yang membahayakan. Salmonella typhi dan S. paratyphi dapat menyebabkan penyakit demam tifoid dan paratifoid. Beberapa jenis Escherichia coli memiliki faktor virulensi dan menyebabkan gastroenteritis pada manusia dengan beberapa mekanisme yang berbeda. Pseudomonas aeruginosa adalah spesies yang paling penting dipertimbangkan bagi masyarakat, meskipun tidak menimbulkan efek jika tertelan, namun bakteri ini resisten terhadap banyak antibiotik dan dapat menghasilkan infeksi nosokomial serius jika masuk ke tubuh melalui luka atau garis intravena, penyakit meningitis dan infeksi saluran kencing. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit tidak hanya secara langsung oleh infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak langsung dengan menghasilkan racun-racun penyebab keracunan makanan dan toxic shock syndrome(World Health Organization, 2003).

(22)

Pembuatan Simplisia yang Baik yang dilakukan Arditayasa (2011) diperoleh hasil nilai AKK simplisia rimpang temulawak dari Pasar Demangan, Giwangan, dan Beringharjo tidak memenuhi persyaratan nilai AKK yang tercantum dalam KepMenKes RI No : 661/MenKes/SK/VII/1994, yaitu 104 CFU/ g sampel, sedangkan simplisia rimpang temulawak dari Pasar Kranggan memenuhi persyaratan nilai AKK yang tercantum dalam KepMenKes RI No : 661/MenKes/SK/VII/1994.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan tentang aspek mikrobiologis jamu godhog yang dilakukan oleh Gunawan dkk (2010), dan Arditayasa (2011) yang

merupakan penelitian evaluasi keamanan jamu godhog untuk melengkapi data penelitian aspek mikrobiologis jamu godhog yang beredar di Daerah istimewa Yogyakarta. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan nilai ALT pada simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai CPSB.

(23)

1. Permasalahan

a. Apakah nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB memenuhi persyaratan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994, yaitu tidak lebih dari107 CFU / gram bahan?

b. Adakah perbedaan bermakna nilai ALT rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dibandingkan dengan yang diolah menjadi simplisia berdasarkan CPSB?

2. Keaslian penelitian

Sejauh pengetahuan dan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian tentang jamu godhog berjudul “Penelitian Aspek Mikrobiologis Simplisia Jamu godhog yang Dijual di Beberapa Pasar Tradisional Daerah Istimewa

Yogyakarta” pernah diteliti oleh Gunawan dkk. (2010). Penelitian berjudul “Perbandingan Angka Lempeng Total (ALT) Rimpang Temulawak (Curcumae

Rhizoma) dalam Jamu godhog dari Empat Pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan

(24)

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai nilai ALT jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data nilai ALT yang merupakan keterangan mutu dan keamanan jamu godhog, sehingga masyarakat dapat memperoleh kualitas, keamanan dan khasiat jamu godhog tanpa adanya efek samping terhadap kesehatan masyarakat akibat cemaran bakteri.

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui nilai ALT simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB memenuhi persyaratan ataukah tidak berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994, yaitu tidak lebih dari 107 koloni / gram bahan. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna nilai ALT simplisia rimpang

(25)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) 1. Keterangan botani

Temulawak menurut Backer and van den Brink (1968) merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede, sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Tanaman ini familli Zingiberaceae, genus Curcuma, species Curcuma xanthorrhiza Roxb.

2. Deskripsi rimpang

(26)

3. Kandungan senyawa kimia dan kegunaan rimpang temulawak (Curcumae Rhizoma)

Di Indonesia satu-satunya bagian tanaman temulawak yang dimanfaatkan adalah rimpang temulawak untuk dibuat jamu godhog. Rimpang ini mengandung 48-59, 64% zat tepung, 1,6 - 2,2% kurkumin dan 1,48 - 1,63% minyak atsiri dan dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang temulawak adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anemia, anti oksidan, pencegah kanker, dan anti mikroba (Kementerian Riset dan Teknologi, 2008).

Temulawak dapat digunakan untuk obat sakit gangguan hati, demam, sakit kuning, pegal-pegal, sembelit, obat kuat (tonikum), perangsang ASI (laktogoga), obat peluruh haid (emmenagogum) (Rukmana, 1995).

B. Jamu Godhog

Salah satu jenis obat tradisional yang cukup diminati oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah adalah jamu godhog. Jamu godhog umumnya dijual di pasar-pasar tradisional, baik yang sudah

(27)

pembuatan jamu godhog belum dapat dipastikan sudah memenuhi syarat seperti yang tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 661/MenKes/ SK/VII/1994, yaitu uji mikroba patogen, Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang Kamir (AKK) dan aflatoksin (Gunawan dkk, 2010).

Rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan (menggodhog) atau penyeduhan dengan air panas (Depkes RI, 1994). Merebus (menggodhog) tanaman obat merupakan cara yang sangat mudah dan lazim dilakukan di masyarakat. Tujuan merebus tanaman obat adalah untuk memindahkan zat-zat berkasiat yang ada pada tanaman ke dalam larutan air, kemudian diminum untuk kebutuhan pengobatan (Mahendra, 2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 661/MenKes/SK/VII/1994, menyatakan bahwa persyaratan nilai Angka Lempeng Total (ALT) rajangan adalah tidak lebih dari 107 CFU/gram bahan untuk rajangan yang penggunaannya dengan cara pendidihan, tidak lebih dari 106 CFU/gram bahan untuk rajangan yang penggunaannya dengan cara penyeduhan dan kadar air tidak lebih dari 10% (Depkes RI,1994).

C. Angka Lempeng Total (ALT)

(28)

persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu. Parameter yang dipersyaratkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/ VII/1994 adalah uji mikroba patogen, Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang Kamir (AKK) dan aflatoksin (Depkes RI, 1994).

Mikroba patogen adalah semua mikroba yang dapat menyebabkan orang menjadi sakit, maka uji mikroba patogen pada sediaan obat tradisional harus negatif. Obat tradisional untuk penggunaan obat dalam perlu diwaspadai adanya bakteri seperti: Salmonella, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (Depkes RI, 1994).

(29)

dapat menyebabkan penyakit tidak hanya secara langsung oleh infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak langsung dengan menghasilkan racun-racun yang menyebabkan keracunan makanan dan toxic shock syndrome(WHO, 2003).

Angka Lempeng Total (ALT) merupakan metode yang digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofilik yang terdapat dalam sediaan obat tradisional. Prinsip dasar pengujian ALT, yaitu pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofilik setelah cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai (Balai POM RI, 2006). Bakteri mesofilik mampu tumbuh pada suhu tubuh manusia, yaitu pada suhu 370C. Suhu optimum pertumbuhan bakteri mesofilik adalah 35 - 450C (Cappucino, 2008). Nilai ALT harus ditekan sekecil mungkin. Meskipun bakteri aerob mesofilik ada yang tidak membahayakan bagi kesehatan, tetapi kadang-kadang karena pengaruh suhu optimum dan ketersediaan nutrisi yang memadai bakteri mesofilik menjadi mikroba yang membahayakan (DepKes RI, 1994).

Bakteri aerob mesofilik merupakan bakteri indikator, yaitu golongan atau spesies bakteri yang kehadirannya dalam makanan dalam jumlah di atas batas tertentu merupakan pertanda bahwa makanan tersebut berada dalam kondisi yang memungkinkan berkembang biaknya mikroba patogen. Mikroba indikator digunakan untuk menilai keamanan dan mutu mikrobiologi makanan (BPOM RI, 2008).

(30)

count. Pada metode ini setiap sel mikroba yang hidup dalam suspensi akan tumbuh

(31)

D. Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB )

Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam, sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku (BPOM RI, 2005).

Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1985).

Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk memenuhi persyaratan minimal tersebut, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain adalah bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia, cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes RI, 1985).

1. Proses pembuatan simplisia (Depkes RI, 1985) a. Pengumpulan bahan baku

(32)

Pada saat panen, bagian tanaman yang diambil adalah rimpangnya. Pengambilan dilakukan pada musim kering dengan tanda-tanda mengeringnya bagian atas tanaman. Dalam keadaan ini ukuran rimpang dalam keadaan besar yang maksimum (Depkes RI, 1985).

b. Sortasi basah

Sortasi basah perlu dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes RI, 1985).

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur dan air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir perlu dilakukan pencucian dalam waktu yang sesingkat mungkin (Depkes RI, 1985).

(33)

permukaan bahan simplisia tersebut dapat mempercepat pertumbuhan mikroba. Bakteri yang umum terdapat dalam air adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter dan Escherichia. Pada simplisia akar, batang,

atau buah dapat pula dilakukan pengupasan kulit luar untuk mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian besar mikroba biasanya terdapat pada permukaan bahan simplisia (Depkes RI, 1985).

d. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil tidak langsung dirajang , tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari. Penjemuran sebelum perajangan diperlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi antara bahan simplisia dan logam pisau. Rimpang diiris-iris arah melintang setebal 3-4 mm dengan pisau yang tajam ataupun dengan mesin pengiris khusus (Depkes RI, 1985), sedangkan menurut Rukmana (1995) ketebalan rajangan rimpang temulawak adalah 7-8 mm pada waktu rimpang masih segar. Setelah dijemur atau dikeringkan dalam ruangan pengering, tebal irisan menjadi 5-6 mm (DepKes, 1979).

(34)

bahan simplisia seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk menghindari berkurangnya minyak atsiri. Selama perajangan seharusnya jumlah mikroba tidak bertambah (Depkes RI, 1985).

e. Pengeringan

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik dan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia (Depkes RI,1985).

Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau dengan menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan simplisia. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan menggunakan alat dari plastik karena menghambat aliran udara sehingga pengeringan simplisia menjadi lebih lama (Depkes RI, 1985).

(35)

menyebabkan penguapan air di permukaan bahan jauh lebih cepat dari pada difusi air dari dalam ke permukaan bahan simplisia, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan menghambat pengeringan selanjutnya. Face hardening dapat mengakibatkan kerusakan atau pembusukan di bagian dalam bahan yang dikeringkan. Simplisia rimpang temulawak dikatakan kering apabila kadar airnya 10% yang ditunjukkan dengan simplisia mudah dipatahkan (Depkes RI, 1985).

Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 - 900 C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 600 C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30- 450 C atau dengan cara pengeringan vakum, yaitu dengan mengurangi tekanan udara di dalam ruang atau lemari pengeringan sehingga tekanan kira-kira 5 mmHg. Kelembaban juga tergantung pada bahan simplisia , cara pengeringan, dan tahap-tahap selama pengeringan (Depkes RI, 1985). f. Sortasi kering

(36)

2. Wadah dan penyimpanan

Penyimpanan simplisia dilakukan dalam wadah tertutup baik disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari. Wadah tertutup baik harus melindungi isinya terhadap masuknya bahan padat dari luar dan mencegah kehilangan isi waktu pengangkutan, penyimpanan dan penjualan dalam keadaan dan dengan cara biasa. Sebaiknya obat tradisional dapat tetap memenuhi persyaratan obat tradisional, meskipun sudah diedarkan dalam waktu yang lama. Wadah dan sumbatnya tidak boleh mempengaruhi obat tradisional yang disimpan di dalam wadah, baik secara kimia maupun secara fisika yang dapat mengakibatkan perubahan keamanan, kemanfaatan, dan mutu (Depkes RI, 1994).

Obat tradisional harus disimpan sedemikian rupa sehingga mencegah mikroba dari luar dan terjadinya peruraian, terhindar dari pengaruh udara, kelembaban, panas dan cahaya, disimpan pada suhu kamar adalah disimpan pada suhu 15 - 300 C (Depkes RI, 1994).

E. Landasan teori

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu dari sembilan tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak manfaat (Yusron, 2009). Rimpang temulawak ini banyak dijual dalam bentuk jamu godhog. Jamu godhog biasanya dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga yang

(37)

terbatas, sehingga industri jamu godhog ini tidak memerlukan ijin usaha industri sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 246/MenKes/Per/V/1990 pasal 2 (Depkes RI, 1990). Tidak adanya ijin usaha maka keamanan, kemanfaatan, dan mutu dari jamu godhog ini tidak terjamin.

Menurut Gay dan Diehl (cit.,Sigit, 2003), untuk penelitian deskriptif jumlah sampel yang digunakan minimum 10% dari jumlah populasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih empat pasar dari 31 pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan metode Simple Random Sampling (cara undian), yaitu Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, dan Pasar Giwangan.

Proses pengolahan jamu godhog merupakan kunci dalam menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu dari jamu godhog. Dalam pembuatan obat tradisional, khususnya simplisia rajangan, standar yang digunakan dalam proses pembuatan obat tradisional di Indonesia adalah standar Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB). CPSB meliputi beberapa tahapan standar, yaitu sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, dan sortasi kering.

(38)

simplisia rimpang temulawak adalah sortasi kering yang bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Depkes RI, 1985).

Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MenKes/SK/VII/1994 menyatakan bahwa perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu. Parameter yang dipersyaratkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No : 661/MenKes/SK/ VII/1994 adalah uji mikroba patogen, Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang Kamir (AKK) dan aflatoksin. Obat tradisional untuk penggunaan obat dalam perlu diwaspadai adanya mikroba seperti: Salmonella, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus (Depkes RI, 1994). Mikroba-mikroba tersebut dapat menyebabkan penyakit demam tifoid, gastroenteritis, infeksi nosokomial, keracunan makanan dan toxic shock syndrome(WHO, 2003).

(39)

sekecil mungkin. Meskipun bakteri aerob mesofilik ada yang tidak membahayakan bagi kesehatan, tetapi kadang-kadang karena pengaruh suhu optimum dan ketersediaan nutrisi yang memadai bakteri mesofilik menjadi mikroba yang membahayakan (Depkes RI,1994).

Pada penelitian ini dilakukan perbandingan nilai ALT pada simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang diolah sesuai CPSB. Hasil perbandingan dari nilai ALT yang diperoleh secara tidak langsung menggambarkan seberapa tingkat penerapan cara pembuatan simplisia yang baik pada produsen jamu godhog. Nilai ALT simplisia rimpang temulawak yang dibuat sesuai cara pembuatan simplisia yang baik dibandingkan dengan simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari ke empat pasar tradisional menggunakan analisis statistik normalitas data Shapiro-Wilk kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk melihat apakah perbedaan nilai ALT-nya bermakna atau tidak bermakna.

F. Hipotesis

(40)

22

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian deskriptif-komparatif, karena penelitian ini menggambarkan nilai ALT dari masing-masing sampel yang kemudian dibandingkan dengan persyaratan nilai ALT obat tradisional yang tercantum dalam KepMenKes No: 661/MenKes/SK/VII/1994 yaitu tidak melebihi 107 CFU/gram sampel. Nilai ALT masing-masing sampel dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta yaitu Pasar Demangan, Beringharjo, Giwangan dan Kranggan, kemudian dibandingkan dengan sampel simplisia yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) menggunakan analisis statistik, yaitu uji normalitas data Shapiro-Wilk dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan bermakna. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Farmakognosi Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas

(41)

Pasar Giwangan) serta rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan yang diolah menjadi simplisia rajangan berdasarkan CPSB (Depkes RI, 1985).

b. Variabel tergantung

Nilai ALT dari simplisia rimpang kering temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta serta nilai ALT rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang diolah menjadi simplisia rajangan berdasarkan CPSB (Depkes RI, 1985).

c. Variabel pengacau terkendali

1) Untuk simplisia kering temulawak dalam jamu godhog :

Suhu inkubasi (350C), lama inkubasi (24 – 48 jam), media pertumbuhan bakteri aerob mesofilik Nutrien Agar (NA), asal rimpang temulawak (Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan).

2) Untuk simplisa yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik : Waktu panen (10 bulan), umur temulawak (10 bulan), suhu pengeringan oven (500C), tebal rajangan (3-4 mm), lama pengeringan (± 10 jam), suhu inkubasi (350C), lama inkubasi (24 – 48 jam), media pertumbuhan bakteri Nutrien Agar ( NA). d. Variabel pengacau tak terkendali

1) Untuk simplisia kering temulawak dalam jamu godhog :

(42)

2. Definisi Operasional

a. Jamu godhog adalah jamu yang berupa rajangan bagian tanaman obat dalam kemasan plastik bening yang berisi simplisia rimpang temulawak, digodhog atau direbus sebelum diminum dan diijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta yaitu Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, Pasar Giwangan dan Pasar Kranggan. b. Simplisia rimpang kering temulawak adalah rimpang temulawak yang berasal dari

jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta yaitu Pasar Demangan,

Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan yang dibeli pada bulan Februari 2011.

c. Rimpang segar temulawak diperoleh dari Pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan Februari 2011, kemudian diolah menjadi simplisia berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (Depkes RI, 1985).

d. Angka Lempeng Total (ALT) merupakan jumlah bakteri aerob mesofilik yang terdapat dalam simplisia rimpang temulawak yang dianalisis sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1992).

e. Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) adalah standar proses pengolahan rimpang temulawak menjadi simplisia rimpang temulawak berdasarkan buku Cara Pembuatan Simplisia (Depkes RI, 1985).

C. Bahan Penelitian

(43)

Beringharjo, dan Pasar Giwangan), rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang di panen pada bulan Februari 2011 yang diolah menjadi simplisia berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik. Nutrien Agar (NA), Buffered Pepton Water (BPW), Triphenyl Tetrazolium chloride 1% (TTC 1%) dan aquadest, etanol 70%.

D. Alat Penelitian

Microbiological Safety Cabinet (MSC), Autoklaf, Inkubator (Hereaus), Vortex (Stuart Scientific), Oven (Memmert model 400), Hot plate (Heidolph MR 2002), Colony counter (Electric Bactery Colony Counter Healt®), cawan Petri, ayakan, pipet tetes, tabung reaksi, Erlenmeyer, Gelas Piala, gelas ukur, neraca analitik, lampu spiritus, stirer magnetic, dan alat-alat gelas.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan dan pemilihan sampel rimpang temulawak

Penelitian ini menggunakan dua jenis sampel, yaitu:

a. Simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta

1) Penentuan pasar

(44)

Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan. Dipilih satu pedagang dan digunakan satu sampel dari masing-masing pedagang (Gunawan dkk., 2010). Dari masing-masing pasar yang terpilih tersebut, dipilih satu pedagang jamu godhog menggunakan metode convinience sampling (sampling perkoleh).

2) Identifikasi simplisia rimpang temulawak

Identifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Giwangan dengan cara: diambil sebanyak 15 g dan diuji secara organoleptik dan makroskopis menurut buku panduan determinasi tanaman (Depkes RI, 1979) yaitu bau aromatik, rasa tajam dan pahit, keping tipis berbentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 - 5 mm, permukaan luar berkerut, warna coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit, tebal 3 - 4 mmm, warna kuning jingga sampai coklat jingga terang.

b. Simplisia rimpang temulawak yang diolah menjadi simplisia berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (Depkes RI, 1985)

1) Pengumpulan rimpang segar temulawak

(45)

berumur 10 bulan, belum membusuk, permukaannya kering, tidak bertunas, dan hanya sedikit kotoran yang menempel pada permukaan rimpang.

2) Tahapan pembuatan simplisia rimpang temulawak (DepKes RI, 1985)

Rimpang segar temulawak disortasi basah untuk membuang kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia seperti tanah, kerikil, rumput, akar yang telah rusak, dan pengotor lainnya. Hasil sortasi basah kemudian dicuci menggunakan air mengalir dan disikat untuk menghilangkan kotoran yang menempel di permukaan rimpang.

Perajangan dilakukan ketika rimpang sudah bersih dengan pisau stainless steel sehingga diperoleh irisan dan potongan dengan ukuran yang dikehendaki (3-4

mm). Pengeringan dilakukan dalam oven dengan suhu 500 C selama ± 10 jam atau sampai kadar air simplisia kurang dari 10%, yaitu ditunjukkan dengan simplisa yang mudah dipatahkan.

Simplisa yang sudah kering dipisahkan dari benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia kering. Simplisia yang sudah dipisahkan dari benda-benda asing, kemudian disimpan dalam wadah plastik tertutup rapat pada suhu kamar 15-300 C, terhindar dari cemaran mikrobia dari luar, panas, cahaya, kelembaban dan pengaruh udara dari luar.

c. Pembuatan serbuk sampel rimpang temulawak

(46)

kapas beralkohol 70%, dan ditunggu hingga kering. Sampel simplisia rimpang temulawak diserbuk dengan blender yang telah dibersihkan. Serbuk hasil pemblenderan diayak dengan pengayakan tepung kemudian dilakukan homogenisasi.

2. Pengujian ALT sampel simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai CPSB dan dari jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta.

a. Pembuatan media dan larutan pengencer 1) Media Nutrien agar (NA)

Media yang digunakan adalah Nutrient agar (NA) yang dibuat dengan cara menimbang 20 gram serbuk NA dan dilarutkan dalam 1 liter air suling, dipanaskan sampai mendidih (sambil diaduk). Kemudian disterilkan pada suhu 1210C selama 15 menit dengan autoklaf. Kemudian ditambahkan Triphenyl Tertrazolium Chloride 1% ( TTC 1%) di dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC).

2) Larutan pengencer Buffered Pepton Water (BPW)

Pembuatan larutan pengencer Buffered Pepton Water (BPW) dibuat dengan cara menimbang 20 gram serbuk BPW dilarutkan dalam 1 liter air suling dan diukur pH 7,0 ± 1. Kemudian disterilkan dengan autoklaf 1210C selama 15 menit.

b. Homogenisasi sampel

(47)

sampel kurang dari 10 g, maka pengambilan cuplikan dan pengencer disesuaikan hingga diperoleh suspensi pengenceran 1 : 10 dan dikocok homogen. Dalam penelitian ini 1 g sampel ditambahkan dengan 9 ml BPW dan masing-masing sampel direplikasi 6 kali (Balai POM RI, 2006).

c. Uji Angka Lempeng Total (ALT)

Disiapkan 5 buah tabung reaksi atau lebih yang masing-masing telah diisi dengan 9 ml pengencer BPW untuk masing-masing replikasi. Dari hasil homogenisasi pada penyiapan contoh dipipet pengenceran 10-1 ml sebanyak 1 ml ke dalam tabung yang berisi pengencer BPW pertama hingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dikocok sampai homogen dengan vortex. Kemudian dibuat pengenceran selanjutnya hingga pengenceran 10-6 atau sesuai dengan yang diperlukan. Dipipet 1ml BPW yang berisi sampel dari masing-masing pengenceran dan dituangkan pada cawan petri dan dibuat duplo. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15 ml media NA (45±10C) kemudian segera cawan petri digoyang sambil diputar agar suspensi tersebar merata (pour plate) (Badan Standarisasi Nasional, 1992).

(48)

Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung, cara perhitungan hasil dilakukan sesuai tata cara perhitungan halaman 30-32 Perlakuan pengujian ALT tersebut dilakukan terhadap sampel rimpang kering temulawak yang dibuat sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik dan sampel rimpang temulawak yang berasal dari empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan masing-masing 6 kali replikasi.

d. Cara menganalisis hasil pengujian sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1992)

1) Dipilih cawan dari satu pengenceran yang menunjukan jumlah koloni antara 25-250 setiap cawan. Dihitung semua koloni dalam cawan petri dengan menggunakan alat penghitung koloni (Colony Counter). Dihitung rata-rata jumlah koloni dan dikalikan dengan faktor pengenceran dan dinyatakan hasilnya sebagai jumlah bakteri per mililiter atau gram

2) Jika salah satu dari dua cawan petri terdapat jumlah koloni lebih kecil dari 25 atau lebih besar dari 250, dihitung rata-rata jumlah koloni, dikalikan dengan faktor pengenceran dan dinyatakan hasilnya sebagai jumlah bakteri per gram 3) Jika hasil dari 2 pengenceran jumlahnya berturut-turut terletak antara 25-250

(49)

4) Jika rata-rata jumlah koloni masing-masing petri tidak terletak antara 25 dan 250 koloni, dihitung jumlah koloni seperti pada butir a dan b di atas, dan dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per gram atau lebih.

5) Jumlah koloni dari semua pengenceran lebih dari 250 koloni, maka setiap dua cawan petri dengan pengenceran tertinggi dibagi dalam 2,4, atau 8 sektor. Dihitung jumlah koloni dalam satu bagian atau lebih. Untuk mendapatkan jumlah koloni dalam satu cawan petri, dihitung rata-rata jumlah koloni dan kalikan dengan faktor pembagi dan pengenceran. Dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per gram

6) Jika dalam 1/8 bagian cawan petri terdapat lebih dari 200 koloni, maka jumlah koloni yang didapat = 8 x 200 (1600), dikalikan dengan faktor pengenceran dan dinyatakan hasilnya sebagai jumlah bakteri perkiraan permililiter atau gram lebih besar dari jumlah yang didapat (lebih besar dari 1600 x faktor pengenceran) 7) Jika tidak ada koloni yang tumbuh dalam cawan petri, dinyatakan jumlah bakteri

perkiraan lebih kecil dari satu dikalikan dengan pengenceran terendah (< 10) 8) Menghitung koloni perambat (spreader)

Ada 3 macam perambatan pada koloni, yaitu : a) Merupakan rantai yang tidak terpisah

b) Perambatan yang terjadi di antara dasar cawan petri dan pembenihan c) Perambatan yang terjadi pada pinggir atau permukaan pembenihan.

(50)

yang terpisah, maka tiap sumber dihitung sebagai 1 (satu) koloni. Bila ada (2) dan (3) terjadi maka sebaiknya pemeriksaan diulangi karena koloni dalam keadaan semacam ini agak sukar dihitung

e. Cara menghitung dan membulatkan angka

Dalam melaporkan jumlah koloni atau jumlah koloni perkiraan hanya 2 angka penting yang digunakan, yaitu angka yang pertama dan ke dua (di mulai dari kiri), sedangkan angka yang ke tiga diganti dengan 0 apabila kurang dari 5 dan apabila 5 atau lebih dijadikan 1 yang ditambah pada angka yang ke dua.

Contoh: 523.000 dilaporkan sebagai 520.000 (5.2 x 105) 83.600 dilaporkan sebagai 84.000 (8.4 x 104)

F. Analisis Hasil

(51)
(52)

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jamu godhog masih banyak diminati oleh masyarakat karena harganya yang

terjangkau dan khasiatnya yang sudah dirasakan turun-temurun. Jamu godhog diproduksi dengan teknologi yang sederhana dan hanya dipasarkan secara terbatas, sehingga industri jamu godhog ini tidak memerlukan ijin usaha industri sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/MenKes/Per/V/1990 pasal 2 (Depkes RI, 1990). Karena tidak adanya ijin usaha bagi industri atau pedagang jamu godhog di pasar tradisional dan pengolahannya masih dengan teknologi yang sederhana, maka keamanan, kemanfaatan, dan mutu dari jamu godhog ini tidak terjamin. Penelitian perbandingan angka lempeng total (ALT) pada simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang

dibuat sesuai CPSB (Depkes RI, 1985) merupakan salah satu evaluasi keamanan dari jamu godhog yang dapat memberikan jaminan keamanan bagi konsumen jamu

godhog terhadap efek samping yang dapat ditimbulkan oleh cemaran bakteri yang

terdapat pada jamu godhog.

(53)

Kapang Kamir (AKK) Simplisia Rimpang Temulwak (Curcumae Rhizoma) dalam Jamu Godhog dari Empat Pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan yang Diolah Sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (CPSB) yang dilakukan Arditayasa (2011) diperoleh hasil nilai AKK simplisia rimpang temulawak dari Pasar Demangan, Giwangan, dan Beringharjo tidak memenuhi persyaratan nilai AKK, sedangkan simplisia rimpang temulawak dari Pasar Kranggan memenuhi persyaratan nilai AKK yang tercantum dalam KepMenKes RI No : 661/MenKes/SK/VII/1994, yaitu 104 CFU/ g sampel.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan tentang aspek mikrobiologis jamu godhog yang dilakukan oleh Gunawan dkk (2010), dan Arditayasa (2011) yang

merupakan penelitian evaluasi keamanan jamu godhog untuk melengkapi data penelitian aspek mikrobiologis jamu godhog yang beredar di Daerah istimewa Yogyakarta.

A. Penyiapan Rimpang Temulawak

1.Pemilihan sampel jamu godhog dari empat pasar tradisional di Kotamadya Yogyakarta

Di Kotamadya Yogyakarta terdapat 31 pasar tradisional. Menurut Gay dan Diehl (cit.,Sigit, 2003), untuk penelitian deskriptif jumlah sampel yang digunakan minimum 10% dari jumlah populasi, sehingga dipilih empat pasar sebagai lokasi penelitian ini.

(54)

Yogyakarta memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Setelah melakukan pengundian, empat pasar pasar yang terpilih adalah Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, dan Pasar Giwangan.

Dari masing-masing pasar yang terpilih tersebut, dipilih 1 pedagang jamu godhog menggunakan metode Convinience sampling (sampling perkoleh). Metode ini

dipilih karena populasi pedagang jamu godhog yang tidak homogen (Sigit, 2003). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti, para penjual jamu godhog di pasar-pasar tradisional biasanya kurang memperhatikan kondisi

penyimpanan yang sesuai untuk simplisia yang terdapat dalam jamu godhog, seperti kelembaban dan suhu tempat penyimpanan. Kondisi penyimpanan yang terlalu lembab dapat menyebabkan peningkatan pertumbuahan bakteri yang dapat berakibat terhadap berkurangnya senyawa berkhasiat akibat degradasi oleh bakteri dan menjadikan jamu godhog tidak aman dikonsumsi karena jumlah cemaran bakterinya melewati batas minimal yang ditetapkan, yaitu tidak lebih dari 107 CFU/g sampel. Jamu godhog yang dijual di pasar tradisional biasanya hanya dibungkus dengan

(55)

Sebagian besar jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta yaitu Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, Pasar Giwangan, dan Pasar Kranggan terdapat rimpang temulawak. Hal ini dikarenakan rimpang temulawak mempunyai banyak khasiat sehingga banyak produsen jamu godhog yang manambahkan temulawak resep jamu godhog untuk penyakit yang berbeda, misalnya untuk diabetes, kanker dan anti hipertensi. Menurut Rachman (2008) Jawa Tengah merupakan sentra tani temulawak dan salah satunya adalah di daerah Borobudur dan para produsen jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta memperoleh rimpang temulawak dari daerah Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

2. Identifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta

(56)

Tabel I. Hasil identifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog

yang dari di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan yang diolah sesuai CPSB rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm, permukaan luar berkerut, warna coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata,sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit, tebal 3 mm sampai 4 mm.

Rimpang tengah 6 cm, tebal 3 mm, permukaan luar berkerut, warna coklat kuning, bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, korteks

(57)

A B

C D

E

Gambar 1. Hasil identifikasi secara makroskopis simplisia rimpang temulawak Keterangan :

(58)

Berdasarkan dari hasil identifikasi yang terdapat pada tabel I, terdapat kesesuaian ciri-ciri persyaratan organoleptik dan makroskopis rimpang temulawak antara sampel dengan yang terdapat pada panduan determinasi tanaman temulawak (Depkes RI, 1979), sehingga dapat di pastikan bahwa sampel simplisia yang di analisis merupakan simplisia rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).

3. Pembuatan simplisia rimpang temulawak sesuai CPSB (DepKes RI, 1985) Rimpang temulawak segar yang yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan Februari 2011. Kriteria pemilihan rimpang segar temulawak adalah ukurannya besar, dipanen ± berumur 10 bulan, belum membusuk, permukaannya kering, tidak bertunas, dan hanya sedikit kotoran yang menempel pada permukaan rimpang. Dipilih rimpang segar temulawak yang belum membusuk, permukaannya kering dan hanya sedikit kotoran yang menempel pada permukaan rimpang bertujuan untuk mengurangi cemaran mikroba sebelum memasuki proses pembuatan simplisia. Menurut Rukmana (1995), pemilihan rimpang temulawak yang berumur 10 bulan dan tidak bertunas karena pada umur 9-10 bulan tanaman temulawak sudah siap panen dan kandungan senyawa berkhasiat dari rimpang temulawak paling tinggi. Ciri-ciri umum rimpang temulawak yang berumur 10 bulan adalah rimpang berukuran besar-besar serta berwarna kuning-kotor.

(59)

temulawak disortasi basah dengan tujuan untuk membuang kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia seperti tanah, kerikil, rumput, akar yang telah rusak, dan pengotor lainnya. Tanah mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes RI,1985).

Hasil sortasi basah kemudian dicuci menggunakan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel di permukaan rimpang. Pencucian dilakukan dengan air sumur. Digunakan air yang mengalir agar sisa-sisa air cucian yang kotor tidak kembali mencemari rimpang temulawak. Jika air yang digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba yang ada pada permukaan simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan mikroba tersebut (Depkes RI,1985).

Perajangan dilakukan ketika rimpang sudah bersih dengan pisau stainless steel sehingga diperoleh irisan dan potongan dengan ukuran yang dikehendaki, yaitu

(60)

bahan simplisia seperti temulawak dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk menghindari berkurangnya minyak atsiri (Depkes RI,1985).

Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan dan pengepakan. Tanaman yang baru diambil tidak langsung dirajang, tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari. Penjemuran sebelum perajangan di perlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi antara bahan simplisia dan logam pisau. Untuk mencegah perubahan kimia senyawa berkhasiat yang terdapat pada bahan simplisia pada saat pengeringan, untuk bahan simplisia yang memerlukan perajangan perlu diatur perajangannya, sehingga simplisia pada saat pengeringan tidak mengalami kerusakan (Depkes RI,1985).

(61)

Simplisia yang sudah kering dilakukan sortasi kering yaitu simplisia dipisahkan dari benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia kering. Pada simplisia bentuk rimpang, jumlah akar yang melekat pada rimpang terlampau besar dan harus dibuang. Dengan demikian pula adanya partikel-partikel pasir, benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang untuk menjaga higienitas dari simplisia (Depkes RI,1985).

Simplisia yang sudah dipisahkan dari benda-benda asing kemudian

disimpan dalam wadah plastik tertutup rapat pada suhu kamar 15-300 C. Pada bahan obat yang tempat penyimpanannya tidak tertutup rapat, dapat dipastikan bahan tersebut akan cepat lembab sehingga memicu timbulnnya mikroba serta simplisia akan menjadi lapuk dan warna simplisia akan berubah (Mahendra, 2006).

B. Pembuatan Serbuk Sampel Rimpang Temulawak

Sebelum melakukan homogenisasi dilakukan penyerbukan sampel simplisia rimpang temulawak. Menurut Badan POM RI (2008), penyerbukan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sampel sehingga sel bakteri yang terlindung partikel sampel dapat terbebaskan dan untuk memperoleh distribusi bakteri sebaik mungkin.

(62)

menempel pada dinding blender. Mikroba yang terdapat pada blender dapat mengganggu perhitungan ALT sampel, sehingga mikroba tersebut harus dikurangi agar mikroba yang terhitung pada pengujian ALT hanya berasal dari sampel.

Serbuk simplisia rimpang temulawak hasil penyerbukan kemudian diayak dengan pengayak tepung. Tujuan pengayakan adalah untuk mendapatkan ukuran partikel yang seragam (Voigt,1995) dan ukurannya tidak melebihi ukuran lubang pipet volume 1 ml. Bila ukuran serbuk melebihi lubang pipet volume 1 ml, serbuk dapat menyumbat lubang pipet volume 1 ml yang dapat mengganggu proses pengenceran. Setelah serbuk diayak dilakukan proses homogenisasi.

C. Angka Lempeng Total (ALT)

Uji Angka Lempeng Total (ALT) merupakan metode yang digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofilik yang terdapat dalam sediaan obat tradisional. Prinsip cara pengujian ALT yaitu pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofilik setelah cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai (Balai POM RI, 2006).

(63)

Penggunaan obat tradisional perlu diwaspadai adanya mikroba patogen seperti: Salmonella, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa (Depkes RI, 1994). Bakteri kelompok Salmonella dapat menyebabkan penyakit demam tifoid dan paratifoid. Bakteri Escherichia coli memiliki faktor virulensi dan menyebabkan gastroenteritis pada manusia. Pseudomonas aeruginosa adalah spesies yang paling penting dipertimbangkan bagi

masyarakat. Meskipun tidak menimbulkan efek jika tertelan, namun P. aeruginosa ini resisten terhadap banyak antibiotik dan dapat menghasilkan infeksi nosokomial serius jika memperoleh akses masuk ke tubuh melalui luka atau garis intravena. Staphylococcus aureus menyebabkan penyakit tidak hanya secara langsung oleh

infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak langsung dengan menghasilkan racun-racun yang bertanggung jawab untuk keracunan makanan dan toxic shock syndrome(WHO, 2003).

1. Homogenisasi sampel

Dasar dari homogenisasi adalah untuk membebaskan sel-sel bakteri yang terlindung oleh partikel-partikel dalam sampel dan untuk menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin terganggu kelangsungan hidupnya karena kondisi yang kurang menguntungkan di dalam sampel (Hadioetomo, 1985). Homogenisasi sampel merupakan cara penyiapan sampel untuk memperoleh distribusi bakteri sebaik mungkin di dalam sampel yang ditetapkan (Badan Standarisasi Nasional, 1992).

(64)

tidak sesuai untuk pertumbuhan bakteri karena pada prinsipnya mikroba membutuhkan sejumlah air untuk dapat tumbuh (Fardiaz, 1992). Menurut DepKes RI (1985), jika kadar air dalam simplisia lebih dari 10% maka proses enzimatik masih dapat berlangsung sehingga menyebabkan mikrobia dapat tumbuh. Sedangkan jika kadar air simplisia kurang dari 10% proses enzimatik tidak berlangsung dan mikrobia tidak dapat tumbuh dengan baik.

Sebelum melakukan analisis ALT, perlu dilakukan homogenisasi sampel dalam larutan pengencer Buffered Peptone Water (BPW). Menurut Hadioetomo (1985), homogenisasi berguna untuk membebaskan sel-sel mikrobia yang terhalangi oleh partikel dalam sampel dan untuk menggiatkan kembali sel-sel mikrobia yang mungkin terganggu kelangsungan hidupnya karena kondisi yang kurang menguntungkan di dalam sampel.

(65)

Homogenisasi dilakukan dengan cara mengencerkan 1 g sampel dalam 9 ml BPW di dekat nyala api Bunsen di dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC) sehingga didapatkan suspensi sampel dengan pengenceran 10-1. Homogenisasi dilakukan di dekat nyala api bunsen di dalam MSC untuk menciptakan kondisi aseptis.

2. Pengenceran

Pada penelitian ini dilakukan pengenceran suspensi sampel dari 10-1 sampai 10-6 (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Pengenceran dilakukan untuk memperoleh koloni bakteri dengan jumlah 25 sampai dengan 250 koloni sehingga mempermudah perhitungan. Jika tidak dilakukan pengenceran, maka koloni bakteri akan sangat pekat karena konsentrasi bakteri dalam suspensi tidak diketahui sehingga perhitungan koloni akan sulit dilakukan (Tarigan, 1988).

(66)

3. Uji Angka Lempeng Total (ALT)

Pengujian ALT memiliki prinsip yaitu pertumbuhan bakteri mesofilik setelah sampel diinkubasi dalam pembenihan yang cocok selama 24-48 jam pada suhu 350 C. Bakteri mesofilik mempunyai suhu pertumbuhan optimum antara 20-450C (Atlas, 1986). Penghambatan pertumbuhan fungi dilakukan dengan adanya suhu inkubasi yaitu 350C. Suhu optimum pertumbuhan fungi adalah pada suhu 25-300C, sedangkan suhu optimum pertumbuhan bakteri adalah 25-450C. Sehingga dipilih suhu 350C karena lebih memungkinkan bakteri tumbuh lebih baik daripada fungi.

Pada penelitian ini akan dilihat jumlah cemaran bakteri yang mencemari simplisia rimpang temulawak pada jamu godhog yang dijual di empat pasar di daerah Kotamadya Yogyakarta yaitu Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, dan Pasar Giwangan dan simplisia rimpang temulawak yang dibuat sesuai dengan CPSB. Masing-masing sampel direplikasi sebanyak 6 kali, tiap-tiap replikasi dibuat pengenceran sampai dengan 10-6. Untuk perhitungan ALT, tiap-tiap pengenceran dari 10-1 sampai 10-6 dibuat duplo. Tujuan pengujian ALT secara duplo untuk meningkatkan akurasi dari perhitungan ALT (Cappucino, 2008).

(67)

suatu polisakarida asam yang diekstraksi dari ganggang merah yang ideal untuk pembenihan mikroba di media padat.

Sel bakteri yang ditumbuhkan dalam pembenihan media padat, maka setiap sel tersebut akan tumbuh dan membentuk koloni yang terpisah. Setelah media NA disterilkan dan suhunya sekitar 45±10C, media ditambahkan pereaksi Triphenyl Tetrazolium Chloride (TTC). Menurut Ghaly dan Mahmoud (2006), tujuan

penambahan TTC 1% ini adalah untuk membedakan antara bakteri dan fungi. Triphenyl Tetrazolium Chloride (TTC) adalah garam organik heterosiklik yang larut

air dan dapat dengan mudah direduksi oleh ion hidrogen dan elektron yang dihasilkan pada reaksi enzim dehidrogenase dengan substrat. Reduksi oleh ion hidrogen dan elektron tersebut akan membentuk produk warna merah yang tidak larut . TTC telah banyak digunakan sebagai pengukuran pertumbuhan mikroba.

(a) Oksidasi biologis pada senyawa organik:

RH2 DeydrogenaseR + 2H+ + 2e−

(b)Reduksi kimia dari garam tetrazolium :

Gambar

Gambar 1. Hasil identifikasi secara makroskopis simplisia rimpang
Tabel I. Hasil identifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu
Tabel I. Hasil identifikasi simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog
Gambar 1. Hasil identifikasi secara makroskopis simplisia rimpang temulawak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu parameter standar mutu bahan baku obat tradisional adalah uji Angka Lempeng Total, yang digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofil dalam sediaan jamu

Angka kapang/khamir dalam 5 jamu gendong beras kencur yang beredar di 3 pasar di Kotamadya Yogyakarta tidak memenuhi syarat maksimal yang diperbolehkan, yaitu tidak boleh lebih

Salah satu parameter standar mutu bahan baku obat tradisional adalah uji Angka Lempeng Total, yang digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofil dalam sediaan jamu

aureus pada sampel jamu kunyit asam yang dijual di pasar tradisional Kecamatan Gondomanan Kotamadya Yogyakarta, sehingga dapat diketahui kualitas dan keamanannya.. Dalam