PERBANDINGAN ANGKA KAPANG/KHAMIR (AKK)
SIMPLISIA RIMPANG TEMULAWAK (Curcumae Rhizoma)
DALAM JAMU GODHOG YANG DIJUAL DI EMPAT PASAR
DI KOTAMADYA YOGYAKARTA DENGAN SIMPLISIA
RIMPANG TEMULAWAK YANG DIOLAH SESUAI CARA
PEMBUATAN SIMPLISIA YANG BAIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
I Wayan Arditayasa
NIM : 078114135
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PERBANDINGAN ANGKA KAPANG/KHAMIR (AKK)
SIMPLISIA RIMPANG TEMULAWAK (Curcumae Rhizoma)
DALAM JAMU GODHOG YANG DIJUAL DI EMPAT PASAR
DI KOTAMADYA YOGYAKARTA DENGAN SIMPLISIA
RIMPANG TEMULAWAK YANG DIOLAH SESUAI CARA
PEMBUATAN SIMPLISIA YANG BAIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
I Wayan Arditayasa
NIM : 078114135
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
ananyas cintayanto mam ye janah paryupasate
tesam nityambhiyuktanam yoga-ksemam vahamy aham
Artinya :
Orang yang selalu menyembah-Ku dengan bhakti tanpa tujuan lain dan bersemedi pada bentuk rohani-Ku, Aku akan bawakan apa yang dibutuhkannya, dan Aku akan memelihara apa yang dimilikinya (Bhagawaghita, sloka 9.22)
Sebuah karya kupersembahkan kepada Bapak dan Ibuku
tercinta atas segala kerja keras, semua cucuran keringat dan air
mata kalian untukku.Adikku tersayang atas kebersamaan kita....
Serta sahabat, teman, sekaligus pacarku tercinta Verayanti
terimakasih atas kesetiaanmu selama ini....
Tak lupa buat sahabat-sahabat di Perean dobix, agus dan
dwik, semoga kita menjadi sahabat sampai tua nanti...
Juga untuk teman-teman skripsiku Mega, Chandra dan
Icha, trimakasih umtuk segalanya selama ini ....
v
vii PRAKATA
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atas segala berkat, rahmat dan anugerah-Nya dalam proses
penyelesaian skripsi yang berjudul : “Perbandingan Angka Kapang/Khamir
(AKK) Rimpang Temulawak (Curcumae Rhizoma) dalam Jamu godhog yang
Dijual di Empat Pasar di Kotamadya Yogyakarta dengan Simplisia Rimpang
Temulawak yang Diolah Sesuai Cara Pembuatan simplisia yang Baik”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.
Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Banyak kesulitan yang penulis hadapi dalam proses penyelesaian skripsi
ini. Namun di tengah kesulitan itu, penulis mendapat dukungan, bimbingan, saran
dan kritik dari berbagi pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Ipang Djunarko, M. Sc., Apt.,selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S. Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam penyusunan skripsi ini.
3. Tim penguji : Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. dan Prof. Dr. C.J.
Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji atas saran dan bimbingan dalam
penyusunan skripsi.
4. Ibu C. M. Ratna Rini Nastiti, M. Pharm., Apt., selaku Ketua Program Studi
Farmasi sekaligus Ketua Panitia Skripsi.
viii
5. Seluruh dosen dan staf karyawan Fakultas Farmasi yang telah membagikan
ilmu kefarmasian dan juga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. Almamaterku TK Wijakusuma II Perean, SD Negeri 4 Perean, SMP Negeri 2
Baturiti, dan SMK Farmasi (SMF) Saraswati 3 Denpasar. Terimakasih
kepada Bapak dan Ibu Guru atas segala ilmu yang telah diberikan kepadaku.
7. Teman-teman Team Dota 07, khususnya The Champion Hadi Setiawan
“Jinguk” kamu akan selalu ada di hati teman-teman yang mengasihimu dan
berbahagialah disisi-Nya.
8. Teman-teman dolan Veronica Dewi P., Dinar Mardianti, dan Margareth
Christina H., terimakasih atas kebahagiaan dan keceriaan yang kalian berikan.
9. Teman-teman angkatan 2007 kususnya FKK B 07, terimakasih banyak atas
kebersamaan selama ini.
10. Semua orang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
menyelesaikan skripsi ini yang belum disebutkan. Terimakasih.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih banyak kekekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap
supaya skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 15 Juni 2011
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
INTISARI ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan permasalah ... 5
2. Keaslian penelitian ... 5
3. Manfaat penelitian ... 6
B. Tujuan Penelitian ... 6
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8
A. Obat Tradisional ... 8
x
B. Temulawak ... 10
1. Rimpang temulawak ... 10
2. Kegunaan rimpang temulawak ... 10
C. Cara Pembuatan Simplisia yang Baik ... 11
1. Proses pembuatan simplisia ... 11
2. Wadah dan penyimpanan ... 14
D. Angka Kapang dan Khamir ... 15
1. Kapang ... 15
2. Khamir ... 17
3. Angka Kapang dan Khamir (AKK) ... 18
E. Landasan Teori ... 19
F. Hipotesis ... 21
BAB III. METODE PENELITIAN ... 22
A. Jenis Rancangan Penelitian ... 22
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 22
1. Variabel Penelitian ... 22
2. Definisi operasional ... 23
C. Bahan Penelitian ... 25
D. Alat Penelitian ... 25
E. Tata Cara Penelitian ... 25
1. Pengumpulan dan pemilihan sampel rimpang temulawak 25 2. Pembuatan serbuk simplisia rimpang temulawak ... 28
xi
F. Analisis Hasil ... 32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Pengumpulan dan Pemilihan Sampel ... 33
1. Rimpang kering temulawak ... 33
2. Rimpang segar temulawak ... 37
B. Pembuatan serbuk simplisia ... 41
C. Angka Kapang / Khamir ... 42
1. Homogenisasi sampel ... 42
2. Pengenceran... 42
3. Uji Angka Kapang/Khamir ... 43
4. Perbandingan Angka Kapang/Khamir rimpang temulawak .. 58
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
LAMPIRAN ... 71
BIOGRAFI PENULIS ... 128
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil identifikasi rimpang kering dan segar temulawak ... 35
Tabel II. Angka Kapang/Khamir (AKK) sampel simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Demangan ... 48
Tabel III. Angka Kapang/Khamir (AKK) sampel simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Giwangan ... 50
Tabel IV. Angka Kapang/Khamir (AKK) sampel simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Kranggan ... 51
Tabel V. Angka Kapang/Khamir (AKK) sampel simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Beringharjo ... 53
Tabel VI. Angka Kapang/Khamir (AKK) sampel simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik ... 55
Tabel VII. Uji distribusi normal nilai AKK pada hari ke-3 ... 59
Tabel VIII. Uji distribusi normal nilai AKK pada hari ke-4 ... 59
Tabel IX. Uji distribusi normal nilai AKK pada hari ke-5 ... 60
Tabel X. Nilai AKK simplisia rimpang temulawak Pasar Demangan VS Nilai AKK simplisia rimpang temulawak yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik ... 61
Tabel XI. Nilai AKK simplisia rimpang temulawak Pasar Giwangan VS Nilai AKK simplisia rimpang temulawak yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik ... 62
Tabel XII. Nilai AKK simplisia rimpang temulawak Pasar Beringharjo VS Nilai AKK simplisia rimpang temulawak yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik ... 63
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog ... 36
Gambar 2 A. Kontrol pelarut/kontrol negatif, B. Kontrol media... 47
Gambar 3. Inkubasi selama 5 hari Pengenceran 10-3 ... 47
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto-foto jamu godhog... 71
Lampiran 2. Foto-foto identifikasi simplisia rimpang temulawak... 72
Lampiran 3. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Demangan inkubasi hari ke-3. .. .. 73
Lampiran 4. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Demangan inkubasi hari ke-4. .. .. 76
Lampiran 5. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Demangan inkubasi hari ke-5. ... .. 79
Lampiran 6. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Giwangan inkubasi hari ke-3. .... .. 82
Lampiran 7. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Giwangan Inkubasi hari ke-4 ... .. 85
Lampiran 8. Angka Kapang/Khamir (AKK) sampel simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Giwangan inkubasi hari ke-5 ... 88
Lampiran 9. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Kranggan inkubasi hari ke-3. ... 91
Lampiran 10. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Kranggan inkubasi hari ke-4. ... 94
Lampiran 11. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Kranggan inkubasi hari ke-5. ... 97
Lampiran 12. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Beringharjo inkubasi hari ke-3. .... 100
Lampiran 13. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Beringharjo inkubasi hari ke-4. .... 103
Lampiran 14. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Beringharjo inkubasi hari ke-5. .... 106
xv
Lampiran 16. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik
inkubasi hari ke-4. ... 112
Lampiran 17. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik inkubasi hari ke-5. ... 115
Lampiran 18. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Demangan ... 118
Lampiran 19. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Giwangan ... 118
Lampiran 20. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Kranggan ... 118
Lampiran 21. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog di Pasar Beringharjo ... 119
Lampiran 22. Angka Kapang/Khamir (AKK) simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik ... 119
Lampiran 23. Foto Koloni Kapang/Khamir dari simplisia temulawak dalam jamu godhog dan yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik... 120
Lampiran 24. Uji normalitas data nilai AKK pada hari ke-3 ... 123
Lampiran 25. Uji normalitas data nilai AKK pada hari ke-4 ... 124
Lampiran 26. Uji normalitas data nilai AKK pada hari ke-5 ... 125
Lampiran 27. Uji T tidak berpasangan ... 126
xvi INTISARI
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli Indonesia dan termasuk ke dalam sembilan tanaman unggulan menurut BPOM RI yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat (Pujiasmanto, 2009). Temulawak banyak beredar di masyarakat dalam bentuk jamu, salah satu jenis jamu yaitu jamu godhog. Menurut KepMenKes RI No : 661/MenKes/SK/1994 perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan yaitu salah satunya melalui uji Angka Kapang/Khamir (AKK), sehingga masyarakat dapat memperoleh kualitas, keamanan, dan khasiat jamu godhog tanpa efek samping terhadap kesehatan akibat cemaran kapang/khamir.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni, dengan rancangan penelitian deskriptif-komparatif dan dianalisis statistik normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk kemudian dilakukan uji t tidak berpasangan. Rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur dikumpulkan, diidentifikasi, dibuat simplisia sesuai cara pembuatan simplisia yang baik, kemudian diuji AKK. Nilai AKK sampel dianalisis normalitas datanya, kemudian di lakukan uji t tidak berpasangan untuk melihat perbedaan bermakna atau tidak nilai AKK dari ke empat dengan nilai AKK simplisia yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik.
Hasil penelitian menunjukkan sampel rimpang temulawak dalam jamu godhog dari Pasar Kranggan dan yang diolah sesuai cara pembuatan simplisia yang baik memenuhi persyaratan, sedangkan sampel dari Pasar Demangan, Pasar Giwangan dan Pasar Beringharjo tidak memenuhi persyaratan. Nilai AKK sampel yang diolah sesuai cara pembuatan simplisia yang baik = (4,6 ± 2,6) x 102 CFU/g sampel, Pasar Kranggan = (4,1 ± 10) x 103 CFU/g sampel , Pasar Demangan = (2,4 ± 0,4) x 104 CFU/g sampel, Pasar Giwangan = (4,8 ± 0,6) x 104 CFU/g sampel, dan Pasar Beringharjo = (2,5 ± 8,2) x 107 CFU/g sampel. Hasil analisis data menggunakan Shapiro-Wilk semua data terdistribusi normal. Perbandingan nilai AKK sampel yang diolah sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik dengan nilai AKK sampel dari Pasar Kranggan berbeda tidak bermakna, sedangkan dengan ke tiga pasar lainnya berbeda bermakna.
xvii ABSTRACT
Javanese turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is one of Indonesian herbal medicine and it is recommended by BPOM due to its benefit for health (Pujiasmanto, 2009). Curcumae Rhizoma are circulating in the society in the form
jamu, one type of jamu is jamu godhog. Based KepMenKes RI No : 661/MenKes/SK/1994 have prevented the circulation of traditional medicines that do not meet qualified that were one of them through the test number of yeast / mold contamination, so society able to obtain the quality, safety, and efficacy of
jamu godhog without any side effect caused by yeast/mold contamination.
This research was purely experimental, with descriptive-comparative research design and analyzed statistically using Shapiro-Wilk test, continued by unpaired t test. Curcumae Rhizoma in simplicia were collected from Borobudur market. The samples were identified and made into simplicia by good manufacturing of making simplicia. Both Curcumae Rhizoma in jamu godhog and simplicia were determined the number of yeast / mold contamination. The number of yeast / mold contamination from samples was analyzed to acquire the data normality, and then the t-test was used to see its significance.
The results of this study showed that Curcumae Rhizoma sample in jamu godhog obtained from Kranggan market and Curcumae Rhizoma simplicia made in good manufacturing of making simplicia was qualified, otherwise Curcumae Rhizoma in jamu godhog obtained from Demangan, Giwangan, and Beringharjo market is not qualified. The number of yeast and mold contamination of those groups are (4,6 ± 2,6) x 102 CFU/g sample for sample made by good manufacturing of making simplicia, and for sample obtained in Kranggan, Demangan, Giwangan, and Beringharjo market were (4,1 ± 10) x 103 CFU/g sample, (2,4 ± 0,4) x 104 CFU/g sample, (4,8 ± 0,6) x 104 CFU/g sample, and (2,5 ± 8,2) x 107 sample. Statistic test showed that number of yeast/mold contamination from Curcumae Rhizoma obtained from Kranggan market and simplicia Curcumae Rhizoma from good manufacturing of making simplicia product has shown no significant difference in number of yeast/mold contamination, but the samples from three other traditional markets in Yogyakarta were found significantly different.
Key words : jamu godhog, Curcumae Rhizoma, number of yeast and mold
contamination, good manufacturing of making simplicia,
Yogyakarta.
1 BAB I
PENGANTAR
A.Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli
Indonesia (Prana, 1985), disebut juga Curcuma javanica L. (Rukmana, 1995).
Temulawak juga termasuk ke dalam sembilan jenis tanaman unggulan dari BPOM
yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat. Sembilan jenis tanaman
unggulan BPOM tersebut adalah salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati
belanda, temulawak, jambu biji, cabe Jawa dan mengkudu (Pujiasmanto, 2009).
Manfaat rimpang temulawak untuk kesehatan, di antaranya untuk memperbaiki
nafsu makan, fungsi pencernaan, fungsi hati, mengurangi nyeri sendi dan tulang,
menurunkan lemak darah, menghambat penggumpalan darah, sebagai antioksidan,
dan memelihara kesehatan (Rukmana, 1995). Pada saat ini obat tradisional yang
dibuat di Indonesia sebagian besar komponen penyusunnya adalah temulawak.
Hasil survei oleh Kemala, Sussiarto, Pribadi, Yuhono, Yusron, Mauludi, (2004)
diperoleh bahwa 44 jenis produk obat tradisional memiliki bahan baku
temulawak.
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sari atau galenik, atau campuran
dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (DepKes RI, 1992). Jamu adalah salah satu kelompok
jenis-2
jenis jamu yang beredar di masyarakat, seperti jamu gendong dan jamu godhog,
(Septya, 2009).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No : 246/MenKes/Per/V/1990
pasal 2, produsen obat tradisional dikelompokan menjadi dua yaitu : (1) yang
mempunyai ijin usaha industri sesuai peraturan perundangan yang berlaku; (2)
yang tidak diharuskan memiliki ijin usaha industri, yaitu mereka yang membuat
obat tradisional untuk dipasarkan secara terbatas, contoh penjual jamu racikan dan
jamu gendong. Jamu godhog termasuk dalam kelompok jamu racikan di mana
bahan baku yang digunakan berupa simplisia atau rajangan tanaman obat,
sehinggga tidak ada keharusan memiliki ijin industri untuk pembuatan jamu
godhog. Karena tidak memiliki ijin usaha industri, tidak ada jaminan dalam
pembuatan jamu godhog sesuai dengan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik.
Pemasaran jamu godhog terbatas, biasanya di pasar tradisional. Di
pasar-pasar tradisional ini jamu godhog kurang diperhatikan keadaannya, misalnya
produksinya tidak sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik dan
penyimpanannya kurang diperhatikan. Berdasarkan keadaan di atas, tidak ada
jaminan keamanan, kemanfaatan, dan mutu jamu godhog yang dijual di
pasar-pasar tradisional.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No : 661/MenKes/SK/VII/1994
menyatakan bahwa perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatannya. Parameter
keamanan meliputi uji cemaran mikrobia seperti uji mikrobia patogen, uji angka
kapang /khamir (AKK), uji angka lempeng total (ALT), uji nilai duga terdekat
coliform, dan uji aflatoksin serta uji cemaran logam berat (DepKes RI, 1994).
Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana keamanan sediaan bentuk
rajangan, salah satunya melalui uji angka kapang/khamir (AKK). Menurut
KepMenKes No: 661/MenKes/SK/VII/1994 nilai AKK untuk sediaan rajangan
tidak lebih dari 104 CFU/g sampel.
Kandungan air dan kondisi kelembaban yang tinggi dalam simplisia dapat
mengakibatkan timbulnya kapang/khamir. Pertumbuhan kapang pada bahan
makanan maupun bahan baku obat tradisional (simplisia) dapat mengurangi
kualitas makanan maupun obat tradisional karena kapang menghasilkan toksin
yang berbahaya bagi tubuh manusia. Contoh toksin yang dihasilkan oleh kapang
kelas Deuteromycetes genus Aspergillus adalah aflatoksin. Aflatoksin jika
terkonsumsi dengan kadar tinggi dalam waktu singkat dapat menyebabkan
keracunan akut dan mengakibatkan terjadinya kerusakan hati, serta pada kasus
serius dapat menimbulkan kematian (Pratiwi, 2008). Pertumbuhan khamir dapat
menyebabkan pembusukan pada makanan maupun obat tradisional karena sifat
dari khamir yaitu fermentatif kuat (Fardiaz, 1992). Khamir jenis Candida albicans
dapat menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan kandidiasis, yaitu suatu
penyakit pada selaput lendir mulut, vagina, dan saluran pencernaan (Pelczar dan
Chan, 2008). Menurut Tjitrosono (1986), kapang dapat menembus sel-sel akar
tumbuhan dan hifa kapang dapat pula berkumpul ke dalam selubung mengelilingi
akar-akar, pada saat pemanenan akan tetap menempel pada bahan sampai proses
4
Pembuatan simplisia menjadi hal penting yang harus diperhatikan agar
keberadaan cemaran mikrobia, misalnya kapang/khamir dapat dikurangi.
Pembuatan simplisia yang tidak sesuai dengan Cara Pembuatan Simplisia yang
Baik akan berpengaruh terhadap banyaknya cemaran kapang/khamir. Dari hasil
penelitian Gunawan, Chandradinata, Arditayasa, Primadani, dan Hening (2010)
diperoleh data bahwa jamu godhog yang dijual di beberapa pasar tradisional di
Daerah Istimewa Yogyakarta komposisi terbanyaknya adalah simplisia rimpang
temulawak dan pada simplisia rimpang temulawak ini juga terdapat cemaran
mikrobia patogen. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan uji AKK simplisia
rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar tradisional di
Kotamadya Yogyakarta.
Berdasarkan penelitian Gunawan dkk. (2010), empat pasar tradisional
yang terpilih menggunakan Simple Random Sampling adalah Pasar Demangan,
Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo, dan Pasar Giwangan. Sebagai bahan
pembanding dilakukan uji AKK pada simplisia rimpang temulawak yang dibuat
sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik untuk melihat nilai AKK simplisia
rimpang temulawak setelah dibuat berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang
Baik (DepKes RI, 1985). Nilai AKK simplisia rimpang temulawak yang dibuat
Sesuai Cara Pembuatan Simplisia yang Baik dibandingkan dengan simplisia
rimpang temulawak dalam jamu godhog dari ke empat pasar tradisional
menggunakan analisis statistik Normalitas data kemudian dilanjutkan dengan Uji
T tidak berpasangan untuk melihat apakah perbedaan nilai AKK bermakna atau
tidak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai mutu, manfaat dan keamanan jamu godhog yang dijual di empat Pasar
tradisional di Kotamadya Yogyakarta berdasarkan aspek mikrobiologisnya, yaitu
cemaran mikrobia AKK (Angka Kapang / Khamir).
1. Rumusan permasalahan
a. Apakah nilai AKK rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di
empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan rimpang temulawak yang diolah
menjadi simplisia berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik
memenuhi persyaratan KepMenKes No : 661/MenKes/SK/VII/1994, yaitu
tidak lebih dari 104 CFU/g sampel?
b. Apakah perbandingan nilai AKK rimpang temulawak dalam jamu godhog
yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan nilai AKK rimpang
temulawak yang diolah menjadi simplisia berdasarkan Cara Pembuatan
Simplisia yang Baik berbeda bermakna atau tidak?
2. Keaslian penelitian
Sejauh pengetahuan dan penelusuran pustaka oleh peneliti, penelitian
tentang rimpang temulawak yang pernah dilakukan adalah “Aspek Mikrobiologis
Simplisia Jamu godhog yang Dijual di Beberapa Pasar Tradisional Daerah
Istimewa Yogyakarta” pernah diteliti oleh Gunawan, dkk. (2010) dan “Pengaruh
Tahapan Pencucian, Pengeringan, dan Ekstraksi Rimpang Kunyit (Curcuma
domestica Val.) Terhadap Jumlah Cemaran Kapang/Khamir” pernah diteliti oleh
Krismawulan, (2010), tetapi penelitian tentang “Uji AKK Simplisia Rimpang
Temulawak (Curcumae Rhizoma) dalam Jamu Godhog yang Dijual di Empat
6
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai angka
Kapang/Khamir (AKK) rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual
di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dibandingkan dengan AKK
simplisia rimpang temulawak yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan
Simplisia yang Baik, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan
simplisia rimpang temulawak yang baik dilihat dari nilai AKKnya demi
kemajuan ilmu pengetahuan dalam pengembangan obat tradisional.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan keterangan mutu, khasiat
dan keamanan jamu godhog dari pasar tradisional berdasarkan nilai AKKnya,
sehingga diharapkan masyarakat dapat memperoleh kualitas, keamanan, dan
khasiat jamu godhog tanpa adanya efek samping terhadap kesehatan akibat
cemaran kapang/khamir.
B. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui apakah nilai AKK simplisia rimpang temulawak dalam
jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan
rimpang temulawak yang diolah menjadi simplisia berdasarkan Cara
Pembuatan Simplisia yang Baik memenuhi persyaratan KepMenKes No :
661/MenKes/SK/VII/1994 yaitu tidak lebih dari 104 CFU/g sampel.
b. Untuk mengetahui apakah perbandingan nilai AKK rimpang temulawak
dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan
nilai AKK rimpang temulawak yang diolah menjadi simplisia berdasarkan
8 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari
bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (DepKes RI, 1992).
Jamu godhog termasuk ke dalam kelompok obat tradisional jenis jamu
racikan di mana bahan baku yang digunakan berupa simplisia atau rajangan
tanaman obat. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor: 661/MenKes/SK/VII/1994, rajangan adalah sediaan obat tradisional
berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan
sediaan galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau
penyeduhan dengan air panas. Syarat sediaan obat dalam bentuk rajangan tersebut
adalah kadar air tidak lebih dari 10 % , Angka Lempeng Total tidak lebih dari 106
CFU/g sampel bahan untuk rajangan yang penggunaannya dengan cara
pendidihan, serta tidak lebih dari 107 CFU/g sampel bahan untuk rajangan yang
penggunaannya dengan cara penyeduhan. Angka Kapang dan Khamir (AKK)
tidak lebih dari 104 CFU/g sampel, mikrobia patogen (Salmonella sp., Escherichia
coli, Staphyloccus aureus, Psudomonas aeruginosa) negatif, aflatoksin tidak lebih
dari 30 bagian per juta (bpj) (DepKes RI, 1994).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
246/Menkes/Per/V/1990 pasal 2, produsen obat tradisional dikelompokkan
menjadi dua yaitu : (1) yang mempunyai ijin usaha industri sesuai peraturan
perundangan yang berlaku; (2) yang tidak diharuskan memiliki ijin usaha industri,
yaitu mereka yang membuat obat tradisional untuk dipasarkan secara terbatas,
contoh penjual jamu racikan dan jamu gendong. Jamu godhog termasuk dalam
kelompok jamu racikan, sehinggga tidak ada keharusan memiliki ijin industri
untuk pembuatan jamu godhog. Dengan tidak memiliki ijin usaha industri, tidak
ada jaminan dalam pembuatan jamu godhog sesuai dengan cara pembuatan
simplisia yang baik. Dari hasil penelitian Gunawan, Chandradinata, Arditayasa,
Primadhani, Hening (2010) diperoleh bahwa jamu godhog yang dijual di beberapa
pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Pasar Demangan, Pasar
Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan mengandung cemaran mikrobia
patogen dan sebagian besar berasal dari simplisia rimpang temulawak. Menurut
Gunawan, dkk., (2010) adanya mikrobia patogen pada jamu godhog
mengindikasikan bahwa pembuatan jamu godhog pada empat pasar di atas belum
memenuhi persyaratan seperti yang ditetapkan dalam cara pembuatan simplisia
yang baik misalnya pada penyiapan bahan baku, pencucian, pengeringan, dan
pengemasan. Kondisi penyimpanan jamu godhog yang tidak memenuhi
persyaratan, seperti pada tempat yang lembab dan suhu yang rendah dapat
10
B. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun
berbatang semu (DepKes RI, 1979), merupakan anggota familli Zingiberaceae,
genus Curcuma, spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Backer dan van den Brink,
1968).
1. Rimpang temulawak (Curcumae Rhizoma)
Rimpang temulawak adalah rimpang C. xanthorrhiza Roxb (DepKes RI,
1979). Rimpang induk temulawak berbentuk bulat seperti telur, sedangkan
rimpang cabang terdapat di bagian samping dengan bentuk memanjang. Tiap
induk rimpang temulawak mempunyai rimpang cabang antara 3 sampai 4 buah.
Warna rimpang temulawak pada saat tua maupun masih muda bewarna kuning
kotor. Warna daging rimpang temulawak adalah kuning, dengan rasanya yang
pahit, berbau tajam dan bau aromatik (Rukmana, 1995).
Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri, pati, serat, kurkumin,
abu, dan protein. Kandungan utama rimpang temulawak adalah kurkumin dengan
kadar berkisar antara 1,6-2,22% dihitung berdasarkan berat kering rimpang
temulawak (Rukmana. 1995).
2. Kegunaan rimpang temulawak
Temulawak (C. xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu dari sembilan
jenis tanaman unggulan dari BPOM yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan
obat (Syukur dan Hernani, 2001). Temulawak memiliki banyak manfaat untuk
kesehatan, di antaranya untuk memperbaiki nafsu makan, fungsi pencernaan,
fungsi hati, mengurangi nyeri sendi dan tulang, menurunkan lemak darah,
menghambat penggumpalan darah, sebagai antioksidan, memelihara kesehatan
(Rukmana, 1995).
C. Cara Pembuatan Simplisia Yang Baik (DepKes RI, 1985)
Cara pembuatan simplisia yang baik bertujuan untuk menjamin agar
produk simplisia yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang
telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Beberapa proses penting
dalam pembuatan simplisia yang dapat meminimalkan timbulnya cemaran
kapang/khamir yaitu sebagai berikut:
1. Proses pembuatan simplisia
a. Sortasi basah
Sortasi basah perlu dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia, misalnya pada simplisia yang
dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil,
rumput batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang.
Tanah mengandung bermacam-macam mikrobia dalam jumlah yang tinggi, oleh
karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah
mikrobia awal (DepKes RI, 1985). Sortasi basah berfungsi untuk mengurangi
cemaran mikrobia, serta memperoleh simplisia dengan jenis dan ukuran seperti
yang dikehendaki (Katno, 2008). Menurut Tjitrosono (1986), kapang dapat
menembus sel-sel akar tumbuhan dan hifa kapang dapat pula berkumpul ke dalam
selubung mengelilingi akar-akar. Pada saat pemanenan hifa kapang akan tetap
12
b. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih
(standar air minum), sebaiknya dengan air mengalir (Katno, 2008). Untuk bahan
simplisia yang mengandung senyawa yang mudah larut di dalam air mengalir,
maka proses pencucian dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin. Pencucian
bahan simplisia satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikrobia awal.
Jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali jumlah mikrobia yang tertinggal
sebanyak 42% dari jumlah mikrobia awal (DepKes RI,1985)
c. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia seringkali harus diubah menjadi bentuk
lain misalnya irisan, serutan dan potongan, untuk memudahkan proses
pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan serta proses selanjutnya (Katno,
2008). Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam
keadaan utuh selama satu hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan
mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan
ukuran yang dikehendaki (DepKes RI, 1985). Pisau yang digunakan sebaiknya
tidak terbuat dari logam yang mudah berkarat, agar tidak merusak penampilan
fisik dan senyawa aktif simplisia. Selama proses perajangan jumlah mikrobia
tidak bertambah maupun berkurang (Katno, 2008).
d. Pengeringan
Tujuan dari pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan
mutu atau perusakan simplisia. Kadar air kurang dari 10% dapat mencegah
tumbuhnya mikrobia karena proses enzimatik dalam sel tidak berlangsung
(DepKes RI, 1985).
Hal-hal diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu, kelembaban
udara, kecepatan aliran udara, waktu (lamanya) pengeringan dan luas permukaan
bahan. Dengan pengeringan benar, diharapkan dapat menghindari terjadinya face
bardening yang berarti bagian luarnya kering kering tetapi bagian dalam masih
basah. Hal ini dapat terjadi apabila irisan / rajangan bahan simplisia terlalu tebal
atau suhu pengeringan terlalu tinggi dalam waktu yang singkat atau oleh suatu
keadaan yang menyebabkan penguapan air di permukaan bahan jauh lebih besar
daripada difusi air dari dalam ke permukaan bahan. Akibatnya bagian luar bahan
menjadi keras dan menghambat proses pengeringan lebih lanjut (Katno, 2008).
Pengeringan pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara
alamiah dan buatan.
1) Pengeringan secara alamiah
Cara pengeringan ini memanfaatkan unsur iklim, di antaranya cahaya
matahari, hembusan angin dan pergantian udara. Keuntungan pengeringan
adalah ekonomis karena hanya memanfaatkan lingkungan sekitar dan
simplisia yang dikeringan dapat dalam kapasitas besar. Beberapa kelemahan
pengeringan dengan cara ini adalah suhu dan kelembaban yang tidak dapat
dikontrol, membutuhkan tempat yang luas dan terbuka sehingga
14
dan infra merah yang terdapat dalam sinar matahari berpotensi merusak
senyawa aktif beberapa simplisia (Katno, 2008).
2) Pengeringan buatan
Pengeringan buatan dilakukan menggunakan suatu alat yang
memanfaatkan energi panas, listrik atau api. Alat dapat dipergunakan tanpa
tergantung keadaan cuaca dan suhu dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan.
Penggunaan alat ini dapat mempercepat pengeringan dan menekan kerusakan
simplisia serta kontaminasi jamur hingga seminimal mungkin (Katno, 2008).
Oven merupakan salah satu alat pengeringan buatan dengan teknologi
modern. Suhu dapat diatur tepat sesuai kebutuhan, namun kapasitas relatif
kecil sehingga jarang digunakan untuk kepentingan industri (dalam skala
besar). Oven biasanya digunakan untuk keperluan penelitian (dalam skala
kecil hingga sedang) di laboratorium (Katno, 2008).
e. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
Tujuan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering. Jumlah mikrobia pada simplisia tidak mengalami
perubahan selama proses sortasi kering dilakukan (DepKes RI, 1985).
2. Wadah dan Penyimpanan
Penyimpanan simplisia dilakukan dalam wadah tertutup baik, disimpan
pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari. Sebaiknya
obat tradisional dapat tetap memenuhi persyaratan obat tradisional, meskipun
sudah disimpan dalam waktu lama. Wadah dan sumbatnya tidak boleh
mempengaruhi obat tradisional yang disimpan di dalamnya, baik secara kimia
maupun secara fisika, yang dapat mengakibatkan perubahan keamanan,
kemanfaatan dan mutu. Obat tradisional harus disimpan sedemikian rupa sehingga
mencegah cemaran mikrobia dari luar dan terjadinya peruraian, terhindar dari
pengaruh udara,kelembaban, panas dan cahaya. Penyimpanan pada suhu kamar
adalah disimpan pada suhu 15° C sampai 30° C (DepKes RI, 1994). Syarat wadah
dan penyimpanan sediaan obat tradisional dalam bentuk rajangan adalah dalam
wadah tertutup baik, disimpan dalam suhu kamar, di tempat kering dan terlindung
dari sinar matahari (DepKes RI, 1994).
D. Angka Kapang dan Khamir (AKK)
Fungi adalah suatu organisme eukariotik yang mempunyai nukleus,
memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil, dan dapat berkembangbiak secara
aseksual maupun seksual (Fardiaz, 1992). Fungi adalah organisme heterotrofik,
yaitu memerlukan senyawa organik untuk nutrisi (Pelczar dan Chan, 2008). Kadar
air dalam simplisia yang terlalu tinggi lebih besar 10% akan menyebabkan fungi
tumbuh dengan baik di dalam simplisia tersebut karena nutrisi yang diperlukan
oleh fungi untuk tumbuh terpenuhi (DepKes RI, 1985)
1. Kapang
Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen. Filamen
merupakan ciri khas morfologi kapang yang membedakan dengan khamir.
Dengan adanya filamen, kapang tampak berserabut seperti kapas.
16
membentuk warna tergantung dari jenis kapang. Sifat-sifat morfologi kapang,
baik penampakan makroskopik maupun mikroskopik digunakan dalam
identifikasi dan klasifikasi kapang. Kapang mempunyai bagian-bagian tubuh
berbentuk filamen dengan dinding sel yang mengandung selulosa atau kitin atau
ke duanya (Fardiaz, 1992).
Kapang dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan struktur hifanya,
yaitu : (1) hifa tidak bersekat atau nonseptat, dan (2) hifa bersekat atau septa yang
membagi hifa di dalam ruang-ruang, di mana tiap ruangan mempunyai satu atau
lebih inti sel (nukleus). Dinding penyekat yang disebut septum (jamak = septat)
tidak tertutup rapat sehingga sitoplasma masih bebas untuk bergerak dari ruangan
yang satu ke ruangan yang lainnya. Kapang yang tergolong septat terutama
termasuk dalam kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deuteromycetes,
sedangkan kapang nonseptat terutama masuk dalam kelas Phycomycetes
(Zygomycetes dan Oomycetes). Pada kapang nonseptat inti sel tersebar di
sepanjang hifa (Fardiaz, 1992).
Pertumbuhan kapang pada bahan makanan maupun bahan baku obat
tradisional (simplisia) dapat mengurangi kualitas makanan maupun obat
tradisional karena kapang menghasilkan toksin yang berbahaya bagi tubuh
manusia. Contoh toksin yang dihasilkan oleh kapang kelas Deuteromycetes genus
Aspergillus adalah aflatoksin. Aflatoksin jika terkonsumsi dengan kadar tinggi,
dalam waktu singkat dapat menyebabkan keracunan akut dan mengakibatkan
terjadinya kerusakan hati, serta pada kasus serius dapat menimbulkan kematian.
Dosis menengah sampai rendah apabila terkonsumsi dalam jangka waktu panjang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat menyebabkan kanker hati (karsinogenik), menurunkan kekebalan tubuh,
metabolisme protein terganggu dan menggangu ketersediaan gizi. Aflatoksin jika
terkonsumsi oleh wanita hamil dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
anak dan menggangu perkembangan janin (Pratiwi, 2008).
2. Khamir
Khamir adalah fungi uniselular yang mikroskopik dan tidak membentuk
percabangan yang permanen. Sebagian besar khamir termasuk ke dalam kelas
Ascomycetes, sebagian kecil masuk dalam kelas Basidiomycetes, dan fungi
imperfecti. Khamir yang termasuk kelas pertama dan kelas ke dua
berkembangbiak dengan tunas (budding), pembelahan sel, spora aseksual, dan
spora seksual. Kelas ketiga hanya dapat berkembangbiak secara aseksual yaitu
dengan tunas, pembelahan sel, dan spora aseksual. Khamir mempunyai ukuran 4 –
20 kali lebih besar dari ukuran bakteri, yaitu berkisar antara 1-9 µm x 2 – 20 µm,
tergantung pada spesiesnya. (Jutono, Soedarsono, Hartadi, Suhadi, dan Soesanto,
1980).
Pertumbuhan khamir pada bahan baku obat tradisional dapat mengurangi
kualitas makanan dan obat tradisional. Pertumbuhan khamir dapat menyebabkan
pembusukan pada makanan maupun obat tradisional karena sifat dari khamir yaitu
bersifat fermentatif kuat (Fardiaz, 1992). Khamir jenis Candida albicans dapat
menimbulkan kandidiasis, yaitu suatu penyakit pada selaput lendir mulut, vagina,
18
3. Angka Kapang dan Khamir (AKK)
Prinsip dari uji AKK adalah menentukan adanya kapang/khamir secara
mikrobiologis. Tujuan dari uji AKK adalah memberikan jaminan bahwa sediaan
simplisia tidak mengandung cemaran fungi melebihi batas ditetapkan karena
berpengaruh pada stabilitas sediaan dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan
(DepKes RI, 2000)
AKK adalah jumlah pertumbuhan koloni kapang dan khamir cuplikan
(sampel uji) yang diinokulasikan pada media yang sesuai setelah inkubasi selama
3-5 hari pada suhu 20 – 250 C dan dinyatakan dalam koloni/ml (BPOM RI, 2006).
Cara menyiapkan sampel untuk memperoleh distribusi mikrobia yang merata
dilakukan dengan homogenisasi (DepKes RI, 1992). Dasar dari homogenisasi
adalah membebaskan sel-sel mikrobia yang terhalangi oleh partikel dalam sampel
dan untuk menggiatkan kembali sel-sel mikrobia yang mungkin terganggu
kelangsungan hidupnya karena kondisi yang kurang menguntungkan di dalam
sampel (Hadioetomo, 1985). Pengenceran suspensi sampel dilakukan untuk
mendapatkan koloni yang tumbuh secara terpisah dan dapat dihitung dengan
mudah, hal ini akan sangat membantu terutama untuk sampel dengan cemaran
yang sangat tinggi. Jika tidak dilakukan pengenceran, maka koloni kapang /
khamir menjadi sangat pekat sehingga perhitungan koloni sulit dilakukan (BPOM
RI, 2008).
Perhitungan Angka Kapang/Khamir berdasarkan prosedur dalam Standar
Nasional Indonesia (DepKes RI, 1992). Persyaratan AKK bagi sediaan berbentuk
rajangan dan serbuk berdasarkan KepMenKes No. 661/MenKes/SK/VII/1994
tentang Persyaratan Obat Tradisional (DepKes RI, 1994) adalah tidak lebih dari
104 CFU /gram. Pertumbuhan kapang pada bahan makanan maupun bahan baku
obat tradisional (simplisia) dapat mengurangi kualitas makanan maupun obat
tradisional karena kapang menghasilkan toksin yang berbahaya bagi tubuh
manusia. Contoh toksin yang dihasilkan oleh kapang kelas Deuteromycetes genus
Aspergillus adalah aflatoksin. Aflatoksin jika terkonsumsi dengan kadar tinggi
dalam waktu singkat dapat menyebabkan keracunan akut dan mengakibatkan
terjadinya kerusakan hati, serta pada kasus serius dapat menimbulkan kematian
(Pratiwi, 2008). Pertumbuhan khamir dapat menyebabkan pembusukan pada
makanan maupun obat tradisional karena sifat dari khamir yaitu fermentatif kuat
(Fardiaz, 1992). Khamir jenis Candida albicans dapat menimbulkan suatu
keadaan yang disebut dengan kandidiasis, yaitu suatu penyakit pada selaput lendir
mulut, vagina, dan saluran pencernaan (Pelczar dan Chan, 2008).
E. Landasan Teori
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli
Indonesia yang termasuk ke dalam sembilan jenis tanaman unggulan dari Ditjen
POM yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat. Hasil survei
pemanfaatan tanaman obat dalam industri obat tradisional menunjukkan bahwa
temulawak dipergunakan sebagai bahan baku 44 jenis produk obat tradisional.
(Kemala dkk., 2004).
Untuk menjamin keamanan suatu sediaan obat tradisional, maka simplisia
harus memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan. Agar dapat memenuhi
20
diperhatikan, yaitu : bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia merupakan
titik kritis untuk mencegah tumbuhnya mikrobia pada simplisia, dan cara
pengepakan juga penyimpanan simplisia. (DepKes RI, 1985).
Jamu godhog termasuk ke dalam kelompok jamu racikan di mana bahan
baku yang digunakan berupa simplisia atau rajangan tanaman obat. Menurut
PerMenKes Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tidak ada keharusan untuk memiliki
ijin industri untuk pembuatan jamu godhog, sehingga tidak ada jaminan dalam
pembuatan jamu godhog sudah sesuai dengan cara pembuatan simplisia yang baik
atau tidak. Pemasaran jamu godhog biasanya terbatas yaitu di pasar-pasar
tradisional. Di pasar-pasar tradisional ini jamu godhog kurang diperhatikan
keadaannya, misalnya produksinya tidak sesuai cara pembuatan simplisia yang
baik dan penyimpanannya di pasar-pasar tradisional kurang baik. Dari hasil
penelitian Gunawan, dkk. (2010) diperoleh bahwa jamu godhog yang dijual di
beberapa pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta mengandung cemaran
mikrobia patogen yaitu Salmonella sp., Escherichia coli, Staphyloccus aureus
dan Psudomonas aeruginosa sehingga ada indikasi pembuatan jamu godhog di
Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan belum
mengikuti cara pembuatan simplisia yang baik.
Pembuatan simplisia dalam jamu godhog yang tidak sesuai dengan cara
pembuatan simplisia yang baik dapat menyebabkan kadar air yang tinggi di dalam
simplisia (>10%). Kadar air yang tinggi dan penyimpanan jamu godhog pada
keadaan panas dan lembab dapat menyebabkan mikrobia (kapang dan khamir)
tumbuh dan berkembangbiak dengan baik. Berdasarkan keadaan di atas, tidak ada
jaminan keamanan, kemanfaatan, dan mutu jamu godhog yang dijual di
pasar-pasar tradisional. Untuk itu, perlu dilakukan uji AKK simplisia rimpang
temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar tradisional di
Kotamadya Yogyakarta apakah memenuhi persyaratan KepMenKes No :
661/MenKes/SK/VII/1994 yaitu tidak lebih dari 104 CFU/g sampel. Sebagai bahan pembanding dilakukan uji AKK pada simplisia rimpang temulawak yang
dibuat sesuai cara pembuatan simplisia yang baik untuk melihat nilai AKK
simplisia rimpang temulawak setelah dibuat berdasarkan cara pembuatan
simplisia yang baik.
Untuk menegaskan bagaimana perbandingan nilai AKK simplisia
rimpang temulawak yang dibuat sesuai cara pembuatan simplisia yang baik
dengan simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari keempat pasar
tradisional, maka dilakukan analisis statistik dengan analisis Normalitas data
kemudian dilanjutkan dengan Uji T Tidak Berpasangan untuk melihat apakah
perbedaannya bermakna atau tidak.
F. Hipotesis
Nilai AKK rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat
pasar di Kotamadya Yogyakarta berbeda bermakna dibandingkan dengan nilai
AKK rimpang temulawak yang diolah menjadi simplisia berdasarkan cara
22 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni
dengan rancangan penelitian deskriptif-komparatif untuk menggambarkan nilai
AKK masing-masing sampel yang kemudian dibandingkan dengan persyaratan
yang telah ditentukan untuk sediaan rajangan menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 661/MenKes/SKVII/1994. Nilai AKK
masing-masing sampel kemudian di bandingkan dengan sampel simplisia yang
diolah berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik menggunakan analisis
statistik, yaitu Uji normalitas data dan dilanjutkan dengan Uji T Tidak
Berpasangan untuk mengetahui perbedaannya bermakna atau tidak. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Farmakognasi-Fitokimia dan Laboratorium
Mikrobiologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas
Rimpang kering temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di
Kotamadya Yogyakarta (Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo
dan Pasar Giwangan) (Gunawan dkk., 2010) serta rimpang segar temulawak dari
pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan November 2010 kemudian
diolah menjadi simplisia rajangan sesuai cara pembuatan simplisia yang baik
(DepKes RI, 1985).
b. Variabel tergantung
Nilai AKK simplisia rimpang kering temulawak dalam jamu godhog dari
empat pasar di Kotamadya Yogyakarta dan nilai AKK rimpang segar temulawak
dari pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan November 2010 yang
diolah menjadi simplisia berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik
(DepKes RI, 1985).
2. Variabel pengacau terkendali
a. Untuk simplisia kering temulawak dalam jamu godhog :
Suhu inkubasi (20–250 C), Waktu inkubasi (3–5 hari), media pertumbuhan
kapang / khamir (PDA), asal rimpang temulawak (Pasar Demangan, Pasar
Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan), hasil sortasi kering.
b. Untuk simplisa yang diolah berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik:
Waktu panen (10 bulan), umur temulawak (10 bulan), suhu pengeringan
oven (500C), tebal rajangan (7-8mm), lama pengeringan (±10 jam), suhu inkubasi
(20–250C), lama inkubasi (3–5 hari), media pertumbuhan kapang/khamir (PDA).
3. Variabel pengacau tak terkendali
Untuk simplisia rimpang kering temulawak dalam jamu godhog dari
empat pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu : waktu panen,
umur rimpang temulawak, suhu pengeringan rimpang, tebal rajangan, lama
pengeringan, cara pengemasan dan penyimpanan.
4. Definisi Operasional
a. Jamu godhog adalah jamu yang diperoleh dari empat pasar di Kotamadya
24
Giwangan) yang terbuat atau diracik dari beberapa simplisia kering atau
rajangan bagian tanaman obat yang diolah melalui beberapa proses dan
dikemas dengan pengemas yang sesuai.
b. Simplisia rimpang kering temulawak adalah rimpang temulawak yang berasal
dari jamu godhog yang dijual di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta, yaitu
Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan
yang dibeli pada bulan November 2010.
c. Rimpang segar temulawak diperoleh dari pasar Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah pada bulan November 2010 yang kemudian diolah menjadi simplisa
berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik (DepKes RI, 1985).
d. Kapang adalah koloni fungi yang berserabut, berpenampilan seperti kapas
(Pelczar dan Chan, 2008) tanpa membedakan warna koloni.
e. Khamir adalah koloni fungi yang berbau seperti asam, berukuran lebih kecil
dibandingkan koloni kapang dan tidak berserabut, tanpa membedakan warna
dan bentuk koloni (Jutono, dkk., 1980).
f. Angka Kapang/Khamir (AKK) adalah koloni kapang/khamir yang diinkubasi
pada suhu 250C selama 3-5 hari, kemudian jumlah koloni dihitung sesuai
rumus menurut Standar Nasional Indonesia 01-2897-1992 (DepKes RI, 1992)
tanpa membedakan morfologi koloni.
g. Serbuk rimpang temulawak adalah serbuk yang didapat dari hasil
penyerbukan simplisia rimpang kering temulawak menggunakan mesin
penyerbuk dan diayak dengan ayakan 8/14.
C. Bahan Penelitian
Simplisia rimpang kering temulawak dalam jamu godhog yang dijual di
empat pasar di Kotamadya Yogyakarta (Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar
Beringharjo dan Pasar Giwangan); rimpang segar temulawak dari pasar
Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan November 2010 kemudian diolah
menjadi simplisia berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik; Media
pertumbuhan koloni kapang/khamir yaitu Potato Dextrose Agar (PDA), Air
Suling Agar (ASA) 0,05% (aquadest steril dan mycological agar), Kloramfenikol
100 gram / L media, etanol 70% dan aquadest.
D. Alat Penelitian
Micological Safety Cabinet , autoklaf, inkubator (Hereaus), vortex (Stuart
Scientific), oven (Memmert model 400), alat penghitung koloni/colony counter
(Electric Bactery Colony Counter healt®), neraca analitik, lampu spiritus, stirer
magnetic, dan alat-alat gelas.
E. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan dan pemilihan sampel rimpang temulawak
Penelitian ini menggunakan dua jenis sampel, yaitu :
a. Simplisia rimpang kering temulawak dari jamu godhog di empat pasar di Kotamadya Yogyakarta.
1) Penentuan pasar
Penentuan pasar dilakukan dengan menggunakan Simple Random
Sampling (cara undian) dan didapatkan empat pasar, yaitu Pasar
26
satu pedagang di setiap pasar diambil satu jamu godhog sebagai sampel
(Gunawan dkk., 2000). Dari penelitian Gunawan dkk. (2000) diperoleh
data bahwa simplisia rimpang temulawak yang merupakan simplisia
terbanyak di dalam komposisi jamu godhog, maka dipilih simplisia
rimpang temulawak sebagai sampel dalam penelitian ini.
2) Identifikasi sampel simplisia rimpang kering temulawak dan rimpang
segar temulawak
Identifikasi sampel rimpang segar temulawak dan simplisia
rimpang kering temulawak dari jamu godhog dari empat pedagang di
Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan
diuji secara organoleptik dan makroskopik. Simplisia rimpang temulawak
diambil sebanyak 15 gram dan rimpang segar temulawak diambil
sebanyak 5 kg, diidentifikasi secara organoleptik dan makroskopik
menurut buku Materia Medika Indonesia Jilid III (DeKes RI, 1979) : bau
aromatik, rasa tajam dan pahit, keping tipis bentuk bundar atau jorong,
ringan, keras, rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm;
permukaan luar berkerut, warna coklat kuning sampai coklat; bidang irisan
bewarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata,
sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan
korteks; korteks sempit, tebal 3 sampai 4 mm. Bekas patahan berdebu,
warna kuning jingga sampai coklat jingga terang.
b. Rimpang segar temulawak yang diolah berdasarkan cara pembuatan
simplisia yang baik (DepKes RI, 1985)
1) Pengumpulan rimpang segar temulawak
Rimpang segar temulawak dari pasar Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah pada bulan November 2010; dipilih rimpang yang berasal dari
daerah Borobudur. Rimpang segar temulawak yang diperoleh sebanyak 5
kg. Kriteria pemilihan rimpang segar temulawak adalah dipanen saat
berumur 10 bulan, belum membusuk, permukaannya kering, tidak
bertunas, dan hanya sedikit kotoran yang menempel pada permukaan
rimpang.
2) Tahapan pembuatan simplisia rimpang temulawak (DepKes RI, 1985)
Pertama-tama rimpang segar temulawak disortasi basah dengan
tujuan untuk membuang kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari
bahan simplisia seperti tanah, krikil, rumput, akar yang telah rusak, dan
pengotor lainnya. Hasil sortasi basah kemudian dicuci menggunakan air
mengalir dan disikat untuk menghilangkan kotoran yang menempel di
permukaan rimpang.
Perajangan dilakukan ketika rimpang sudah benar-benar bersih
dengan pisau stainless steel sehingga diperoleh irisan dan potongan
dengan ukuran yang dikehendaki (7 - 8 mm). Pengeringan dilakukan
dalam oven dengan suhu 500 C selama ± 10 jam atau sampai kadar air
simplisia kurang dari 10% yaitu ditunjukkan dengan simplisa yang mudah
28
Simplisa yang sudah kering dipisahkan dari benda-benda asing
seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang
masih tertinggal pada simplisia kering. Simplisia yang sudah dipisahkan
dari benda-benda asing kemudian disimpan dalam wadah plastik tertutup
rapat pada suhu kamar 15-300 C, terhindar dari cemaran mikrobia dari luar,
panas, cahaya, kelembaban dan pengaruh udara dari luar.
2. Pembuatan serbuk simplisia rimpang temulawak
Simplisia kering rimpang temulawak diserbuk menggunakan mesin
penyerbuk dan diayak dengan ayakan 8/14. Serbuk kemudian diuji AKK-nya.
3. Pengujian AKK simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar tradisional dan sampel yang diolah berdasarkan Cara Pembuatan Simplisia yang Baik (DepKes RI, 1985).
a. Pembuatan media dan larutan pengencer
1) Media Potatoes Dextrose Agar (PDA)
Sebanyak 39 g serbuk PDA disuspensikan dalam 1 L aquadest, kemudian
dilarutkan dengan pemanasan dan diaduk hingga merata, dimasukkan dalam
wadah yang sesuai. Disterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu
1210C. Setelah suhu media 400C ditambahkan 100 g / L media kloramfenikol.
2) Larutan pengencer Air Suling Agar (ASA) 0,05%
Sebanyak 0,5 g serbuk mycological agar dilarutkan ke dalam 1 L aquadest
steril, dikocok hingga merata dan dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer.
Disterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C.
b. Homogenisasi sampel
Dengan cara aseptis, ditimbang sebanyak 10 g sampel ke dalam wadah
steril yang sesuai, kemudian ditambahkan 90 ml ASA 0,05% dan dihomogenkan.
Jika jumlah sampel kurang dari 10 g, maka pengambilan cuplikan dan pengencer
disesuaikan hingga diperoleh suspensi pengenceran 1 : 10 dan dikocok homogen.
Dalam penelitian ini 1 g sampel ditambahkan dengan ASA 0,05% sampai batas
10 ml dalam labu takar 10 ml (BPOM RI, 2006).
c. Uji angka kapang/khamir (AKK)
Disiapkan 5 labu takar atau lebih dengan volume 10 ml, dipipet 1 ml
pengenceran 10-1 dari hasil homogenisasi sampel dan dimasukkan ke dalam labu
takar pertama ditambahkan sampai tanda 10 ml dengan larutan pengencer ASA
0,05% hingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dikocok sampai homogen dengan
vortex. Kemudian dibuat pengenceran selanjutnya hingga pengenceran 10-6 atau
sesuai dengan yang diperlukan. Dipipet 1 ml dari masing-masing pengenceran dan
dituangkan pada cawan petri dan dibuat duplo. Ke dalam tiap cawan dituangkan
15 ml media PDA (450 ± 10 C), kemudian segera cawan petri digoyang sambil
diputar agar suspensi tersebar merata (pour plate).
Untuk mengetahui sterilitas media (kontrol media) dan pengencer ASA
0,05% (kontrol pelarut / kontrol negatif) dilakukan kontrol (uji blangko), dengan
menuangkan 1 ml pengencer ASA 0,05% dan media PDA dalam suatu cawan
petri dan dibiarkan memadat. Kemudian menuangkan pula media ke cawan petri
lain dan dibiarkan memadat. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 20 – 250 C
30
Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung pada enam replikasi,
cara perhitungan hasil dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan dalam SNI
(DepKes RI, 1992). Perlakuan pengujian AKK ini dilakukan terhadap sampel
rimpang segar temulawak yang diolah berdasarkan cara pembuatan simplisia yang
baik dan juga simplisia rimpang kering temulawak yang berasal dari jamu godhog
yang dijual oleh empat pedagang di Kotamadya Yogyakarta.
d. Cara perhitungan AKK
Cara perhitungan nilai AKK adalah sesuai Standar Nasional Indonesia
01-2897-1992 (DepKes RI, 1992) sebagai berikut :
Dipilih cawan petri dari suatu pengenceran yang menunjukkan jumlah
koloni antara 10-150 koloni. Jumlah koloni dari ke dua cawan dihitung lalu
dikalikan dengan faktor pengencerannya. Bila pada cawan petri ada 2 tingkat
pengenceran yang berurutan menunjukkan jumlah antara 10-150, maka dihitung
jumlah koloni dan dikalikan faktor pengencerannya, kemudian diambil angka
rata-rata. Hasil dinyatakan sebagai angka kapang/khamir dalam tiap gram contoh.
1) Bila hanya salah satu di antara ke dua cawan petri dari pengenceran yang
sama menunjukkan jumlah antara 10 – 150 koloni, dihitung jumlah koloni
dari ke dua cawan dan dikalikan dengan faktor pengenceran.
2) Bila pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi didapatkan jumlah koloni
lebih besar dari dua kali jumlah koloni pada pengenceran di bawahnya,
maka dipilih tingkat pengenceran terendah (misal pada pengenceran 10-2
diperoleh 60 koloni dan pada pengenceran 10-3 diperoleh 20 koloni, maka
dipilih jumlah koloni pada tingkat pengenceran 10-2, yaitu 60 koloni). Bila
pada pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni kurang dari dua
kali jumlah koloni dibawahnya, maka diambil angka rata-rata dari jumlah
koloni ke dua pengenceran tersebut. Misal pada pengenceran 10-2
diperoleh 60 koloni dan pengenceran 10-3 diperoleh 10 koloni, maka
Angka Kapang/Khamir (AKK) adalah : 10 2
10 6
x
+ -3
= 8 x 10-3
3) Bila pada seluruh cawan petri tidak ada satupun yang menunjukkan jumlah
antara 10 – 150 koloni, maka dicatat angka sebenarnya dari tingkat
pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang/khamir
perkiraan.
4) Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan
karena faktor inhibitor, maka angka kapang/khamir dilaporkan sebagai
kurang dari satu dikalikan faktor pengenceran terendah.
e. Cara menyatakan hasil (DepKes RI, 2002)
Dalam melaporkan jumlah koloni atau jumlah koloni perkiraan hanya 2
angka penting yang digunakan, yaitu angka yang pertama dan kedua (dimulai dari
kiri), sedangkan angka yang ketiga diganti dengan 0 apabila kurang dari 5 dan
apabila 5 atau lebih dijadikan 1 yang ditambahkan pada angka kedua.
Contoh : 523.000 dilaporkan sebagai 520.000 (5,2 x 105)
32
F. Analisis Hasil
Data yang diperoleh berupa data kuantitatif jumlah koloni kapang/khamir
yang dianalisis dengan cara perhitungan AKK. Data tersebut kemudian
dibandingkan dengan batas minimal AKK sesuai persyaratan KepMenKes No
661/Menkes/SK/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional (DepKes RI, 1994).
Persyaratan untuk sediaan rajangan dan serbuk adalah tidak lebih dari 104 CFU/g
sampel. Dari perhitungan nilai AKK ini, bisa diketahui perbedaan nilai AKK
simplisia rimpang temulawak dalam jamu godhog yang dijual di empat pasar di
Kotamadya Yogyakarta dengan simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai
cara pembuatan obat tradisional yang baik dan apakah ke empat sampel tersebut
memenuhi persyaratan atau tidak. Nilai AKK simplisia rimpang temulawak yang
dibuat sesuai cara pembuatan simplisia yang baik dibandingkan dengan simplisia
rimpang temulawak dalam jamu godhog dari keempat pasar tradisional
menggunakan analisis statistik, yaitu uji normalitas Data dan dilanjutkan dengan
uji T Tidak Berpasangan untuk mengetahui perbedaannya bermakna atau tidak.
33 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan dan Pemilihan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu
simplisia rimpang kering temulawak dalam jamu godhog dari empat pasar di
Kotamadya Yogyakarta (Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo
dan Pasar Giwangan) serta rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah yang diperoleh pada bulan November 2010 yang diolah
menjadi simplisia rajangan berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik
(DepKes RI, 1985).
1. Rimpang kering temulawak
a. Penentuan pasar dan pedagang jamu godhog
Penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Sigit (2003), jumlah sampel
untuk penelitian deskriptif minimal 10 % dari total populasi. Populasi pasar di
Kotamadya Yogyakarta terdapat 31 pasar. Maka, dipilih empat pasar sebagai
lokasi pengambilan sampel dalam penelitian ini.
Penentuan pasar dilakukan dengan menggunakan Simple Random
Sampling (cara undian). Metode ini dipilih agar setiap pasar yang ada di
Kotamadya Yogyakarata, yaitu sebanyak 31 pasar mendapat kesempatan yang
sama untuk dipilih. Dari 31 pasar di Kotamadya Yogyakarta setelah dilakukan
pengundian didapatkan empat pasar sebagai lokasi pengambilan sampel dalam
penelitian ini. Empat pasar tersebut adalah Pasar Demangan, Pasar Kranggan,
34
Dari empat pasar yang diperoleh, dipilih satu pedagang jamu godhog dari
setiap pasar menggunakan Convinience sampling (sampling perkoleh). Metode ini
dipilih karena populasi pedagang jamu godhog yang tidak homogen dan sulit
untuk diidentifikasi (Sigit, 2003). Dari masing-masing pedagang jamu godhog
dipilih satu kemasan jamu godhog sebagai sampel dalam penelitian ini. Untuk
Pasar Kranggan, Pasar Demangan dan Pasar Giwangan hanya terdapat satu
pedagang yang menjual jamu godhog, sehingga peneliti menggunakan jamu
godhog yang dijual pedagang tersebut sebagai sampel. Untuk Pasar Beringharjo
terdapat lebih dari satu pedagang yang menjual jamu godhog dan peneliti hanya
memilih satu jamu godhog dari satu pedagang untuk dipergunakan sebagai
sampel.
b. Identifikasi rimpang segar dan rimpang kering temulawak
Tujuan dari identifikasi rimpang basah dan rimpang kering temulawak
adalah untuk mengetahui apakah bahan yang digunakan dalam penelitian ini
benar-benar merupakan rimpang temulawak dan rimpang kering temulawak.
Identifikasi rimpang basah maupun rimpang kering temulawak dilakukan dengan
cara membandingkan keadaan sampel dengan uji organoletik dan uji makroskopis
yang tertera dalam buku panduan identifikasi tanaman (DepKes RI, 1979).
Dari hasil identifikasi didapatkan bahwa sampel yang digunakan adalah
rimpang basah dan rimpang kering temulawak. Tabel 1. berikut ini adalah hasil
identifikasi yang dilakukan.
Tabel 1. Hasil identifikasi rimpang kering dan segar temulawak
Keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras, permukaan berkerut, warna coklat kuning sampai coklat tua; bidang irisan bewarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks; korteks sempit, tebal 3 mm sampai 4 mm.
Pasar
Berupa keping tipis, bentuk agak bundar, ringan dan keras, permukaan berkerut, warna kuning jingga; kortek sempit, tebal 4 mm.
Pasar
Keping tipis, bentuk bulat, ringan dan keras, permukaan berkerut, warna kuning jingga kecoklatan, kortek sempit, tebal 3 mm.
Pasar
Keping tipis, bentuk lonjong, ringan dan juga keras, permukaan berkerut, warna coklat kekuningan, kortek sempit, tebal 4 mm.
Pasar
Keping tipis, bentuk bulat, ringan dan juga keras, permukaan berkerut, warna coklat kekuningan, kortek sempit, tebal 3 mm.
Rimpang
Rimpang basah berbentuk bundar dan ada yg jorong, garis tengah sampai 6 cm, kulit luar berwarna kecoklatan dan bagian dalam bewarna kuning jingga.