• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR. 20/KPPU-I/2009).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR. 20/KPPU-I/2009)."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

(KPPU RI) SURABAYA

( Studi Kasus Putusan Nomor : 20/KPPU-I/2009 )

SKRIPSI

(Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana

Hukum Pada Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jawa Timur)

Oleh :

BAGUS YANIS ARDI PRASETYA

NPM. 0671010006

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA

(2)

ii

PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR. 20/KPPU-I/2009)

Disusun Oleh :

BAGUS YANIS ARDI PRASETYA

NPM. 0671010006

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Pembimbing Pendamping

Sutrisno, S.H., M.Hum.

Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn.

NIP. 19601212 198803 1 001

NPT. 37507070225

Mengetahui,

D E K A N

(3)

iii

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR. 20/KPPU-I/2009)

Oleh :

BAGUS YANIS ARDI PRASETYA

NPM. 0671010006

Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima olehTim Penguji Skirpsi

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Naisonal ”Veteran” Jawa Timur

Pada tanggal 10 Juni 2011

Tim Penguji:

1. Sutrisno, S.H., M.Hum.

( ... )

NIP. 19601212 198803 1 001

2. Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M

( ... )

NIP. 19620625 199103 1 001

3. Subani, SH., M.Si.

( ... )

NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui,

D E K A N

(4)

iv

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR. 20/KPPU-I/2009)

Oleh :

BAGUS YANIS ARDI PRASETYA

NPM. 0671010006

Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima olehTim Penguji Skirpsi

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Naisonal ”Veteran” Jawa Timur

Pada tanggal 10 Juni 2011

Tim Penguji:

1. Sutrisno, S.H., M.Hum.

( ... )

NIP. 19601212 198803 1 001

2. Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M

( ... )

NIP. 19620625 199103 1 001

3. Subani, SH., M.Si.

( ... )

NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui,

D E K A N

(5)

v

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: Bagus Yanis Ardi Prasetya

Tempat/Tanggal Lahir

: Surabaya, 25 Januari 1988

NPM

: 0671010006

Konsentrasi

: Perdata

Alamat

: Perum. TNI AL Block B3 No. 26

Candi – Sidoarjo

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul :

“TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (STUDI KASUS

PUTUSAN NOMOR. 20/KPPU-I/2009)” dalam rangka memenuhi syarat untuk

memperoleh gelar Sajar Hukum pada Fakultas Hukm Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri,

yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan

(plagiat).

Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka

saya bersedia dituntut di depan Pangadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana

Hukum) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan

penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui

Surabaya, 16 Juni 2011

KaProdi

Penulis,

Subani, SH., M.Si

Bagus Yanis Ardi Prasetya

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nyalah, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Disini peneliti mengambil judul

TINJAUAN

YURIDIS PUTUSAN KOMISI PERSAINGAN USAHA REPUBLIK

INDONESIA (KPPU RI) SURABAYA (Studi Kasus Putusan Nomor.

20/KPPU-I/2009)

Penelitian ini diajukan untuk memenuhi sebagian prasyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Peneliti skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan dan

dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada:

1.

Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur serta Selaku Dosen

Wali Penulis Selama Kuliah.

2.

Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur serta Selaku Dosen

Pembimbing Utama.

(7)

vii

4.

Ibu Wiwin Yulianingsih, S.H., M.kn selaku Dosen Pembimbing Pendamping,

yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan dengan

kesabarannya membimbing penulis sampai selesainya skripsi ini.

5.

Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

6.

Kepada kedua orang tua tercinta Bapak, Letkol Laut Suryono dan Ibu, Emmy

Utamy tersayang yang telah memberikan do’a, dorongan, dukungan, moril dan

materiil, serta telah mendidik dan membahagiakan saya, Terima kasih atas

do’a dan dukungannya, serta tawa canda yang menjadi semangat saya dalam

belajar.

7.

Kepada Dinas Hukum LANTAMAL V, Letkol Laut Hendro Laksono, S.H

selaku Kepala Dinas Hukum LANTAMAL V Dan Mayor Laut Totok

Sumarsono, S.H., M.H yang telah membimbing dan memotivasi saya.

8.

Semua temanku khususnya Deni Agung Prakoso, Farid Kurniawan, Moch

Gufron, Titis Krisna Ayomi, yang telah sedikit banyak meluangkan waktu dan

canda tawa serta suportnya.

(8)

viii

Harapan penulis, kiranya skripsi ini dapat memberikan sumbangan kecil

yang berguna bagi masyarakat, almamater dan ilmu pengetahuan. Tak lupa juga

penulis mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh

pihak atas kesalahan yang diperbuat selama penyusunan skripsi.

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI...

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ...

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI ...

SURAT PERNYATAAN ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

ABSTRAK ...

BAB I :

PENDAHULUAN ...

1.1.

Latar Belakang Masalah ...

1.2.

Peruumusan Masalah ...

1.3.

Tujuan Penelitian ...

1.4.

Manfaat Penelitian ...

a.

Manfaat Teoritis ...

b.

Manfaat Praktis ...

1.5.

Kajian Pustaka ...

1.6.

Metodologi Penelitian ...

BAB II :

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN KPPU

TERHADAP PERKARA NO. 20/KPPU-I/2009 ...

2.1. Pengertian Kekuatan Hukum Dari Putusan ...

(10)

x

BAB III :

BENTUK UPAYA HUKUM DARI PARA PIHAK

TERHADAP PUTUSAN KPPU RI JAWA TIMUR

NO. 20/KPPU-I/2009 ...

3.1. Bentuk Upaya Hukum ...

3.2. Upaya Hukum yang Ditempuh oleh PT

Angkasa Pura (Persero) ...

BAB IV

PENUTUP ...

4.1.

Kesimpulan ...

4.2.

Saran ...

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

41

41

(11)

xi

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA

TIMUR FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa

: Bagus Yanis Ardi Prasetya

NPM

: 0671010006

Tempat/Tanggal Lahir

: Surabaya, 25 Januari 1988

Program Studi

: Strata 1 (S1)

Judul Skripsi

:

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KOMISI PENGAWAS

PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA

(KPPU RI) SURABAYA

(Studi Kasus Putusan Nomor : 20/KPPU-I/2009)

ABSTRAKSI

Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diduga telah terjadi

dalam pengelolaan angkutan Taksi di Bandar Udara Juanda, di mana angkutan

taksi adalah pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasional

terbatas meliputi daerah kota atau perkotaan. Pelayanan angkutan taksi

diselenggarakan dengan ciri-ciri tidak berjadwal; dilayani dengan mobil

penumpang umum jenis sedan atau station wagon dan van yang memiliki

konstruksi seperti sedan, sesuai standar teknis yang ditetapkan oleh direktur

jenderal; tarif angkutan berdasarkan argo meter; dan pelayanan dari pintu ke

pintu. Kasus praktik monopoli angkutan taksi tersebut ditangani oleh KPPU

Surabaya.

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI Surabaya No.

20/KPPU-I/2009 mengikat para pihak untuk melaksanakannya selama salah satu pihak tidak

keberatan atas putusan KPPU tersebut. Putusan KPPU merupakan suatu putusan

non litigasi, maksudnya putusan bukan dari pengadilan umum, sehingga tidak

mempunyai kekuatan eksekusi, melainkan harus didasarkan atas penetapan Badan

Peradilan Umum seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung.

Bentuk upaya hukum dari para pihak yaitu PT Angkasa Pura Cabang

Bandara Internasional Juanda Surabaya terhadap putusan KPPU RI Surabaya No.

20/KPPU-I/2009 yaitu mengajukan keberatan pada Pengadilan Negeri. Pengadilan

Negeri menolak permohonan keberatan yang diajukan oleh PT Angkasa Pura I

(Persero) dan akhirnya PT Angkasa Pura I (Persero) mengajukan upaya kasasi

pada Mahkamah Agung.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai berbagai kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali.

Perwujudan kesejahteraan masyarakat melalui cara memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Untuk itu setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.

(13)

Business Competition sebagai berikut: 1

Membahas mengenai hukum persaingan yang merupakan salah satu bagian dari hukum ekonomi, pasti tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pasal 33 UUD 1945, yang berfungsi sebagai panduan normatif dalam menyusun kebijakan perekonomian nasional. Melalui pasal 33 UUD 1945 tersirat bahwa tujuan pembangunan nasional yang hendak dicapai haruslah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan, yaitu adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 melindungi kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan bebas.

Pemerintah dalam upayanya untuk menyongsong ekonomi era pasar bebas, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ( selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999 ).

Tujuan dibentuknya UU No. 5 Tahun 1999, adalah untuk mengarahkan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Perwujudan kesejahteraan masyarakat melalui cara memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Untuk itu setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.

1

(14)

Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 terdapat larangan-larangan yang dilakukan oleh pengusaha yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat, salah satu larangan tersebut di antaranya larangan untuk mengadakan perjanjian. Perjanjian yang dimaksud menurut pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah:

“suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.

Perjanjian yang dimaksud adalah dilarang jika perjanjian yang dibuat tersebut berakibat terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi salah satunya dengan cara persekongkolan, menurut pasal 22 UU N0. 5 Tahun 1999 menentukan:

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

Adanya dugaan telah terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam pengelolaan angkutan Taksi di Bandar Udara Juanda, di mana angkutan taksi adalah pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasional terbatas meliputi daerah kota atau perkotaan. Pelayanan angkutan taksi diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(15)

b. dilayani dengan mobil penumpang umum jenis sedan atau station wagon dan van yang memiliki konstruksi seperti sedan, sesuai standar teknis yang ditetapkan oleh direktur jenderal;

c. tarif angkutan berdasarkan argo meter; d. pelayanan dari pintu ke pintu.

Selama jenis taksi dan tarif operasional angkutan berdasarkan argo meter dan jika dikaitkan dengan setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, maka tidak ada alasan antar pelaku usaha pesaing untuk membatasi dan melarang pelaku usaha pesaing memasuki pasar taksi yang sama. Kenyataan yang terjadi pengelola Bandar Udara Juanda dengan taksi Primanya menghalang-halangi pelaku usaha taksi yang lain untuk memasuki Bandara Juanda untuk bersaing secara sehat.

(16)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisa dalam skripsi ini yaitu :

1. Apakah putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI Surabaya No. 20/KPPU-I/2009 mengikat para pihak untuk melaksanakannya?

2. Bagaimana bentuk upaya hukum dari para pihak terhadap putusan KPPU RI Surabaya No. 20/KPPU-I/2009 ?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI Surabaya mengikat para pihak untuk melaksanakannya.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk upaya hukum dari para pihak terhadap putusan KPPU RI Surabaya No. 20/KPPU-I/2009.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam mengelola taksi di Bandar Udara Juanda.

b. Manfaat Praktis.

(17)

Juanda di mana pengelola menolak pelaku usaha taksi sebagai pesaing memasuki pasar yang sama.

1.5. Kajian Pustaka

Putusan atau vonis merupakan hasil akhir dari pemeriksaan sidang pengadilan. Putusan pengadilan (litigasi) mempunyai kekuatan hukum jika para pihak tidak melakukan upaya biasa yaitu banding pada Pengadilan Tinggi, kasasi pada Mahkamah Agung atau melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung. Putusan tersebut telah mempunyai kepastian hukum jika tidak menempuh upaya hukum dengan dapat dilaksanakan atau dieksekusi dengan adanya irah-irah kalimat pada putusan tersebut yaitu ”Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan putusan lembaga di luar pengadilan atau non litigasi bersifat himbauan kepada para pihak yang bersengketa, karena putusan non litigasi misalnya Putusan KPPU, KADIN, Arbitrase dan sejenis tidak mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan atau dilakukan eksekusi, karena dalam putusan lembaga non litigasi tidak terdapat irah-irah kalimat pada putusan tersebut yaitu ”Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Putusan tersebut jika akan dilakukan eksekusi, maka harus meminta penetapan pada Pengadilan Negeri.

Mengenai Jenis-jenis putusan. Pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg) membedakan antara putusan akhir dan putusan bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau

(18)

perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula yang bwersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).2

a. Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan cndemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya dapat terdiri dari memberi, berbuat dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang.

Karena dengan ptuusan condemnatoir itu tergugat diwajibkan untuk memenuhi prestasi, maka hak daripada pwenggugat yang telah ditetapkan itu dapat dilaksanakan dengan paksa (execution forcee). Jadi putusan condemnatoir kecuali mempunyai kekuatan mengikat juga memberi alas hak eksekutorial kepada penggugat yang berarti memberi hak kepada penggugat untuk menjalankan putusan secara paksa melalui pengadilan.

b. Putusan constitutif adalah putusan yang menjadikan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pwengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (ps. 1266, 1267 BW) dan sebagainaya. Putusan constitutif ini pada

2

(19)

umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti tersebut di atas, karena tidak mentapkan hak atas suatu prestasi tertentu, maka akibat hukumnya atau pelaksanaannya tidak tergantung pada bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan keadaan atau hubungan hukum itu sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa memerlukan upaya pemaksa. Pengampuan dan kepailitan misalnya terjadi pada saat putusan yang dijatuhkan.

c. Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan declaratoir. Di sini dinyatakan sebagai hukum, bahwa keadaan hukum terrtentu yang dituntut oleh penggugat atau pemohon ada aau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi. Putusan declaratoir murni tidak mempunyai atau memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat saja.

(20)

Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 menentukan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

a. Pengertian Pelaku Usaha

Pelaku usahamenurut pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) adalah :

“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pelaku usaha menurut pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah:

(21)

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Pelaku usaha yang dimaksud dapat berupa orang perorangan maupun badan usaha, asalkan berkedudukan di Indonesia, dan menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha di bidang ekonomi.

Pengertian pelaku usaha tersebut “boleh dibilang cukup luas hingga mencakup segala jenis dan bentuk usaha, dengan tidak memperhatikan sifat badan hukumnya, sepanjang pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatannya dalam bidang ekonomi di wilayah Negera Republik Indonesia”.3

b. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Persaingan usaha tidak sehat menurut pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 adalah:

“Persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”.

Memperhatikan uraian pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 di atas dapat dijelaskan bahwa terjadi suatu praktek monopoli apabila terdapat dua atau lebih perusahaan yang memproduksi barang sejenis, memasarkan produknya tersebut secara tidak jujur atau melawan hukum.

3

(22)

Di dalam ilmu ekonomi pasar, yang paling ideal adalah pasar yang bersaing sempurna. Persaingan secara sempurna dapat mendorong perusahaan untuk bersaing secara sehat, karena perusahaan-perusahaan tersebut akan menghasilkan produk-produk dengan harga yang lebih murah, dengan mutu yang lebih baik, dan pelayanan yang lebih memuaskan, karena: 4

1) Barang yang diperjualbelikan homogen

Barang tersebut harus memiliki karakteristik yang identik. Jika yang diperjualbelikan adalah mangga, maka kita membahas jenis mangga yang sama dengan kualitas yang sama pula.

2) Jumlah penjual dan jumlah pembeli sangat banyak. Mengenai jumlah tidak ada literatur yang menunjukkan berapa nilai sebenarnya sangat banyak itu. Banyak bisa berarti 20, 100 atau bahkan 1000.

3) Ciri berikut dari pasar persaingan sempurna adalah tidak adanya hambatan (barrier to entry) bagi setiap penjual untuk masuk ke dalam pasar, ataupun untuk keluar dari pasar.

4) Pada pasar persaingan sempurna, di mana baik penjual maupun pembeli mengetahui seluruh informasi pasar secara sempurna.

Meskipun UU No. 5 Tahun 1999 telah dengan tegas melarang pelaku usaha menjalankan usahanya menerapkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, namun kenyataannya usaha dalam menjalankan usahanya:5

… akan selalu mencoba memaksimumkan keuntungan yang dapat diraihnya. Keuntungan yang paling besar bagi pelaku usaha adalah jika dia dapat menguasai pasar dan menentukan apa yang harus terjadi pada pasar tersebut. Keinginan pelaku usaha untuk menguasai pasar tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu cara yaitu untuk menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar.

Melakukan perbuatan dengan cara menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar dapat dikualifikasikan melakukan persaingan tidak

4

Partnership for Business Competition, Op. cit., h. 13.

5

(23)

sehat. Persaingan usaha yang tidak sehat adalah tidak sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam konsideran UU No. 5 Tahun 1999, bagian menimbang menentukan sebagai berikut:

a. pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;

b. demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempat-an ykesempat-ang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;

c. setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.

Ketentuan yang ada dalam konsideran UU No. 5 Tahun 1999, nampak jelas bahwa keinginan dari negara Indonesia adalah melibatkan seluruh warga negara Indonesia dalam proses produksi barang dan jasa, dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masya-rakat melalui keterlibatannya dalam proses produksi barang dan harga dapat terwujud jika setiap warga negara dalam menjalankan usahanya dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar. Persaingan yang sehat dan wajar jika dalam menjalankan usahanya dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien.

(24)

nasional. Melalui pasal 33 UUD 1945 tersirat tujuan pembangunan ekonomi yang hendak dicapai haruslah berdasarkan pada demokrasi yang bersifat kerakyatan, yaitu adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti bahwa: 6

Pasal 33 UUD 1945 terkandung makna perlindungan kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan mekanisme pasar berlangsung dengan bebas. Selain itu, memberikan petunjuk bahwa jalannya perekonomian nasional tidak begitu saja diserahkan kepada pasar, untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Persaingan usaha yang dilakukan tidak jujur atau disebut juga dengan persaingan usaha yang dilakukan secara negatif, atau sering diistilahkan sebagai persaingan usaha tidak sehat, akan berakibat pada : 7

1) matinya atau berkurangnya persaingan antar pelaku usaha;

2) timbulnya praktek monopoli dimana pasar dikuasai hanya oleh pelaku usaha tersebut;

3) bahkan kecenderungan pelaku usaha untuk mengeksploitasi konsumen dengan cara menjual barang yang mahal tanpa kualitas yang memadai.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selalu mempunyai keinginan untuk mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Keuntungan tersebut dapat diperoleh jika pelaku usaha tersebut melakukan perbuatan yang mampu menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar. Dengan menghambat pelaku usaha lain masuk ke pasar, maka mempunyai posisi dominan dalam suatu pasar.

6

Ibid.,h. 76.

7

(25)

Posisi dominan menurut pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Jadi pelaku usaha dapat digolongkan sebagai menguasai pasar atau dominan pada suatu pasar jika pada pasar yang bersangkutan tidak mempunyai pesaing yang berarti pada pasar yang bersangkutan, atau mempunyai posisi tertinggi di antara pesaing baik kemampuan keuangan, akses pasokan atau penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

(26)

Berbicara mengenai persaingan usaha tidak sehat dan monopoli, menyangkut apa yang disebut kegiatan yang dilarang diatur dalam Bab IV UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 mengupas tentang monopoli yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1) melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa;

2) penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Berkaitan dengan penguasaan atas produk dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang mengarah pada monopoli di mana monopoli sudah menunjukkan bahwa pelaku usaha berada dalam posisi dominan. Sedangkan posisi dominan ditentukan dalam pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999:

1. Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalang-halangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologis, atau mengham-bat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

2. Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50 % (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau

(27)

Bentuk penguasaan pasar yang disalahgunakan dan dilarang adalah: 8 (1) menolak pelaku usaha lain berpartisipasi dalam pasar yang sama

atau sengaja menciptakan barrier to entry dengan cara refusal to deal dan melakukan primary boycott.

(2) menghalangi konsumen/pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan usaha atau melakukan secondary boycott.

(3) melakukan pembatasan produk dan distribusinya dan diskriminasi harga.

(4) melakukan perbuatan monopoli terhadap pelaku usaha tertentu. Dikatakan sebagai telah melakukan penguasaan pasar jika melakukan suatu tindakan yang menguasai sebesar 50 % atau 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa sesuai dengan yang dikemukakan oleh Asril Sitompul sebagai berikut:

Ukuran penguasaan pasar tersebut tidak harus 100%, adanya penguasaan sebesar 50% atau 75 % saja sudah dapat dikatakan mempunyai “market power”, pelaku usaha yang mempunyai market power ini harus benar-benar dijadikan perhatian oleh pihak yang berwenang mengawasi pelaksanaan Undang-Undang anti Monopoli, karena pelaku usaha seperti inilah yang dapat melakukan penguasaan pasar seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas.9 Perihal pengertian penguasaan atas produksi sebagaimana tertuang dalam unsur pasal 17 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) barang dari atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya; 2) mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam

persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;

3) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

8

Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,h. 68.

9

(28)

Dengan adanya pasal 17 dan pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999, maka pengertian monopoli harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 17 dan pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999, dan tidak diartikan penguasaan lebih dari 50 % pangsa pasar atas komoditi tertentu. Oleh banyak kalangan, monopoli dinilai sangat tidak sehat dan menggangu jalannya mekanisme pasar yang kompetitif. Sebab, monopoli pasar atas komoditi tertentu tersebut dapat membahayakan kepentingan masyarakat luas, terutama konsumen produk yang dimonopoli. Kepentingan konsumen terhadap produk dengan harga yang wajar (reaso-nable price) dan berkualitas baik dapat terancam karena ulah satu atau bebera-pa pengusaha yang memonopoli pasar produk yang mereka butuhkan.10

Selain itu, dimonopolinya suatu produk akan menimbulkan derajat inefesiensi ekonomi yang tinggi karena tidak adanya persaingan yang sehat atas produk tersebut. Dalam situasi di mana tidak ada persaingan (kompetisi) atas pengadaan produk tertentu maka perusahaan yang memegang monopoli tidak akan tertarik atau termotivasi untuk menjaga efisiensi dalam produk yang mereka hasilkan. Situasi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya pemborosan sumber daya, terutama sumber daya alam.

Monopolistik di bidang ekonomi menjadi semakin buruk dan sangat membahayakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan bila monopolistik tersebut diciptakan dan didukung oleh pemerintah (penguasa politik). Keadaan seperti ini jelas-jelas dapat mematikan jalannya

10

(29)

mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif. Bila keadaan seperti ini terus dibiarkan maka akan dapat melumpuhkan sistem politik yang demokratis.

Namun, monopoli keadaan dan pemasaran suatu produk sebenarnya dapat terjadi secara natural. Misalnya, sebuah perusahaan yang mempro-duksi suatu produk tertentu karena kemampuan manajemennya dapat men-capai derajat efisiensi yang relatif tinggi. Perusahaan tersebut dapat mengha-silkan produk yang berkualitas baik dengan harga yang relatif murah. Dengan demikian, perusahaan tersebut dapat mengalahkan pesaing-pesaingnya dan pada akhirnya mampu memonopoli dan mengontrol pasar. Tingkat monopoli seperti ini amat sulit untuk dicapai.

Oleh karena penguasaan pasar atau monopoli pasar tersebut dinilai tidak sehat maka diupayakan agar keadaan monopoli tidak terjadi. Caranya dengan membuat aturan yang memadai dan tegas, antara lain tampak pada unsur monopoli pasal 25 ayat (1) huruf a, b, c UU No. 5 Tahun 1999.

Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah dilarang, karena pada praktek monopoli terjadi: 11

a. pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha; b. adanya penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa

tertentu;

c. terjadi persaingan usaha tidak sehat;

d. tindakan tersebut merugikan kepentingan umum.

11

(30)

Dengan demikian perusahaan dikatakan melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, jika dalam menjalankan usaha memenuhi keseluruhan unsur pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini berarti bahwa meskipun usahanya telah menguasai produk atau pemasaran barang tertentu lebih dari 50 %, namun jika tidak merugikan kepentingan umum dan kepentingan usaha pesaing , maka tidak dapat dikatakan telah melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dikatakan telah terjadi pemusatan kekuatan ekonomi apabila terjadi hal sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan:

“Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha, sehingga dapat “menentukan harga barang dan atau jasa”.

Dengan terjadinya pemusatan ekonomi pasar, maka ”harga dari barang atau jasa yang diperdagangkan tidak lagi mengikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan, melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang menguasai pasar tersebut”.12

Wujud penguasaan pasar ini dapat pula terjadi dalam bentuk penjualan atau pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara “jual rugi”

12

(31)

(predatory pricing) dengan maksud untuk “mematikan” pesaingnya seperti yang dilarang dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan: 13

Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau ersaingan usaha tidak sehat.

Penetapan harga yang dikenal pula dengan predatory pricing atau penetapan harga pasar ditinjau dari segi ekonomi adalah: 14

Suatu kebijakan penetapan harga yang dilakukan oleh sebuah atau banyak perusahaan dengan tujuan untuk merugikan para pemasok pesaing atau untuk memeras konsumen. Penekanan harga (pricing squeezing) dan pemotongan harga “selektif” untuk menggusur para pesaing ke luar dari pasar, sementara pemerasan terhadap konsumen dilakukan dengan penetapan harga yang tinggi oleh para pemasok monopoli (monopoly) dan kartel (cartels).

Di samping itu, pada prakteknya para perusahaan konglomerat yang memonopoli pasar biasanya juga menggunakan persaingan harga (price competition) untuk mendorong produksi dengan kapasitas penuh atau melakukan diskriminasi harga sebagai alat untuk memperbesar laba. Jika berpedoman pada bunyi Pasal 20, maka price competition sebenarnya tidak melanggar undang-undang ini sepanjang tidak ditujukan untuk mematikan atau perbuatan itu tidak menyebabkan matinya pesaingnya di pasar. Dengan demikian, maksud utama (main purpose) dari suatu perbuatan pelaku usaha sangat menentukan sekali dalam menilai apakah perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.

13

Asril Sitompul, Op. Cit., h. 30.

14

(32)

c. Pengertian Kegiatan Yang Dilarang

Pelaku usaha menjalankan usahanya masuk dalam pasar, adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan jasa. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subsitusi dari barang dan atau jasa tersebut. Sebagai pelaku usaha menjalankan usahanya harus tunduk pada peraturan perundang-undangan di antaranya tidak diperkenankan untuk melanggar larangan-larangan. Larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha di antaranya:15

1) perjanjian yang dilarang, dan 2) kegiatan yang dilarang.

Dalam pembahasan berikutnya, materinya dibatasi mengenai kegiatan yang dilarang sesuai dengan materi yang dibahas.

Kegiatan yang dilarang, meliputi: 16 1) monopoli;

2) monopsoni; 3) penguasaan pasar; 4) persekongkolan.

15

Elyta Ras Ginting, Ibid., h. 32-57.

16

(33)

d. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut pasal 1 angka 18 UU No. 5 Tahun 1999 adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Mengenai penunjukan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terdapat pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005, dengan masa jabatan Tahun 2005 – 2010.

1.6. Metodologi Penelitian

a. Pendekatan Masalah

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum, dengan pendekatan permasalahan secara statute approach dan conseptual approach. Statute approach, artinya pendekatan terhadap masalah yang diajukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan Conseptual approach artinya pendekatan permasalahan berdasarkan konsep-konsep hukum.

b. Sumber Bahan Hukum

(34)

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, karena bersifat menjelaskan, yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, terdiri dari literatur maupun karya ilmiah para sarjana.

c. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Bahan hukum dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari dan mengidentifikasinya seluruh bahan hukum baik berupa peraturan perundang-undangan maupun pendapat para sarjana, kemudian bahan hukum tersebut diolah dengan cara dipilah-pilah dari bahan hukum yang bersifat umum kemudian disimpulkan menjadi khusus, sehingga diperoleh bahan hukum yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas, untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini.

d. Teknik Analisis Bahan Hukum

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

(35)

permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.

e. Sistematika Penulisan

Sistematika skripsi ini diawali Bab pertama, Pendahuluan, berisikan gambaran umum permasalahan, yang merupakan pengantar pembahasan pada bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua dengan judul bab Kekuatan Hukum Putusan KPPU Terhadap Perkara No. 20/KPPU-I/2009. Bab ini dibahas untuk menjawab permasalahan pertama apakah putusan KPPU terhadap perkara No. 20/KPPU-I/2009 sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Bab ketiga dengan judul bab Bentuk Upaya Hukum Dari Para Pihak Terhadap Putusan KPPU Dalam Perkara No. No. 20/KPPU-I/2009. Bab ini dikupas untuk menjawab permasalahan kedua yaitu bagaimana bentuk upaya hukum dari para pihak terhadap putusan KPPU dalam perkara No. No. 20/KPPU-I/2009.

(36)

BAB II

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN KPPU TERHADAP PERKARA

NO. 20/KPPU-I/2009

Terhadap putusan KPPU tersebut belum mempunyai kekuatan mengikat jika salah satu pihak merasa keberatan atas putusan KPPU tersebut dapat mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan pasal 44 UU no. 5 Tahun 1999, yang menentukan bahwa dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu dianggap menerima putusan Komisi. Apabila ketentuan tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan Komisi merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

(37)

berperkara keberatan terhadap putusan KPPU tersebut, maka pihak tersebut dapat mengajukan keberatan tersebut pada Pengadilan Negeri, dengan adanya keberatan tersebut, berarti putusan KPPU belum mengikat para pihak untuk melaksanakannya.

Sarana angkutan menggunakan taksi merupakan suatu sarana angkutan penghubung khususnya pada Bandara Juanda sehingga sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Di Bandara Juanda saat ini ada perusahaan taksi milik Yayasan Angkatan Laut yang operasional melalui kerjasama dengan PT Angkasa Pura. Pangsa pasar angkutan taksi khususnya di Surabaya dan Sidoarjo sangat besar dan potensial sekali, sehingga perusahaan taksi selalu berusaha untuk dapat menguasai pasar sarana angkutan menggunakan taksi di Bandara Juanda.

Selain Taksi yang dikelola oleh Angkatan Laut di pasaran terdapat perusahaan lain yang sama-sama mengoperasionalkan sarana angkutan taksi. Tetapi kenyataannya tidak dapat masuk ke pasar angkutan di Bandara Juanda.

(38)

Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum sebagaimana Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini berarti bahwa adanya suatu larangan dalam perdagangan jika lebih mementingkan keuntungan diri sendiri tanpa memperhatikan pelaku usaha lain, karena bisa menimbulkan suatu praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat. Perhatian keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan cara membiarkan mekanisme pasar berlangsung dengan bebas sesuai dengan prinsip dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa : Pasal 33 UUD 1945 terkandung makna perlindungan kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan mekanisme pasar berlangsung dengan bebas. Selain itu, memberikan petunjuk bahwa jalannya perekonomian nasional tidak begitu saja diserahkan kepada pasar, untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.17

Meskipun di dalam pasar dituntut adanya suatu persaingan usaha yang sehat, namun pelaku usaha dalam menjalankan usahanya akan selalu mencoba memaksimumkan keuntungan yang dapat diraihnya. Keuntungan yang paling besar bagi pelaku usaha adalah jika dia dapat menguasai pasar dan menentukan apa yang harus terjadi pada pasar tersebut. Keinginan pelaku usaha untuk menguasai pasar tersebut dapat dilakukan dengan

17

(39)

berbagai cara, salah satu cara yaitu untuk menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar.18

Adapun definisi Pelaku usaha telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan:

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Dari ketentuan Pasal di atas maka nampak bahwa Koperasi Angkatan Laut yang mengelola angkutan menggunakan taksi. Sarana angkutan menggunakan taksi dan Rekan sebagai pelaku usaha, maka ini harus menghindarkan diri dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Persaingan usaha yang tidak sehat terjadi karena adanya suatu perjanjian yang dilarang dan karena adanya suatu kegiatan yang dilarang. Di antara perjanjian-perjanjian yang dilarang yaitu kartel. Perjanjian kartel dapat dikenakan larangan menurut Pasal 11 dari Undang-undang anti Monopoli, namun harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 19

(1) adanya suatu perjanjian;

(2) perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha pesaing; (3) tujuannya untuk mempengaruhi harga;

(4) tindakan mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu;

(5) tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.

18

Ibid, h. 39.

19

(40)

Adanya perjanjian yang isinya menyangkut penentuan harga, maka di pasar terjadi suatu persaingan yang tidak sehat, karena pelaku usaha tidak dapat bebas dalam menentukan harga barang yang dijualnya. Kartel diartikan sebagai suatu asosiasi berdasarkan suatu kontrak di antara perusahan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dirancang untuk mencegah adanya suatu kompetisi yang tajam, dan untuk mengalokasi pasar, serta untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan hasil dari riset tertentu, mempertukarkan hak paten dan standardisasi produk tertentu.

Biasanya melalui kartel ini, anggota kartel tersebut dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan lainnya untuk mengekang suatu persaingan sehingga hal ini dapat menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Aspek yang destruktif lainnya dari kartel adalah bahwa kartel dapat mengontrol atau mengekang masuknya pesaing baru dalam bisnis yang bersangkutan.

Perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku pesaing maksudnya pelaku yang memproduksi jasa yang sama yaitu usaha taksi. Dalam hal ini sarana angkutan menggunakan taksi yang dianut oleh Koperasi Angkatan Laut bekerjasama dengan PT Angkasapura dalam bentuk kerjasama, sehingga unsur perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha pesaing.

(41)

keterlibatan pihak-pihak dalam hal ini para perusahaan pengelola taksi yang lain, sehingga dapat mempermainkan harga sarana angkutan menggunakan taksi khususnya di Bandara Juanda.

Unsur tindakan mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu. Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura yang mengoperasionalkan sarana angkutan menggunakan taksi telah menguasai Bandara Juanda, maka dengan penguasaan pasar sarana angkutan menggunakan taksi di Bandara Juanda terjadinya tindakan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 tentang monopoli termasuk dalam kegiatan yang dilarang, unsur-unsurnya terdiri atas: 20

1) Melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.

2) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli; dan atau

3) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat.

Pihak yang melakukan penguasaan pasar dalam hukum pidana disebut sebagai barang siapa, yaitu subyek hukum pidana, dalam kaitannya dengan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yaitu pelaku usaha. Pelaku usaha dalam hal ini Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura menggunakan taksi, selaku badan hukum.

20

(42)

Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura angkutan menggunakan taksi dapat dikatagorikan telah melakukan perbuatan persaingan usaha tidak sehat, apabila terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999. Ad. 1. Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa

Pelaku usaha dalam hal ini Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura, perusahaan berbentuk badan, berkedudukan di Indonesia. Penguasaan maksudnya menguasai penjualan produk berupa sarana angkutan menggunakan taksi.

Penguasaan pemasaran sarana angkutan menggunakan taksi mengakibatkan pelaku usaha pesaing dalam hal ini Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura mengoperasionalkan taksi di Bandara Juanda berakibat terhalangnya perusahaan taksi lainnya untuk memasuki pasat yang sama yaitu di Bandara Juanda. Karena pelaku usaha pesaing dalam perusahaan pengelola taksi yang lain tidak dapat berpartisipasi dalam pasar yang sama atau sengaja menciptakan barrier to entry dengan cara refusal to deal dan melakukan primary boycott yaitu di pasaran sarana angkutan menggunakan taksi khususnya di Bandara Juanda. Hal ini berarti bahwa unsur melakukan penguasaan atas suatu pasar jasa telah terpenuhi.

Ad.2. Mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

(43)

usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Menguasai pasar berarti mempunyai posisi dominan. Posisi dominan cenderung dimiliki pelaku usaha yang secara fisik telah menguasai pasar secara dominan. Tanpa adanya penguasaan pasar yang dominan tidak mungkin pelaku usaha tertentu atau kelompok pelaku usaha tertentu dapat memiliki posisi dominan atas pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lain yang menjadi saingannya.21 Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura mengoperasionalkan angkutan menggunakan taksi, dengan cara mengadakan kerjasama dalam bentuk perjanjian, dengan harapan agar lebih memperhatikan penjualan sarana angkutan menggunakan taksi khususnya di Bandara Juanda sehingga pemasaran sarana angkutan menggunakan taksi tersebut mendominasi pada pasar sarana angkutan menggunakan taksi khususnya di Bandara Juanda. Subekti mengartikan perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".22

Penjualan dengan cara-cara tersebut menjadikan pasar sarana angkutan menggunakan taksi di Bandara Juanda dikuasai oleh Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura sekitar 100 % dengan Hal ini berarti unsur penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli telah terpenuhi.

Ad. 3. Mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat

21

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., h. 37-38.

22

(44)

Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha sebagaimana Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999. Pemasaran sarana angkutan menggunakan taksi di Banrada Juanda dengan cara-cara tersebut dimaksudkan untuk menghalang-halangi pelaku usaha pesaing dalam hal perusahaan taksi yang lainnya masuk ke pasar Bandara Juanda. Cara-cara yang demikian dikualifikasikan sebagai suatu cara pemasaran yang tidak jujur, karena tidak memberi kesempatan kepada pelaku usaha pesaing. Tindakan yang demikian termasuk sebagai tindakan yang dilarang, sehingga unsur Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat telah terpenuhi.

(45)

untuk melakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan; atau menghalangi perusahaan taksi lainnya sebagai pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Penguasaan pasar dengan cara-cara sebagaimana tersebut di atas adalah dilarang sesuai dengan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999.

Penguasaan pasar sarana angkutan menggunakan taksi yang dilakukan oleh Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura, menjadikan Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura, mendominasi penjualan sarana angkutan menggunakan taksi khususnya di Bandara Juanda. Hal ini berarti bahwa Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura, telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam hal ini menempatkan pada posisi yang dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999. Adapun unsur-unsur posisi dominan dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, sebagai berikut:

(46)

dibandingkan dengan pelaku usaha pesaing yang menjual produk sarana angkutan menggunakan taksinya tanpa melakukan kerjasama dengan perusahaan yang memproduksi sarana angkutan menggunakan taksi lainnya pada wilayah tertentu dengan hanya memiliki pangsa pasar sebesar 12 %.

2) Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang atau jasa, dalam hal ini Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura dalam menjalankan usahanya dapat dikatakan memenuhi unsur kedua, mengingat kiat atau cara menjual barang-barang menggunakan model penjualan sarana angkutan menggunakan taksi dengan mengadakan kerjasama dalam bentuk perjanjian dengan perusahaan penghasil sarana angkutan menggunakan taksi yang lainnya mengakibatkan perusahaan pesaing tidak dapat masuk pasar yang sama yaitu pasar sarana angkutan menggunakan taksi di Bandara Juanda.

3) Membatasi pasar dan pengembangan teknologi Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura yang berkerja sama dengan perusahaan yang memproduksi sarana angkutan menggunakan taksi lainnya.

(47)

angkutan menggunakan taksi lainnya dengan memberikan suatu keuntungan dan intensif dilakukan dengan membatasi atau menghambat pelaku usaha lain berpotensi yang menjual dagangannya berupa sarana angkutan menggunakan taksi menjadi pesaing untuk memasuki pasar. Dikatakan demikian karena apa yang dijual oleh Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura tidak berbeda dengan yang dijual oleh pedagang-pedagang sarana angkutan menggunakan taksi pesaing di pasar, karena pedagang lainnya justru berada di wilayah yang sama.

Sedangkan posisi dominan diatur dalam Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, dengan ketentuan:

(48)

b. Dua atau tiga pelaku usaha 75 % atau lebih untuk satu jenis barang atau jasa. Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura., menjalankan usaha memasarkan produk sarana angkutan menggunakan taksi dengan membuat atau mengadakan perjanjian dengan dua atau perusahaan lain yang sejenis yaitu memproduksi sarana angkutan menggunakan taksi.

Memperhatikan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep dagang yang dilakukan oleh Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura yang mengadakan kerjasama dengan perusahaan lain yang memproduksi sarana angkutan menggunakan taksi merupakan suatu bentuk persaingan usaha secara tidak sehat, sebagaimana UU No. 5 Tahun 1999 yang melarang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Oleh karenanya jika dengan penerapan konsep dagang tersebut para pelaku usaha pesaing merasa dirugikan, maka para pelaku usaha pesaing dapat melaporkan pada KPPU atas dasar Koperasi Angkatan Laut dan PT Angkasapura telah melakukan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

(49)

Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya, yang melarang taksi dari perusahaan lain untuk memasuki Bandara Juanda Surabaya memang disengaja untuk menghalang-halangi pelaku usdaha pesaing masuk ke dalam pasar yang sama. Tindakan yang demikian adalah salah. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Kesengajaan merupakan perbuatan manusia mempunyai kesalahan, terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Tindakan PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya, tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kesalahan yang memang sengaja diperbuat.

KPPU dalam putusannya No. 20/KPPU-I/2009 menyatakan :

1. Menyatakan Terlapor I: PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;

2. Menyatakan Terlapor II: Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;

3. Menyatakan Terlapor I: PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Terlapor II: Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya tidak terbukti melanggar Pasal 19 huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;

(50)

selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap;

5. Memerintahkan Terlapor I: PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya untuk membuka kesempatan kepada operator taksi yang telah memiliki Izin Operasi dari Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi Jawa Timur untuk mendapatkan Izin Berusaha sebagai penyedia layanan jasa taksi di lingkungan Bandara Internasional Juanda Surabaya dengan tetap mempertimbangkan load factor penumpang dengan ketersediaan armada taksi selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap;

6. Menghukum Terlapor I: PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Terlapor II: Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya membayar denda masing-masing sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) apabila melanggar butir 4 (empat) dan 5 (lima) amar Putusan ini, yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Kementerian Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).

Putusan KPPU yang menyatakan bahwa PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ternyata dianggap merugikan oleh PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini berarti bahwa putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan.

(51)
(52)

BAB III

BENTUK UPAYA HUKUM DARI PARA PIHAK TERHADAP PUTUSAN

KPPU RI SURABAYA NO. 20/KPPU-I/2009

3.1. Bentuk Upaya Hukum

Sebagaimana uraian di atas bahwa PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Koperasi Angkatan Laut selaku pengelola taksi di Juanda terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. terhadap putusan KPPU tersebut PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Koperasi Angkatan Laut keberatan dan mengajukan upaya hukum.

Upaya hukum diberikan kepada seorang untuk dalam suatu hal tertentu melawan putusan hakim.23 Hal ini berarti yang dilakukan upaya tersebut adalah adanya putusan hakim, hal ini dengan pertimbangan bahwa:

Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki.24

Upaya hukum dimaksudkan untuk mencari keadilan atas putusan hakim yang dirasa kurang adil, sehingga bagi yang mengajukan upaya hukum adalah karena merasa dirugikan atas putusan hakim tersebut.

23

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung, 1989, h. 134.

24

(53)

Upaya hukum dalam hukum acara perdata dikenal:

1) upaya hukum yang biasa, ialah perlawanan terhadap putusan perstek, banding dan kasasi. Upaya hukum ini pada umumnya menangguhkan pelaksanaan putusan, kecuali apabila putusan itu dijatuhkan dengan ketentuan pasal 180 HIR. Pasal 180 HIR menentukan sebagai berikut:

Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang syah, suatu surat tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti, demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak kepunyaan.

Akan tetapi hal menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang disanderakan.

2) Upaya hukum luar biasa atau istimewa, upaya hukum terhadap suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti atau putusan yang tidak dapat diubah. Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti ini tersedia upaya hukum istimewa, hanyalah diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah request civil (Peninjauan Kembali) dan derdenverzet (perlawanan) pihak ketiga.25

Upaya hukum biasa terutama upaya hukum banding. Perihal upaya hukum banding dalam perkara perdata diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat UU No.

25

(54)

4 Tahun 2004). Pasal 21 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa:

Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Sedangkan terhadap putusan banding dapat dimintakan kasasi pada Mahkamah Agung sesuai dengan pasal 22 UU No. 4 Tahun 2004 yang menentukan: “Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”.

Perihal permohonan kasasi untuk perkara perdata diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung yang telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU MA). Pasal 30 ayat (1) UU MA menentukan sebagai berikut:

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

(55)

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali.

Perihal persyaratan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, pasal 34 UU MA menentukan: “Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan Peninjauan Kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini”.

Permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana Pasal 66 UU MA menentukan sebagai berikut:

(1) Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (2) Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau

menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.

(3) Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan Peninjauan Kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

Jadi permohonan Peninjauan Kembali hanya boleh dilakukan satu kali, dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan, karena yang dimohokan Peninjauan Kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mengenai alasan-alasan diajukannya permohonan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 67 UU MA sebagai berikut:

(56)

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Jadi salah satu alasan permohonan Peninjauan Kembali adalah apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Sengketa masalah yang diselesaikan di luar ketentuan pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 berarti penyelesaian sengketa yang dilangsungkan di luar sidang pengadilan atau yang dikenal dengan lembaga non litigasi.

Penyelesaian secara non litigasi atau di luar pengadilan dilakukan dengan musyawarah (non litigasi), yaitu menggunakan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999). Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi perjanjian arbitrase, di antaranya:

(57)

b. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;

c. perjanjian perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula

arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999). Jadi pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:26

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau

2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan yang dibuat secara tertulis oleh para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa kepada lembaga arbitrase. Didalam kesepakatan yang dibuat dapat dimuat pilihan hukum yang akan digunakan untuk penyelesaian sengketa para pihak tersebut. Klausula atau perjanjian arbitrase tersebut dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbul sengketa atau perselisihan.

26

(58)

Hubungan hukum pihak-pihak dituangkan dalam perjanjian arbitrase, berarti arbitrase termasuk perikatan yang lahir dari perjanjian. Perikatan yang dilahirkan karena perjanjian diatur dalam Pasal 1313 B.W adalah "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Subekti mengartikan perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".27

Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari yang berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi untuk melahirkan suatu sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului dengan penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi. Jika cara penyelesaian negosiasi gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase.

Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase. Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut

Referensi

Dokumen terkait

(2002) tutkimuksen mukaan masennus ja yksinäisyys pahenivat, kun internetissä käytetty aika kasvoi. Jatkotutkimuksessa tätä ei kuitenkaan enää huomattu, eikä

Penelitian tahap dua adalah seleksi isolat cendawan yang berpotensi sebagai antagonis berdasarkan pertumbuhan koloni, kerapatan spora dan viabilitas spora menggunakan

Kami warga pendidik Sekolah Kebangsaan Seri Gambut akan Melaksanakan tugas dengan amanah, cekap, cepat dan tepat untuk melahirkan insan yang cemerlang dalam bidang kurikulum

Setelah 30 menit, tambahkan campuran asam sulfat dan asam asetat dengan perbandingan optimal yang telah diketahui berdasarkan proses sebelumnya lalu diaduk selama 30 menit pada

awal adalah dengan modifikasi alat pengepressan sehingga dapat mengurangi gerakan kerja yang berulang-ulang dan mengurangi waktu penyelesaian tidak hanya pada

KEGIATAN : PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN TEMPAT PELELANGAN PEKERJAAN : PENATAAN SANDARAN KAPAL/ PERAHU DI TPI ULU.. VOLUME : 1

Penelitian ini akan menganalisa performansi jaringan optik dari sentral office hingga ke pelanggan di daerah Yogyakarta dengan parameter meliputi nilai redaman,

Tujuan yang lain adalah agar seseorang dapat menggunakan informasi yang dimiliki tentang orang lain, sehigga apabila informasi yang didapat semakin banyak maka akan meningkatkan