BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan dan Pemilihan Sampel
2. Rimpang segar temulawak
a. Pengumpulan rimpang segar temulawak
Rimpang segar temulawak yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari pasar Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan November 2010;
dipilih rimpang yang berasal dari daerah Borobudur. Pemilihan rimpang
temulawak dari daerah Borobudur berdasarkan hasil wawancara dan observasi
yang dilakukan peneliti pada pedagang-pedagang yang menjual rimpang
temulawak segar di Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo dan Pasar Giwangan
didapatkan hasil bahwa rimpang yang dijual berasal dari daerah Borobudur.
Metode sampling yang digunakan adalah secara random (acak) terhadap rimpang
temulawak yang berasal dari daerah Borobudur. Pemilihan secara random
bertujuan agar penelitian ini dapat mewakili populasi dari rimpang temulawak
yang berasal dari daerah Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Rimpang segar yang diperoleh dari Pasar Borobudur kualitasnya baik dan
terlihat bahwa rimpang baru saja selesai dipanen, hal itu terlihat dari tidak adanya
tunas yang tumbuh pada rimpang. Dari hasil survey dan wawancara yang
dilakukan peneliti dengan pedagang di Pasar Beringharjo pasokan rimpang
38
b. Pembuatan simplisia rimpang temulawak berdasarkan cara pembuatan simplisia yang baik
1) Sortasi basah
Rimpang segar temulawak dari Pasar Borobudur yang sudah terkumpul
dilakukan tahap sortasi basah. Sortasi basah perlu dilakukan untuk memisahkan
kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia, misalnya
pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing
seperti tanah, kerikil, rumput batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor
lainnya harus dibuang.
Tanah mengandung bermacam-macam mikrobia dalam jumlah yang
tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat
mengurangi jumlah mikrobia awal (DepKes RI, 1985). Sortasi basah berfungsi
untuk mengurangi cemaran mikrobia, serta memperoleh simplisia dengan jenis
dan ukuran seperti yang dikehendaki (Katno, 2008).
2) Pencucian
Rimpang temulawak yang sudah melalui proses sortasi basah kemudian
dilanjutkan ke tahap pencucian. Menurut DepKes RI (1985) pencucian bertujuan
untuk menghilangkan tanah dan pengotor lain yang melekat pada bahan simplisia.
Pencucian bahan satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal,
jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali, jumlah mikroba yang tertinggal
hanya 42% dari jumlah mikroba awal. Cara pencucian sangat mempengaruhi jenis
dan jumlah mikroba awal simplisia, misalnya jika yang air digunakan untuk
pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat
bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan dapat mempercepat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pertumbuhan mikroba. Menurut Katno (2008), pencucian sebaiknya
menggunakan air mengalir agar kotoran yang terlepas tidak menempel kembali.
Pada penelitan ini dilakukan pencucian sebanyak tiga kali dan
menggunakan air yang mengalir. Air yang dipergunakan pada penelitian ini
adalah air sumur, pada proses pencucian ini dilakukan pula penyikatan untuk
membantu membersihkan rimpang temulawak. Rimpang temulawak yang sudah
dicuci, tidak langsung mengalami proses perajangan tetapi di kering anginkan
terlebih dahulu selama 2 jam di tempat teduh terhindar dari sinar matahari dan
mendapat aliran udara. Katno (2008) menyebutkan tujuan pengering anginan atau
penirisan adalah untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan air di
permukaan bahan. Penirisan dilakukan pada tempat yang teduh terhindar dari
sinar matahari dan mendapat aliran udara yang cukup agar terhindar dari
fermentasi atau pembusukan.
3) Perajangan
Perajangan biasanya diperlukan mempermudah proses pengeringan,
pengemasan, penggilingan dan penyimpanan serta pengolahan selanjutnya.
Perajangan juga dimaksudkan untuk memperbaiki penampilan fisik dan
memenuhi standar kualitas (terutama keseragaman ukuran) serta membuat agar
lebih praktis dan tahan lama dalam penyimpanan (Katno, 2008).
Rimpang yang sudah benar-benar bersih, kemudian dirajang menggunakan
pisau stainless steel sehingga diperoleh irisan dan potongan dengan ukuran yang
di kehendaki, yaitu 7 sampai 8 mm (DepKes RI, 1979). Menurut Katno (2008)
40
sehingga mempersingkat waktu pengeringan. Perajangan yang terlalu tipis juga
dapat menyebabkan hilangnya atau berkurangnya zat berkhasiat yang mudah
menguap, maka bahan simplisia seperti temulawak dicegah perajangan yang
terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya kadar minyak atsirinya. Selain itu
irisan yang terlalu tipis juga menyebabkan simplisia mudah rusak saat dilakukan
pengemasan. Apabila irisan terlalu tebal dapat terjadi face bardening yang berarti
bagian luarnya kering tetapi bagian dalamnya masih basah, akibatnya proses
pengeringan menjadi tidak sempurna dan persentase kadar air yang diharapkan
tidak tercapai. Selama proses perajangan jumlah mikroba pada bahan simplisia
tidak bertambah maupun berkurang.
4) Pengeringan
Pada kadar air tertentu (di atas 10%), tanaman yang telah dipanen masih
mengalami peruraian enzimatik, kapang dan khamir masih dapat tumbuh sehingga
kerusakan bahan tidak dapat dihindari (Katno, 2008).
Untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam simplisia maka
dibutuhkan proses pengeringan. Menurut DepKes RI (1979) pengeringan
temulawak menggunakan oven dengan suhu 500 C selama 7 jam, namun pada
penelitian ini pengeringan dilakukan selama 10 jam (sampai simplisia mudah
dipatahkan). Pengeringan rimpang temulawak pada penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan simplisia dengan kadar air dibawah 10% ditunjukkan dengan
simplisia yang mudah dipatahkan. Kadar air simplisia kurang dari 10%
bermanfaat untuk mencegah timbulnya jamur dan bakteri, yang membutuhkan air
dalam jumlah tertentu untuk kelangsungan hidupnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5) Sortasi kering
Sortasi kering merupakan tahap akhir dari pembuatan simplisia sebelum
pengepakan dan penyimpanan. Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan
benda-benda asing dan pengotor lain yang masih ada, seperti bagian yang tidak
diinginkan, tanah dan pasir (Katno, 2008). Pada penelitian ini sortasi kering
dilakukan baik terhadap sampel simplisia rimpang temulawak yang diolah sesuai
cara pembuatan obat tradisional yang baik maupun dengan simplisia rimpang
temulawak dalam jamu godhog dari 4 pasar tradisonal di Kotamadya Yogyakarta.