• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.6 Cara Pengelolaan Sampah Masyarakat Kampung Badur di

Sungai Deli. Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa pendidikan yang tinggi dan materi yang berlimpah juga menjamin perilaku masyarakat yang peduli lingkungan. Hal ini semakin membuat masyarakat merasa sama dengan masyarakat lain yang memiliki kebiasaan membuang sampah di Sungai Deli. Keterbatasan masyarakat Badur untuk melarang masyarakat luar membuang sampah ke Sungai Deli dan kesadaran masyarakat itu sendiri membuat kondisi sampah di sungai semakin bertambah. Dan semakin sulit untuk mengatasi masalah sampah di Sungai Deli.

4.6 Cara Pengelolaan Sampah Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli

Masyarakat Kampung Badur dalam mengatasi sampah dari lingkungannya tidak hanya membuang sampah ke Sungai Deli. Ada beberapa cara pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Badur dapat dilihat dari penjelasan masyarakat sebagai berikut:

“Kalau saya sampah yang ada setiap hari dikumpulkan dulu disudut rumah, baru dibuang ke sungai. Rata-rata warga disini buang sampahnya kesungai.” (Ana, 54)

“Biasanya Ibu buang sampah dikumpulkan dalam plastik dan dibuang ke sungai lebih praktis. Kadang-kadang sampah Ibu bakar, atau dimasukkan ke dalam karung goni dan ditimbun oleh

tanah sekalian untuk membenteng air sungai. Banyak sampah di sungai bukan kami aja yang buang, dari masyarakat luar yang lewat dari jembatan Sungai Deli juga setiap hari ada yang membuang sampah. Malah kami berusaha mengurangi buang sampah supaya gak banjir besar dengan menimbun sama membuat batas sampah turun kesungai dari bambu-bambu yang ditanam tanah pinggir sungai.” (Bu Ani, 40)

“Ibu setiap hari buang sampah ke sungai aja. Ya memang kalau buang sampah ke sungai mencemari sungai jadi makin jorok, tapi itu uda kebiasaan warga disini buang sampah ke sungai semua. Ya.. Ibu pun pake air sungai untuk nyuci lihat-lihat airnya dulu, kalau airnya agak bersih, gak keruh Ibu nyuci. Kalau gak Ibu pakai PDAM.” (Tiur, 47)

”Ibu biasanya buang sampah di tempat sampah ibu sendiri, nanti uda penuh dibuang kesungai lah. Kalau mau bersih ya itu kesadaran masing-masing. Kalau Cuma beberapa orang aja yang jaga kebersihan dari sampah, yang lainnya gak ya sama aja lah. Lagian siapa yang larang kami buang sampah ke sungai, gak ada yang larang kan? Jadi selagi gak ada yang larang kami, ya buang sampah aja ke sungai. Paling sesekali kepling ngajak gotong royong aja membersihkan lingkungan. Kalau soal banjir, kami udah biasa sama banjir.” (Yul, 44)

“Saya setiap hari buang sampah ke sungai aja, karena biar praktis, setelah dibuang ke sungai kan sampah mengalir dibawa air gak nampak lagi. Memang pernah disediakan “tong sampah”, ya.. dampaknya lumayan juga untuk mengurangi banjir, tapi karena masyarakat disini semua buang sampah ke sungai, jadi balik lagi kebiasaan buang sampah ke sungai. Banjir udah menjadi hal yang biasa buat kami yang tinggal disini.” (Ade, 30)

Pernyataan Kepala Lingkungan Kampung Badur juga mengungkapkan cara pengelolaan masyarkat terhadap sampah sebagai berikut:

“Kalau yang saya lihat cara masyarakat mengatasi sampah adalah dengan dibakar, ditanam atau ditimbun dan dibuang ke Sungai Deli setiap harinya. Padahal seringkali diingatkan untuk buang sampah ke tempat sampah yang disediakan di Kampung Aur. Tetapi karena masyarakatnya yang gak sadar dan malas untuk membuangnya kesana dianggap gak prkatis, jadi yang lebih sering dilakukan masyarakat membuang sampah ke sungai.” (Emi, 47)

Jadi cara masyarakat Kampung Badur dalam mengelola sampah dengan cara: sampah dikumpulkan oleh masing-masing warga kemudian dibakar di tanah bantaran sungai; cara yang lain yaitu, sampah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung hingga sampah padat kemudian sampah ditimbun di tanah. Fungsi pengelolaan sampah dengan cara ditimbun dalam tanah tersebut untuk mengurangi volume sampah di Sungai Deli, juga sebagai benteng untung membatasi kemungkinan air sungai naik menghampiri rumah masyarakat Badur. Cara pengelolaan ini dianggap efektif bagi masyarakat Badur dan hingga sekarang masih dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi sampah di sungai.

Selain itu masyarakat juga membuat batas sampah yang turun ke sungai dengan mendirikan batang bambu-bambu di tanah bantaran sungai, sehingga sampah yang dibuang oleh masyarakat kampung sebelah yaitu Kampung Aur ditampung oleh bambu-bambu yang sudah dibuat. Dengan demikian sampah akan tertahan dan tidak jatuh ke sungai. Tetapi ketika air Sungai Deli naik akibat curah hujan yang tinggi, tidak menutup kemungkinan sampah yang dibatasi bambu tersebut terbawa oleh air sungai.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai Makna dan Perilaku Masyarakat terhadap sampah di Kampung Badur Bantaran Sungai Deli, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Makna sampah bagi sebagian besar masyarakat Kampung Badur adalah material yang tidak berguna dan bernilai yang tidak menguntungkan bagi mereka, sehingga sampah-sampah tersebut harus dibuang.

2. Masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli keseluruhannya membuang sampah ke Sungai Deli. Namun upaya untuk mengurangi volume sampah ke sungai juga dikurangi oleh masyarakat dengan membakar, menimbun, dan membatasi sampah dengan bambu-bambu untuk mencegah sampah mengalir ke sungai.

3. Kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkungan dan menangani sampah masih sangat kurang peduli, sehingga masalah sampah di lingkungan Kampung Badur Sungai Deli tersebut masih belum teratasi hingga saat ini. Selain itu, perilaku masyarakat yang melintas dari jembatan Sungai Deli juga menambah volume sampah yang mencemari air sungai. Sehingga masyarakat pasrah dan tetap membuang sampah ke sungai meskipun mereka menyadari perilaku mereka itu mengakibatkan Sungai Deli kerap kali mendatangkan banjir dan mengenai rumah mereka. Namun hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka.

4. Kondisi banjir yang kerap kali menghampiri tempat tinggal masyarakat Badur membuat masyarakat semakin erat taki persaudaraannya. Karena sering berada dalam kondisi sosial yang sama.

5. Masyarakat akan melakukan kegiatan kebersihan lingkungan berdasarkan kemauan dan kesadaran mereka sendiri. Akan tetapi jika dihimbau oleh Pemerintah kota, masyarakat akan aktif ikut dalam kegiatan, namun terlepas dari pantauan Pemerintah, masyarakat kembali dengan perilakunya semula.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian, maka saran dari peneliti yaitu:

1. Masyarakat Kampung Badur sebaiknya berpikir dengan jangka panjang untuk tingga di daerah bantarn sungai. Karena tinggal di bantaran sungai sangat membahayakan masyarakat jika air sungai naik menghampiri rumah masyarakat. Alangkah baiknya jika masyarakat tinggal di daerah yang lebih layak dan lebih nyaman yaitu di rumah susun yang akan dibangun oleh Pemerintah.

2. Sebaiknya masyarakat lebih menyadari akibat dari membuang sampah ke sungai. Dan memanfaatkan sampah dengan cara mendaur ulang sehingga dapat mengurangi masalah sampah di Sungai Deli, hasilnya juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri.

3. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mengatasi masalah sampah di Sungai Deli dengan berbagai program kegiatan kebersihan lingkungam. Antara Pemerintah dan masyarakat bantaran

Sungai Deli harus memiliki hubungan kerjasama yang baik untuk mengatasi masalah sampah. Pemerintah juga harus tegas untuk memberi sanksi yang tegas kepada masyarakat yang membuang sampah di Sungai.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definsi Sampah

Sampah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia tetapi bukan biologis karena kotoran manusia tidak termasuk di dalamnya dan umumnya bersifat padat (air bekas tidak termasuk di dalamnya) (Azwar, 2002).

Produksi sampah perorangan maupun rumah tangga setiap harinya tidak dapat dipisahkan dari setiap kegiatan kehidupan manusia itu sendiri. Khususnya sampah rumah tangga, berkaitan juga dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan besarnya keluarga (Dainur,1995).

Pengelolaan sampah di pedesaan pada umumnya dilakukan dengan cara sungai dan bahkan menumpuk dipekarangan atau kebun. Para ahli telah menemukan berbagai cara penanggulangan sampah, termasuk cara pendaur-ulangan, namun cara-cara tersebut masih belum memecahkan masalah sampah yang semakin meningkat jumlah dan jenisnya, baik di pedesaan maupun di daerah kumuh perkotaan (Dainur, 1995). (Rohani, 2007:1)

Dari penelitian (Rohani, 2007) mengenai perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah di Desa Medan Senembah terdapat perbedaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan. Dalam penelitian (Rohani, 2007) perilaku masyarakat dapat dilihat dari keberhasilan aspek teknis yang mendukung dalam pengelolaan sampah yang

dilakukan dengan penanganan yang tepat. Masyarakat membuang sampah tepat pada tempat sampah yang sudah disediakan, karena masyarakat di Desa tersebut memiliki kesadaran yang cukup tinggi dengan pengetahuan sampah dari sosialisasi yang sering dilakukan oleh beberapa instansi. Semua masyarakat ikut berperan dalam mengatasi sampah di lingkungannya. Sehingga tercermin dari perilaku tersebut dengan lingkungan yang bersih, dan nyaman bebas dari polusi bau yang menyebabkan berbagai penyakit.

Penelitian yang dilakukan di Kampung Badur, dapat dilihat dari aspek perilaku masyarakat terhadap sampah sangat memprihatinkan dengan cara membuang sampah tanpa berfikir akibat yang akan timbul dari perilaku tersebut. Masyarakat Badur minim kesadaran dalam mengatasi sampah dengan baik di lingkunngannya. Kehadiran sampah di lingkungan dimaknai sebagai material yang kotor dan harus segera dimusnahkan. Kecenderungan masyarakat yang membuang sampah ke sungai juga bentuk dari makna sampah masyarakat Badur. Namun ada beberapa cara lain yang dianggap dapat mengurangi volume sampah di sungai. Masyarakat Badur mengelola sampah dengan cara dikumpulkan dan di buang ke sungai, dikumpulkan kemudian dibakar, dan sampah dikumpulkan lalu di masukkan kedalam karung kemudia sampah ditimbun dengan tanah. Perbedaan cara masyarakat dalam pengelolaan sampah terlihat cukup signifikan antara Desa Medan Senembah dengan masyarakat Kampung Badur.

2.2 Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer

Perspektif interaksionisme simbolik memusatkan perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti-arti tersebut

diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya. Para ahli perspektif interaksi telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalam studi terhadap kelompok-kelompok besar dan lembaga-lembaga sosial.

Menurut Blumer (1969: 2) interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung.

Menurut Blumer tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar” tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”. Blumer (1969: 80) menyanggah individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer (1969: 81) sebagai proses self-indication. Self-indication adalah “proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu”. Proses self-indication terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba “mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu”.

Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakan-tindakan mana saling diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionalis sebgai struktur sosial. Blumer (1969: 17) menyebut fenomena ini sebagai tindakan bersama, atau “pengorganisasian secara sosial tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipan yang berbeda”. Setiap tindakan berjalan dlama bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan-tindakan prosesual orang lain.

Menurut Blumer studi masyarakat harus merupakan studi dari tindakan bersama, ketimbang prasangka terhadap apa yang dirasanya sebagai sistem yang kabur dan berbagai prasyarat fungsional yang sukar dipahami. Masyarakat merupakan hasil interaksi-simbolis dan aspek ini yang merupakan masalah bagi para sosiolog. Bagi Blumer keistimewaan pendekatan kaum interaksionisme simbolik adalah manusia dilihat saling menfasirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut mode stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Blumer (1969: 79) menyatakan, “dengan demikian interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain. Dalam kasus perilaku manusia, mediasi ini sama dengan penyisapan suatu proses penafsiran di antara stimulus dan respon”.

Blumer (1969: 84-85) tidak mendesakkan prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu: “Masyarakat harus dilihat sebagai bentuk yang terdiri dari tindakan

orang-orang dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan orang itu”. Blumer menyatakan bahwa kehidupan kelompok yang demikian merupakan respon pada situasi-situasi di mana orang menemukan dirinya.

Interaksionisme simbolik yang ditengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagai berikut:

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.

2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”.

3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik seperti meja, mobil, tanaman, (b) obyek sosial seperti ibu, guru, teman, (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Blumer (1969: 10-11) membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”.

4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek.

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Blumer menulis (1969: 15) :

Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar

bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari cara bertindak tertentu.

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia” (Blumer, 1969: 17). Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”. (Poloma, 2007: 258-266).

2.3Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam mengkaji Makna Sampah Pada Masyarakat

Interaksionisme simbolik adalah interaksi yang terjadi antara individu maupun masyarakat dengan menggunakan simbol yang berarti, simbol-simbol yang telah memiliki makna, dengan obyek-obyek yang telah ditafsirkan. Tindakan-tindakan bersama yang mampu membentuk struktur disebabkan oleh interaksi simbolis dalam menyampaikan makna menggunakan isyarat dan bahasa. (Poloma, 2007: 274).

Masalah sampah dalam perspektif interaksionisme simbolik yaitu melihat perilaku seseorang tergantung pada definisi situasi yang diberikan. Pemaknaan terhadap situasi yang berbeda tentang sampah akan melahirkan perbedaan perlakuan terhadap sampah yang dilakukan manusia. Sebagai tanda sosial,

sampah memiliki nilai makna yang luas bagi masyarakat baik dari sisi material maupun sosial. Sampah dapat diterjemahkan sebagai tanda sosial yang sarat dengan makna untuk kemudian direnungkan bersama oleh warga masyarakat. Dengan memahami atau mendefinisikan sampah dalam konteks kehidupan manusia, maka akan dapat dirumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat terhadap sampah itu sendiri (Sudarma, 2005). (Alfitri, 2009: 35).

Masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli memaknai sampah pada umumnya sebagian besar masyarakat masih memaknai sampah sebagai material yang tidak terpakai dan tidak berguna. Sehingga sampah hanya benar-benar diposisikan sebagai takdir material yang berakhir dengan makna “buang”. Makna sampah yang muncul pada masyarakat Badur dihasilkan dari interaksi masyarakat dengan perilaku masyarakat lainnya yang kecenderungannya membuang sampah ke sungai. Bagi masyarakat Kampung Badur sampah sudah sangat melekat bagi kehidupan mereka yang tinggal dengan kondisi banyak sampah di sekitar rumah mereka, juga di sungai sebagai tempat masyarakat membuang sampah. Sehingga makna sampah bagi masyarakat Kampung Badur sebagai material yang biasa dibuang saja, bukan memiliki arti yang bernilai. Pemaknaan pada sampah sudah sepatutnya diubah oleh masyarakat untuk menangani masalah sampah di bantaran Sungai Deli. Sampah sudah sewajarnya dimaknai sebagai material yang memiliki nilai ekonomis dan bisa dimanfaatkan bagi masyarakat bantaran Sungai Deli.

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan taraf kehidupan penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan pertumbuhan kegiatan produksi dan konsumsi. Pertumbuhan ini juga membawa pada penggunaan sumber semula jadi yang lebih besar dan pengeksploitasian lingkungan untuk keperluan industri, bisnis dan aktivitas sosial. Di kota-kota besar, pengurusan sampah sering mengalami masalah. Pembuangan sampah yang tidak diurus dengan baik, akan mengakibatkan masalah besar. Karena penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan terbuka akan mengakibatkan pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran air tanah. Demikian juga pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, pembuangan sampah ke sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya saluran air dan banjir (Sicular, 1989). Selain itu, Eksploitasi lingkungan adalah menjadi isu yang berkaitan dengan pengurusan terutama sekitar kota. Masalah sampah sudah saatnya dilihat dari konteks nasional.

Masalah sampah tidak hanya sekedar hanya bagaimana mengolah atau mengelola sampah saja, tetapi juga terkait dengan masalah budaya / sosiologi masyarakat. Masyarakat Indonesia umumnya tidak peduli tentang sampah, suka buang sampah sembarangan, dan cenderung mementingkan diri sendiri.

Paradigma yang salah ini mungkin merupakan salah satu penyebab kenapa banyak program tentang sampah yang tidak berhasil. Merubah paradigma masyarakat tentang sampah menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya penanganan sampah secara terpadu.

(http://drake1st.blogspot.com/2011/11/paradigma-masyarakat-tentang sampah_17.html)

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan manusia yang berwujud padat baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan. Sampah berasal dari rumah tangga, pertanian, perkantoran, perusahaan, rumah sakit, pasar, dan sebagainya. Di kota-kota besar sampah sudah menjamur di mana-mana dan hal ini sudah menjadi pemandangan yang biasa. Tumpukan-tumpukan sampah dibiarkan begitu saja. Bahkan, tidak sedikit pula masyarakat yang tinggal di perumahan kumuh dan tercermin dari tumpukan sampah di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Banyaknya penduduk di suatu kota besar juga semakin meningkatnya aktivitas manusia, serta pola hidup manusia tentu saja akan menjadi masalah lingkungan dan masalah sosial yang mempengaruhi kondisi fisik suatu perkotaan.

Manusia sebagai makhluk hidup yang tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan, dalam segala aktivitas sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya. Namun, kesadaran dan kepekaan manusia terhadap lingkungan sangat minim untuk terus menjaga dan melestarikan. Kurangnya kepekaan dan kesadaran manusia terhadap lingkungan melahirkan kondisi lingkungan yang berdampak buruk bagi manusia itu sendiri. Terutama semakin banyaknya limbah sampah

yang dihasilkan oleh aktivitas masyarakat itu sendiri. Perilaku manusia yang terkadang acuh terhadap sampah menjadi masalah lingkungan yang terus menerus bergulir. Seperti perilaku membuang sampah tidak pada tempatnya dengan membuang sampah disekitar lingkungan tempat tinggal hingga membuang sampah ke sungai yang mengakibatkan sungai tercemar dan menjadi resiko bencana banjir oleh masyarakat. Hal ini karena kurangnya tempat sebagai pembuangan sampah yang menjadi masalah sampah hingga saat ini.

Pramudya Sunu (2001) menyatakan bahwa terdapat dua jenis bencana akibat rusaknya daya dukung lingkungan. Pertama, kerusakan karena faktor internal, yakni kerusakan yang berasal dari alam sendiri. Bagi masyarakat, kerusakan susah dihindari sebab merupakan bagian dari proses alam. Tidak sedikit kejadiannya dalam waktu singkat, tetapi dampak atau akibat yang diterima dalam waktu lama. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah menyiagakan diri atau mempersiapkan manajemen bencana guna meminimalkan banyaknya korban. Kedua, kerusakan karena faktor eksternal, yaitu kerusakan lingkungan yang berasal dari perilaku manusia. Terutama beralasan demi meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup. Kerusakan daya dukung sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan, seperti: industrialisasi, dan limbah rumah tangga yang di buang di sungai-sungai. (Dwi Susilo, 2012 : 31-32).

Masalah sampah yang ada di kota-kota besar tidak hanya karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya dan kurang tegasnya pemerintah kota dalam mensosialisasikan dan memberi sanksi pada masyarakat yang berperilaku membuang sampah sembarangan. Tetapi masalah sampah juga terjadi karena ada faktor internal dari dalam diri manusia itu

sendiri yang menganggap sampah sebagai barang yang tidak dapat digunakan dan dimanfaatkan lagi sehingga sampah berakhir dengan dibuang. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang menganggap sampah sebagai barang

Dokumen terkait