• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara dan Tarif Penyusutan Aktiva Tetap

BAB II LANDASAN TEORITIS

2. Cara dan Tarif Penyusutan Aktiva Tetap

UU No.17 Tahun 2000 pasal 11 ayat (6) menyatakan bahwa harta tetap berwujud digolongkan menjadi dua golongan, yaitu:

a. Golongan bukan bangunan yang dirinci menjadi empat kelompok, dan b. Golongan bangunan yang dirinci menjadi dua kelompok, yaitu

bangunan yang bersifat permanen dan tidak permanen.

Tabel 2.5

Cara penyusutan dan tarif pernyusutan aktiva tetap dengan UU No. 17 tahun 2000 pasal 11 ayat (6)

Tarif Penyusutan Masa Manfaat (Tahun)

Straight Line Method (Ayat 1) Double Declining Method (Ayat 2) 1.Bukan Bangunan Kelompok 1 4 25% 50% Kelompok 2 8 12,5% 25% Kelompok 3 16 6,25% 12,5% Kelompok 4 20 5% 10% 2. Bangunan Permanen 20 5% - Tidak 10 10% - Sumber:Undang–Undang Pajak RI

Cara penentuan penyusutan menurut UU No. 17 tahun 2000 pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) metode penyusutan yang digunakan adalah:

(1) metode garis lurus (straight line method) untuk semua harta berwujud dan

(2) metode pembebanan menurun (declining balance method), untuk harga berwujud selain bangunan.

Selain itu tarif penyusutan tiap golongan dan kelompok berbeda–beda menurut masa manfaat. Tabel diatas telah menyajikan cara penyusutan dan tarif penyusutan aktiva tetap sesuai dengan UU No. 17 tahun 2000 pasal 11 ayat (6).

C. Manajemen Pajak

Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas menajemen pajak tergantung dari instrumen yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti setelah ada putusan pengadilan. Secara umum manajemen pajak menurut Sophar Lumbantoruan dapat didefinisikan sebagai berikut:

Sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.

Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar

2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi–fungsi manajemen pajak yang terdiri atas:

1. Perencanaan pajak (tax planning)

2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) 3. Pengendalian pajak (tax control)

1. Perencanaan Pajak (Tax Planning)

Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam menajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Hal ini dapat dilihat dari dua definisi perencanaan pajak (tax planning) di bawah ini:

a. Menurut Crumbley D. Larry, Friedman Jack P, dan Andres Susan, tax planning is the systematic analysis of deferring tax options aimed at the minimization of tax liability in current and future tax periods

b. Dan menurut Lyons Susan M, Tax planning is arrangements of a persons business andlor private affairs in order to minimize tax liability

Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang–undang, maka perencanaan disini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali.

Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance dan tax envasion. Penghindaran pajak adalah rekayasa “tax affairs” yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan (lawful). Penghindaran pajak dapat terjadi didalam bunyi ketentuan atau tertulis di undang–undang dan berada dalam jiwa dari undang–undang atau dapat juga terjadi dalam bunyi ketentuan undang–undang tetapi berlawanan dengan jiwa undang–undang. Komite urusan fiskal dari Organization For Economic Corporation And Development (OECD) menyebutkan ada tiga karakter penghindaran pajak, yaitu:

a. Adanya unsur artificial dimana berbagai pengaturan seolah–olah terdapat didalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak

b. Skema semacam ini sering memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau menerapkan ketentuan–ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat undang–undang

c. Kerahasiaan juga sebagai bentuk dari skema ini dimana umumnya para konsultan menunjukkan alat atau cara untuk melakukan penghindaran pajak dengan syarat wajib pajak menjaga serahasia mungkin.

Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan menyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, setiap Wajib Pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan (taxable event) secara seksama. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perencanaan pajak adalah proses pengambilan faktor pajak yang relevan dan faktor non pajak yang material untuk menentukan:

a. Apakah b. Kapan

c. Bagaimana, dan

d. Dengan siapa (pihak mana),

dilakukan transaksi, operasi dan hubungan dagang yang memungkinkan tercapainya beban pajak pada tax events yang serendah mungkin dan sejalan dengan tercapainya tujuan perusahaan (Barry Spitz: 1983)

2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan

Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor–faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal maupun material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban

perpajakan telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanannya menyimpang dari peraturan yang berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak.

Untuk mencapai tujuan menejemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan yaitu:

a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan

Dengan mempelajari peraturan perpajakan seperti undang–undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak dapat diketahui peluang–peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat pajak.

b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat

Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang. Mengingat pentingnya pembukuan maka menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan, telah menetapkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib melakukan pembukuan.

3. Pengendalian Pajak

Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Hal terpenting dalam pengendalian pajak adalah pemeriksaan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk pemeriksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang.

D. Penghasilan

1. Penghasilan Kena Pajak

Sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan besarnya PKP bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:

1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan.

2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.

3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. 8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. 2. Penghasilan Tidak Kena Pajak

a. Adapun kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar: 1. Rp 13.200.000,00 untuk diri Wajib Pajak pribadi;

2. Rp 1.200.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

3. Rp 13.200.000,00 tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga.

4. Rp 1.200.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak

angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

b. Penerapan besarnya PTKP ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.

c. Penyesuaian besarnya PTKP ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) No. 17 Tahun 2000 yaitu:

1. Tarif pajak yang ditentukan atas Penghasilan Kena Pajak bagi: a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

Tabel 2.6

Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

No Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

1 Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5 % 2 Diatas Rp 25.000.000,00 s/d Rp 50.000.000,00 10 % 3 Diatas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00 15 % 4 Diatas Rp 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,00 25 % 5 Diatas Rp 200.000.000,00 35 % Sumber:Undang–Undang Pajak RI

b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut;

Tabel 2.7

Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Badan Usaha Tetap

No Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak 1 Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10 % 2 Diatas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00 15 %

3 Diatas Rp 100.000.000,00 30 %

E. Perbedaan Perlakuan Penyusutan dari Sudut Pandang Akuntansi dan

Dokumen terkait