• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN/KRITIK TERHADAP KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN KASUS YANG DIEKSAMINASI

Majelis eksaminasi menemukan sejumlah kelemahan atau kritikan terhadap aturan yang berkaitan dengan korupsi perizinan sektor kehutanan:

a. Perlu revisi atau perbaikan Pasal 2 dan 3 UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

a. Ini terlihat pada pidana penjara Pasal 2 ayat paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 200 juta, paling banyak Rp 1 Milyar. Dan pidana penjara Pasal 3 paling singkat 1 (satu) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 50 juta, paling banyak Rp 1 Miliar. Pidana penjara minimum 1 (satu) tahun dalam pasal 3 tidak mencerminkan semangat bahwa korupsi kejahatan extraordinary crime. Celah ini bisa digunakan hakim untuk membebaskan atau meringankan terdakwa.

b. Tafsir “perbuatan melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”.

Tafsir ini masih didebatkan oleh majelis hakim dalam perkara ini. Majelis hakim berpikiran, jika yang melakukan tindak pidana korupsi, maka pasal 3 adalah pasal yang tepat untuk menjerat terdakwa. Padahal pasal 3 bukan saja bisa dikenakan untuk pejabat Negara, namun setiap orang.

Page 59 of 61

b. Beschiking Kemenhut terkait pemanfaatan hutan alam saling berbenturan dengan pemanfaatan hutan tanaman. Hutan tanaman tidak boleh di areal hutan alam, sisi lain hutan alam bisa untuk areal hutan tanaman. Ini menimbulkan multitafsir. Akibatnya, meski RKT perusahaan illegal, karena ada kebijakan kepmenhut RKT tersebut bisa legal kembali, itu terlihat dari verifikasi legalitas yang dilakukan oleh Kepmenhut. Salah satunya, Kepmenhut No. 101/2004, yang jelas-jelas bertentangan dengan Kepmenhut sebelumnya dan dengan semangat yang termuat dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Page 60 of 61

BAGIAN PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hasil analisa dan temuan bedah kasus putusan majelis hakim terkati korupsi perizinan RKT sector kehutanan, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Jaksa Penuntut Umum tidak konsisten dalam merumuskan dakwaan dan tuntutan. Keraguan tersebut terlihat dari strategi Jaksa Penuntut Umum menerapkan dakwaan dengan menggunakan dakwaan subsidiaritas. Namun, dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum membuktikan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tertera dalam dakwaan primer.

2. Jaksa Penuntut Umum sebaiknya menggunakan penghitungan kerugian Negara dengan pendekatan penghitungan Ekologis-Ekonomis, sebab RKT yang diterbitkan terdakwa bertentangan dengan sejumlah kepmenhut. Estimasi Total kerugian Perusakan Ekologis akibat di areal RKT yang bertentangan dengan hukum : Rp.687,015,791,990,000 atau setidaknya Rp 687 Triliun. Bandingkan dengan penghitungan PSDH DR yang dilakukan oleh BPKP total Rp 519.580.718.790 atau setidaknya hanya Rp 519 miliar. Setidaknya dengan Jaksa Penuntut Umum melakukan penghitungan kerugian Negara di sector Ekologis-Ekonomis, bisa mempengaruhi keyakinan majelis hakim agar menghukum terdakwa lebih berat. Ini juga untuk memberi rasa keadilan bagi hutan yang sudah rusak akibat perbuatan terdakwa. Sebab memulihkan hutan yang telah rusak butuh waktu ratusan tahun.

3. Majelis hakim tidak cermat menganalisis terkait waktu pengesahan RKT oleh terdakwa, verifikasi Menhut dan SK Pembaharuan terkait IUPHHK HT.

4. Pertimbangan majelis hakim terkait “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dan “dengan tujuang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” saling kontradiksi. Terlihat dalam pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim memilih dakwaan subsider karena terdakwa meskipun tidak menguntungkan diri sendiri, namun terbukti menguntungkan korporasi. Dan majelis hakim menolak dakwaan primer karena terdakwa tidak terbukti memperkaya diri sendiri, namun terbukti memperkaya korporasi.

5. Terjadi disparitas putusan majelis hakim dengan perkara terpidana yang sama yaitu terpidana Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau Asral Rahman (5 tahun penjara) periode 2003-2004 dan terpidana Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau Syuhada Tasman (4 tahun penjara) periode 2004-2005. Dua putusan ini majelis hakim menjatuhkan hukuman pasal 2 UU Tipikor. Namun, dalam putusan terpidana Burhanuddin Husin majelis hakim menerapkan pasal 3 UU Tipikor. Artinya vonis majelis hakim lebih rendah dibanding vonis dalam kasus yang sejenis.

6. Putusan Majelis hakim tidak sejalan dengan filosophy yang termuat dalam konsideran UU Tipikor serta rasa keadilan masyarakat. Meski majelis hakim menghukum terdakwa dengan pasal 3 UU Tipikor , secara normative hukumannya 2 tahun 6 bulan dimungkinkan karena ancaman 1 tahun, bila dihubungkan dengan rasa keadilan masyarakat sangat tidak adil karena berhubungan kasus kerusakan kehutanan dan tidak adil dengan para terpidana lain pada kasus yang sama.

7. Bahwa ada tersangka lain dalam yang sebaiknya ditetapkan tersangka oleh KPK

B. REKOMENDASI

Page 61 of 61

1. Mahkah Agung supaya membuat kebijakan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait:

a. Penjatuhan pidana korupsi terkait kehutanan dengan menerapkan hukuman minimal yang dijatuhkan sepertiga dari ancaman hukuman maksimal

b. Penghitungan ancaman maksimal tersebut harus berbentuk kumulasi dengan ancaman yang ada dalam undang-undang terkait (UU Tipikor dan Kehutanan)

2. Hukuman lebih diperberat terkait korupsi sector kehutanan tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara (korupsi perpajakan atau pengadaan barang dan jasa), tapi juga pasti menyebabkan:

a. Hilangnya sumber kehidupan untuk generasi sekarang dan yang akan datang, karena pemulihan kerusakan alam butuh waktu 350 tahun

b. Merusak ekosistem dan keseimbangan alam c. Menafikan adanya hak asasi makhluk hidup

c. Perlu pemantapan kualitas Jaksa Penuntut Umum dan Hakim

d. Jaksa Penuntut Umum menggunakan penghitungan kerugian Negara korupsi perizinanan sector kehutanan dengan pendekatan penghitungan kerugian Ekologis-Ekonomis.

e. Hakim dan Jaksa yang memeriksa kasus Burhanuddin Husin kiranya diperiksa oleh institusi yang berwenang.

f. Desakan agar Korporasi dan PNS yang terlibat dalam kasus korupsi terpidana Burhanuddin Husin diproses secara hukum oleh KPK.

g. Seluruh pengesahan RKT dalam kasus terpidana Burhanuddin Husin batal demi hukum dan mesti dicabut oleh Kementerian Kehutanan

h.

Perlu pemantauan korupsi kehutanan di Propinsi Riau secara berkelanjutan

i. KPK sebaiknya segera menetapkan tersangka lainnya yaitu Amin Budyadi, Edi