• Tidak ada hasil yang ditemukan

(a) ( b ) (a) (b) S. cerevisiae Serat

Gambar 3 Hasil pengamatan carrier, (a) sebelum imobilisasi, (b) setelah imobilisasi menggunakan SEM (perbesaran 1000x)

Selulosa

Lignin

11 Ampas singkong yang sudah mengalami perlakuan dengan HCl 3% mempunyai pori-pori yang lebih terbuka. Pori-pori tersebut merupakan tempat menempelnya S. cerevisiae dalam imobilisasi adsorpsi. Perpindahan substrat dan produk menjadi lebih mudah dalam imobilisasi ini. Jianliang et al. (2007) menyebutkan sistem imobilisasi ini dapat memecahkan masalah perpindahan massa yang terjadi dalam sistem imobilisasi lain yaitu penjeraban (entrapment) sel menggunakan kalsium alginat.

Proses imobilisasi S. cerevisiae diawali dengan propagasi sel selama 24 jam secara aerobik menggunakan nutrient broth. Nutrient broth mengandung yeast extract dan pepton yang dapat merangsang pertumbuhan sel. S. cerevisiae bersifat fakultatif anaerobik sehingga pada kondisi aerobik sumber karbon digunakan untuk memproduksi sel dengan memanfaatkan oksigen yang mendukung aktivitas metabolik sel. Inokulum hasil propagasi kemudian ditumbuhkan kembali di dalam media imobilisasi yang mempunyai komposisi nutrisi yang hampir sama dengan media fermentasi. Hal tersebut bertujuan untuk mempersingkat fase lag sel supaya adaptasi sel terhadap media yang baru lebih cepat. Proses imobilisasi adsorpsi S. cerevisiae terjadi dalam kondisi aerobik. Di saat yang sama proses imobilisasi adsorpsi terjadi dengan adanya carrier yang terdapat dalam media akibat gaya elektrostatis antara membran sel dengan carrier.

Imobilisasi S. cerevisiae pada ampas singkong dengan memanfaatkan kandungan selulosa yang terkandung didalamnya merupakan teknik imobilisasi yang relatif baru. Menurut Pacheco et al. (2010), mekanisme proses adsorpsi sel pada carrier terjadi karena peristiwa adsorpsi fisik akibat gaya elektrostatik atau ikatan kovalen antara membran sel dan carrier. Menurut de Vasconcelos et al.

(2004), teknik imobilisasi pada selulosa yang berasal dari bahan alami memiliki beberapa kelebihan, yaitu pertumbuhan sel dapat berlangsung melalui berbagai jalur serta doubling time yang lebih singkat, akses yang lebih mudah terhadap substrat sehingga memperluas peran sisi aktif sel, dan harga bahan carrier yang murah serta ketersediaannya melimpah. Keunggulan lainnya apabila dibandingkan dengan carrier sintetis adalah karena aplikasinya mudah, prosedur persiapan tidak rumit seperti yang diperlukan untuk persiapan matriks menggunakan gel sintetis pada imobilisasi dengan penjeraban (Chandel et al. 2009).

Pada penelitian ini dilakukan proses pembilasan sebelum sel yang terimobilisasi pada carrier digunakan untuk siklus selanjutnya. Menurut Kourkoutas et al. (2003), kekuatan ikatan sel yang terikat dan ketebalan biofilm pada carrier ukurannya bervariasi dan tidak mudah ditentukan karena tidak ada hambatan antara sel dengan cairan fermentasi. Pelepasan dan perpindahan sel mungkin saja terjadi selama proses tersebut. Oleh karena itu, pembilasan dilakukan untuk membuang sel yang tidak terimobilisasi pada carrier, sehingga saat siklus fermentasi selanjutnya yang mengonversi gula adalah sel yang terimobilisasi bukan sel bebas.

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986) potensi ampas singkong cukup besar yaitu 11.4% dalam sekali proses pembuatan tapioka. Oleh karena itu karena tersedia dalam jumlah yang besar, ampas singkong berpotensi dimanfaatkan sebagai carrier dalam imobilisasi S. cerevisiae pada produksi bioetanol.

12

Penentuan Nisbah Carrier Terhadap Media Terbaik

Nisbah carrier ampas singkong terhadap media fermentasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 4%, 6%, dan 8% (b/v). Jumlah sel inokulum S. cerevisiae hasil propagasi pada media cair selama 24 jam mencapai 1.64 x 107 per ml. Hasil propagasi sel ini selanjutnya digunakan untuk proses imobilisasi adsorpsi dengan perlakuan nisbah ampas terhadap yang telah ditentukan. Setelah proses imobilisasi selesai (24 jam), didapatkan jumlah sel yang teradsorpsi seperti yang disajikan pada Gambar 4. Jumlah sel yang terbanyak terdapat pada nisbah 4% yaitu 1.20 x 1011 sel/g carrier. Hal ini terjadi karena dengan jumlah sel yang sama dengan luas permukan yang lebih kecil, menyebabkan sel S. cerevisiae

menumpuk dalam pori-pori carrier. Semakin besar persentase nisbah (semakin banyak carrier) berarti terdapat pori-pori yang jumlahnya lebih banyak untuk ditempati sel. Hal ini menyebabkan nisbah carrier terhadap media 6% dan 8% berturut-turut terdapat sebanyak 0.75 x 1011 sel/g carrier dan 0.55 x 1011 sel/g

carrier. Pada proses imobilisasi adsorpsi laju pertumbuhan sel S. cerevisiae sama untuk semua nisbah carrier terhadap media fermentasi, sehingga jumlah sel yang teradsorpsi sama. Namun apabila ditinjau per gram carrier, jumlah sel yang teradsorpsi pada nisbah carrier terhadap media 4% lebih tinggi dibandingkan dengan nisbah lainnya karena dengan luas permukaan carrier yang lebih rendah maka sel akan tumbuh menumpuk pada pori-pori carrier tersebut.

Apabila dianalisa terdapat pertambahan jumlah sel hasil propagasi dengan jumlah sel hasil imobilisasi. Terlihat jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier

mempunyai jumlah yang lebih tinggi dibandingkan jumlah sel hasil propagasi. Jumlah inokulum yang ditambahkan ke dalam media imobilisasi sebanyak 10% dari media tersebut. Setelah inokulum dimasukkan ke dalam media imobilisasi, sel akan beradaptasi (fase lag) dengan kondisi media yang baru. Selanjutnya dengan adanya oksigen sel akan membelah dengan cepat pada fase ini. Di saat yang bersamaan terjadilah proses adsorpsi sel pada carrier. Proses imobilisasi dihentikan setelah sel mencapai pertumbuhan eksponensial yaitu 24 jam. Peristiwa tersebut yang mengakibatkan jumlah sel hasil propagasi lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah sel setelah imobilisasi.

Penentuan nisbah carrier pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan fermentasi repeated-batch dengan 6 siklus dan konsentrasi gula 140 g/L berdasarkan penelitian sebelumnya. Jumlah sel diakhir fermentasi batch siklus ke-6 dapat dilihat pada Gambar 4. Terlihat peningkatan jumlah sel diakhir fermentasi batch ke-6, hal tersebut menunjukkan S. cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada proses imobilisasi. Data hasil penentuan nisbah carrier terbaik secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.

13 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 K ad ar E ta n o l (g /L )

Siklus fermentasi ke-

Gambar 4 Jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier hasil imobilisasi awal ( ), setelah siklus fermentasi ke-6 ( )

Substrat utama dalam produksi bioetanol pada penelitian ini ialah hidrolisat pati singkong. Judoamidjojo et al. (1989) menyatakan bahwa komponen utama dari hidrolisat pati adalah glukosa. S. cerevisiae akan mengubah gula sederhana yaitu glukosa (C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2) tanpa memerlukan oksigen (O2). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + Kalor Glukosa Etanol Karbondioksida

Kadar total gula sisa dan etanol dalam penentuan nisbah ampas terbaik disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Nisbah ampas terhadap media 4% menghasilkan kadar etanol dengan kisaran 49.59-67.68 g/L dengan total gula sisa 1.93-14.11 g/L. Sedangkan nisbah 6% menghasilkan kadar etanol dengan kisaran 49.23-68.75 g/L dengan total gula sisa 1.05-13.57 g/L, dan nisbah 8% menghasilkan kadar etanol dengan kisaran 56.71-65.87 g/L dengan total gula sisa 1.85-11.46 g/L. Hasil penelitian menunjukkan kadar etanol untuk semua perlakuan nisbah ampas terhadap media memiliki pola yang sama, yaitu mengalami penurunan karena adanya adaptasi sel terhadap media dan kondisi proses yang baru sampai siklus ke-3 selanjutnya stabil sampai berakhirnya siklus.

Gambar 5 Kadar etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( ) 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 4% 6% 8% Jum la h s el /g (x1 0 11)

14

Gambar 6 Total gula sisa pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Mekanisme konversi gula menjadi etanol dalam fermentasi ini terjadi melalui dua tahap utama, yaitu pembentukan piruvat dan pembentukan etanol dari piruvat tersebut. Pembentukan piruvat berlangsung melalui jalur glikolisis yang merupakan rangkaian reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi. Senyawa yang berperan sebagai donor dan akseptor fosfat dalam jalur glikolisis ialah ATP dan ADP (Crueger dan Anneliese 1984). Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam jalur glikolisis ialah sebagai berikut.

C6H12O6 + 2ADP + 2NAD+ + 2Pi  2piruvat + 2ATP + 2(NADH+H+) Glukosa Adenosin Fosfat Adenosin

difosfat anorganik trifosfat

Dalam tahapan selanjutnya, piruvat yang telah dihasilkan dari jalur glikolisis diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dekarboksilase disertai pelepasan CO2. Reaksi terakhir ialah konversi asetaldehid menjadi etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam proses konversi piruvat menjadi etanol ialah sebagai berikut.

Gambar 7 Reaksi konversi piruvat menjadi etanol (Crueger dan Anneliese 1984) Kadar etanol yang dihasilkan dengan penggunaan nisbah ampas 6% terhadap media terlihat mengalami peningkatan mulai dari siklus ke-2 dibandingkan nisbah ampas lainnya. Demikian pula total gula yang tersisa pada nisbah 6% lebih rendah (Gambar 6). Peningkatan kadar etanol berbanding terbalik dengan total gula sisa hidrolisat pati. Hubungan tersebut memperlihatkan semakin rendah total gula yang tersisa, maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan.

0 5 10 15 1 2 3 4 5 6 T o ta l G u la S is a (g /L )

15 Namun pada kondisi tertentu, tidak berlaku karena sumber karbon tidak sepenuhnya dikonversi menjadi etanol melainkan untuk pembentukan biomassa.

Jumlah sel mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi. Sel dengan densitas yang tinggi dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan, dan sebaliknya, etanol dengan kadar yang rendah ditunjukkan dengan penggunaan densitas yang rendah. Nisbah ampas 4% terhadap media dapat mengadsorpsi sel/g dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan nisbah ampas yang lainnya. Namun nisbah ampas terhadap media tersebut menghasilkan kadar etanol yang relatif sama dengan nisbah yang lainnya. Hal tersebut bisa dikaitkan dengan jumlah oksigen yang digunakan selama proses fermentasi.

S. cerevisiae mempunyai sifat anaerobik fakultatif, dimana pada kondisi aerobik khamir melakukan respirasi dan akan mengubah gula menjadi CO2 dan H2O dengan pembentukan sel. Pada kondisi aerobik dan konsentrasi glukosa tinggi, S. cerviceae tumbuh dengan baik, namun etanol yang dihasilkan rendah. Sedangkan pada kondisi sedikit oksigen khamir akan melakukan proses fermentasi anaerobik dimana gula yang ada akan dikonversi menjadi etanol dan CO2. Khanal (2008) menyatakan bahwa pada fermentasi anaerobik, zat organik dikatabolisme tanpa kehadiran oksigen, yang berarti tidak adanya akseptor elektron eksternal melainkan melalui keseimbangan reaksi oksidari-reduksi internal. Produk dihasilkan selama proses penerimaan elektron yang dilepaskan saat pemecahan zat organik. Oleh karenanya zat organik tersebut berperan sebagai akseptor dan donor elektron. Pada fermentasi, substrat hanya dioksidasi sebagian dan hanya sedikit energi yang bisa dihasilkan. Glukosa sebagai substrat akan melepaskan elektron saat diubah menjadi piruvat, namun elektron tersebut akan diambil oleh piruvat untuk menjadi etanol.

Carrier yang ditambahkan pada media fermentasi dapat membantu proses agitasi. Stanbury dan Whitaker (1984) menyatakan agitasi berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan yang memungkinkan untuk transfer oksigen dengan cara memperkecil gelembung udara dalam cairan. Perbedaan nisbah

carrier terhadap media fermentasi berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dan luas permukaan kontak yang terdapat dalam media fermentasi. Semakin besar nisbah carrier yang dimasukkan ke dalam media fermentasi maka kelarutan oksigen semakin kecil dan luas permukaan kontak menjadi lebih luas. Pada kondisi tersebut proses konversi gula oleh S. cerevisiae menjadi etanol dan CO2 akan berlangsung dengan baik. Kadar etanol yang dihasilkan pada nisbah ampas 8% terlihat lebih tinggi di awal siklus dibandingkan dengan nisbah ampas yang lainya dan mulai stabil di akhir silus ke-3 dan menurun di akhir siklus ke-6. Hal tersebut dimungkinkan karena keterbatasan O2 yang mengakibatkan metabolisme sel mulai terganggu.

Namun disisi lain, pada nisbah carrier 4% terhadap media memiliki kelarutan oksigen yang tinggi karena luas permukaan kontak antara carrier dan media lebih kecil. Kelarutan oksigen pada media yang tinggi membuat sebagian gula tidak terkonversi menjadi etanol namun menjadi biomassa (1.20 x 1011 sel/g

carrier). Pertumbuhan biomassa mulai stabil di akhir siklus ke-3 sampai akhir siklus ke-6 yang ditandai dengan perolehan kadar etanol yang cukup stabil pada siklus tersebut.

Nisbah carrier 6% memiliki kelarutan oksigen yang lebih baik apabila dibandingkan dengan nisbah carrier 8% namun lebih rendah dari nisbah 4%.

16

Kelarutan oksigen yang diakibatkan oleh nisbah carrier 6% mempengaruhi jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier (0.75 x 1011). Jumlah sel tersebut lebih banyak dari pada jumlah sel yang teradsorsi pada nisbah 8% yaitu 0.55 x 1011. Dengan kondisi yang demikin, nisbah carrier 6% diharapkan dapat mengatasi masalah kelarutan oksigen yang berpengaruh terhadap jumlah sel dan pada akhirnya berpengaruh terhadap perolehan kadar etanol. Proses adaptasi pun terjadi pada nisbah carrier 6%, yang ditandai dengan rendahnya perolehan kadar etanol sampai siklus ke-3, namun terlihat kadar etanol yang lebih tinggi di akhir siklus ke-6.

Pacheco et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat penggunaan gula merupakan perbandingan jumlah gula yang terkonversi terhadap jumlah total gula awal. Tingkat penggunaan gula disajikan dalam Gambar 8. Berdasarkan nilai tersebut tingkat penggunaan gula oleh S. cerevisiae yang teradsorpsi pada nisbah ampas 4% berkisar 89.92-98.62%, nisbah ampas 6% berkisar 90.31-99.86%, dan nisbah ampas 8% berkisar 91.68-98.93%. Apabila dilakukan analisis terhadap keseluruhan siklus, terjadi penurunan penggunaan gula pada siklus ke-2. Hal tersebut terjadi akibat proses adaptasi S. cerevisiae terhadap kondisi lingkungan yang baru. Berdasarkan nilai tersebut S. cerevisiae yang teradsorpsi pada nisbah ampas 6% dapat menggunakan substrat tertinggi mencapai 99.86% pada siklus ke-5. Hal tersebut terjadi karena kelarutan oksigen pada nisbah carrier 6% terhadap media cukup baik sehingga penggunaan gula untuk pembentukan etanol maupun biomassa cukup baik. Perolehan kadar etanol pada nisbah ampas dan siklus yang sama hanya menghasilkan etanol dengan kadar 67.05 g/L lebih rendah dibandingkan dengan siklus ke-6 yang menghasilkan kadar etanol tertinggi sebesar 68.75 g/L dengan tingkat penggunaan gula 99.25%. Hal tersebut menunjukan tidak semua gula dikonversi menjadi etanol tetapi diubah menjadi bentuk lain seperti biomassa, CO2, dan metabolit lainnya seperti asam-asam organik (Rehm dan Reed 1983) .

Gambar 8 Tingkat penggunaan gula terhadap nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Produktivitas volumetrik (Qp) merupakan perbandingan antara kadar etanol yang dihasilkan terhadap lama fermentasi (Pacheco et al. 2010). Faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas adalah kadar etanol yang terbentuk, semakin tinggi kadar etanol dengan lama fermentasi sama (24 jam) untuk setiap siklus, maka produktivitas akan semakin tinggi. Produktivitas etanol yang dihasilkan dalam Penentuan nisbah ampas optimal di sajikan pada Gambar 9. Berdasarkan nilai tersebut nisbah ampas 4% memberikan produktivitas pembentukan etanol

75 80 85 90 95 100 1 2 3 4 5 6 T ingka t P engguna an G ul a ( % )

17 berkisar 2.07-2.82 g/L/jam, nisbah ampas 6% memberikan produktivitas pembentukan etanol berkisar 2.05-2.86 g/L/Jam, dan nisbah ampas 8% memberikan produktivitas pembentukan etanol berkisar 2.25-2.74 g/L/Jam. Analisa pada setiap siklus menunjukkan terjadinya peningkatan produktivitas yang positif pada nisbah ampas 6 % terhadap media mulai dari siklus ke-2 (2.44

g/L/Jam) sampai siklus ke-6 (2.86 g/L/Jam). Peningkatan produktivitas tersebut

disebabkan karena sel telah melewati fase adaptasi sehingga diperoleh kadar etanol yang tinggi pada siklus tersebut. Pada nisbah ampas 4% dan 8% mengalami fluktuasi sampai siklus ke-6 dan menurun di akhir siklus. Ketidakstabilan produktivitas tersebut berkaitan dengan perolehan kadar etanol yang menurun di akhir siklus.

Gambar 9 Produktivitas volumetrik etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4%( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Yield (Yp/s) merupakan perbandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap jumlah substrat yang digunakan (Pacheco et al. 2010). Yield yang dihasilkan dalam penentuan nisbah ampas terbaik disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan nilai tersebut nisbah ampas 4% menghasilkan yield sebesar 0.33-0.49 g etanol/g substrat, 6% menghasilkan yield sebesar 0.32-0.49 g etanol/g substrat, 8% menghasilkan yield sebesar 0.44-0.47 g etanol/g substrat. Analisa terhadap keseluruhan siklus menunjukkan bahwa yield yang dihasilkan oleh nisbah 6% meningkat sampai siklus ke-6 dibandingkan dengan nisbah ampas yang lain. Hal ini berkaitan langsung dengan perolehan kadar etanol dan jumlah substrat yang digunakan pada nisbah 6% yang tinggi.

Gambar 10 Yield etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Efisiensi merupakan perbandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap kadar etanol teoritis (Pacheco et al. 2010). Berdasarkan persamaan Gay-Lussac, secara teroritis dari setiap penggunaan 1 gram glukosa akan dihasilkan 0.51 gram

1,5 2 2,5 3 1 2 3 4 5 6 P ro d u k tiv ita s (g /L /J am )

Siklus fermentasi ke-

0,35 0,40 0,45 0,50 1 2 3 4 5 6 Y ie ld E ta no l ( g/ g)

18

etanol. Hasil etanol teoritis tersebut dijadikan faktor pembanding dalam penentuan efisiensi produksi. Nilai efisiensi disajikan pada Gambar 11. Nilai efisiensi yang diperoleh nisbah ampas 4% berkisar 77.24-96.11%, nisbah ampas 6% berkisar 76.35-97.02%, dan nisbah ampas 8% berkisar 86.64-94.05%. Apabila dilakukan analisa terhadap keseluruhan siklus, nilai efisiensi tertinggi terdapat pada nisbah 6% yaitu mencapai 97.02%. Ketidakstabilan efisiensi terjadi selama 3 siklus. Penyebab ketidakstabilan tersebut adalah ikatan yang terbentuk antara sel dengan

carrier belum kuat akibatnya sel mudah terlepas. Pada siklus ke-3 terlihat S. cerevisiae sudah mulai beradaptasi dengan kondisi yang baru dan ikatan antara sel dengan carrier yang terbentuk cukup kuat, hal itu diperlihatkan oleh pola kenaikan efisiensi sampai akhir siklus ke-6. Namun nisbah ampas 6% terhadap media yang memiliki peningkatan yang positif apabila dibandingkan nisbah

carrier lainya yang cenderung menurun di akhir siklus ke-6.

Berdasarkan Tabel 6, terlihat perbedaan hasil perolehan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield siklus ke-6 pada berbagai nisbah carrier terhadap media fermentasi. Hasil yang diperoleh nisbah carrier 6% terlihat lebih baik apabila dibandingkan dengan nisbah carrier yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan jumlah pori-pori dan transfer oksigen yang diakibatkan oleh nisbah carrier 6% dapat meningkatkan jumlah sel dan proses konversi gula menjadi etanol berlangsung dengan baik.

Gambar 11 Efisiensi produksi etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Tabel 6 Perbandingan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield bioetanol siklus ke-6 pada berbagai nisbah carrier terhadap media fermentasi

Parameter

Nisbah carrier terhadap media (%)

4 6 8

Kadar etanol (g/L) 65.68 68.75 64.85 Produktivitas (g/L/Jam) 2.82 2.86 2.70 Efisiensi (%) 96.11 97.02 92.48

Yield (g etanol/g substrat) 0.49 0.50 0.47 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 E fis ie n si ( % )

19

Penentuan Konsentrasi Gula Terbaik dengan Fermentasi Repeated-Batch Penentuan konsentrasi gula terbaik untuk produksi bioetanol dilakukan dengan menggunakan fermentasi repeated-batch dengan variasi total gula 120, 140 dan 160 g/L. Nisbah carrier terhadap media fermentasi dan jumlah siklus yang digunakan pada penelitian tahap ini adalah 6% dan 10 siklus. Hal tersebut dikarenakan pada nisbah 6 % belum terjadi penurunan produktivitas dan efisiensi di akhir siklus ke-6. Jumlah sel inokulum S. cerevisiae hasil propagasi pada media cair selama 24 jam mencapai 1.98 x 107 sel/ ml. Jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier mencapai 1.2 x 1011 sel/g carrier. Jumlah sel diakhir siklus ke 10 disajikan pada Gambar 12. Berdasarkan data tersebut jumlah sel terbanyak di akhir siklus ke-10 terdapat pada konsentrasi gula 160 g/L yaitu mencapai 2 x 1011 sel/g carrier, kemudian berturut-turut 140 dan 120 g/L sebanyak 1.8 x 1011 dan 1.6 x 1011 sel/g carrier. Terlihat adanya perbedaan jumlah sel diawal siklus dengan di akhir siklus ke 10. Perbedaan tersebut mengiindikasikan tidak semua gula dikonversi menjadi etanol, namun sebagian dikonversi menjadi biomassa. Data hasil penentuan konsentrasi gula terbaik secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

Gambar 12 Jumlah sel di akhir fermentasi batch ke-10

Total gula sisa pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 13. Total gula yang tersisa pada konsentrasi total gula awal 120 g/L berkisar 2.41-15.28 g/L, untuk total gula awal 140 g/L berkisar 2.99-15.06 g/L, dan untuk total gula awal 160 g/L berkisar 4.50-24.26 g/L. Konsentrasi gula berpengaruh terhadap produktivitas produksi etanol. Bila konsentrasi gula terlalu tinggi kemungkinan dapat terjadi represi katabolit yang menyebabkan produksi etanol menurun (Tahir et al. 2010).

Analisa total gula sisa terhadap sepuluh siklus pada konsentrasi total gula awal 120 g/L berkisar antara 2.41 g/L (siklus ke-3)-15.28 g/L (siklus ke-2), 2.99 g/L (siklus ke-3)-15.06 (siklus ke-2) untuk konsentrasi gula awal 140 g/L, dan 4.5 g/L (siklus ke-3)-20.76 (siklus ke-2) untuk konsentrasi gula awal 160 g/L. Apabila dianalisa terdapat pola kecenderungan yang sama pada semua perlakuan total gula awal yaitu total gula sisa terendah terdapat pada siklus ke-3 dan total gula sisa tertinggi terdapat pada siklus ke-2. Hal tersebut disebabkan oleh S. cerevisiae

mengalami adaptasi terhadap lingkungan yang baru berlangsung selama 3 siklus dan mulai stabil pada siklus ke-4. Menurut Wang (2002), mikroorganisme akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Hal tersebut yang menyebabkan pola total gula sisa yang dihasilkan tidak stabil sampai akhir siklus ke-3.

0 1 2 3 120 140 160 Jum la h s el /g (x 1 0 11)

20

Kemampuan sel imobil untuk memproduksi etanol terlihat masih dapat berlanjut sampai siklus ke-10. Hal tersebut terlihat dari total gula sisa yang masih relatif rendah dan stabil di akhir siklus ke-10. Yu et al. (2006) dalam penelitiannya menggunakan ampas sorgum menduga S. cerevisiae masih dapat mempertahankan aktivitasnya untuk memproduksi bioetanol lebih dari satu bulan. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah karena sel-sel imobil mengandung persentase asam lemak jenuh lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas yang kemudian mengarah ke toleransi yang lebih besar sehingga kelangsungan hidup dan produktivitas dalam siklus pun lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas (Kirsch dan Szanani 1997). Rychtera et al. (1987) melaporkan bahwa sel imobil dapat mempertahankan aktivitas enzim untuk waktu yang lama karena komposisi sel yang berbeda (protein, lipid, RNA, DNA, dan senyawa anorganik) dibandingkan dengan sel bebas.

Gambar 13 Total gula sisa pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( )

Produksi etanol telah dilakukan dengan menggunakan sel S. cerevisiae

terimobil ampas singkong dengan sepuluh siklus menggunakan substrat hodrolisat pati singkong racun. Kadar etanol yang dihasilkan berdasarkan perbedaan total gula awal di sajikan pada . Analisa kadar etanol dilakukan di akhir batch (24 jam) setiap siklus. Berdasarkan hasil analisa tersebut kadar etanol pada konsentrasi gula awal 120 g/L berkisar antara 38.60-56.83 g/L, 45.07-66.22 g/L untuk konsentrasi total gula awal 140 g/L, dan 44.67-71.91 g/L untuk konsentrasi total gula awal 160 g/L. Hasil tersebut memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi gula awal maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan.

Perolehan kadar etanol di awal siklus masih fluktuatif, namun setelah siklus ke-4 kadar etanol yang dihasilkan terlihat stabil. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi gula awal yang berbeda sehingga proses adaptasi sel pun berbeda. Pada konsentrasi gula 160 g/L kadar etanol yang dihasilkan pada siklus ke-1 (44.67 g/L) lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi gula yang lainnya. Konsentrasi gula yang tinggi menyebabkan konversi gula lebih mengarah keregenerasi sel dibandingkan dengan pembentukan produk. Peningkatan jumlah sel tersebut terbukti dengan terjadi peningkatan kadar etanol (60.22 g/L) di siklus

Dokumen terkait