• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fermentasi Repeated-batch Menggunakan Saccharomyces cerevisiae Terimobilisasi pada Ampas Singkong untuk Produksi Bioetanol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fermentasi Repeated-batch Menggunakan Saccharomyces cerevisiae Terimobilisasi pada Ampas Singkong untuk Produksi Bioetanol"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

FERMENTASI

REPEATED-BATCH

MENGGUNAKAN

Saccharomyces cerevisiae

TERIMOBILISASI PADA AMPAS

SINGKONG UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

APRIYADI DWI YUDHANTO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fermentasi Repeated-Batch Menggunakan Saccharomyces cerevisiae Terimobilisasi pada Ampas Singkong untuk Produksi Bioetanol adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir diskripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Apriyadi Dwi Yudhanto

(4)

ABSTRAK

APRIYADI DWI YUDHANTO. Fermentasi Repeated-batch Menggunakan

Saccharomyces cerevisiae Terimobilisasi pada Ampas Singkong untuk Produksi Bioetanol. Dibimbing oleh LIESBETINI HADITJAROKO dan MULYORINI RAHAYUNINGSIH

Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari biomassa yang mengandung gula, pati, atau selulosa melalui fermentasi oleh mikroba, salah satunya dengan Saccharomyces cerevisiae. Upaya peningkatan produksi etanol terus diupayakan antara lain dengan menggunakan sel imobil. Mengingat potensi ampas singkong yang besar dan penggunaanya yang belum optimal , maka dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai carrier untuk imobilisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nisbah carrier terhadap media fermentasi dan konsentrasi gula hidrolisat pati singkong dalam produksi bioetanol secara

repeated-batch oleh S. cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong. Metode penelitian ini terdiri atas ekstraksi pati, pembuatan hidrolisat secara enzimatis,

treatment carrier oleh HCl 3% (v/v), imobilisasi S. cerevisiae pada ampas singkong, dan fermentasi secara repeated-batch. Pada penelitian ini diperoleh rendemen pati sebesar 25.10% (b/b) dan efisiensi produksi hidrolisat pati sebesar 98.94%. S. cerevisiae yang teradsopsi pada permukaan carrier sebanyak 0.75 x 1011 sel/g carrier. Hasil penelitian menyebutkan nisbah carrier terhadap media terbaik diperoleh dari nisbah 6% yang menghasilkan kadar etanol 49.23-68.75 g/L, produktivitas 2.05-2.86 g/L/jam, yield 0.40-0.50 g etanol/g substrat, tingkat penggunaan gula sebesar 83.16-99.86%, serta efisiensi sebesar 78.20-97.02%. Pemilihan konsentrasi gula terbaik telah dilakukan melalui fermentasi repeated-batch 10 siklus dan menghasilkan konsentrasi gula terbaik yaitu 160 g/L yang menghasilkan kadar bioetanol pada siklus ke-10 sebesar 71.91 g/L. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa imobilisasi sel terbukti dapat meningkatkan produktivitas bioetanol sebesar 2-3 kali apabila dibandingkan dengan fermentasi menggunakan sel bebas.

Keywords: bioetanol, ampas singkong, fermentasi, repeated-batch,

Saccharomyces cerevisiae

ABSTRACT

APRIYADI DWI YUDHANTO. Repeated-batch fermentation Using Immobilized

Saccharomyces cerevisiae on Cassava Bagasse for Bioethanol Production. Supervised by LIESBETINI HADITJAROKO and MULYORINI RAHAYUNINGSIH

(5)

study bioethanol production from cassava starch in repeated-batch fermentation by S. cerevisiae immobilized on cassava bagasse. Research method consists of starch extraction, starch hydrolysis, cassava bagasse treatment by HCl 3% (v/v), immobilization of S. cerevisiae on cassava bagasse, and fermentation by repeated-batch method. The resulting yield of starch was 25.10% (w/w) and conversion efficiency of starch to hydrolyzed starch was 98.94%. The total cell of S. cerevisiae which adsorp on the surface of the carrier was 0.75 x 1011 sel/g carrier. Selection of the best ratio of carrier to the media fermentation found in the ratio of 6% which produced ethanol concentration of 49.23-68.75 g/L, productivity 2.05-2.86 g/L/h, yield 0.40-0.50 g/g, sugar conversion 83.16-99.86%, and efficiency 78.20-97.02%. The resulting ethanol concentration was 42.72-63.66 g/L, productivity 1.78-2.66 g/L/h, sugar conversion 90.80-95.74%, yield 0.33-0.47 g/g, and efficiency 65.91-93.13%. Selection of the best sugar concentrations have been observed through repeated-batch fermentation with 10 cycles. The research showed that best sugar concentration was obtained by using 160 g/L and ethanol produced was 71.91 g/l. This research showed that imobilized cells can improve productivity by 2-3 times in comparison with the fermentation by using free cells. Keywords: bioethanol, cassava bagasse, fermentation, repeated-batch,

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

FERMENTASI

REPEATED-BATCH

MENGGUNAKAN

Saccharomyces cerevisiae

TERIMOBILISASI PADA AMPAS

SINGKONG UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

APRIYADI DWI YUDHANTO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Fermentasi Repeated-batch Menggunakan Saccharomyces cerevisiae Terimobilisasi pada Ampas Singkong untuk Produksi Bioetanol

Nama : Apriyadi Dwi Yudhanto NIM : F34090043

Disetujui oleh

Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS Pembimbing I

Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan adalah bioetanol, dengan judul Fermentasi Repeated-batch Menggunakan Saccharomyces cerevisiae

Terimobilisasi pada Ampas Singkong untuk Produksi Bioetanol.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS dan Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu dan arahan selama penyusunan skripsi, para teknisi di seluruh Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Antar Universitas atas kesediaannya dalam membantu penulis selama melaksanakan penelitian serta rekan-rekan TIN 46 atas semangat dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Yusno dan ibunda Purwani, kakak Eko Sunawan serta Nisa Urahmi Wiryastuti, atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

METODE 3

Bahan 3

Alat 3

Metode Penelitian 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Ekstraksi Pati dan Pembuatan Hidrolisat Pati 6

Penyiapan Carrier dan Imobilisasi S. cerevisiae 8 Penentuan Nisbah Carrier Terhadap Media Terbaik 12 Penentuan Konsentrasi Gula Terbaik dengan Fermentasi Repeated-Batch 19 Perbandingan Fermentasi Batch Menggunakan Sel Bebas dan Sel

Terimobilisasi 25

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 30

(12)

DAFTAR TABEL

1. Hasil analisa proksimat singkong varietas SPP 7 2. Data hasil ekstraksi pati singkong varietas SPP 7 3. Efisiensi konversi dan kadar total gula hidrolisat pati singkong

varietas SPP 7

4. Hasil perlakuan ampas singkong menggunakan HCl 3% 8 5. Hasil analisa komponen serat ampas singkong sebelum dan sesudah

perlakuan HCl 3% 10

6. Perbandingan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield

bioetanol siklus ke-6 pada berbagai nisbah carrier terhadap media

fermentasi 18

7. Perbandingan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield

bioetanol siklus ke-10 pada berbagai konsentrasi gula 24 8. Perbandingan parameter fermentasi antara sel terimobilisasi dan free

cell 25

DAFTAR GAMBAR

1. Ampas singkong sebelum (a) dan sesudah (b) perlakuan

menggunakan HCl 3% 9

2. Komponen lignoselulosa (Mosier et al. 2005) 10 3. Hasil pengamatan carrier, (a) sebelum imobilisasi, (b) setelah

imobilisasi menggunakan SEM (perbesaran 1000x) 10 4. Jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier hasil imobilisasi awal ( ),

setelah siklus fermentasi ke-6 ( ) 13

5. Kadar etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4%

( ) , nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( ) 13

6. Total gula sisa pada berbagai nisbah carrier terhadap media, 14 7. Reaksi konversi piruvat menjadi etanol (Crueger dan Anneliese 1984) 14 8. Tingkat penggunaan gula terhadap nisbah carrier terhadap media,

nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( ) 16 9. Produktivitas volumetrik etanol pada berbagai nisbah carrier

terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( ) 17 10.Yield etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4%

( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( ) 17

11.Efisiensi produksi etanol pada berbagai nisbah ampas terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( ) 18 12.Jumlah sel di akhir fermentasi batch ke-10 19 13.Total gula sisa pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ),

140 g/L ( ), 160 g/L ( ) 20

14.Kadar etanol pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ),

140 g/L ( ), 160 g/L ( ) 21

15.Tingkat penggunaan gula pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( ) 22 16.Produktivitas volumetrik pada berbagai konsentrasi total gula awal,

(13)

17.Yield etanol pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ),

140 g/L ( ), 160 g/L ( ) 23

18.Efisiensi produksi etanol pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( ) 24

DAFTAR LAMPIRAN

1. Prosedur analisis proksimat bahan baku 30

2. Prosedur pengujian 32

3. Parameter Fermentasi (Pacheco et al. 2010) 33 4. Data parameter fermentasi repeated-batch pada berbagai nisbah

carrier terhadap media 34

5. Data parameter fermentasi repeated-batch pada berbagai konsentrasi

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bioetanol merupakan senyawa dengan rumus kimia C2H5OH. Bioetanol

dihasilkan dari bahan baku alami terbarukan yang mengandung gula, pati, atau selulosa melalui proses fermentasi. Konversi gula menjadi bioetanol dapat dilakukan oleh mikroorganisme seperti Saccharomyces cerevisiae. Bioetanol dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif yang mempunyai prospek yang baik dimasa depan. Menurut Ditjen Migas (2012) cadangan minyak mentah Indonesia hanya 3.7 milyar barrel dengan tingkat produksi 830000 ribu barrel per hari akan habis dalam kurun waktu dua belas tahun. Mengingat krisis energi yang terjadi saat ini sudah memasuki tahapan yang sangat serius, sehingga harus segera dicari alternatif pemecahan masalahnya, yaitu dengan mencari sumber energi terbarukan.

Singkong merupakan bahan baku potensial yang dapat digunakan untuk memproduksi bioetanol. Hal ini disebabkan singkong memiliki kandungan pati yang tinggi, murah harganya, tersedia dalam jumlah yang banyak dan mudah dibudidayakan. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), produksi singkong dari tahun ketahun mengalami kenaikan dan pada tahun 2012 produksinya mencapai 23922075 ton. Varietas singkong yang berpotensi ialah jenis singkong racun yang mengandung senyawa HCN dan kandungan pati yang tinggi. Menurut Rukmana (1997) rendemen pati singkong racun mencapai 30%. Pada penelitian ini ampas singkong hasil samping dari ekstraksi pati digunakan sebagai carrier pada imobilisasi karena porositasnya yang tinggi dan cukup kuat strukturnya. Hal ini dilakukan dalam rangka pengoptimalan hasil samping proses ekstraksi pati singkong.

Produksi bioetanol banyak dilakukan secara curah (batch). Metode ini memiliki kelemahan berupa produktivitas dan efisiensi yang belum memuaskan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan fermentasi curah berulang (repeated-batch) menggunakan sel imobil. Dengan cara fermentasi tersebut sel imobil dapat digunakan secara berulang-ulang sampai beberapa siklus fermentasi. Hal ini dapat mengurangi biaya operasional untuk persiapan media dan pembuatan inokulum. Metode imobilisasi yang paling sederhana dan mudah untuk diterapkan adalah metode adsorpsi. Pada metode adsorpsi, sel mikroba diadsorpsi pada suatu carrier berdasarkan interaksi spesifik antara sel khamir dengan permukaan carrier dengan memanfaatkan gaya elektrostatis atau ikatan kovalen antara membran sel dengan carrier (Santos et al.

2008). Nisbah antara carrier ampas media fermentasi berpengaruh terhadap jumlah sel yang terimobilisasi. Semakin tinggi densitas sel yang teradsorpsi akan meningkatkan produksi bioetanol.

Hasil penelitian Manurung (2013) menunjukkan bahwa fermentasi secara

(16)

2

Secara keseluruhan hasil penelitian tersebut memperlihatkan fermentasi repeated-batch dengan sistem imobilisasi adsorpsi dapat meningkatkan produktivitas etanol yang didapatkan.

Gula merupakan komponen dasar untuk metabolisme khamir. Peningkatan konsentrasi total gula awal bisa meningkatkan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan. Namun dengan konsentrasi subtrat yang tinggi dapat menurunkan produksi etanol karena efek dari inhibisi subtrat (Roukas 1996). Menurut Pramanik (1999) dalam penelitiannya menyebutkan konsentrasi gula optimal untuk fermentasi adalah antara 50-250 g/L. Penentuan konsentrasi gula optimum perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas bioetanol. Selain itu, akumulasi bioetanol menyebabkan fermentasi akan terganggu karena bioetanol bersifat toksik terhadap sel S. cerevisiae. Pada konsentrasi alkohol yang cukup tinggi yaitu 12-18% (v/v) metabolisme dapat terhenti (Harrison dan Graham 1970). Oleh karena itu harus dilakukan penentuan konsentrasi substrat gula terbaik.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dari penelitian produksi bioetanol dari hidrolisat pati singkong racun menggunakan sel imobil S. cerevisiae dengan metode fermentasi

repeated-batch antara lain:

1. Apakah nisbah ampas singkong terhadap media fermentasi berpengaruh terhadap jumlah sel khamir S. cereviceae yang teradsorpsi oleh carrier? 2. Apakah konsentrasi gula pada hidrolisat pati berpengaruh terhadap parameter

fermentasi yang meliputi kadar etanol, produktivitas, rendemen, persentase konversi substrat, dan efisiensi fermentasi?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari hidrolisat pati singkong racun menggunakan sel imobil S. cerevisiae dengan metode fermentasi

repeated-batch, yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

1. Mendapatkan nisbah ampas singkong terhadap media fermentasi yang terbaik sebagai carrier pada imobilisasi sel S. cerevisiae secara adsorpsi.

2. Mendapatkan konsentrasi total gula yang terbaik sebagai substrat dalam fermentasi secara repeated-batch untuk memproduksi etanol.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian bioetanol dari hidrolisat pati singkong racun menggunakan sel imobil S. cerevisiae dengan metode fermentasi repeated-batch

antara lain: 1. Bagi peneliti

(17)

3 2. Bagi peneliti lanjutan

Sebagai sumber informasi awal yang bisa dikembangkan untuk penelitian produksi bioetanol selanjutnya.

3. Bagi masyarakat

Sebagai sumber informasi untuk menambah pengetahuan tentang peluang pemanfaatan ampas singkong sebagai carrier dalam imobilisasi S. cerevisiae dan hidrolisat pati singkong racun sebagai substrat dalam produksi bioetanol menggunakan fermentasi repeated-batch.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup yang menjadi batasan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut. 1. Melakukan karakterisasi kimia singkong racun dan melakukan ekstraksi pati. 2. Memproduksi hidrolisat pati secara enzimatis menggunakan α-amilase dan

amiloglukosidase serta menganalisa efisiensi konversi dan kadar total gula yang dihasilkan.

3. Melakukan treatment ampas singkong untuk siap dijadikan sebagai carrier

menggunakan HCl 3%.

4. Mengimobilisasi S. cerevisiae secara adsorpsi oleh carrier ampas singkong dengan perlakuan nisbah bobot carrier terhadap media fermentasi.

5. Memproduksi bioetanol dengan fermentasi secara repeated-batch oleh S. cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong dengan perlakuan perbedaan total gula awal hidrolisat pati serta menganalisis parameter fermentasi dari proses produksi bioetanol tersebut.

METODE

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong racun varietas SPP yang berumur 12 bulan. Singkong tersebut diperoleh dari perkebunan rakyat di daerah Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Mikroba yang digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan bioetanol adalah S. cerevisiae

ATCC 9763 yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Teknologi Pangan, FATETA IPB. Carrier yang digunakan untuk imobilisasi

S.cerevisae adalah ampas singkong. Bahan kimia yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu α-amilase, amiloglukosidase (AMG), NB (Nutrient Broth), PDA (Potato Dextrose Agar), glukosa, yeast extract, (NH4)2SO4, KH2PO4,

MgSO4.7H2O, ZnSO4, HCl, NaCl, NaOH, dan H2SO4.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah gelas piala 500 ml (volume kerja 100 ml), tabung reaksi, batang pengaduk, termometer,

(18)

4

pH, mikropipet, spektrofotometer, High-Performance Liquid Chromatography

(HPLC) kolom Aminex® HPX-87H, 300 mm x 7.8 mm.

Metode Penelitian

1. Analisis Proksimat dan Ekstraksi Pati Singkong Racun

Pada awal penelitian dilakukan analisa proksimat dengan metode AOAC 1995 (Lampiran 1) yang meliputi, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat by difference.

Ekstraksi pati pada singkong racun dilakukan dengan menggunakan metode basah mengacu pada (Manurung 2013). Penelitian diawali dengan analisis proksimat terhadap singkong pahit serta dilanjutkan dengan pembersihan singkong dan pemarutan disertai penambahan air sebanyak 1:3. Kemudian dilakukan pemerahan untuk mengekstrak pati dari ampas. Penambahan air serta pemerahan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan untuk memaksimalkan pati yang diperoleh. Selanjutnya dilakukan dekantasi selama 12 jam. Pati yang terendapkan dipisahkan dari cairan. Kemudian pati tersebut beserta ampas singkong dikeringkan pada suhu 500C selama 8-12 jam. Selanjutnya pati yang telah kering digiling dan diayak menggunakan saringan berukuran 80 mesh, sedangkan ampas kering disimpan untuk digunakan sebagai carrier pada imobilisasi S. cerevisiae.

2. Pembuatan Hidrolisat Pati (Modifikasi Akyuni 2004)

Pembuatan hidrolisat pati secara enzimatis diawali dengan pembuatan suspensi pati 30% (b/v) lalu dilakukan pengaturan pH menjadi 6-6.5. Kemudian dilakukan gelatinisasi terhadap suspensi pati tersebut melalui pemanasan pada suhu 70-800C disertai pengadukan hingga kental. Selanjutnya dilakukan likuifikasi dengan penambahan α-amilase sebanyak 1.75 U/g pati disertai pemanasan dan pengadukan secara konstan. Likuifikasi ini berlangsung pada suhu 90-950C selama 210 menit. Hasil likuifikasi kemudian disakarifikasi dengan penambahan amiloglukosidase sebanyak 0.3 U/g pati pada suhu 600C selama 48 jam. Sakarifikasi dilakukan pada rotary shaker dengan kecepatan 150 rpm. Hidrolisat hasil sakarifikasi disaring dan kemudian dilakukan analisis kadar total gula (metode Fenol-Asam sulfat).

3. Preparasi Inokulum

(19)

5 preparasi inokulum dengan menggunakan media cair NB (Nutrient Broth). Proses tersebut diawali dengan sterilisasi media cair NB selama 15 menit pada suhu 1210C. Kemudian dilakukan inokulasi S. cerevisiae hasil penyegaran sebanyak ± 3 jarum ose secara aseptis pada media NB. Proses berikutnya adalah penumbuhan khamir pada suhu 300C selama 24 jam dengan menggunakan rotary shaker

berkecepatan 150 rpm.

4. Penyiapan Carrier (Modifikasi Pacheco et al. 2010)

Sebelum digunakan sebagai carrier pada imobilisasi sel, ampas singkong terlebih dahulu diberi perlakuan dengan menggunakan HCl 3% sebanyak 600 ml /150 g ampas singkong selama 3 jam disertai pengadukan menggunakan batang pengaduk secara konstan pada suhu 60-700C. Tujuannya adalah untuk menghidrolisis pati yang terdapat dalam ampas singkong dan membuka pori-porinya. Selanjutnya ampas singkong dicuci dengan menggunakan air serta dikeringkan kembali pada suhu 500C selama 8-12 jam. Bahan yang telah kering kemudian diperkecil ukurannya menggunakan mortar. Ukuran ampas singkong yang digunakan sebagai carrier pada imobilisasiadalah 1-2 mm.

5. Penentuan Nisbah Carrier Terhadap Media Terbaik Untuk Imobilisasi S.

cerevisiae (Modifikasi Pacheco et al. 2010)

Pada proses penyiapan sel imobil dilakukan dengan menambahkan sebanyak 4%, 6%, dan 8% (b/v media fermentasi) carrier hasil perlakuan asam disterilisasi pada suhu 121 0C selama 15 menit dan dicampurkan dengan 100 ml media cair steril yang terdiri atas glukosa 30 g/L, yeast extract 5 g/L, (NH4)2SO4

10 g/L, KH2PO4 4.5 g/L, MgSO4.7H2O 1 g/L, ZnSO4 0.65 g/L. Sebelum

dicampurkan dengan carrier, terlebih dulu inokulum hasil propagasi sebanyak 10 ml ditambahkan ke media. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu 30 0C, kecepatan agitasi 150 rpm. Jika imobilisasi telah selesai, lalu dilakukan dekantasi untuk memisahkan carrier yang mengandung sel dari cairan kultivar. Ampas yang mengandung sel tersebut dibilas dengan menggunakan 100 ml akuades steril. Sel terimobilisasi pada carrier ini telah siap untuk digunakan dalam fermentasi secara repeated-batch. Jumlah sel dihitung dengan menggunakan Hemasitometer untuk mengetahui jumlah sel yang teradsorpsi dalam carrier (Lampiran 2).

Bahan utama dalam media fermentasi repeated-batch adalah hidrolisat pati singkong racun dengan konsentrasi total gula 140 g/l. Bahan utama tersebut disuplementasi dengan beberapa bahan kimia lain, yaitu 2.50 g/L NH4SO4, 0.50

g/L KH2PO4, 0.65 g/L MgSO4.7H2O, dan 0.65 g/L ZnSO4. Bahan-bahan tersebut

dimasukkan labu erlenmeyer 500 ml dengan volume kerja 100 ml. Pengaturan pH media fermentasi menjadi 5.5 dilakukan terlebih dahulu dengan menambahkan HCl 1 N sebelum dilakukan sterilisasi pada 1210C selama 15 menit.

(20)

6

adalah 4%, 6%, 8% (b/v). Fermentasi dilakukan pada rotary shaker dengan suhu 300C dan pH 5.5 serta kecepatan kecepatan pengadukan 150 rpm selama 24 jam. Hasil fermentasi didekantasi untuk memisahkan broth dari sel terimobilisasi. Carrier yang mengandung sel terimobilisasi dibilas menggunakan akuades steril 100 ml. Jika pembilasan telah selesai, 100 mL media segar berkomposisi sama dengan komposisi media fermentasi pertama dimasukkan kembali ke dalam labu erlenmeyer yang didalamnya telah terdapat S. cerevisiae imobil. Pada akhir siklus, cairan fermentasi dipisahkan dengan dekantasi untuk dianalisis parameter fermentasi, meliputi jumlah sel, kadar gula sisa, kadar etanol, produktivitas, yield,

tingkat penggunaan gula, serta efisiensi produksi. Parameter tersebut secara terperinci dijelaskan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Kegiatan tersebut diulang sampai 6 kali siklus (batch) dengan kondisi yang sama untuk setiap siklus.

6. Penentuan Konsentrasi Gula Terbaik (Modifikasi Pacheco et al. 2010)

Dengan metode yang sama, konsentrasi glukosa dalam 100 mL media hidrolisat pati dibuat bervariasi (120 g/L, 140 g/L, dan 160 g/L). Sel yang teradsopsi pada carrier dengan nisbah carrier terbaik digunakan dalam fermentasi

repeated-batch dengan 10 siklus pada suhu 300C. Pada akhir setiap siklus, cairan fermentasi dipisahkan dengan dekantasi untuk dianalisis parameter fermentasi, meliputi jumlah sel, kadar gula sisa, kadar etanol, produktivitas, yield, tingkat penggunaan gula, serta efisiensi produksi. Kegiatan tersebut diulang sampai 10 kali siklus dengan kondisi yang sama untuk setiap siklus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Pati dan Pembuatan Hidrolisat Pati

Singkong merupakan salah satu sumber biomassa potensial dalam produksi bioetanol. Varietas singkong yang digunakan dalam penelitian ini ialah varietas SPP berusia 1 tahun. Singkong ini mempunyai kandungan HCN dalam jumlah yang tinggi dan memiliki kandungan pati yang tinggi, sehingga berpotensi sebagai bahan baku untuk industri. Bagian singkong yang digunakan ialah daging umbinya. Singkong segar dengan berat 20.20 kg, setelah dikupas menghasilkan 13.72 kg (69.00%) daging umbi dan 6.26 kg (31.00%) kulit. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Manurung (2013), yaitu 71.49% daging buah dan 28.51% kulit. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh perbedaan umur singkong yang digunakan walaupun walaupun dari varietas yang sama yaitu berusia 9 bulan dan perbedaan cara pemotongan umbi.

(21)

7 Tabel 1 Hasil analisa proksimat singkong varietas SPP

Ket:*) Dihitung berdasarkan by difference

Rukmana (1997) menyampaikan bahwa usia panen yang optimum bagi singkong ialah berkisar antara 9-10 bulan. Usia panen yang semakin lama akan semakin meningkatkan kandungan pati dalam umbi singkong. Namun apabila sudah mencapai batas maksimal, maka pati yang terkandung dalam umbi menjadi berkurang karena akan menghasilkan umbi yang berkayu (Lingga 1986). Singkong mengalami proses ekstraksi untuk mendapatkan pati. Hasil ekstraksi pati singkong dapat dilihat pada Tabel 2. Data rendemen pati yang dihasilkan sebesar 25.10% dan ampas yang dihasilkan sebesar 14.08%, namun apabila dibandingkan dengan kadar karbohidrat by difference terdapat selisih 2.02%. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya kehilangan baik pati maupun ampas singkong dalam proses ekstraksi.

Tabel 2 Data hasil ekstraksi pati singkong varietas SPP Ekstraksi

Kadar pati dari pati singkong yang dihasilkan pada penelitian ini mencapai 73.82%. Dengan kandungan pati yang besar menunjukkan bahwa singkong racun varietas SPP memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai sumber glukosa sebagai substrat fermentasi. Konversi pati menjadi hidrolisat pati dapat dilakukan secara kimia ataupun enzimatis. Dalam penelitian ini dilakukan hidrolisis secara

enzimatis menggunakan α-amilase dan amiloglukosidase. Efisiensi konversi dan kadar total gula hidrolisat pati singkong varietas SPP disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Efisiensi konversi dan kadar total gula hidrolisat pati singkong varietas

Komponen Kandungan (% bb)

(22)

8

Hasil penelitian menunjukkan total gula yang dihasilkan sebesar 313.3 g/L dengan efisiensi sebesar 98.94%. Bobot gula akhir dalam penelitian ini sebesar 148.41 g. Hasil perhitungan bobot gula didasarkan pada jumlah volume akhir hidrolisat (0.475 L) dan total gula yang dihasilkan (313.3 g/L). Proses pembuatan hidrolisat pati diawali dengan proses gelatinisasi, likuifikasi menggunakan α -amilase, dan sakarifikasi menggunakan amiloglukosidase. Pengkondisian pH dan suhu merupakan parameter penting yang harus diperhatikan untuk menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi. Menurut Liu et al. (2008), α-amilase bekerja optimum pada suhu 900C dengan pH 6 (Vandamme et al. 2002), sedangkan amiloglukosidase dapat bekerja optimum pada pH 4.5 dengan suhu 600C (Vandamme et al. 2002), selain kondisi proses, tingginya nilai efisiensi juga ditentukan oleh kadar pati yang terkandung dalam tapioka yang digunakan.

Penyiapan Carrier dan Imobilisasi S. cerevisiae

Ampas singkong sebelum digunakan sebagai carrier untuk imobilisasi sel, dilakukan treatment menggunakan HCl 3%. Menurut Atika dan Apsari (2012) ampas singkong mempunyai kandungan pati sebesar 34.75%. sehingga bila akan digunakan sebagai carrier, maka perlu dilakukan hidrolisis terlebih dahulu. Kandungan pati yang terdapat dalam ampas dapat menghalangi gaya elektrostatis antara selulosa pada ampas singkong dengan gugus amina pada membran sel pada proses imobilisasi secara adsorpsi. Selain itu juga keberadaan pati dapat menghalangi masuknya media fermentasi ke pori-pori carrier. Hal serupa dilakukan oleh Kautinas et al. (1981) dengan melakukan penghilangan lignin dari serbuk kayu untuk memperluas permukaan sehingga mempermudah sel masuk ke dalam pori-pori serbuk tersebut.

Hasil perlakuan ampas singkong menggunakan HCl 3% disajikan pada Tabel 4. Ampas singkong yang diberi perlakukan asam menghasilkan rendemen sebesar 13.66% dari total bobot ampas singkong yaitu 150 g. Hal tersebut menunjukan bahwa perlakuan tersebut dapat memisahkan bahan selain lignoselulosa yang jumlahnya 86.44%. Perlakuan menggunakan HCl 3%, digunakan untuk menghidrolisis pati yang terdapat dalam ampas sehingga menyisakan komponen serat yang bersifat kuat dan keras (Fan et al. 1982). Hal tersebut dicirikan dengan sifat-sifat sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Ampas sebelum diberi perlakuan HCl 3% bersifat rapuh dan berwarna putih, sedangkan setelah diberi perlakuan terlihat kuat dan berwarna kecoklatan (Gambar 1).

Tabel 4 Hasil perlakuan ampas singkong menggunakan HCl 3% Ulangan Bobot awal (g) Bobot Akhir (g) Rendemen (% )

U1 150 20.37 13.58

U2 150 20.31 13.54

(23)

9

(a) (b)

Perbedaan komponen serat ampas singkong sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan HCl 3% disajikan pada Tabel 5. Perbedaan tersebut disebabkan oleh hilangnya pati yang terdapat pada ampas singkong karena proses hidrolisis oleh asam menjadi glukosa. Hilangnya pati didasarkan pada uji iod yang memberiakan hasil negatif. Proses hidrolisis oleh HCl berlangsung melalui reaksi berikut.

HCl

(C6H10O5)n + nH2O n(C6H12O6)

Pati Air Glukosa

Hidrolilisis asam yang dilakukan dalam penelitian ini tidak merusak komponen selulosa karena berlangsung pada suhu 60-700C selama 3 jam. Chang

et al. (1981), menyatakan bahwa selulosa akan terhidrolisis menjadi gula apabila menggunakan konsentrasi asam 5-20% dengan suhu 1800C. Pencucian menggunakan air dilakukan setelah proses hidrolisis selesai. Pencucian tersebut berfungsi untuk menghilangkan residu HCl pada carrier yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme.

Selain mengandung selulosa dan hemiselulosa, pada ampas singkong terdapat lignin dan silika. Lignin dan silika yang terkandung berturut-turut sebesar 14.81% dan 2.96%. Dalam imobilisasi adsorpsi kandungan lignin berpengaruh pada porositas carrier yang digunakan untuk mengadsorpsi sel. Kandungan lignin yang tinggi akan menutupi pori-pori selulosa dan hemiselulosa karena secara struktural selulosa dan hemiselulosa terbungkus oleh lignin (Gambar 2) sehingga jumlah sel yang teradsopsi pada carrier lebih sedikit. Silika merupakan komponen yang dapat memperkuat struktur carrier sehingga tidak mudah hancur ketika

carrier digunakan secara berulang-ulang.

(24)

10

Tabel 5 Hasil analisa komponen serat ampas singkong sebelum dan sesudah perlakuan HCl 3%

Komponen (%) Ampas sebelum perlakuan Ampas sesudah perlakuan

Hemiselulosa 4.05 14.75

Selulosa 9.20 38.54

Lignin 1.40 14.81

Silika 0.14 2.96

Gambar 2 Komponen lignoselulosa (Mosier et al. 2005)

Proses imobilisasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu imobilisasi adsorpsi. Secara umum, Shuler dan Kargi (2002) menyatakan bahwa teknik imobilisasi secara adsorpsi merupakan pelekatan sel pada permukaan carrier

dengan memanfaatkan gaya kimia-fisik, seperti gaya Van der Waals, gaya akibat perbedaan muatan pada dua atau lebih gugus kimia, serta gaya dispersi. Syarat utama dari teknik ini adalah carrier yang digunakan harus bersifat tidak larut dalam air. Material tersebut dapat berupa bahan organik, anorganik ataupun resin penukaran ion. Proses imobilisasi pada penelitian ini dilakukan dengan cara menginkubasi carrier, inokulum, dan media selama 24 jam pada suhu 30 0C menggunakan rotary shaker. Terlihat jelas pada Gambar 3 perbedaan antara

carrier sebelum dan sesudah dilakukan imobilisasi. Gambar tersebut diambil menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Hal tersebut membuktikan bahwa ampas singkong yang digunakan sebagai carrier dapat mengadsorpsi S. cerevisiae yang kemudian digunakan sebagai biokatalis pada fermentasi repeated-batch.

.

(a)

( b )

(a) (b)

S. cerevisiae Serat

Gambar 3 Hasil pengamatan carrier, (a) sebelum imobilisasi, (b) setelah imobilisasi menggunakan SEM (perbesaran 1000x)

Selulosa

Lignin

(25)

11 Ampas singkong yang sudah mengalami perlakuan dengan HCl 3% mempunyai pori-pori yang lebih terbuka. Pori-pori tersebut merupakan tempat menempelnya S. cerevisiae dalam imobilisasi adsorpsi. Perpindahan substrat dan produk menjadi lebih mudah dalam imobilisasi ini. Jianliang et al. (2007) menyebutkan sistem imobilisasi ini dapat memecahkan masalah perpindahan massa yang terjadi dalam sistem imobilisasi lain yaitu penjeraban (entrapment) sel menggunakan kalsium alginat.

Proses imobilisasi S. cerevisiae diawali dengan propagasi sel selama 24 jam secara aerobik menggunakan nutrient broth. Nutrient broth mengandung yeast extract dan pepton yang dapat merangsang pertumbuhan sel. S. cerevisiae bersifat fakultatif anaerobik sehingga pada kondisi aerobik sumber karbon digunakan untuk memproduksi sel dengan memanfaatkan oksigen yang mendukung aktivitas metabolik sel. Inokulum hasil propagasi kemudian ditumbuhkan kembali di dalam media imobilisasi yang mempunyai komposisi nutrisi yang hampir sama dengan media fermentasi. Hal tersebut bertujuan untuk mempersingkat fase lag sel supaya adaptasi sel terhadap media yang baru lebih cepat. Proses imobilisasi adsorpsi S. cerevisiae terjadi dalam kondisi aerobik. Di saat yang sama proses imobilisasi adsorpsi terjadi dengan adanya carrier yang terdapat dalam media akibat gaya elektrostatis antara membran sel dengan carrier.

Imobilisasi S. cerevisiae pada ampas singkong dengan memanfaatkan kandungan selulosa yang terkandung didalamnya merupakan teknik imobilisasi yang relatif baru. Menurut Pacheco et al. (2010), mekanisme proses adsorpsi sel pada carrier terjadi karena peristiwa adsorpsi fisik akibat gaya elektrostatik atau ikatan kovalen antara membran sel dan carrier. Menurut de Vasconcelos et al.

(2004), teknik imobilisasi pada selulosa yang berasal dari bahan alami memiliki beberapa kelebihan, yaitu pertumbuhan sel dapat berlangsung melalui berbagai jalur serta doubling time yang lebih singkat, akses yang lebih mudah terhadap substrat sehingga memperluas peran sisi aktif sel, dan harga bahan carrier yang murah serta ketersediaannya melimpah. Keunggulan lainnya apabila dibandingkan dengan carrier sintetis adalah karena aplikasinya mudah, prosedur persiapan tidak rumit seperti yang diperlukan untuk persiapan matriks menggunakan gel sintetis pada imobilisasi dengan penjeraban (Chandel et al. 2009).

Pada penelitian ini dilakukan proses pembilasan sebelum sel yang terimobilisasi pada carrier digunakan untuk siklus selanjutnya. Menurut Kourkoutas et al. (2003), kekuatan ikatan sel yang terikat dan ketebalan biofilm pada carrier ukurannya bervariasi dan tidak mudah ditentukan karena tidak ada hambatan antara sel dengan cairan fermentasi. Pelepasan dan perpindahan sel mungkin saja terjadi selama proses tersebut. Oleh karena itu, pembilasan dilakukan untuk membuang sel yang tidak terimobilisasi pada carrier, sehingga saat siklus fermentasi selanjutnya yang mengonversi gula adalah sel yang terimobilisasi bukan sel bebas.

(26)

12

Penentuan Nisbah Carrier Terhadap Media Terbaik

Nisbah carrier ampas singkong terhadap media fermentasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 4%, 6%, dan 8% (b/v). Jumlah sel inokulum S. cerevisiae hasil propagasi pada media cair selama 24 jam mencapai 1.64 x 107 per ml. Hasil propagasi sel ini selanjutnya digunakan untuk proses imobilisasi adsorpsi dengan perlakuan nisbah ampas terhadap yang telah ditentukan. Setelah proses imobilisasi selesai (24 jam), didapatkan jumlah sel yang teradsorpsi seperti yang disajikan pada Gambar 4. Jumlah sel yang terbanyak terdapat pada nisbah 4% yaitu 1.20 x 1011 sel/g carrier. Hal ini terjadi karena dengan jumlah sel yang sama dengan luas permukan yang lebih kecil, menyebabkan sel S. cerevisiae

menumpuk dalam pori-pori carrier. Semakin besar persentase nisbah (semakin banyak carrier) berarti terdapat pori-pori yang jumlahnya lebih banyak untuk ditempati sel. Hal ini menyebabkan nisbah carrier terhadap media 6% dan 8% berturut-turut terdapat sebanyak 0.75 x 1011 sel/g carrier dan 0.55 x 1011 sel/g

carrier. Pada proses imobilisasi adsorpsi laju pertumbuhan sel S. cerevisiae sama untuk semua nisbah carrier terhadap media fermentasi, sehingga jumlah sel yang teradsorpsi sama. Namun apabila ditinjau per gram carrier, jumlah sel yang teradsorpsi pada nisbah carrier terhadap media 4% lebih tinggi dibandingkan dengan nisbah lainnya karena dengan luas permukaan carrier yang lebih rendah maka sel akan tumbuh menumpuk pada pori-pori carrier tersebut.

Apabila dianalisa terdapat pertambahan jumlah sel hasil propagasi dengan jumlah sel hasil imobilisasi. Terlihat jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier

mempunyai jumlah yang lebih tinggi dibandingkan jumlah sel hasil propagasi. Jumlah inokulum yang ditambahkan ke dalam media imobilisasi sebanyak 10% dari media tersebut. Setelah inokulum dimasukkan ke dalam media imobilisasi, sel akan beradaptasi (fase lag) dengan kondisi media yang baru. Selanjutnya dengan adanya oksigen sel akan membelah dengan cepat pada fase ini. Di saat yang bersamaan terjadilah proses adsorpsi sel pada carrier. Proses imobilisasi dihentikan setelah sel mencapai pertumbuhan eksponensial yaitu 24 jam. Peristiwa tersebut yang mengakibatkan jumlah sel hasil propagasi lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah sel setelah imobilisasi.

(27)

13

Gambar 4 Jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier hasil imobilisasi awal ( ), setelah siklus fermentasi ke-6 ( )

Substrat utama dalam produksi bioetanol pada penelitian ini ialah hidrolisat pati singkong. Judoamidjojo et al. (1989) menyatakan bahwa komponen utama dari hidrolisat pati adalah glukosa. S. cerevisiae akan mengubah gula sederhana yaitu glukosa (C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2)

tanpa memerlukan oksigen (O2). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + Kalor

Glukosa Etanol Karbondioksida

Kadar total gula sisa dan etanol dalam penentuan nisbah ampas terbaik disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Nisbah ampas terhadap media 4% menghasilkan kadar etanol dengan kisaran 49.59-67.68 g/L dengan total gula sisa 1.93-14.11 g/L. Sedangkan nisbah 6% menghasilkan kadar etanol dengan kisaran 49.23-68.75 g/L dengan total gula sisa 1.05-13.57 g/L, dan nisbah 8% menghasilkan kadar etanol dengan kisaran 56.71-65.87 g/L dengan total gula sisa 1.85-11.46 g/L. Hasil penelitian menunjukkan kadar etanol untuk semua perlakuan nisbah ampas terhadap media memiliki pola yang sama, yaitu mengalami penurunan karena adanya adaptasi sel terhadap media dan kondisi proses yang baru sampai siklus ke-3 selanjutnya stabil sampai berakhirnya siklus.

(28)

14

Gambar 6 Total gula sisa pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Mekanisme konversi gula menjadi etanol dalam fermentasi ini terjadi melalui dua tahap utama, yaitu pembentukan piruvat dan pembentukan etanol dari piruvat tersebut. Pembentukan piruvat berlangsung melalui jalur glikolisis yang merupakan rangkaian reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi. Senyawa yang berperan sebagai donor dan akseptor fosfat dalam jalur glikolisis ialah ATP dan ADP (Crueger dan Anneliese 1984). Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam jalur glikolisis ialah sebagai berikut.

C6H12O6 + 2ADP + 2NAD+ + 2Pi  2piruvat + 2ATP + 2(NADH+H+)

Glukosa Adenosin Fosfat Adenosin difosfat anorganik trifosfat

Dalam tahapan selanjutnya, piruvat yang telah dihasilkan dari jalur glikolisis diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dekarboksilase disertai pelepasan CO2. Reaksi terakhir ialah konversi asetaldehid menjadi etanol oleh

enzim alkohol dehidrogenase. Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam proses konversi piruvat menjadi etanol ialah sebagai berikut.

Gambar 7 Reaksi konversi piruvat menjadi etanol (Crueger dan Anneliese 1984) Kadar etanol yang dihasilkan dengan penggunaan nisbah ampas 6% terhadap media terlihat mengalami peningkatan mulai dari siklus ke-2 dibandingkan nisbah ampas lainnya. Demikian pula total gula yang tersisa pada nisbah 6% lebih rendah (Gambar 6). Peningkatan kadar etanol berbanding terbalik dengan total gula sisa hidrolisat pati. Hubungan tersebut memperlihatkan semakin rendah total gula yang tersisa, maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan.

(29)

15 Namun pada kondisi tertentu, tidak berlaku karena sumber karbon tidak sepenuhnya dikonversi menjadi etanol melainkan untuk pembentukan biomassa.

Jumlah sel mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi. Sel dengan densitas yang tinggi dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan, dan sebaliknya, etanol dengan kadar yang rendah ditunjukkan dengan penggunaan densitas yang rendah. Nisbah ampas 4% terhadap media dapat mengadsorpsi sel/g dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan nisbah ampas yang lainnya. Namun nisbah ampas terhadap media tersebut menghasilkan kadar etanol yang relatif sama dengan nisbah yang lainnya. Hal tersebut bisa dikaitkan dengan jumlah oksigen yang digunakan selama proses fermentasi.

S. cerevisiae mempunyai sifat anaerobik fakultatif, dimana pada kondisi aerobik khamir melakukan respirasi dan akan mengubah gula menjadi CO2 dan

H2O dengan pembentukan sel. Pada kondisi aerobik dan konsentrasi glukosa

tinggi, S. cerviceae tumbuh dengan baik, namun etanol yang dihasilkan rendah. Sedangkan pada kondisi sedikit oksigen khamir akan melakukan proses fermentasi anaerobik dimana gula yang ada akan dikonversi menjadi etanol dan CO2. Khanal (2008) menyatakan bahwa pada fermentasi anaerobik, zat organik

dikatabolisme tanpa kehadiran oksigen, yang berarti tidak adanya akseptor elektron eksternal melainkan melalui keseimbangan reaksi oksidari-reduksi internal. Produk dihasilkan selama proses penerimaan elektron yang dilepaskan saat pemecahan zat organik. Oleh karenanya zat organik tersebut berperan sebagai akseptor dan donor elektron. Pada fermentasi, substrat hanya dioksidasi sebagian dan hanya sedikit energi yang bisa dihasilkan. Glukosa sebagai substrat akan melepaskan elektron saat diubah menjadi piruvat, namun elektron tersebut akan diambil oleh piruvat untuk menjadi etanol.

Carrier yang ditambahkan pada media fermentasi dapat membantu proses agitasi. Stanbury dan Whitaker (1984) menyatakan agitasi berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan yang memungkinkan untuk transfer oksigen dengan cara memperkecil gelembung udara dalam cairan. Perbedaan nisbah

carrier terhadap media fermentasi berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dan luas permukaan kontak yang terdapat dalam media fermentasi. Semakin besar nisbah carrier yang dimasukkan ke dalam media fermentasi maka kelarutan oksigen semakin kecil dan luas permukaan kontak menjadi lebih luas. Pada kondisi tersebut proses konversi gula oleh S. cerevisiae menjadi etanol dan CO2

akan berlangsung dengan baik. Kadar etanol yang dihasilkan pada nisbah ampas 8% terlihat lebih tinggi di awal siklus dibandingkan dengan nisbah ampas yang lainya dan mulai stabil di akhir silus ke-3 dan menurun di akhir siklus ke-6. Hal tersebut dimungkinkan karena keterbatasan O2 yang mengakibatkan metabolisme

sel mulai terganggu.

Namun disisi lain, pada nisbah carrier 4% terhadap media memiliki kelarutan oksigen yang tinggi karena luas permukaan kontak antara carrier dan media lebih kecil. Kelarutan oksigen pada media yang tinggi membuat sebagian gula tidak terkonversi menjadi etanol namun menjadi biomassa (1.20 x 1011 sel/g

carrier). Pertumbuhan biomassa mulai stabil di akhir siklus ke-3 sampai akhir siklus ke-6 yang ditandai dengan perolehan kadar etanol yang cukup stabil pada siklus tersebut.

(30)

16

Kelarutan oksigen yang diakibatkan oleh nisbah carrier 6% mempengaruhi jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier (0.75 x 1011). Jumlah sel tersebut lebih banyak dari pada jumlah sel yang teradsorsi pada nisbah 8% yaitu 0.55 x 1011. Dengan kondisi yang demikin, nisbah carrier 6% diharapkan dapat mengatasi masalah kelarutan oksigen yang berpengaruh terhadap jumlah sel dan pada akhirnya berpengaruh terhadap perolehan kadar etanol. Proses adaptasi pun terjadi pada nisbah carrier 6%, yang ditandai dengan rendahnya perolehan kadar etanol sampai siklus ke-3, namun terlihat kadar etanol yang lebih tinggi di akhir siklus ke-6.

Pacheco et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat penggunaan gula merupakan perbandingan jumlah gula yang terkonversi terhadap jumlah total gula awal. Tingkat penggunaan gula disajikan dalam Gambar 8. Berdasarkan nilai tersebut tingkat penggunaan gula oleh S. cerevisiae yang teradsorpsi pada nisbah ampas 4% berkisar 89.92-98.62%, nisbah ampas 6% berkisar 90.31-99.86%, dan nisbah ampas 8% berkisar 91.68-98.93%. Apabila dilakukan analisis terhadap keseluruhan siklus, terjadi penurunan penggunaan gula pada siklus ke-2. Hal tersebut terjadi akibat proses adaptasi S. cerevisiae terhadap kondisi lingkungan yang baru. Berdasarkan nilai tersebut S. cerevisiae yang teradsorpsi pada nisbah ampas 6% dapat menggunakan substrat tertinggi mencapai 99.86% pada siklus ke-5. Hal tersebut terjadi karena kelarutan oksigen pada nisbah carrier 6% terhadap media cukup baik sehingga penggunaan gula untuk pembentukan etanol maupun biomassa cukup baik. Perolehan kadar etanol pada nisbah ampas dan siklus yang sama hanya menghasilkan etanol dengan kadar 67.05 g/L lebih rendah dibandingkan dengan siklus ke-6 yang menghasilkan kadar etanol tertinggi sebesar 68.75 g/L dengan tingkat penggunaan gula 99.25%. Hal tersebut menunjukan tidak semua gula dikonversi menjadi etanol tetapi diubah menjadi bentuk lain seperti biomassa, CO2, dan metabolit lainnya seperti asam-asam

organik (Rehm dan Reed 1983) .

Gambar 8 Tingkat penggunaan gula terhadap nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Produktivitas volumetrik (Qp) merupakan perbandingan antara kadar etanol yang dihasilkan terhadap lama fermentasi (Pacheco et al. 2010). Faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas adalah kadar etanol yang terbentuk, semakin tinggi kadar etanol dengan lama fermentasi sama (24 jam) untuk setiap siklus, maka produktivitas akan semakin tinggi. Produktivitas etanol yang dihasilkan dalam Penentuan nisbah ampas optimal di sajikan pada Gambar 9. Berdasarkan nilai tersebut nisbah ampas 4% memberikan produktivitas pembentukan etanol

(31)

17 berkisar 2.07-2.82 g/L/jam, nisbah ampas 6% memberikan produktivitas pembentukan etanol berkisar 2.05-2.86 g/L/Jam, dan nisbah ampas 8% memberikan produktivitas pembentukan etanol berkisar 2.25-2.74 g/L/Jam. Analisa pada setiap siklus menunjukkan terjadinya peningkatan produktivitas yang positif pada nisbah ampas 6 % terhadap media mulai dari siklus ke-2 (2.44

g/L/Jam) sampai siklus ke-6 (2.86 g/L/Jam). Peningkatan produktivitas tersebut

disebabkan karena sel telah melewati fase adaptasi sehingga diperoleh kadar etanol yang tinggi pada siklus tersebut. Pada nisbah ampas 4% dan 8% mengalami fluktuasi sampai siklus ke-6 dan menurun di akhir siklus. Ketidakstabilan produktivitas tersebut berkaitan dengan perolehan kadar etanol yang menurun di akhir siklus.

Gambar 9 Produktivitas volumetrik etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4%( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Yield (Yp/s) merupakan perbandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap jumlah substrat yang digunakan (Pacheco et al. 2010). Yield yang dihasilkan dalam penentuan nisbah ampas terbaik disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan nilai tersebut nisbah ampas 4% menghasilkan yield sebesar 0.33-0.49 g etanol/g substrat, 6% menghasilkan yield sebesar 0.32-0.49 g etanol/g substrat, 8% menghasilkan yield sebesar 0.44-0.47 g etanol/g substrat. Analisa terhadap keseluruhan siklus menunjukkan bahwa yield yang dihasilkan oleh nisbah 6% meningkat sampai siklus ke-6 dibandingkan dengan nisbah ampas yang lain. Hal ini berkaitan langsung dengan perolehan kadar etanol dan jumlah substrat yang digunakan pada nisbah 6% yang tinggi.

Gambar 10 Yield etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Efisiensi merupakan perbandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap kadar etanol teoritis (Pacheco et al. 2010). Berdasarkan persamaan Gay-Lussac, secara teroritis dari setiap penggunaan 1 gram glukosa akan dihasilkan 0.51 gram

(32)

18

etanol. Hasil etanol teoritis tersebut dijadikan faktor pembanding dalam penentuan efisiensi produksi. Nilai efisiensi disajikan pada Gambar 11. Nilai efisiensi yang diperoleh nisbah ampas 4% berkisar 77.24-96.11%, nisbah ampas 6% berkisar 76.35-97.02%, dan nisbah ampas 8% berkisar 86.64-94.05%. Apabila dilakukan analisa terhadap keseluruhan siklus, nilai efisiensi tertinggi terdapat pada nisbah 6% yaitu mencapai 97.02%. Ketidakstabilan efisiensi terjadi selama 3 siklus. Penyebab ketidakstabilan tersebut adalah ikatan yang terbentuk antara sel dengan

carrier belum kuat akibatnya sel mudah terlepas. Pada siklus ke-3 terlihat S. cerevisiae sudah mulai beradaptasi dengan kondisi yang baru dan ikatan antara sel dengan carrier yang terbentuk cukup kuat, hal itu diperlihatkan oleh pola kenaikan efisiensi sampai akhir siklus ke-6. Namun nisbah ampas 6% terhadap media yang memiliki peningkatan yang positif apabila dibandingkan nisbah

carrier lainya yang cenderung menurun di akhir siklus ke-6.

Berdasarkan Tabel 6, terlihat perbedaan hasil perolehan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield siklus ke-6 pada berbagai nisbah carrier terhadap media fermentasi. Hasil yang diperoleh nisbah carrier 6% terlihat lebih baik apabila dibandingkan dengan nisbah carrier yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan jumlah pori-pori dan transfer oksigen yang diakibatkan oleh nisbah carrier 6% dapat meningkatkan jumlah sel dan proses konversi gula menjadi etanol berlangsung dengan baik.

Gambar 11 Efisiensi produksi etanol pada berbagai nisbah carrier terhadap media, nisbah 4% ( ), nisbah 6% ( ), nisbah 8% ( )

Tabel 6 Perbandingan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield bioetanol siklus ke-6 pada berbagai nisbah carrier terhadap media fermentasi

Parameter

Nisbah carrier terhadap media (%)

4 6 8

(33)

19

Penentuan Konsentrasi Gula Terbaik dengan Fermentasi Repeated-Batch

Penentuan konsentrasi gula terbaik untuk produksi bioetanol dilakukan dengan menggunakan fermentasi repeated-batch dengan variasi total gula 120, 140 dan 160 g/L. Nisbah carrier terhadap media fermentasi dan jumlah siklus yang digunakan pada penelitian tahap ini adalah 6% dan 10 siklus. Hal tersebut dikarenakan pada nisbah 6 % belum terjadi penurunan produktivitas dan efisiensi di akhir siklus ke-6. Jumlah sel inokulum S. cerevisiae hasil propagasi pada media cair selama 24 jam mencapai 1.98 x 107 sel/ ml. Jumlah sel yang teradsorpsi pada carrier mencapai 1.2 x 1011 sel/g carrier. Jumlah sel diakhir siklus ke 10 disajikan pada Gambar 12. Berdasarkan data tersebut jumlah sel terbanyak di akhir siklus ke-10 terdapat pada konsentrasi gula 160 g/L yaitu mencapai 2 x 1011 sel/g carrier, kemudian berturut-turut 140 dan 120 g/L sebanyak 1.8 x 1011 dan 1.6 x 1011 sel/g carrier. Terlihat adanya perbedaan jumlah sel diawal siklus dengan di akhir siklus ke 10. Perbedaan tersebut mengiindikasikan tidak semua gula dikonversi menjadi etanol, namun sebagian dikonversi menjadi biomassa. Data hasil penentuan konsentrasi gula terbaik secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

Gambar 12 Jumlah sel di akhir fermentasi batch ke-10

Total gula sisa pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 13. Total gula yang tersisa pada konsentrasi total gula awal 120 g/L berkisar 2.41-15.28 g/L, untuk total gula awal 140 g/L berkisar 2.99-15.06 g/L, dan untuk total gula awal 160 g/L berkisar 4.50-24.26 g/L. Konsentrasi gula berpengaruh terhadap produktivitas produksi etanol. Bila konsentrasi gula terlalu tinggi kemungkinan dapat terjadi represi katabolit yang menyebabkan produksi etanol menurun (Tahir et al. 2010).

Analisa total gula sisa terhadap sepuluh siklus pada konsentrasi total gula awal 120 g/L berkisar antara 2.41 g/L (siklus ke-3)-15.28 g/L (siklus ke-2), 2.99 g/L (siklus ke-3)-15.06 (siklus ke-2) untuk konsentrasi gula awal 140 g/L, dan 4.5 g/L (siklus ke-3)-20.76 (siklus ke-2) untuk konsentrasi gula awal 160 g/L. Apabila dianalisa terdapat pola kecenderungan yang sama pada semua perlakuan total gula awal yaitu total gula sisa terendah terdapat pada siklus ke-3 dan total gula sisa tertinggi terdapat pada siklus ke-2. Hal tersebut disebabkan oleh S. cerevisiae

mengalami adaptasi terhadap lingkungan yang baru berlangsung selama 3 siklus dan mulai stabil pada siklus ke-4. Menurut Wang (2002), mikroorganisme akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Hal tersebut yang menyebabkan pola total gula sisa yang dihasilkan tidak stabil sampai akhir siklus ke-3.

(34)

20

Kemampuan sel imobil untuk memproduksi etanol terlihat masih dapat berlanjut sampai siklus ke-10. Hal tersebut terlihat dari total gula sisa yang masih relatif rendah dan stabil di akhir siklus ke-10. Yu et al. (2006) dalam penelitiannya menggunakan ampas sorgum menduga S. cerevisiae masih dapat mempertahankan aktivitasnya untuk memproduksi bioetanol lebih dari satu bulan. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah karena sel-sel imobil mengandung persentase asam lemak jenuh lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas yang kemudian mengarah ke toleransi yang lebih besar sehingga kelangsungan hidup dan produktivitas dalam siklus pun lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas (Kirsch dan Szanani 1997). Rychtera et al. (1987) melaporkan bahwa sel imobil dapat mempertahankan aktivitas enzim untuk waktu yang lama karena komposisi sel yang berbeda (protein, lipid, RNA, DNA, dan senyawa anorganik) dibandingkan dengan sel bebas.

Gambar 13 Total gula sisa pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( )

Produksi etanol telah dilakukan dengan menggunakan sel S. cerevisiae

terimobil ampas singkong dengan sepuluh siklus menggunakan substrat hodrolisat pati singkong racun. Kadar etanol yang dihasilkan berdasarkan perbedaan total gula awal di sajikan pada . Analisa kadar etanol dilakukan di akhir batch (24 jam) setiap siklus. Berdasarkan hasil analisa tersebut kadar etanol pada konsentrasi gula awal 120 g/L berkisar antara 38.60-56.83 g/L, 45.07-66.22 g/L untuk konsentrasi total gula awal 140 g/L, dan 44.67-71.91 g/L untuk konsentrasi total gula awal 160 g/L. Hasil tersebut memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi gula awal maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan.

Perolehan kadar etanol di awal siklus masih fluktuatif, namun setelah siklus ke-4 kadar etanol yang dihasilkan terlihat stabil. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi gula awal yang berbeda sehingga proses adaptasi sel pun berbeda. Pada konsentrasi gula 160 g/L kadar etanol yang dihasilkan pada siklus ke-1 (44.67 g/L) lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi gula yang lainnya. Konsentrasi gula yang tinggi menyebabkan konversi gula lebih mengarah keregenerasi sel dibandingkan dengan pembentukan produk. Peningkatan jumlah sel tersebut terbukti dengan terjadi peningkatan kadar etanol (60.22 g/L) di siklus ke-2. Menurut Haiyan et al. (2010) semakin tinggi konsentrasi gula maka akan meningkatkan kekentalan media meningkat sehingga kelarutan O2 menurun dan

(35)

21 akan memperlambat kelarutan nutrisi. Sebaliknya semakin rendah konsentrasi gula, maka akan menyebabkan mikroorganisme kekurangan nutrisi yang mengakibatkan rendahnya produktivitas (Levenspiel 1980). Apabila dianalisa terhadap keseluruhan siklus, belum terjadi penurunan kadar etanol dan peningkatan gula sisa di akhir siklus untuk semua konsentrasi gula. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi represi katabolit karena tingginya konsentrasi gula. Menurut Higgins (1984), S. cerevisiae masih dapat mengonversi gula dengan konsentrasi 250 g/L menggunakan sel bebas dan menghasilkan kadar etanol sebesar 12%.

Gambar 14 Kadar etanol pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( )

Tingkat penggunaan gula telah di analisa terhadap semua perlakuan konsentrasi total gula awal disajikan pada Gambar 15. Tingkat penggunaan gula pada konsentasri total gula 120 g/L berkisar antara 87.27-97.48%, 89.24-97.86% untuk konsentrasi total gula awal 140 g/L, dan 87.03-96.01% untuk konsentrasi total gula awal 160 g/L. Tingginya tingkat konversi gula ditentukan oleh jumlah sel yang teradsopsi dalam carrier dan konsentrasi gula awal. Apabila dianalisa terhadap keseluruhan siklus, tingkat penggunaan gula pada konsentrasi gula 160 g/L lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi gula 120 g/L dan 140 g/L. Hal tersebut terjadi karena jumlah sel yang digunakan sama yaitu 0.8 x 1011 sel/g

carrier sehingga semakin rendah konsentrasi gula maka tingkat penggunaan gula akan semakin tinggi. Tingkat penggunaan gula pada penelitian ini tergolong cukup tinggi serta tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain, yaitu 95.30% (Kopsahelis et al. 2007) dan 44.8-96.50% (Pacheco et al. 2010). Tingkat penggunaan gula yang tinggi tidak selalu menghasilkan kadar etanol dalam jumlah yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan tidak semua gula digunakan untuk memproduksi etanol, melainkan untuk pertumbuhan dan regenerasi sel tersebut.

(36)

22

Gambar 15 Tingkat penggunaan gula pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( )

Produktivitas volumetrik (Qp) terhadap semua perlakuan konsentrasi total gula awal disajikan pada Gambar 16. Produktivitas volumetrik pada konsentrasi total gula 120 g/L berkisar antara 1.61-2.37 g/L/jam, 1.88-2.68 g/L/jam untuk konsentrasi total gula awal 140 g/L, dan 1.86-3.00 g/L/jam untuk konsentrasi total gula awal 160 g/L. Lama fermentasi yang relatif sama digunakan pula oleh Kopsahelis et al. (2007) yang menghasilkan produktivitas fermentasi lebih rendah, yaitu 1.52-2.00 g/L/jam. Perbedaan produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu jenis carrier, kondisi proses, dan nilai pH awal.

Nilai pH awal pada penelitian ini adalah 5.5, sedangkan Kopsahelis et al.

(2007) menggunakan pH awal 7-7.5. Casida (1968) menyatakan bahwa pH optimal bagi aktivitas S. cerevisiae adalah 3-6. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pH awal dalam kisaran optimal, sedangkan penelitian Kopsahelis et al. (2007) di luar kisaran pH optimal. Hal tersebutlah yang menyebabkan produktivitas pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Kopsahelis et al. (2007).

Meskipun demikian, produktivitas hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Yu et al. (2006), yaitu 5.72 g/L/jam. Perbedaan produktivitas ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi gula yaitu 200 g/L. Kondisi proses tersebut berimplikasi terhadap perolehan kadar etanol yang dihasilkan lebih tinggi sehingga akan meningkatkan nilai produktivitas volumetriknya.

(37)

23

Yield (Yp/s) etanol terhadap semua perlakuan konsentrasi total gula awal disajikan pada Gambar 17. Yield tersebut dihitung dengan membandingkan kadar etanol yang didapat dengan tingkat penggunaan gula. Yield pada konsentrasi total gula awal 120 g/L berkisar antara 0.32-0.49 g etanol/g substrat, 0.33-0.50 g etanol/g substrat untuk konsentrasi total gula awal 140 g/L, dan 0.29-0.49 g etanol/g substrat untuk konsentrasi total gula awal 160 g/L. Perolehan yield di awal siklus pada konsentrasi gula 160 g/L terlihat lebih rendah apabila dibandingkan dengan konsentrasi gula awal lainnya. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi gula yang tinggi dimanfaatkan oleh sel untuk regenerasi sehingga kadar etanol yang diperoleh hanya 44.67 g/L dengan total gula sisa 6.38 g/L. Setelah sel melewati proses adaptasi yield sampai siklus ke-4, yield yang dihasilkan terus meningkat sampai akhir siklus ke-10.

Kopsahelis et al. (2007) melakukan penelitian menggunakan molase sebagai substrat dengan konsentrasi gula 187 g/L dan kulit gandum sebagai carrier

sebesar. Yield yang dihasilkan sebesar 0.34 g etanol/g substrat. Hasil tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan penelitian ini. Hal ini disebabkan oleh perbedaan total sel awal, lama fermentasi, dan jenis carrier yang berbeda. Hasil penelitian Kopsahelis et al. (2007) jumlah total sel awal yang teradsopsi sebanyak 109 sel/g carrier, sedangkan total sel awal pada penelitian ini ialah 1.2 x 1011 sel/g

carrier. Dengan total sel awal dan lama fermentasi setiap siklus yang relatif sama, biokatalis yang lebih banyak menyebabkan substrat yang terkonversi menjadi etanol pun lebih banyak, sehingga yield pun semakin meningkat.

Plessas et al. (2007) melakukan penelitian menggunakan substrat gula dengan konsentrasi 125 g/L dan kulit jeruk sebagai carrier. Yield yang dihasilkan sebesar 0.42 g etanol/g substrat. Hasil penelitian Plessas et al. (2007) lebih rendah disebabkan oleh lama fermentasi lebih singkat, yaitu 10 jam, sedangkan lama fermentasi pada penelitian ini adalah 24 jam. Semakin singkat proses fermentasi, maka waktu yang dimiliki S. cerevisiae untuk mengonversi substrat menjadi etanol pun semakin sedikit

Gambar 17 Yield etanol pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( )

Efisiensi konversi gula menjadi produksi etanol terhadap semua perlakuan konsentrasi total gula awal disajikan pada Gambar 18. Nilai efisiensi pada konsentrasi total gula awal 120 g/L berkisar antara 65.87-96.45%, 67.06-97.29% untuk konsentrasi total gula awal 140 g/L, dan 57.02-95.94% untuk konsentrasi total gula awal 160 g/L. Analisa terhadap nilai efisiensi secara keseluruhan siklus maupun konsentrasi gula awal, menunjukan ketidakstabilan efisiensi terjadi

(38)

24

sampai siklus ke-4 dan mulai stabil pada siklus ke-10. Efisiensi yang dihasilkan oleh konsentrasi gula 140 g/L cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan konsentrasi gula yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena pada konsentrasi gula 120 g/L jumlah kadar etanol yang dihasilkan lebih rendah dan pada konsentrasi gula 160 g/L menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi namun total gula yang tersisa lebih tinggi sehingga menyebabkan efisiensi yang dihasilkan lebih rendah.

Menurut Galaction (2010), efisiensi produktifitas etanol oleh khamir dipengaruhi oleh konsentrasi gula awal dan konsentrasi etanol yang dihasilkan, namun dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan inhibisi substrat dan inhibibisi produk. Apabila dianalisa terhadap keseluruhan siklus tidak terdapat tanda-tanda inhibibisi substrat ataupun inhibibisi produk untuk semua konsentrasi gula awal. Hal tersebut dapat diketahui sampai siklus ke-10 efisiensi yang dihasilkan cenderung meningkat.

Gambar 18 Efisiensi produksi etanol pada berbagai konsentrasi total gula awal, 120 g/L ( ), 140 g/L ( ), 160 g/L ( )

Tabel 7 Perbandingan kadar etanol, produktivitas, efisiensi dan yield bioetanol siklus ke-10 pada berbagai konsentrasi gula

Parameter Konsentrasi gula (g/L)

120 140 160

Kadar etanol (g/L) 55.65 63.54 71.91 Produktivitas (g/L/Jam) 2.32 2.65 3.00 Efisiensi (%) 96.45 93.10 95.94

Yield (g etanol/g substrat) 0.49 0.47 0.49

(39)

25

Perbandingan Fermentasi Batch Menggunakan Sel Bebas dan Sel Terimobilisasi

Penelitian ini menggunakan konsentrasi total gula awal 140 g/L dengan membandingkan antara fermentasi dengan sel terimobilisasi ampas singkong (6 g/v) dan sel bebas dengan konsentrasi inoculum 10%. Hasil perbandingan tersebut disajikan secara lengkap pada Tabel 6.

Fermentasi menggunakan sel bebas dilakukan selama 72 jam dan mampu mengkonsumsi gula sebesar 96.28 % dengan produktivitas etanol sebesar 0.88 g/L/Jam. Kadar etanol dan rendemen yang dihasilkan sebesar 63.62 g/L dan 0.47 g etanol/g substrat. Apabila dibandingkan dengan fermentasi menggunakan sel terimobilisasi, hasil tersebut terlihat berbeda. Fermentasi menggunakan sel terimobilisasi mampu mengonsumsi gula sebesar 95.61% dan 95.59% pada siklus-1 dan siklus ke-10 dengan produktivitas etanol 1.91 g/L/Jam dan 2.65 g/L/Jam. Kadar etanol dan yield yang dihasilkan sebesar 45.78 g/L (siklus ke-1) dan 63.64 g/L (siklus ke-10) dan 0.34 g etanol/g substrat (siklus ke-1) dan 0.47 g etanol/g substrat (siklus ke-10). Apabila dianalisa terjadi peningkatan produktivitas sebesar 2-3 kali apabila menggunakan sel terimobilisasi.

Teknologi Imobilisasi sel memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan fermentasi konvensional. Sel yang terimobilisasi dapat meningkatkan produktivitas 2-3 kali (Najafpour et al. 2004) karena secara substansial dapat meningkatkan densitas atau populasi sel. Penelitian serupa telah dilakukan oleh Yu et al. (2006), fermentasi dilakukan menggunakan sel terimobil pada ampas sorgum dan menghasilkan produktivitas dan kadar etanol sebesar 2.55 g/L/Jam dan 91.7 g/L untuk sel bebas dan 5.72 g/L/Jam dan 92.7 g/L. Perbedaan hasil produktivitas dan konsentrasi etanol antara penelitian ini dengan penelitian Yu et al. (2006) disebabkan oleh konsentrasi total gula awal yang digunakan berbeda yaitu 200 g/L dengan volume kerja 200 ml.

Tabel 8 Perbandingan parameter fermentasi antara sel terimobilisasi dan free cell

Parameter S. cerevisiae

Media Fermentasi Hidrolisat Pati Singkong

Produktivitas (g/L/jam) 1.91 3.00 0.88

(40)

26

b) Siklus fermentasi ke-10 c) Lama fermentasi 72 jam

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pati singkong racun varietas SPP memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku dalam produksi bioetanol. Hal tersebut berdasarkan nilai rendemen pati sebesar 25.10% dan efisiensi konversi pati menjadi hidrolisat sebesar 98.94 %. Tidak hanya pati, ampas pun berpotensi digunakan sebagai carrier imobilisasi S. cerevisiae dan dalam penelitian ini ampas yang didapatkan sebesar 14.08%.

Penentuan nisbah ampas terhadap media terbaik dilakukan melalui fermentasi repeated-batch 6 siklus dengan total gula awal 140 g/L dan terpilih nisbah ampas 6% sebagai nisbah terbaik. Hal tersebut didasarkan pada semua parameter yaitu kadar etanol 49.23-68.75 g/L, gula sisa 0.19-13.57 g/L, produktivitas 2.05-2.86 g/L/jam, yield 0.39-0.50 g etanol/g substrat, tingkat penggunaan gula sebesar 90.31-99.86%, serta efisiensi sebesar 76.35-97.02% menunjukkan hasil lebih baik apabila dibandingkan dengan nisbah 4% dan 8% ampas terhadap media.

Penentuan konsentrasi total gula awal terbaik telah dilakukan melalui fermentasi repeated-batch 10 siklus. Peningkatan konsentrasi total gula awal dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan. Hal tersebut terbukti dengan konsentrasi total gula 160 g/L menghasilkan kadar etanol 44.67-71.91 g/L, gula sisa 4.5-20.75 g/L, produktivitas 1.86-3.00 g/L/jam, yield 0.29-0.49 g etanol/g substrat, tingkat penggunaan gula sebesar 87.03-97.19%, serta efisiensi sebesar 57.02-95.94% dan tidak terdapat tanda-tanda adanya inhibibisi substrat maupun produk pada konsentrasi tersebut. Imobilisasi sel terbukti dapat meningkatkan produktivitas sebesar 2-3 kali apabila dibandingkan dengan fermentasi menggunakan sel bebas.

Saran

Perlu dilakukan perhitungan sel S. cerevisiae agar terlihat perbedaan jumlah sel pada setiap siklus yang tentunya akan berpengaruh terhadap sisa gula dan kadar etanol yang dihasilkan dari setiap akhir siklus.

DAFTAR PUSTAKA

Ageng DS. 2009. Profil fermentasi sukrosa menjadi etanol menggunakan

zymomonas mobilis yang dikoamobilkan dengan ekstrak invertase. [Skripsi]. Surabaya (ID): Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, ITS.

Akyuni D. 2004. Pemanfaatan pati sagu (Metroxylon sp.) Untuk pembuatan sirup

Gambar

Tabel 1 Hasil analisa proksimat singkong varietas SPP
Gambar 1 Ampas singkong sebelum (a) dan sesudah (b) perlakuan menggunakan
Tabel 5 Hasil analisa komponen serat ampas singkong sebelum dan sesudah
Gambar 4 Jumlah sel yang teradsorpsi pada  carrier hasil imobilisasi awal (  ),
+4

Referensi

Dokumen terkait

sundaicus betina yang tertangkap pernah bertelur (parus) dengan peluang hidup harian sebesar 0,871 dan umur relatif populasi nyamuk mencapai 7 hari. UCAPAN

Tesis dengan judul “ Pengaruh Pelatihan terhadap Kinerja Perawat dengan Motivasi sebagai Variabel Moderasi (studi pada RSUD Dr. Saiful Anwar Malang)” adalah hasil karya saya

Secara deskripitif rasa selai dapat dibedakan oleh panelis, namun secara hedonik disukai panelis.Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pisang masak sehari dan

Proses pembelajaran yang mengunakan penerapan metode diskusi kelompok berbantuan game puzzle pada kelas eksperimen dan ceramah bervariasi berbantuan game puzzle terhadap

The problem statements raised by the writer in this study are (1) What are the functions of first language used by the teacher in teaching speaking for the second

Ketidakmampuan mahasiswa dalam memahami informasi yang kompleks disebabkan oleh banyak faktor, seperti misalnya mahasiswa tidak memiliki kejelasan (clarity) terhadap permasalahan,

Saya senang sekali kini putra putrinya yang dulu masih kecil, sekarang sudah tumbuh jadi wanita dewasa yang cantik dan mempunyai jiwa mandiri, telihat bisa

Lumajang yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan pasir lokal Kabupaten Probolinggo. Untuk mengurangi biaya bahan, warga Kademangan memanfaatkan pasir garuk untuk