• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

Lampiran 6: Teks Cerita Kembali Bersulang Kasih (9)

Kembali Bersulang Kasih HIDUPKATOLIK

Padahal, Eva baru saja ingin menguakkan pintu maaf bagi suaminya, Alfonsus Liquori Eddy Partadinata. Meski pria yang menikahinya tahun 1975 itu kerap menorehkan luka di hatinya, dengan sikapnya yang acuh tak acuh, Eva masih mendambakan rumah tangganya utuh kembali.

- Sepulang dari gereja, Agatha Eva Leonita terhenyak mendapati sepucuk surat dari suaminya tergeletak di rumahnya. ”Dia memberitahu akan pergi, saya tak usah mencarinya,” sitirnya.

Sesaat sebelumnya, di hadapan altar Gereja St Bonaventura, Pulo Mas, Jakarta Timur, Eva terhanyut dalam khusyuknya doa. Sementara itu, bendungan air matanya jebol. Seraya menatap salib di dinding gereja, ia mencanangkan ikrar akan memulihkan relasinya yang terkoyak dengan sang suami selama dua tahun belakangan.

Begitu suaminya beranjak dari rumah, Eva sontak mengusung persoalan ini ke pangkuan Tuhan. Seraya menunjukkan selembar surat dari suaminya itu ke arah salib di kamar tidurnya, ia mendaraskan doa. ”Nyatanya, Tuhan lekas bertindak,” ucap Eva mengenang peristiwa pada 29 Mei 1992 itu.

Tak dinyana, putra keduanya Vadyan Pranata mengirim pesan kepada ayahnya melalui pager. ”Kalau Papa tidak pulang, malam ini juga rumah akan dibakar!” Ancaman itu sanggup menggoyahkan kekerasan hati sang ayah. Tak lama kemudian, Eddy menelepon ke rumah. Pekikan Vadyan merobek keheningan malam. ”Papa pulang, korek api sudah ada di tanganku!” Selang beberapa waktu, Eddy tiba di rumah. Lantas, rekonsiliasi mulai bertaut di antara mereka.

Sejak itu, perlahan-lahan koreng di batin Eva mengering. ”Padahal, sudah tiga kali suami mau menceraikan saya,” kata warga Paroki St Monika, Serpong, Tangerang ini seraya menyapu pandangan. Pengalaman itu membuat Eva dan Eddy mulai menanggalkan ego masing-masing. Seiring waktu, mereka berkarya di bidang pewartaan.

Menanggung cibiran

Sikap Eddy, sebelum pertobatannya, bermuasal dari realita kelabu yang berliku. Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang tak berpunya. Ayahnya pegawai negeri berpangkat rendah. Alhasil, keluarganya kerap menanggung cibiran dari orang-orang di sekitarnya. Pengalaman kelam itu membuahkan pemikiran ekstrem di benak Eddy: hanya orang kaya dan bertitel yang dihormati. ”Akibatnya, saya gila cari uang dan gila sekolah,” kenang Eddy.

Setelah lulus dari Jurusan Kimia Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Eddy mempersunting Eva. Sewaktu putra pertamanya, Jovian Pranata masih orok, Eddy sudah keburu memburu gelar kesarjanaan lainnya. Ia menimba ilmu di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kesibukan kuliah dan mengejar harta membuat keluarganya terbengkalai.

Selain berbisnis, Eddy mengajar di Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Ia juga giat memberikan pelatihan-pelatihan kepada para perwira Angkatan Laut.

(10)

”Saya menjadi dosen bukan karena dedikasi tetapi karena ingin menjaring relasi bisnis,” ucap Eddy. Dari hari ke hari, benak Eddy dijejali ambisi. Ia pun mengepakkan sayap bisnis dengan mendirikan empat perusahaan di bidang farmasi dan perdagangan. ”Karena banyak uang, saya lupa diri hingga ada perempuan lain dalam hidup saya,” kata Eddy terus terang.

Sementara itu, Eva terbenam dalam rutinitas rumah tangga. Kesehariannya kerap bergelimun kejenuhan. Tak jarang suaminya tak pulang ke rumah. Sulur wasangka pun menjurai di benaknya. ”Anehnya, setiapkali suami melakukan sesuatu, saya memperoleh tanda melalui mimpi,” tukas Eva. Pertengkaran demi pertengkaran pun meletup membuat batin Eva penat. Meski demikian, keinginannya bersulang kasih dengan suaminya tak beringsut.

Secara sistematis

Setelah berbaikan, Eddy dan Eva mengikuti Retret Penyembuhan Luka Batin yang diselenggarakan oleh Pastor Yohanes Indrakusuma OCarm di kawasan Bogor. Selanjutnya, mereka rajin hadir dalam persekutuan doa. Setahun berselang, Eddy menjadi Koordinator Persekutuan Doa Stasi Pulo Gebang, Jakarta Timur. ”Tuhan menangkap saya secara sistematis,” tegas Eddy.

Sementara itu, satu per satu perusahaan-perusahaan Eddy ambruk sehingga banyak waktu luang untuk melayani. ”Awalnya, kami mendirikan persekutuan doa di lingkungan supaya banyak rumah tangga yang berantakan seperti yang kami alami bisa diselamatkan,” ungkap penggiat persekutuan doa ini.

Kerinduan akan Tuhan yang menggebu menuntun pasutri ini mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi di Paroki St Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ternyata, kursus itu belum memuaskan dahaga rohani mereka.

Selanjutnya, mereka mengikuti Trainer’s Course di Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah. Selain itu, Eddy dan Eva juga memperluas wawasan dengan mengikuti kursus-kursus Kitab Suci yang dipandu oleh Pastor Tom Jacobs SJ (Almarhum). ”Berbarengan dengan itu, saya menjadi Ketua Persekutuan Doa Karismatik Katolik Dekanat Jakarta Timur,” urai Eddy.

Tak lama berselang, Eddy bergabung dalam Badan Pelayanan Keuskupan Pembaruan Karismatik Katolik-Keuskupan Agung Jakarta (BPK PKK-KAJ). Tahun 1998, Eddy menjadi Kepala Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah. Setahun kemudian, Eddy menjadi Ketua Bidang Evangelisasi di BPK Harian. ”Dengan kondisi demikian, tentu saja saya tidak bisa berbuat macam-macam lagi,” kata Eddy seraya melepas tawa.

Belakangan, Eddy menjadi Wakil Koordinator Umum BPK PKK-KAJ. ”Karena tugas di bidang pembinaan BPK, saya sering diminta membina tim-tim persekutuan doa. Di samping itu, saya juga mengajar di Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah,” imbuhnya.

Ikut mewartakan

Seiring waktu, kebersamaan dengan sang suami dalam pelayanan mengantar Eva menjadi pewarta. Seperti Eddy, Eva juga menjadi pengajar di Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah. Selain itu, ia juga mewartakan dalam berbagai kesempatan, seperti dalam persekutuan doa, pendalaman iman, dan juga Kursus Persiapan Perkawinan.

(11)

Eva seakan bermetamorfosis. Sosok yang semula pemalu berganti menjadi pewarta yang sanggup bicara di hadapan banyak orang. ”Padahal, dulu saya ini susah bicara. Jika diajak suami menghadiri pertemuan dengan klien, saya minder,” ungkapnya. Ia yakin, kemampuannya mengajar merupakan anugerah Tuhan. ”Tuhan memampukan kami mengajar,” timpal Eddy.

Sejak tahun 1996, Eva kerap memimpin rombongan ziarah ke gua-gua Maria di Jawa Barat, Jawa Tengah, Medan, Bangka, Batam, Manado, dsb. ”Sejak pertama kali berziarah ke Sendangsono saya sudah terkesan. Waktu itu, saya minta didoakan oleh Bunda Maria agar suami bertobat,” kenangnya.

Setelah kekerasan hati suaminya luluh, Eva membawanya berziarah ke Sendangsono tahun 1992. Selang setahun, Eva bersama suami dan kedua putranya berziarah ke Lourdes dan Tanah Suci. ”Meski uang simpanan kami habis karena biayanya besar sekali, saya tak peduli,” lanjut Eva.

Kegemarannya membawa rombongan ziarah membuat Eva mandiri. Bila awalnya, ia masih ditemani suaminya memimpin rombongan, belakangan ia melakukannya sendiri. Biasanya ia bekerjasama dengan travel biro yang mengoordinir tetek-bengek ziarah. ”Dulu, saya memimpin satu bus rombongan, sementara suami juga memimpin satu bus rombongan.” Belakangan, aktivitas rohani Eddy kian membukit sehingga tak mungkin lagi ia membawa rombongan ziarah.

Eva mengaku, tidak menggalang dana dalam memimpin ziarah. Semua semata karena devosinya yang mendalam kepada Bunda Maria. ”Kalau ada kelebihan uang, saya serahkan kepada Gereja,” akunya.

Meraih tangan

Awalnya, Eddy sempat risih dibuntuti istrinya dalam tugas-tugas pewartaan. ”Sepertinya dia mau mengontrol saya,” kilahnya. Namun, lama- kelamaan ia justru merasa nyaman didampingi Eva. ”Sekarang kalau bertugas sendiri, saya malah canggung. Apalagi, orang-orang selalu menanyakan istri saya.”

Karena mendalami Kitab Suci dan melayani bersama, Eddy dan Eva membiasakan diri berhimpun dalam doa dan diskusi di rumahnya. Tak jarang terjadi gesekan pendapat di antara keduanya. ”Berbeda pendapat itu biasa,” beber Eddy.

Meski demikian, mereka sepakat mewartakan bersama jika waktunya memungkinkan. Ketika anak-anaknya masih remaja, tak jarang Eddy dan Eva membawa mereka dalam persekutuan doa. ”Adakalanya kami melantunkan puji- pujian bersama,” tambah Eva. Kadang anak-anak mereka terlibat dalam kepanitiaan acara rohani yang diselenggarakan oleh Eddy dan Eva.

”Mewartakan itu membawa sukacita. Ada kebahagiaan tersendiri membagikan pengalaman akan Tuhan,” lanjut Eddy dengan paras berseri-seri. Itu sebabnya, keletihan tak kuasa menderanya kendatipun ia baru tiba di rumah setelah rembulan lindap dari hamparan cakrawala.

Keinginan bisa mewartakan Tuhan bersama sang istri, nyatanya tak pernah lekang. Setiapkali menerima komuni, Eddy menggenggam tangan istrinya. Dalam hati, ia memadahkan permohonan, ”Tuhan, pakailah kami berdua sebagai saluran berkat-Mu...”

(12)

Dokumen terkait