• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK MENURUT

C. Tahap-tahap Pendampingan Keluarga Katolik

Keluarga dipanggil untuk berkembang dan bertumbuh selangkah demi

selangkah dalam mewujudkan nilai-nilai dan tugas-tugas perkawinan. Oleh karena

itu kegiatan pastoral Gereja dalam menyertai keluarga juga langkah demi langkah,

dalam berbagai tahap pembinaan dan pengembangannya (FC artikel 65).

Pedoman Pastoral Keluarga menyebutkan pendampingan keluarga dimulai sejak

masa pra-pernikahan, menjelang peneguhan perkawinan dan dilanjutkan dengan

pendampingan pasca pernikahan (PPK artikel 74).

1. Pendampingan Pra-pernikahan

Zaman ini menuntut persiapan perkawinan yang lebih baik. Gereja perlu

meningkatkan program-program persiapan yang lebih baik. Persiapan dilakukan

sebagai proses yang berjalan bertahap dan berkelanjutan. Persiapan meliputi tiga

tahap utama yaitu persiapan bagi anak-anak, persiapan bagi remaja dan kaum

muda, dan persiapan calon pegantin (FC artikel 66).

a. Pendampingan Anak-anak

Pendampingan yang dibicarakan di sini terlebih pendampingan penanaman

nilai-nilai kristiani, kemanusiaan dan seksualitas. Penanaman nilai-nilai ini tidak

hanya bermaksud memberi pengetahuan namun juga bermaksud membentuk

kepribadian dan perilaku (PPK artikel 74).

b. Pendampingan Remaja dan Kaum Muda

Pendampingan remaja dan kaum muda bermaksud menuntun remaja untuk

menemukan diri mereka sendiri dengan segala kekhasan masing-masing, baik itu

mereka. Dalam masa ini ditunjukkan bahwa perkawinan juga merupakan

panggilan dan perutusan. Perlu ditunjukkan juga bahwa perkawinan merupakan

hubungan antarpribadi seorang wanita dan seorang pria yang secara terus menerus

dikembangkan demi tercapainya tujuan perkawinan (FC artikel 66). Selain itu

pendampingan ditujukan untuk mengarahkan mereka pada kemandirian hidup dan

kepribadian yang matang. Oleh karena itu mereka juga diarahkan untuk

mengupayakan kesejahteraan demi masa depan mereka dengan berbagai cara

tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip moral kristiani.

c. Pendampingan Calon Pengantin

Pendampingan diadakan dalam bulan-bulan dan minggu-minggu

mendekati pernikahan (FC artikel 66). Pendampingan calon pengantin dilakukan,

baik yang berkaitan dengan tuntutan-tuntutan administratif secara sipil maupun

secara gerejawi, serta penghayatan perkawinan itu sendiri. Pendampingan bisa

diberikan melalui kursus-kursus persiapan perkawinan (PPK artikel 73). Nilai-

nilai yang ditanamkan dalam pendampingan mirip dengan yang diberikan pada

masa katekumenat, yaitu pengetahuan iman yang lebih dalam, makna rahmat dan

tanggung jawab keluarga Katolik, maupun membangun kesadaran untuk ambil

bagian dalam upacara liturgi perkawinan. Untuk itu kursus-kursus persiapan

perkawinan perlu dirancang agar calon pengantin tidak hanya mendapat bekal

pengetahuan saja namun terlebih agar semakin merasakan keinginan untuk masuk

dalam persekutuan gerejani secara aktif (FC artikel 66). Pada masa pertunangan

pendampingan diarahkan untuk lebih memantapkan rencana mereka dalam

2. Pendampingan Menjelang Peneguhan Pernikahan

Sifat sakramental perkawinan menuntut sikap iman dalam perayaan

peneguhan pernikahan. Pendampingan diarahkan agar calon pengantin siap

menerima sakramen perkawinan secara iman. Seturut hukum Gereja kanon 1065

sangat dianjurkan agar calon pengantin menerima sakramen Penguatan, sakramen

Tobat, dan sakramen Ekaristi sebelum menerima sakramen perkawinan. Sakramen

Penguatan menjadi konsekuensi logis dari tugas-tugas utama sebagai suami-istri

dan orang tua. Penerimaan sakramen Tobat dan Ekaristi bertujuan agar calon

pengantin lebih menghayati rahmat perkawinan yang dicurahkan kepada mereka

(Rubiyatmoko, 2011: 40-41).

3. Pendampingan Pasca Pernikahan

Pendampingan pasca pernikahan dimaksudkan untuk membantu pasangan

suami-istri dalam mendalami dan menghayati panggilan dan perutusan sebagai

keluarga (FC artikel 69). Pendampingan keluarga dilakukan tidak hanya untuk

keluarga yang bermasalah. Dalam pelaksanaan pendampingan keluarga

bermasalah digolongkan sebagai keluarga dalam kondisi khusus (PPK artikel 74).

Pendampingan keluarga biasa dikelompokkan menjadi Pendampingan Keluarga

Muda, Pendampingan Keluarga Madya, dan pendampingan keluarga dengan usia

perkawinan lebih dari 25 tahun. Keluarga muda yang dimaksud adalah keluarga

yang umur pernikahannya antara 0 sampai 5 tahun (keluarga muda). Dalam masa

ini pasangan suami-istri berada dalam masa penyesuaian diri dalam hidup

misalnya selera makan, cara berpakaian, kebiasaan-kebiasaan lama sewaktu masih

bujang, perbedaan-perbedaan karena latar belakang pendidikan, keluarga,

lingkungan dan sebagainya. Selain itu biasanya keluarga muda Katolik juga baru

belajar mendampingi anak-anak. Hal-hal tersebut mudah menimbulkan perasaan

kecewa, jengkel, marah dan frustasi, apalagi jika ditambah dengan memendam

perasaan, keinginan ataupun maksud hati dengan anggapan bahwa pasangan harus

tahu sendiri (Gilarso, 1996 : 42). Keluarga madya adalah keluarga yang umur

pernikahannya antara 6 sampai 25 tahun. Dalam masa ini pasangan suami-istri

didorong untuk mengembangkan komunikasi di antara mereka berdua dan

mendidik anak yang menginjak usia dewasa menjelang perkawinan. Pada

umumnya keluarga dengan usia perkawinan lebih dari 25 tahun sudah tidak

membutuhkan pendampingan khusus, namun masih terbuka kemungkinan dalam

beberapa hal keluarga masih membutuhkan bantuan. Sebaiknya pendampingan

diberikan sesuai dengan kebutuhan dengan tetap memperhatikan otonomi dan

privasi mereka (PPK artikel 74).

Sedangkan untuk keluarga berkebutuhan khusus (bermasalah) diperlukan

perhatian dan pelayanan khusus sesuai dengan permasalahan dan situasi yang

dihadapi. Untuk itu pendampingan keluarga bermasalah dikelompokkan menjadi

pendampingan keluarga dalam perkawinan yang belum sah, pendampingan

keluarga single parent, pendampingan keluarga cerai sipil, pendampingan

keluarga yang sedang pisah, pendampingan keluarga dengan “harta terpisah”,

dalam konflik berat, dan pendampingan keluarga yang mempunyai anak

berkebutuhan khusus.

Bagi keluarga dalam perkawinan yang belum sah, pendampingan

diarahkan agar perkawinannya disahkan. Bagi keluarga single parent,

pendampingan diarahkan agar ayah atau ibu mampu mengemban “tugas ganda”

baik sebagai ayah maupun ibu agar anak-anak dapat berkembang secara wajar.

Bagi keluarga cerai sipil, pendampingan diarahkan agar mereka tidak terhalang

untuk menerima sakramen-sakramen dan diupayakan untuk bisa rujuk kembali.

Bagi keluarga yang sedang pisah, misalnya pisah ranjang, pendampingan

diarahkan untuk juga menyadari, bahwa dengan pisah ranjang pasutri tidak

berarti bebas dari ikatan perkawinan, selain itu pasutri tetap didorong dan dibantu

agar rujuk. Bagi keluarga berharta terpisah, pendampingan diarahkan agar pasutri

menyadari bahwa pada prinsipnya kesatuan keluarga meliputi segala segi

termasuk harta benda. Untuk itu pasutri didampingi agar mengelola harta benda

bersama-sama. Bagi keluarga yang tidak memperoleh anak, pendampingan

diarahkan agar pasutri menyadari bahwa tidak memperoleh anak bukan berarti

gagal total dalam perkawinan. Selain itu pasutri yang menginginkan anak

diarahkan agar berusaha memiliki anak dengan cara-cara yang legal dan sesuai

dengan prinsip-prinsip moral. Bagi keluarga dalam konflik berat, pendampingan

diarahkan agar pasutri dapat mengatasi konflik secara bijaksana sehingga

keutuhan keluarga tetap terjaga. Bagi keluarga yang mempunyai anak

mengasihi anaknya. Jika memungkinkan, anak dibantu agar dapat mandiri (PPK

artikel 74).

Dokumen terkait