• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.

2.4 Cairan

Selama anestesia, umumnya diberikan cairan secara intravena untuk menggantikan kehilangan cairan karena pembedahan, dan untuk memenuhi kebutuhan harian normal pasien. Digunakan tiga jenis cairan yaitu kristaloid, koloid, dan darah serta komponennya (Gwinnutt,2009).

Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravaskular dan curah jantung. Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung(Morgan,2006) :

1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam mengembalikan volume intravaskular. 2. Mengembalikan defisit volume intravaskular dengan kristaloid

biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.

3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami

defisit cairan extraseluler melebihi defisit cairan intravaskular. 4. Defisit cairan intravaskular yang berat dapat dikoreksi dengan

cepat dengan menggunakan cairan koloid.

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan.

2.4.1 Kristaloid

Kristaloid merupakan larutan kristalin padat dalam air. Larutan ini digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) yang memiliki kandungan elektrolit-elektrolit dengan komposisi yang sama dengan plasma, mempunyai osmolalitas yang sama dengan plasma dan sering dianggap sebagai isotonik; (2) larutan yang mengandung lebih sedikit atau tidak mengandung elektrolit (hipotonik) tetapi mengandung glukosa untuk memastikan bahwa mereka memiliki osmolalitas yang sama dengan plasma. Begitu cairan ini diberikan, maka terjadi proses redistribusi di berbagai kompartemen cairan tubuh, jumlahnya bergantung pada komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan saline 0,9% didistribusikan sepanjang ruang interstisial dan intravaskular sebanding dengan ukurannya. Setelah 15-30 menit, hanya 25-30% dari volume yang diberikan tetap di intravaskular. Oleh karena itu, setiap pemberian cairan kristaloid untuk menggantikan volume sirkulasi maka dibutuhkan sekitar tiga sampai empat kali cairan yang hilang (Gwinnutt,2009).

2.4.2 Koloid

Cairan koloid lebih efektif dibandingkan kristaloid untuk meningkatkan volume plasma karena kandungan molekul yang besar, difusi yang kurang baik, sehingga mencetuskan terjadinya tekanan osmotik untuk menjaga air tetap di ruang vaskular (Marino,2007).

2.4.2.1 Hydroxyethyl Starch (HES)

Hetastarch adalah koloid sintetik yang tersedia sebagai cairan 6% dalam saline isotonik. Hetastarch berisi molekul amilopektin yang bervariasi dalam ukuran beberapa ratus hingga satu juta Dalton lebih. Berat molekul rata-rata dari molekulnya setara dengan albumin 5%. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah dibandingkan dengan albumin. Lebih jauh, hetastarch bersifat non antigenik dan reaksi anafilaksisnya jarang terjadi tetapi pruritus pernah dijumpai pada beberapa kasus (Marino,2007)

2.4.2.1.1 Fitur

Hetastarch sedikit lebih kuat dari albumin 5% sebagai koloid. Memiliki COP lebih tinggi dari albumin 5% dan menyebabkan ekspansi volume plasma yang lebih besar (sampai 30% lebih besar dari volume infus). Ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (17 hari), tetapi hal ini menyesatkan karena efek onkotik hetastarch hilang dalam waktu 24 jam (Marino,2007).

2.4.2.1.2 Kekurangan

Molekul hetastarch terus dihancurkan oleh enzim amilase dalam aliran darah sebelum dibersihkan ginjal. Kadar serum amilase sering meningkat (2 sampai 3 kali di atas normal) selama beberapa hari pertama setelah infus hetastarch, dan kembali normal pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah pemberiannya. Reaksi anafilaksis untuk hetastarch yang jelas jarang terjadi (insiden terendah 0,0004%). Uji laboratorium koagulopati dapat terjadi tetapi tidak disertai dengan perdarahan (Marino, 2007). 2..5 Efedrin

Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang (Katzung, 2006).

2.5.1 Farmakokinetik

Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada

pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu.Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah

p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan

konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH urin 6,5 (Katzung, 2010).

2.5.2 Farmakodinamik

Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena

vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan

vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain.

Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan

vasokonstriksi arteri dan vena di perifer. Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor α

(Setiawati,2006).

Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada

simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin (Calvey,2008)

BAB 3

Dokumen terkait