• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Dengan Efedrin 10 mg Dalam Mencegah Hipotensi Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Dengan Efedrin 10 mg Dalam Mencegah Hipotensi Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA HYDROXYETHYL

STARCH(HES) 130/0.4 DENGAN EFEDRIN 10 MG DALAM

MENCEGAH HIPOTENSI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA

DENGAN ANESTESI SPINAL

Oleh :

Jonathan Toman Lumbantobing

090100187

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA HYDROXYETHYL

STARCH(HES) 130/0.4 DENGAN EFEDRIN 10 MG DALAM

MENCEGAH HIPOTENSI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA

DENGAN ANESTESI SPINAL

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

Jonathan Toman Lumbantobing

090100187

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Perbandingan Efektivitas antara Hydroxyethyl Starch(HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea

dengan Anestesi Spinal

Nama : Jonathan T. L. Tobing NIM : 090100187

Pembimbing Penguji I

(dr.Andriamuri P. Lubis, SpAn, M.Ked (An)) (Dr.dr. Imam Budi Putra, SpKK) NIP : 19811107 200801 1 009 NIP :19650725 200501 1 001

Penguji II

(Nenni Dwi Apriani Lubis, SP, M.Si) NIP : 19760410 200312 2 002

Medan. 15 Januari 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang umum dilakukan pada seksio sesaria. Namun dilaporkan bahwa efek samping yang ditimbulkan adalah hipotensi. Banyak cara dilakukan dalam mencegah hipotensi spinal seperti pergeseran uterus ke arah lateral, koloading cairan baik koloid maupun kristaloid, atau pemberian vasopressor profilaksis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan efedrin dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

Penelitian ini menggunakan metode tersamar tunggal, acak terkontrol, dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Setelah mendapatkan persetujuan dari komisi etika penelitian kesehatan, dua puluh empat pasien ASA 1 atau 2 menjalani prosedur seksio sesarea secara acak dialokasikan untuk menerima cairan ko-loading koloid (kelompok A) dosis 10ml/kg BB dan efedrin (kelompok B) dosis 10 mg. Selanjutnya diukur tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pasien dicatat setelah spinal anestesi menit ke-1, ke-5, ke-10, ke-15 dan ke-20.

Pada penelitian ini didapatkan penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP setelah anestesi spinal pada kedua kelompok. Nilai penurunan rerata tekanan darah sistolik dari menit ke-0 sampai menit ke-1 pada kelompok A dan pada kelompok B setelah di uji statistik dengan t-independen diperoleh nilai p>0,05 yang berarti penurunan yang terjadi tidak bermakna. Pada kelompok A dari 115 (SD 9,16) mmHg ke 100,75 (SD 15,34) mmHg pada menit ke-1 dan pada kelompok B dari 117.58 (SD 10.42) mmHg ke 95.50 (SD 12,82) pada menit ke-1. Bila dibandingkan antara kedua kelompok tida terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) yaitu pada menit ke-1 setelah tindakan anestesi spinal.Penurunan rerata tekanan diastolik pada kelompok A dan kelompok B tidak terdapat perbedaan bermakna. Bila dibandingkan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) dari menit ke menit penelitian ini. Tidak terjadi penurunan bermakna pada tekanan arteri rerata (MAP) dikarenakan p> 0.05. Pada penelitian ini terjadi peningkatan laju nadi rata-rata yang tidak bermakna pada kelompok A. Demikian juga pada kelompok B. Sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal

(5)

ABSTRACT

Spinal anesthesia is commonly used in pregnant women who will undergo caesarian section. The most common side effect that occurs is hypotension. Some procedures are used to prevent hypotension such as uterine lateral disposition, crystalloid preloading or colloid and, vasopressor prophylaxis. The aim of this research is to compare the effectivity between Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 and ephedrine 10 mg to prevent hypotension.

This research used a single-blind, randomized, controlled, in order to determine the effectiveness of co-loading colloid in preventing hypotension compared to ephedrine in patients undergoing spinal anesthesia with caesarian section. After obtaining approval from the ethics commitee, twenty four patients ASA 1 or 2 undergo caesarian section procedure were randomly allocated to received co-loading of colloid (group A) dose 10ml/kg and ephedrine dose 10 mg. Subsequently measured systolic blood pressure, diastolic, mean arterial pressure and pulse rate were recorded after spinal anesthesia patients minute to-1, the 5th, 10th,15th and 20th.

There is no significant difference between two groups. At minute 0 to minute-to-1 decrease significantly from 115 (SD 9,16) mmHg to 100,75 (SD 15,34) mmHg at minute 1 and in group B from 117.58 (SD 10.42) mmHg to 95.50 (SD 12,82) at minute 1. There is no significant difference diastolic blood pressure between two groups in which values obtained for independent t test p>0.05. On the Mean Arterial Pressure (MAP) there is no significant reduction in both groups, where the values obtained for the independent t test p >0.05. Dynamically changes the pulse rate of the average non-significant increase in group A similarly in group B.

There is no difference in the effect of co-loading colloid in preventing Hypotension compared to ephedrine in patients undergoing caesarian section with spinal anesthesia.

(6)

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah

yang telah diberikan-Nya kepada saya sehingga Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini

dapat diselesaikan dengan baik. Saya berharap penelitian yang berjudul

Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea dengan

Anestesi Spinaldapat menjadi suatu penelitian yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan tenaga kesehatan pada khususnya.

Kiranya Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi langkah awal untuk

menunaikan amanat Tri Dharma perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian,

dan pengabdian masyarakat. Besar harapan agar kiranya penelitian ini memiliki

manfaat dan memiliki kapabilitas dalam menemukan berbagai hal yang terjadi di

masyarakat terkhusus dalam bidang medis.

Saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah

membantu penulis dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. Secara khusus saya

menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. dr.Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Donna Partogi, Sp. KK sebagai dosen penasihat akademik.

3. Bapak dr. Andriamuri Primaputra Lubis, Sp.An, M.Ked (An) sebagai

dosen pembimbing yang mendampingi penulis dalam mempersiapkan

karya tulis ilmiah ini

4. Bapak Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK sebagai dosen penguji I yang

memberikan kritikan dan saran dalam karya tulis ilmiah ini

5. Ibu Nenni Dwi Apriani Lubis, SP, M.Si sebagai dosen penguji II yang

memberikan kritikan dan saran dalam karya tulis ilmiah ini.

6. Kepala Departemen Anestesi RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD

(7)

7. Para Abang dan Kakak Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis

Departemen Anestesiologi dan Departemen Obstetri dan Ginekologi FK

USU Dinas RSUP H.Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan

8. Kedua orangtua penulis ayahanda dr. Christoffel DPL. Tobing, Sp.OG (K)

dan ibunda Elita L. Hutauruk yang memberikan dukungan yang luar

biasa.

9. Saudara kandung saya dr. Joshua Partogi Ferdinand Lumbantobing dan

Josephine Irena Masniari Lumbantobing yang tetap saling mendukung

terkhusus dalam hal pendidikan.

10.Rekan-rekan mahasiswa FK USU 2009 terkhusus kepada Adi Retno, Tiop

Maruntung Pasaribu, Gold Sunday Palm Tampubolon yang terlibat

memberikan masukan dan kritikan dalam penelitian ini

Saya sebagai peneliti pemula menyadari masih banyak kekurangan dalam

Karya Tulis Ilmiah ini. Untuk itu, dengan rendah hati saya meminta kritik dan

saran untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat

membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2012

Jonathan Toman Lumbantobing

(8)

DAFTAR ISI

2.1.2 Perubahan Kardiovaskular ... 5

2.1.3 Perubahan Hematologi ... 7

2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi ... 7

2.1.5 Perubahan Sistem Renal ... 8

2.1.6 Perubahan Sistem Gastrointestinal ... 9

2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer ... 10

2.1.8 Perubahan Sistem Muskuloskeletal ... 11

2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental ... 11

2.2 Seksio Sesarea ... 12

2.2.1 Definisi ... 12

2.2.2 Indikasi ... 12

2.2.2.1 Indikasi Absolut ... 12

2.2.2.2 Indikasi Relatif ... 13

2.2.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea ... 13

(9)

2.3 Spinal Anestesi ... 16

2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi ... 17

2.3.2 Kontraindikasi Absolut Spinal Anestesi ... 17

2.3.3 Kontraindikasi Relatif Spinal Anestesi ... 18

2.3.4 Anatomi ... 18

2.3.5 Teknik Spinal Anestesi ... 18

2.3.6 Obat-obatan yang Digunakan ... 20

2.3.7 Pengaturan Level Anelgesia ... 20

2.3.8 Komplikasi/ Masalah Anestesi Spinal ... 22

2.4 Cairan ... 25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 30

(10)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1 Hasil Penelitian ... 38

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 38

5.1.3 Jenis Suku, Pekerjaan, Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian ... 40

5.1.4 PS – ASA ... 41

5.1.5 Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik pada Kedua Kelompok ... 41

5.2 Pembahasan ... 45

5.2.1 Gambaran Umum ... 45

5.2.2 Perubahan Hemodinamik ... 46

5.2.3 Perubahan Tekanan darah ... 46

5.2.4 Perubahan Laju Nadi ... 47

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 Kesimpulan ... 48

6.2 Saran ... 48

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 30

Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian 36

Gambar 5.1 Perubahan Tekanan Sistolik Rerata pada Kedua Kelompok

42

Gambar 5.2 Perubahan Tekanan Diastolik Rerata pada Kedua Kelompok

43

Gambar 5.3 Perubahan MAP Rerata pada Kedua Kelompok 44 Gambar 5.4 Perubahan Laju Nadi Rerata pada Kedua

Kelompok

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik Umum Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok

39

Tabel 5.2 Jenis Suku, Pekerjaan, dan Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian

40

Tabel 5.3 Status Fisik ASA 41

Tabel 5.4 Karakteristik Hemodinamik Pre- Induksi 41 Tabel 5.5 Tekanan darah sistolik rerata pada kedua

kelompok

42

Tabel 5.6 Tekanan darah diastolik pada kedua kelompok 43 Tabel 5.7 Tekanan Arteri Rerata (MAP) pada kedua

kelompok

44

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Data Induk

LAMPIRAN 3 Output Data Penelitian LAMPIRAN 4 Surat Ethical Clearance LAMPIRAN 5 Surat Izin Penelitian LAMPIRAN 6 Rincian Informasi

(14)

DAFTAR ISTILAH

CSF = Cerebro Spinal Fluid

PS ASA = Physical Status by American Society of Anesthesiologist

HES = Hydroxyethyl Starch

COP = Coloidal Oncotic Pressure

(15)

ABSTRAK

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang umum dilakukan pada seksio sesaria. Namun dilaporkan bahwa efek samping yang ditimbulkan adalah hipotensi. Banyak cara dilakukan dalam mencegah hipotensi spinal seperti pergeseran uterus ke arah lateral, koloading cairan baik koloid maupun kristaloid, atau pemberian vasopressor profilaksis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan efedrin dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

Penelitian ini menggunakan metode tersamar tunggal, acak terkontrol, dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Setelah mendapatkan persetujuan dari komisi etika penelitian kesehatan, dua puluh empat pasien ASA 1 atau 2 menjalani prosedur seksio sesarea secara acak dialokasikan untuk menerima cairan ko-loading koloid (kelompok A) dosis 10ml/kg BB dan efedrin (kelompok B) dosis 10 mg. Selanjutnya diukur tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pasien dicatat setelah spinal anestesi menit ke-1, ke-5, ke-10, ke-15 dan ke-20.

Pada penelitian ini didapatkan penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP setelah anestesi spinal pada kedua kelompok. Nilai penurunan rerata tekanan darah sistolik dari menit ke-0 sampai menit ke-1 pada kelompok A dan pada kelompok B setelah di uji statistik dengan t-independen diperoleh nilai p>0,05 yang berarti penurunan yang terjadi tidak bermakna. Pada kelompok A dari 115 (SD 9,16) mmHg ke 100,75 (SD 15,34) mmHg pada menit ke-1 dan pada kelompok B dari 117.58 (SD 10.42) mmHg ke 95.50 (SD 12,82) pada menit ke-1. Bila dibandingkan antara kedua kelompok tida terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) yaitu pada menit ke-1 setelah tindakan anestesi spinal.Penurunan rerata tekanan diastolik pada kelompok A dan kelompok B tidak terdapat perbedaan bermakna. Bila dibandingkan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) dari menit ke menit penelitian ini. Tidak terjadi penurunan bermakna pada tekanan arteri rerata (MAP) dikarenakan p> 0.05. Pada penelitian ini terjadi peningkatan laju nadi rata-rata yang tidak bermakna pada kelompok A. Demikian juga pada kelompok B. Sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal

(16)

ABSTRACT

Spinal anesthesia is commonly used in pregnant women who will undergo caesarian section. The most common side effect that occurs is hypotension. Some procedures are used to prevent hypotension such as uterine lateral disposition, crystalloid preloading or colloid and, vasopressor prophylaxis. The aim of this research is to compare the effectivity between Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 and ephedrine 10 mg to prevent hypotension.

This research used a single-blind, randomized, controlled, in order to determine the effectiveness of co-loading colloid in preventing hypotension compared to ephedrine in patients undergoing spinal anesthesia with caesarian section. After obtaining approval from the ethics commitee, twenty four patients ASA 1 or 2 undergo caesarian section procedure were randomly allocated to received co-loading of colloid (group A) dose 10ml/kg and ephedrine dose 10 mg. Subsequently measured systolic blood pressure, diastolic, mean arterial pressure and pulse rate were recorded after spinal anesthesia patients minute to-1, the 5th, 10th,15th and 20th.

There is no significant difference between two groups. At minute 0 to minute-to-1 decrease significantly from 115 (SD 9,16) mmHg to 100,75 (SD 15,34) mmHg at minute 1 and in group B from 117.58 (SD 10.42) mmHg to 95.50 (SD 12,82) at minute 1. There is no significant difference diastolic blood pressure between two groups in which values obtained for independent t test p>0.05. On the Mean Arterial Pressure (MAP) there is no significant reduction in both groups, where the values obtained for the independent t test p >0.05. Dynamically changes the pulse rate of the average non-significant increase in group A similarly in group B.

There is no difference in the effect of co-loading colloid in preventing Hypotension compared to ephedrine in patients undergoing caesarian section with spinal anesthesia.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seksio sesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi

dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini

tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus

kehamilan abdomen (Cunningham, 2010).

Pada proses kehamilan normal, tubuh akan beradaptasi terhadap

perubahan fisiologis yang terjadi. Perubahan fisiologis tersebut antara lain

adanya peningkatan tekanan darah, volume darah, tekanan darah perifer. Pada

proses kehamilan, darah mengalir sekitar 625 ml melalui plasenta per menit

selama bulan terakhir kehamilan sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya

peningkatan cardiac output sekitar 30 ke 40 persen di atas normal pada

minggu ke 27. Sementara denyut nadi akan meningkat menjadi 10 kali/ menit.

Volume darah meningkat sekitar 40 % pada kehamilan normal (Guyton,

2006).

Teknik anestesi pada umumnya dibagi atas teknik anestesi general

dan anestesi regional. Anestesi general bekerja menekan aksis hipotalamus

pituitari adrenal sedangkan anestesi regional berfungsi untuk menekan

transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.

Umumnya pada tindakan seksio sesarea dilakukan teknik anestesi regional.

Anestesi regional yang dilakukan pada pasien obstetri adalah dengan teknik

blok paraservikal, blok epidural, blok sub arakhnoid, dan blok kaudal.

Anestesi spinal (blok subarakhnoid) merupakan pilihan utama dalam tindakan

seksio sesarea. Alasan pemilihan anestesi spinal karena rendahnya efek

samping terhadap neonatus akan obat depresan, pengurangan risiko terjadinya

aspirasi pulmonal pada maternal, kesadaran ibu akan lahirnya bayi, dan yang

paling penting adalah pemberian opioid secara spinal dalam rangka

(18)

Namun, pemberian anestesi spinal sering diikuti oleh komplikasi

tertentu. Komplikasi paling umum terjadi adalah hipotensi dimana dilaporkan

pada literatur memiliki angka di atas 83%. Hipotensi tersebut terjadi

dikarenakan adanya blokade saraf simpatis yang berakibat pada penurunan

resistensi vaskular sistemik dan perifer sehingga terjadi penurunan cardiac

output (Surya, 2011).

Ada beberapa cara untuk mencegah terjadinya hipotensi pasca

anestesi spinal yang telah diteliti, karena memiliki efek yang membahayakan

pada neonatus ataupun maternal. Prosedur pergeseran uterin ke arah lateral

merupakan salah satu prosedur tetap dalam mencegah hipotensi. Strategi lain

adalah preload cairan intravena, kompresi pada kaki dan vasopressor

profilaksis. Namun, sejauh ini tidak ada satu metode yang memberikan hasil

yang memuaskan. Efedrin merupakan salah satu vasopressor yang paling

umum digunakan (Singh, 2009).

Wibowo (2005) menunjukkan bahwa kekerapan hipotensi 57,6 %

pada pasien dengan prehidrasi ringer laktat dan 28,1 % pada pasien dengan

kombinasi ringer laktat dan efedrin 12,5 mg intravena. Hal ini menunjukkan

bahwa kombinasi ringer laktat dan efedrin lebih baik dalam mencegah

hipotensi tanpa disertai hipertensi reaktif pada ibu hamil yang menjalani

operasi elektif seksio sesarea dengan anestesi spinal.

Ngan Kee (2007) menyatakan bahwa fenilefrin dan efedrin

merupakan vasopressor efektif dalam mencegah hipotensi pasca spinal.

Namun, di satu sisi efedrin memberikan efek samping berupa mual dan

muntah yang lebih tinggi dibandingkan fenilefrin.

Kundra (2008) menyatakan bahwa pemberian efedrin dapat

mencegah hipotensi maternal tanpa memberikan efek samping

membahayakan terhadap neonatus. Kol(2009) menunjukkan bahwa

kekerapan hipotensi pasca pemberian saline adalah 85,7% dan pada

pemberian efedrin adalah 38,1 %. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa

(19)

Teoh (2009) menunjukkan bahwa pemberian cairan HES 130/0,4

sebagai preload bukan koload secara signifikan meningkatkan cardiac output

maternal selama 5 menit pertama setelah anestesi spinal. Surya (2011)

menyatakan tidak ada perbedaan makna antara koloading koloid dengan

kristaloid dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan

anestesi spinal. Bouchnak, dkk (2012) menunjukkan bahwa pemberian HES

130/0,4 sebagai preload dapat menurunkan insidensi hipotensi, durasi

terjadinya hipotensi, dan dosis efedrin yang dibutuhkan.

Untuk itu, peneliti ingin membandingkan apakah pemberian HES

130/0,4 dengan efedrin lebih baik dalam mencegah hipotensi pada ibu hamil

yang melakukan operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas

memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian

Apakah ada perbedaan efek antara pemberian HES 130/0,4

dalam mencegah hipotensi dibandingkan dengan efedrin pada pasien

pasien seksio sesarea dengan spinal anestesi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membandingkan

efektivitas antara pemberian HES 130/0,4 dengan efedrin dalam mencegah

hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tekanan darah sebelum pemberian anestesi spinal.

2. Mengetahui tekanan darah sesudah pemberian anestesi spinal.

3. Mengetahui tekanan darah sesudah pemberian HES 130/0,4.

4. Mengetahui tekanan darah sesudah pemberian efedrin.

5. Membandingkan efektivitas antara pemberian HES 130/0,4 dengan

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

1. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan tambahan dalam penelitian

lanjutan tentang usaha pencegahan hipotensi pada pasien seksio

sesarea dengan anestesi spinal.

2. Dijadikan sebagai bahan penambah wawasan dan penerapan ilmu yang

telah diperoleh selama mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran.

1.4.2 Manfaat praktis

Bagi tenaga medis, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai

landasan dalam memilih penanganan yang efektif untuk mencegah

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil

Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua

sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi

hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada

pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus

memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan

fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi

untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan

meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik,

dan gastrointestinal (Santos,et.al., 2006).

2.1.1 Perubahan Metabolik

Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam

hormon selama masa kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan

hormon seks, maka laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat

sekitar 15 % selama mendekati masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil

dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka wanita hamil sering

mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan. Selain itu,karena adanya

beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas otot lebih besar

daripada normal (Guyton, 2006).

2.1.2 Perubahan Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan

terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem

kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem

kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac

output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang

tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan

mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu

(22)

dan masa post partum. Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah

terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari

cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan

denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana

meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita

tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi

diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu

keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak

berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen

simpatis (Birnbach,et.al., 2009).

Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus

menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu

ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal

menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien

berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan

bahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil,

penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral

decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil

dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya

takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat.

Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan

perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus.

Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke

arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga

dari kehamilan (Santos, et. al., 2006).

Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung

dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran

radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada

elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya

murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung

(23)

perikardial kecil dan asimptomatik (Morgan, 2006).

2.1.3 Perubahan Hematologi.

Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa

kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem

renin-angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari

total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat

sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai

30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan

hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh

anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan

cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke

kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin (Birnbach,et.al., 2009).

Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi

yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan

darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII,

IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan.

Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester ketiga.

Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah

platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga.

Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja

terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi. Imunitas sel

ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya

infeksi viral (Morgan, 2006).

2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi

Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk

mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan

produk sisa CO2 dari janin ke ibu (Norwitz,et.al., 2008).

Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara

progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang

(24)

meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga 50%.

PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari

melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma

bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara perlahan.

Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam

afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana

hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen

meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan

dengan peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan (Morgan,

2006).

Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran

uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan

transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve

volume, residuak volume,dan functional residual capacity menurun,

mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan

pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari

inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami

perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual

capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami

perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok,

obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal

dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver

tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal

antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual

dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan

(Santos,et.al., 2006).

2.1.5 Perubahan Sistem Renal

Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal

pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal

umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone

(25)

filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan

laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester

ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin

menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari

tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering

mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300

mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg (Morgan,

2006).

2.1.6 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama

persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan

bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan

fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan

dengan anestesi general (Birnbach, et.al., 2009).

Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa

kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu

ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar

progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi

gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor

tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi

terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster tetap

tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan mengenai

pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di

samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5

dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari

25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap

terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik

menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi

terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung.

(26)

proses persalinan dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan

nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan

terjadinya muntah dan mual (Morgan, 2006).

2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer

Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama

masa kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua

anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal

pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan

opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi

ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih

tinggi daripada normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil

dalam observasi. Peningkatan secara signifikan kadar endorfin juga

memegang peranan penting dalam masa persalinan dan kelahiran (Morgan,

2006).

Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap

kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode

pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih

sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai

level dermatom sensorik yang diberikan (Birnbach, 2009).

Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam

anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal

dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik

efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal

persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus

mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan

volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan

menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan

serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3)

peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran

sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural,

(27)

lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural (Morgan, 2006).

2.1.8 Perubahan Sistem Muskoloskeletal

Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu

persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi

uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi

ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung.

Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam

kehamilan (Morgan, 2006).

2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental

Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam

perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi

uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi

pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat

mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada

aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta (Morgan,

2006).

Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan

dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.

Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki

resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu

masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi

(pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran

arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan curah

jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah

melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus.

Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:

UBF= UAP-UVP

UVR

UBF = uterine blood flow

UAP = uterine arterial pressure

(28)

UVR = uterine vascular resistance

Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal,

dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan

kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus

(kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan

perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi

mengakibatkan gangguan pada aliran darah (Birnbach,et.al., 2009).

2.2 Seksio Sesarea

2.2.1 Definisi

Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding

abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak

mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus

kehamilan abdomen (Cunningham, 2010)

2.2.2 Indikasi Seksio Sesarea

2.2.2.1 Indikasi Absolut

Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas

a. Berasal dari ibu

i.Induksi persalinan yang gagal

ii.Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)

iii.Disproporsi sefalopelvik

b. Uteroplasenta

i.Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)

ii.Riwayat ruptur uterus

iii.Obstruksi jalan lahir (fibroid)

iv.Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar

c. Janin

i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan

ii. Prolaps tali pusat

(29)

2.2.2.2 Indikasi Relatif

Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008):

a. riwayat ibu

i. bedah sesar elektif berulang

ii. penyakit ibu

b. uteroplasenta

i. riwayat bedah uterus sebelumnya

ii. presentasi funik pada saat persalinan

c. janin

i. malpresentasi janin

ii. makrosomia

iii. kelainan janin

2.2.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea

Menurut Pernoll (2009), kontraindikasi tindakan

seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding abdomen,

janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali

untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas,

perlengkapan atau tenaga yang sesuai.

2.2.3 Teknik Seksio Sesarea

2.2.3.1 Insisi Abdominal

Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau

transversal suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian

atau midtransversum digunakan (Cunningham, 2010).

2.2.3.1.1 Insisi Abdominal Vertikal

Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah

yang rendah meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat

digunakan untuk seksio sesarea klasik. Insisi garis tengah biasanya

mengikuti linea nigra dan memanjang dari umbilikus sampai simfisis

pubis. Setelah menginsisi jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah

secara tajam dan masuki peritoneum parietal dengan diseksi tajam.

(30)

lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00 atau 0. Jaringan fasia ditutup

dengan jahitan terputus menggunakan benang berukuran 0 yang dapat

diserap atau tidak dapat diserap. Setelah jaringan subkutan didekatkan

kembali, kulit ditutup (Pernoll, 2009)

2.2.3.1.2 Insisi Abdominal Transversal

Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga

metode insisi abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan

Joel-Cohen , merupakan metode seksio sesarea yang menggunakan insisi

transversal pada dinding abdomen. Insisi Pfannenstiel meliputi insisi

transversal semi lengkung (curved) setinggi 2 jari di atas tulang simfisis

pubis, muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dan peritoneum parietal

diinsisi pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode

Pfannen stiel namun muskulus rektus dipotong secara transversal

menggunakan pisau bedah. Insisi ini menjadi pilihan ketika dijumpai

adanya perlengketan akibat insisi Pfannenstiel pada operasi sebelumnya.

Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal yang lurus setinggi 3 cm di

atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara tumpul,bila

perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica vesicouterina

digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah

uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul

dengan arah horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu

operasi yang singkat serta berkurangnya febris post operatif (Cunningham,

2010).

2.2.3.2 Insisi Uterus

Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim

secara transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau

seperti yang dinyatakan oleh Kronig pada tahun 1912. Segmen bawah

uterus relatif kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga

diharapkan perdarahan yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio

sesarea secara klasik. Insisi lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi

(31)

digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim mempunyai keuntungan yaitu

hanya membutuhkan sedikit pembebasan kandung kemih dari

myometrium (Cunningham, 2010).

2.2.3.3 Seksio Sesarea Klasik

Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin

melintang atau oblik dan jika persalinan cepat sangat penting. Seksio

sesarea klasik merupakan tindakan paling sederhana. Buatlah insisi

vertikal pada bagian bawah korpus uteri melalui peritoneum viseral ke

dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uteri , perluaslah

insisi ke arah kaudal dan kranial dengan gunting perban. Lahirkan bayi,

plasenta, dan selaput ketuban. Tutuplah insisi dengan tiga lapis jahitan

yang dapat diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam dengan jahitan

terputus atau bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan

yang lebih atas dengan jahitan bersambung(atau baseball) menggunakan

benang 00 atau 000 (Pernoll, 2009).

2.2.4 Komplikasi Seksio Sesarea

Pernoll (2009) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada

kasus seksio sesarea.

a. Kematian Ibu.

Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000,

meningkat sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per

vaginam.

b. Kesakitan Ibu selama Operasi.

Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas

11% (kira-kira 80% minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor

meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi sampai serviks atau

vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui ismus ke ligamentum

latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus dan trauma pada

bayi dengan sekuele. Komplikasi minor meliputi transfusi darah,

trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada isus dan kesulitan

(32)

c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi

Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar

90% di antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi

saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi lebih banyak terjadi

pada kasus seksio darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif

hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya

pecah selaput ketuban sebelum operasi, lama persalinan sebelum

operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non infeksi pasca bedah

yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus paralitik,

perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis dan

gangguan paru.

2.3 Spinal Anestesi

Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block,

terjadi karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid.

Terjadi blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya

aktivitas sensoris, motoris dan otonom (Morgan, 2006).

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya

temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan,

fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut

dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya

terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang

lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla

spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut saraf

yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan

kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi

tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade

otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi

kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari

(33)

2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi :

Morgan (2006) menyatakan beberapa indikasi dari pemberian

anestesi spinal

1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak,

tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah,

vaginal, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal,

appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan

ginekologis

4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi

transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian

atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat

menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan

sistoskopi.

2.3.2 Kontra Indikasi Absolut :

Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal

(Gwinnut,2009):

1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal

menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah

akan menekan medulla spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi

pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.

4. Bila pasien menolak.

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan

ditusuk jarum spinal.

6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia

(34)

7. Hipotensi.

2.3.3 Kontra Indikasi Relatif

Gwinnutt (2009), menyatakan beberapa kontraindikasi relatif

dalam pemberian anestesi spinal.

1. Pasien dengan perdarahan.

2. Problem di tulang belakang.

3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

2.3.4 Anatomi

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5

lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2,

karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka

spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3.

Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan

melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut

(Bernards, 2006) :

1. Ligamentum supraspinosum.

2. Ligamentum interspinosum.

3. Ligamentum flavum.

4. Ligamentum longitudinale posterior.

5. Ligamentum longitudinale anterior.

2.3.5 Teknik Spinal Anestesi :

Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor

yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan

nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh

peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,

anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan

terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan

meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian

(35)

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut

(Morgan, 2006):

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk

(dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada

infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan

dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk

spinal anestesi.

2. Posisi pasien :

a) Posisi Lateral.

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,

lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk.

Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna

vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat

premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang

asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi

ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.

c) Posisi Prone.

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah

menginginkan posisi Jack Knife atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine,

alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan.

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin

besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut,

sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala

(PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil.

Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan

keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan

subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan

(36)

beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang

jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu

ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal,

tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah

yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik

obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda

asing (Meningismus).

2.3.6 Obat-obat yang dipakai

Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah

lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain

adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade

otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5%

dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan

lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan,

75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah,

100-150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam,

lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih (Morgan,2006).

2.3.7 Pengaturan Level Analgesia

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai

berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di

bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen

sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi

atas :

1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen

lumbal bawah dan sakral.

2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10)

dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.

3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi

termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona

(37)

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,

motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin

terjadi (Kleinman, 2006).

Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat,

barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan

tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar

volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga

akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan

obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum

menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi

lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di

ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi

penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia,

sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi

dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan

yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik (Kleinman, 2006).

Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan

dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu

hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah

1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik

1,001-1,002 (Kleinman, 2006).

Perawatan Selama pembedahan (Gwinnutt, 2009).

1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.

4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan,

adanya mual dan pusing.

6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah (Gwinnutt, 2009).

(38)

pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

3. Cegah trauma pada daerah analgesi.

4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang

berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada

kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi

nadi.

2.3.8 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal :

Birnbach,et.al. (2009) menyatakan beberapa komplikasi terkait

pemberian anestesi spinal

1. Sistim Kardiovaskuler :

a) Penurunan resistensi perifer :

1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang

diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi

simfatis.

2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas

vena dan venous return.

3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi

mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata

Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya

blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi

risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla

oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah

jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah

dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat

vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal

(39)

Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis

efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4

menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada

pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian

jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic

stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac

accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat

meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.

2. Sistim Respirasi

Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi

yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya :

berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena

terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5).

Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan

bicara

3. Sistim Gastrointestinal

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan

karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik,

over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah

manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena

adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang

dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi

kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila

duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai

1-2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan

terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%

(40)

menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache

dapat dilakukan pencegahan dengan :

1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no.

25,27,29).

2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater

sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan

duramater.

3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama

3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti

yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan

1. Memakai abdominal binder.

2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu

sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.

3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40

tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila

dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami

sakit kepala daripada laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah

lumbal untuk spinal anestesi.

6. Retensio Urinae

Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai

berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria,

pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi

vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal

yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi

(41)

spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta

penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan

fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya

terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.

2.4 Cairan

Selama anestesia, umumnya diberikan cairan secara intravena

untuk menggantikan kehilangan cairan karena pembedahan, dan untuk

memenuhi kebutuhan harian normal pasien. Digunakan tiga jenis cairan

yaitu kristaloid, koloid, dan darah serta komponennya (Gwinnutt,2009).

Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan

kristaloid. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga tekanan

onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume

intravaskular dan curah jantung. Ahli yang lain mengatakan bahwa

pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang

cukup. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung(Morgan,2006) :

1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya

dengan koloid dalam mengembalikan volume intravaskular.

2. Mengembalikan defisit volume intravaskular dengan kristaloid

biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika

menggunakan koloid.

3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami

defisit cairan extraseluler melebihi defisit cairan intravaskular.

4. Defisit cairan intravaskular yang berat dapat dikoreksi dengan

cepat dengan menggunakan cairan koloid.

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L)

(42)

2.4.1 Kristaloid

Kristaloid merupakan larutan kristalin padat dalam air. Larutan ini

digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) yang memiliki kandungan

elektrolit-elektrolit dengan komposisi yang sama dengan plasma,

mempunyai osmolalitas yang sama dengan plasma dan sering dianggap

sebagai isotonik; (2) larutan yang mengandung lebih sedikit atau tidak

mengandung elektrolit (hipotonik) tetapi mengandung glukosa untuk

memastikan bahwa mereka memiliki osmolalitas yang sama dengan

plasma. Begitu cairan ini diberikan, maka terjadi proses redistribusi di

berbagai kompartemen cairan tubuh, jumlahnya bergantung pada

komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan saline 0,9% didistribusikan

sepanjang ruang interstisial dan intravaskular sebanding dengan

ukurannya. Setelah 15-30 menit, hanya 25-30% dari volume yang

diberikan tetap di intravaskular. Oleh karena itu, setiap pemberian cairan

kristaloid untuk menggantikan volume sirkulasi maka dibutuhkan sekitar

tiga sampai empat kali cairan yang hilang (Gwinnutt,2009).

2.4.2 Koloid

Cairan koloid lebih efektif dibandingkan kristaloid untuk

meningkatkan volume plasma karena kandungan molekul yang besar,

difusi yang kurang baik, sehingga mencetuskan terjadinya tekanan

osmotik untuk menjaga air tetap di ruang vaskular (Marino,2007).

2.4.2.1 Hydroxyethyl Starch (HES)

Hetastarch adalah koloid sintetik yang tersedia sebagai cairan 6%

dalam saline isotonik. Hetastarch berisi molekul amilopektin yang

bervariasi dalam ukuran beberapa ratus hingga satu juta Dalton lebih.

Berat molekul rata-rata dari molekulnya setara dengan albumin 5%.

Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah

dibandingkan dengan albumin. Lebih jauh, hetastarch bersifat non

antigenik dan reaksi anafilaksisnya jarang terjadi tetapi pruritus pernah

(43)

2.4.2.1.1 Fitur

Hetastarch sedikit lebih kuat dari albumin 5% sebagai koloid.

Memiliki COP lebih tinggi dari albumin 5% dan menyebabkan ekspansi

volume plasma yang lebih besar (sampai 30% lebih besar dari volume

infus). Ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (17 hari),

tetapi hal ini menyesatkan karena efek onkotik hetastarch hilang dalam

waktu 24 jam (Marino,2007).

2.4.2.1.2 Kekurangan

Molekul hetastarch terus dihancurkan oleh enzim amilase dalam

aliran darah sebelum dibersihkan ginjal. Kadar serum amilase sering

meningkat (2 sampai 3 kali di atas normal) selama beberapa hari pertama

setelah infus hetastarch, dan kembali normal pada hari ke-5 sampai hari

ke-7 setelah pemberiannya. Reaksi anafilaksis untuk hetastarch yang jelas

jarang terjadi (insiden terendah 0,0004%). Uji laboratorium koagulopati

dapat terjadi tetapi tidak disertai dengan perdarahan (Marino, 2007).

2..5 Efedrin

Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari

tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan

luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan

tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang (Katzung,

2006).

2.5.1 Farmakokinetik

Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral.

Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral,

subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam

15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam.

Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih

cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada

pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama

kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada

Gambar

Gambar 3.1 Diagram Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian
Tabel 5.1 Karakteristik Umum Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok
Tabel 5.2 Suku, Pekerjaan, dan Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Insiden hipotensi yang pertama kali diukur saat penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari baseline atau tekanan darah sistol di bawah 90 mmHg, maka berdasarkan

Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan faktor-faktor risiko yang memiliki kaitan erat dengan insidensi hipotensi pada wanita hamil yang dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian loading 500 cc Hidroxylethyl starch 130/0,4 (6%), diperoleh data bahwa terdapat perbedaan antara urine 15 menit

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan efek pemberian loading 500 cc HES 130 kD dan 200 kD terhadap jumlah produksi urin pada

3,4 Dengan latar belakang inilah maka penulis ingin mengetahui bagaimana efek dari pemberian profilaksis norepinefrin kontinu terhadap tekanan darah dalam pencegahan

Selama penelitian ini pada ke 30 subyek penelitian, baik kelompok I maupun Kelompok II tidak ditemukan kejadian hipotensi,bradikardi, ataupun hipertensi dan

Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian loading 500 cc Hidroxylethyl starch 130/0,4 (6%), diperoleh data bahwa terdapat perbedaan antara urine 15 menit

Insiden hipotensi yang pertama kali diukur saat penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari baseline atau tekanan darah sistol di bawah 90 mmHg, maka berdasarkan