Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya
Penulis dilahirkan di Gunung Bayu Simalungun Sumatera Utara, 23 Januari 1978 dari ayah Harius dan ibu Nurbaiti. Penulis merupakan anak ketiga
dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di Payakumbuh Sumatera Barat. Pada tahun 1999 penulis telah menyelesaikan pendidikan Program Sarjana (S1) Fakultas Pertanian Universitas Batanghari Jambi. Penulis bekerja sebagai Staf Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare merupakan salah satu gejala klinis penyakit saluran pencernaan (gastrointestinal), ditandai dengan meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari, adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja penderita. Dikenal 2 jenis diare : (1) diare akut, timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung beberapa hari dan (2) diare kronis yang berlangsung lebih dari tiga minggu bervariasi dari hari ke hari yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab lainnya (Harianto 2004; Anonim 2007a). Gejala diare diikuti dengan rasa mulas, tubuh lemas, muka pucat, kadang-kadang mual, muntah dan demam. Diare ada yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati, namun bila tidak ditanggulangi sedini mungkin dapat menyebabkan dehidrasi dan bila tidak ditolong akan meninggal.
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dan menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 ternyata diare termasuk dalam 8 penyakit utama di Indonesia (Budiarso dalam Harianto 2004). Angka kesakitan diare mencapai 200 sampai 400 kejadian tiap 1000 penduduk setiap tahun. Sebagian besar (70 sampai 80%) penderita adalah anak balita dan 1 sampai 2% dari penderita menderita dehidrasi. Tercatat 300 000 sampai 500 000 anak balita yang meninggal akibat diare (Gertruida et al. dalam Harianto 2004).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit dan dapat pula disebabkan oleh malaborpsi makanan, keracunan makanan, alergi ataupun karena defisiensi. Salah satu bakteri penyebab diare adalah Salmonella dan penyakitnya disebut dengan Salmonellosis. Salmonellosis selain merugikan secara ekonomi, juga sangat penting dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Meskipun banyak patogen lain yang dapat menyebabkan sakit, Salmonella tetap menjadi penyebab utama penyakit. Strain bakteri S. Enteritidis dan S. typhimurium
dilaporkan penyebab Salmonellosis yang paling utama.
Dalam upaya menanggulangi penyakit diare yang disebabkan oleh
S. Enteritidis, pencegahan dini adalah upaya yang sangat penting. Salah satu bentuk pencegahan adalah pemberian imunisasi pasif yang dapat dilakukan dengan pemberian langsung antibodi spesifik terhadap antigen S. Enteritidis.
Antibodi spesifik dapat ditemukan pada imunoglobulin Y pada telur ayam (IgY) yang diinfeksi dengan S. Enteritidis, sehingga imunisasi pasif dapat dilakukan dengan penggunaan IgY.
Teknologi penggunaan IgY unggas sebagai upaya pemberian kekebalan pasif khususnya untuk pencegahan dan pengobatan belum banyak dilaksanakan. Para peneliti masih menggunakan imunoglobulin dari mamalia seperti kelinci, mencit putih, tikus, babi dan hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba dan sapi. Prosedur produksi antibodi pada hewan tersebut menyebabkan hewan mengalami cekaman (stress) . Cekaman terjadi saat : (1) melakukan imunisasi pada hewan dan (2) pengambilan darah untuk memanen antibodi. Berkenaan dengan animal welfare dan juga efisiensi biaya, penggunaan antibodi dalam telur lebih bisa diterima dibandingkan dengan penggunaan hewan percobaan (Svendsen et al. 1994).
Penggunaan IgY anti S. Enteritidis dalam telur, dapat dilakukan karena : (1) IgY yang terdapat dalam darah mudah ditransfer ke dalam telur dengan konsentrasi sangat tinggi, (2) proses pengebalan ayam mudah dilakukan, (3) produksi telur anti S. Enteritidis secara masal sangat mungkin dilakukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran IgY anti S. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan S. Enteritidis.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi tentang karakter IgY ayam anti S. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan S. Enteritidis.
TINJAUAN PUSTAKA
Imunoglobulin Yolk (IgY)
Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Molekul ini disentesis oleh sel ß dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen) dan sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler (Kresno 2001).
Pada ayam terdapat tiga kelas imunoglobulin yang analog dengan imunoglobulin mamalia yaitu IgA, IgM dan IgY (IgG). Warr et al. (1995) telah mengusulkan keberadaan antibodi pada ayam yang homolog dengan IgE dan IgD mamalia namun belum dibuktikan. Imunoglobulin Yolk (IgY) adalah imunoglobulin (Ig) yang sebagian besar ditemukan pada serum dan telur unggas, selain Ig yang lain seperti Ig A dan Ig M (Carlander 2002). Molekul IgY secara struktural terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan memiliki empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3 dan Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kDa dengan masing-masing rantai berat ~65 sampai 68 kDa, koefisien sedimentasi 7.8 S dan titik isoelektrik 5.7 sampai 7.6 (Davalos et al. 2000). Struktur IgG dan IgY ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur IgG dan IgY (Anonim 2007b). a : IgG, b : IgY.
Dari sudut pandang evolusi, IgY diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE mamalia. Perbandingan IgG dan IgY disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan IgY dan IgG (Zhang 2003)
Peubah IgG IgY
Hewan Mamalia Burung, reptil, amfibi
Sumber Plasma darah Kuning telur
Berat molekul (SDS- PAGE)
Total : 150 KDa
Rantai ringan : 22 KDa x 2 Rantai berat : 50 KDa x 2
Total 180 KDa
Rantai ringan : 21 KDa x 2 Rantai berat : 70 KDa x 2 Berat molekul (MALDI-
TOEFMS)
Total : 150 KDa
Rantai ringan : 23 KDa x 2 Rantai berat : 50 KDa x 2
Total : 180 KDa
Rantai ringan : 19 KDa x 2 Rantai berat : 65 KDa x 2 Struktur dasar
Bagian engsel fleksibel, bagian Fc lebih pendek dengan dua pasang gugus karbohidrat
Engsel lebih pendek dan kurang fleksibel, bagian Fc lebih panjang dengan tiga pasang gugus karbohidrat Respon terhadap antigen
mamalia
Dipengaruhi secara berlawanan oleh homologi filogenik
Ditingkatkan oleh perbedaan filogenik
Mekanisme pematangan afinitas
Hipermutasi somatik Konversi gen Pseudo-V Afinitas atau aviditas Baik (10-8 sampai 10-10 M) Sebanding
Kuantitas Milligram Gram dengan 2 sampai10%
Yield/bulan/hewan
Antibodi spesifik 1 sampai 10% jika digunakan tikus atau kelinci
Spesifik antibodi
Reaksi silang
Reaksi terhadap imunoglobulin mamalia dan faktor komplemen
Tidak mengikat imunoglobulin mamalia dan
faktor komplemen Isolasi non-afinitas
Perlu menghilangkan berbagai komponen serum
Sangat perlu menghilangkan komponen lemak dalam kuning telur
Pemurnian afinitas
Protein A atau G, atau pemurnian berdasarkan antigen
Terbatas pada pemurnian antigen
Stabilitas Baik, stabil pada pH 3 sampai10, diatas 700C
Baik, stabil pada pH 4 sampai 9, diatas 650C
Hidrofobisitas Kurang hidrofobik dibanding IgY
Bagian Fc hidrofobik
Imunopresipitasi Baik Kurang efektif karena struktur engsel pendek
Produktifitas
Kuantitas terbatas jika digunakan tikus dan kelinci sebagai inang
Tinggi dengan kuantitas yang lebih besar dan durasi panjang Skalabilitas Relatif sulit Mudah dan praktis
Antibodi monoklonal Dikembangkan dengan baik Perlu pengembangan lebih lanjut
Supresi imun Beberapa produk sedang dikembangkan
Kemungkinan berguna untuk xenotransplantasi
Diagnostik
Digunakan secara luas, khususnya antibodi monoklonal
Berguna dan praktis untuk berbagai aplikasi
Pengobatan Berkembang baik
Akan dikembangkan lebih jauh seperti dalam pengobatan alternatif antibiotik
Kelebihan IgY Ayam Dibanding IgG Mamalia
Beberapa kelebihan IgY ayam dibanding IgG mamalia dari segi molekul antibodinya, yaitu :
1. Aviditas tinggi
Secara filogenik, ayam dengan mamalia jaraknya jauh. Perbedaan tersebut berpengaruh pada aviditas antibodi ayam yang tinggi terhadap protein mamalia yang terkonservasi. Dibanding dengan antibodi yang diproduksi mamalia, antibodi ayam dapat lebih mengenali lebih banyak epitop antigenik pada antigen mamalia (Haak 1994).
2. Reaksi silang dengan IgG mamalia rendah
Antibodi mamalia menunjukkan tingkat reaksi silang yang tinggi terhadap imunoglobulin mamalia. Misalnya IgG kelinci anti-manusia akan bereaksi silang terhadap IgG mamalia lain kecuali dengan IgG kelinci. Namun tidak akan bereaksi silang dengan IgY yang secara imunologis sangat berbeda dengan IgG mamalia. Dengan demikian IgY ayam dapat digunakan sebagai antibodi primer dan imunoglobulin Kelinci anti IgY ayam sebagai antibodi sekunder (Larson & Sjoquist 1998).
3. IgY tidak berkaitan dengan faktor rheumatoid
IgY ayam bereaksi dengan faktor rheumatoid (penanda respon inflamasi) dapat menghasilkan positif palsu seperti pada kasus pengujian serum pasien yang menderita penyakit autoimun. IgY yang tidak dapat bereaksi dengan faktor
rheumatoid memungkinkan hasil akurasi yang tinggi pada diagnostik (Davalos et al. 2000).
4. IgY tidak berikatan dengan protein A dan G
Protein A Staphylococcus dan protein G Streptococcus tidak dapat mengikat bagian Fc ayam. Hal ini memungkinkan anti-protein A dan anti-protein G dari ayam untuk bereaksi dengan protein A dan G. Kompleks protein A IgG dan protein G IgG dapat bereaksi dengan antibodi ini.
5. IgY tidak mengaktifkan faktor komplemen
Komplemen merupakan mediator terpenting dalam reaksi antigen antibodi dan terdiri atas sekitar 20 jenis protein yang berbeda satu dengan yang lain baik dalam sifat kimia maupun dalam fungsi imunologik. Komplemen mampu memacu
reaksi imunologik lain yang melibatkan aktifasi sel-sel efektor dengan cara berikatan dengan reseptor komplemen yang terdapat pada permukaan sel yang bersangkutan, atau memacu respon imun humoral yang lain (Kresno 2001).
Pemanfaatan IgY
Adanya IgY dalam telur memberikan prospek yang sangat berarti, bukan hanya bagi pemberian kekebalan pasif. Prinsip pengebalan pasif adalah transfer kekebalan terhadap beberapa penyakit dapat dilakukan dengan mengkomsumsi ”telur yang dibuat telah mengandung zat kebal” dan dipreparasi secara khusus. IgY unggas mengenal lebih banyak epitoip protein mamalia dibandingkan dengan imunoglobulin kelinci sehingga cocok untuk percobaan imunologi untuk protein mamalia (Schade et al. 1996).
Penggunaan IgY spesifik bukan hanya bermanfaat bagi tindakan profilaksis atau pengobatan, tetapi juga dapat dikembangkan untuk tujuan imunodiagnostik, seperti misalnya pembuatan konjugat untuk tujuan Western Blotting, ELISA dan reaksi imunopresipitasi (Haak 1994).
Keuntungan penggunaan telur sebagai sumber antibodi dibandingkan dengan mamalia adalah (1) satu butir telur menghasilkan IgY setara dengan IgG yang diambil dari 40 ml darah kelinci, (2) cara panennya sederhana, (3) pengambilannya tidak invansif dan tidak menyakiti hewan, (4) merupakan alternatif yang paling menjanjikan sebagai pengganti cara memproduksi IgG konvensional, (5) dapat dipanen tiap hari terus menerus, (6) tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia, karena jarak filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh, (7) telur dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu relatif lama, (8) menghasilkan respon imun yang lebih spesifik, dan (9) tidak memiliki efek samping, karena tidak bereaksi dengan IgG mamalia dan reseptor (Davalos et al. 2000).
Salmonella Enteritidis
Salmonella Enteritidis merupakan salah satu serotipe dari sekitar 2463 serotipe Salmonella baik pada hewan atau manusia. Serotipe ini ditunjukkan oleh adanya flagella dan fimbriae yaitu SEF 19, SEF 17, dan SEF 21 (Gambar 2).
Pada tahun 1888 Gartner pertama kali mengisolasi S. Enteritidis dari kotoran manusia yang terkena wabah keracunan daging di Frankenhausen, Jerman.
S. Enteritidis merupakan bakteri gram negatif, berdiameter 0.6 sampai 0.7 mm dan panjang 2 sampai 3 mm, bergerak dengan flagel peristik, soliter, berpasangan atau kadang membentuk rantai pendek. Pada media agar S. Enteritidis membentuk koloni yang memiliki diameter 2 sampai 4 mm ( Saeed 1999; Clark 2007).
Gambar 2 Salmonella Enteritidis (Clark 2007).
Keberadaan organisme ini dapat dideteksi dengan isolasi dan identifikasi menggunakan reaksi kimia. Gejala yang mungkin terlihat pada ayam yang terinfeksi adalah depresi, malas bergerak, diare, sayap terkulai, feses berwarna putih encer, kornea keruh dan bola mata mengalami perkejuan. Setelah nekropsi akan terlihat adanya perikarditis, periphepatitis, salphingitis, enteritis
hemoraghika, sekum membengkak, bercak nekrosis dan adanya lesio nekrotik
pada paru-paru, hati dan jantung (Lay 2000).
Keamanan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya penyediaan pangan hewan bagi konsumsi masyarakat, yang sangat erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Produk asal ternak unggas merupakan sumber utama Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia (Gast 2003). Kasus Salmonellosis pada manusia paling sering dilaporkan akibat mengkonsumsi daging, telur atau hasil olahannya (Pascual et al. 1999; Craven & Williams 1997).
Humprey (1998) menyatakan bahwa, meningkatnya konsumsi daging dan telur yang diikuti dengan peningkatan kasus Salmonellosis pada manusia dalam
beberapa tahun terakhir ini. Di Amerika Serikat sekitar 50% kejadian
Salmonellosis pada manusia disebabkan oleh bakteri S. Enteritidis,
S. typhimurium dan S. heidelberg (Pascual et al. 1999).
Di Indonesia, telah banyak dilaporkan kasus Salmonellosis yang disebabkan oleh Salmonella Enteritidis pada peternakan ayam broiler. Dari tahun 1990–1996 telah diisolasi S. Enteritidis dari sampel ayam yang dikirim ke Balai
Penelitian Veteriner Bogor (Purnomo & Bahri 1997). Sampai saat ini
S. Enteritidis telah diisolasi dari ayam (usapan rectal, usus/sekum, hati, limpa dan jantung), karkas, kuning telur, litter dan fluff (bulu-bulu halus dari mesin tetas). Salmonellosis juga dapat ditularkan oleh ayam ke telur secara trans ovarial, sehingga telur ayam dapat terkontaminasi Salmonella tanpa menimbulkan perubahan pada penampilan telur.
Daging dan telur ayam merupakan sumber protein hewani yang utama bagi masyarakat, yang sering tidak bebas dari bakteri ini. Lebih berbahaya lagi
S. Enteritidis dapat diisolasi dari kuning telur, padahal telur dan hasil olahannya sering disajikan dalam bentuk mentah atau setengah matang (seperti omelette, scramble dan mayonnaise). Ini menunjukkan bahwa infeksi S. Enteritidis masih merupakan ancaman bagi manusia. Jika dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang mencampurkan kuning telur ke dalam jamu, maka penularan langsung S. Enteritidis dari telur ke manusia sangat mudah terjadi.
Sejak tahun 1980-an, di beberapa negara telah dilaporkan terjadi kenaikan kasus salmonellosis yang disebabkan oleh S. Enteritidis pada ayam dan manusia (Rodrique et al. 1990; Adesiyun et al. 2000). Meningkatnya kasus Salmonellosis pada manusia disebabkan oleh infeksi S. Enteritidis karena mengkonsumsi makanan seperti ayam, telur dan hasil olahannya yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut (Craven and Williams 1997; Pascual et al. 1999; Ahmed et al. 2000). Meningkatnya kasus Salmonellosis pada manusia juga dilaporkan dari Amerika Serikat dan Canada (Ahmed et al. 2000; CCDR 1997; Riemann et al. 1998). Kenaikan kasus pada ayam dan telur juga dilaporkan dari Inggris, Korea, Wales, Amerika Serikat, Zambia dan Yunani (Chang 2000; Gast & Holt 2000; Hang’ombe et al. 1999) dan pada manusia dilaporkan dari Amerika Serikat dan Canada (Ahmed et al. 2000; CCDR 1997; Riemann et al. 1998). Disamping itu,
telah terjadi kenaikan resistensi S. Enteritidis terhadap antibiotika, seperti telah dilaporkan dari Taiwan dan Amerika Serikat (Su et al. 2002).
Patogenitas Salmonella Enteritidis
Salmonellosis dibagi dalam tiga tahap, yaitu (1) kolonisasi usus yang merupakan tahapan terpenting dalam proses ini. Kolonisasi usus terjadi karena adanya penambahan keseimbangan flora normal usus sehingga menghambat proses kolonisasi bakteri non patogen dan penurunan gerakan peristaltik sehingga memudahkan kolonisasi Salmonella (2) Perasukan lapisan epitel usus. Tahap ini terjadi pada bagian vili dari ileum dan kolon dengan melewati lapisan ”Brush Border” hingga sampai ke dalam sel lainnya, lalu melewati lamina propia dan terus berkembang yang diikuti proses fagositosis dan terperangkapnya mikroba dalam limfo glandula dan (3) Penggertakan pengeluaran cairan. Tahap ini terjadi akibat peningkatan aktivitas enzim adenil siklase oleh infeksi Salmonella dan akibat aktivasi enterotoksin Salmonella yang dapat menginduksi respon sekretori dari sel epitel usus, maka terjadilah akumulasi cairan dalam lumen usus (Lay & Hastowo 1992). .
Keparahan penyakit dipengaruhi oleh faktor antigen baik somatik maupun flagela, produksi toksin, kemampuan bertahan dalam pH asam dan suhu tinggi dari bakteri, jumlah bakteri dan kemampuan berinvansi serta berkolonisasi dalam jaringan. Faktor lain adalah kondisi inang, seperti stres dan lingkungan (Gast 2003).
Sistem Kekebalan yang Menanggapi Serangan Bakteri
Bila bakteri melekat pada permukaan mukosa usus, bakteri akan berhadapan dengan sel-sel imunitas. Bakteri akan didegradasi oleh makrofag dan menghasilkan reruntuhan (debris) yang akan dikeluarkan oleh makrofag, tetapi fragmen peptida dari protein bakteri akan ditransfer ke permukaan makrofag. Selanjutnya akan dibentuk kompleks peptida-MHC (Major Histocompability Complex). Kompleks ini akan menstimulasi sel T. helper yang akan menstimulasi sel B untuk membentuk antibodi (Bellanti 1993).
Saat ini dikenal dua macam antibodi yaitu antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal. Antibodi yang diperoleh dari hewan hiperimun dikenal antibodi poliklonal atau konvensional yang bersifat heterogen. Cara ini digunakan untuk memperoleh sejumlah besar antibodi terhadap antigen spesifik. Antibodi monoklonal merupakan produk klon tunggal sel ß yang mempunyai keseragaman struktur molekul. Antibodi monoklonal sudah luas digunakan untuk berbagai kepentingan yaitu untuk diagnosa (deteksi antigen atau antibodi baik secara in vitro maupun in vivo, terapi (pencegahan), pemurnian (koagulasi) dan penelitian (klasifikasi, taksonomi mekanisme) species bakteri dan studi biokimia (Macario & Macario 1985).
Adhesi
Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam kolonisasi bakteri tersebut pada permukaan sel inang. Adanya adhesi memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh inang sehingga mempermudah toksin yang dihasilkan bakteri untuk melekat pada reseptornya. Dalam adhesi dikenal dua bentuk pola adhesi yaitu (1) adhesi yang bersifat non spesifik, dan (2) adhesi yang bersifat spesifik (Christensen & Beachey 1984).
Perlekatan bakteri pada sel inang berfungsi sebagai menetap dan dapat merupakan langkah awal proses infeksi. Proses ini dipengaruhi oleh interaksi komponen permukaan bakteri dan sel inang dengan faktor lingkungan yang dapat mendukungnya seperti fibrinectin (suatu protein yang bersifat adhesif), fibrinogen,
vitronektin dan laktoferin (Mims 1982). Struktur yang mungkin bertanggung jawab terhadap sifat adhesi bakteri adalah adhesin fimbiriae, asam lipoteikoat dan protein adhesin. Interaksi yang terlibat dalam adhesin sebagian besar disebabkan oleh struktur permukaan hidrofob (Doyle & Rosenberg 1990).
Opsonisasi
Opsonisasi merupakan pengikatan partikel oleh suatu zat (oleh molekul Ig atau C3). Opsonisasi dipermudah dengan adanya reseptor untuk FC Ig dan C3 pada permukaan sel membran makrofag. Opsonisasi antigen oleh imunoglobulin meningkatkan fagositosis, mempermudah APC (Antigen Presenting Cell)
memproses dan menyajikan antigen ke sel T dan meningkatkan fungsi sel NK
(Natural Killer) dalam mekanisme antibodi dependent cytotoxicity (ADCC) (Kresno 2001).
Mekanisme opsonisasi dapat melalui beberapa cara yaitu (1) antibodi spesifik yang berfungsi sebagai opsonin, (2) ikut campurnya komponen C3b sistem komplemen, mirip dengan kemotaksis, dan (3) bantuan substansi yang berasal dari protein serum berupa heat-labile factor dan bersifat opsonin (Shwatz & Lazar 1980).
Fagositosis
Fagositosis adalah suatu proses penjeratan dan penghancuran benda asing yang dilakukan oleh sel-sel fagositik dan merupakan sistem pertahanan inang. Terdapat dua tipe sel fagositik yaitu sel leukosit polimorf
(Polymorphonuclear/netrofil) dan sel mononuclear fagosit (makrofag). Banyak faktor yang mempengaruhi proses fagositosis antara lain pergerakan sel fagositik karena rangsangan benda asing dan kerentanan benda asing untuk difagositasi (Kuby 1997). Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai Desember 2006 di Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium Terpadu, Laboratorium Bakteriologi, Laboratorium Produksi Bahan Biologis dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Preparasi Antigen S. Enteritidis
Bakteri S. Enteritidis rujukan ATCC 130706 dan lokal 821/94 ditumbuhkan pada media BHI dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl fisiologis, disentrifugasi pada 10 000 rpm 10 menit, dilakukan 2 kali. Pelet dilarutkan dalam 5 ml NaCl fisiologis, dihomogenkan dan diukur pada Ȝ 620 nm dengan transmisi 10% konsentrasi selnya untuk menentukan kandungan bakteri 109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas air pada suhu 56 oC selama 60 menit, didinginkan dan siap digunakan sebagai vaksin untuk memproduksi antibodi.
Produksi Antibodi
Ayam petelur Single Comb Brown Leghorn berumur 24 minggu diinjeksi dengan 0.5 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis secara intravena (Carlander 2002) selama tiga hari berturut-turut. Kemudian dilanjutkan dengan menyuntik 1 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis dalam Freund’s adjuvant complete pada minggu II , serta 1 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis dalam Freund’s adjuvant incomplete pada minggu III dan IV secara intramuskular (Wibawan & Laemmler 1992). Satu minggu setelah penyuntikan terakhir dilakukan panen serum dan keberadaan antibodi diuji dengan uji Agar Gel Prepisipitasi (AGP). Telur-telur yang memiliki antibodi terhadap S. Enteritidis dikoleksi dan disimpan dalam suhu 4 oC.
Persiapan Antigen Untuk Uji Agar Gel Presepitasi (AGP)
Bakteri S. Enteritidis ditumbuhkan pada media BHI, diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama
10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl fisiologis, disentrifugasi pada 10 000 rpm dilakukan 2 kali. Pelet dicuci, ditambah 0.5 ml HCl 0.2 N dan
ditangas dalam penangas air dengan suhu 56 oC selama 1 jam. Kemudian ditambah satu tetes phenol red dan ditambah NaOH 1 N hingga berwarna merah. Suspensi disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit, dilakukan 2 kali. Supernatan digunakan sebagai antigen (Wibawan & Laemmler 1992).
Pengujian IgY anti S. Enteritidis dengan Uji AGP
Agar dibuat dengan melarutkan 0.4 g agarose dan 1.2 g Poly Ethylene Glycol 6000 dalam 20 ml akuades dan 25 ml PBS 0.5 M pH 7.4. Campuran dididihkan pada suhu 70 sampai 80 oC hingga larut. Campuran dipipet sebanyak 3.75 ml, dituangkan pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian dibuat sumur-sumur dengan puncher. Pada sumur tengah dimasukkan antigen (25 ȝl) dan 25 ȝl antibodi (IgY) dari serum pada sumur sekelilingnya. Gelas obyek diletakkan di atas kertas saring basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 sampai 48 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis prepisitasi pada daerah antigen tersebut.
Ekstraksi IgY dari Kuning Telur Ayam
Kuning telur dipisahkan dari bagian putih telur, dan dicuci dengan air deionisasi. Kuning telur diletakkan di atas kertas saring untuk menghilangkan putih telur yang melekat. Membran kuning telur dilubangi dengan cara diangkat dengan pinset, cairan kuning telur ditampung pada gelas beaker dan dilarutkan secara perlahan dalam milli-Q pH 4. Setelah homogen ditambahkan lagi milli-Q pH 2 hingga pH suspensi 5.0 sampai 5.2 dan diinkubasi pada suhu 4 oC minimal 12 jam. Suspensi disenrifugasi dengan kecepatan 4 880 rpm pada suhu 4 oC selama 20 menit dan supernatan diambil (Water Soluble Fractination) serta dikembalikan hingga pH 7.5.
WSF dipekatkan dengan PEG 6000 dan amonium sulfat. WSF ditambahkan PEG 6000 sehingga kosentrasi akhir 12% (w/v). Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 3 000 rpm selama 15 menit suhu 20oC. Pelet ditambahkan dengan