• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.4 Citra Perempuan dalam Iklan

Iklan sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak maupun elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi

simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.

Perempuan dalam iklan yang sering kali dibahas, acap kali menimbulkan polemik pro-kontra. Karena keindahannya, tidak bisa dimungkiri perempuan sering ditampilkan dalam iklan, meskipun terkadang kehadirannya terasa agak diada-adakan.

Karena keindahannya pula, untuk iklan sebuah produk yang bobot kehadiran tokohnya sama antara pria dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih. Kriterianya antara lain karena keindahannya, perempuan sering menjadi sumber inspirasi, termasuk dalam melahirkan sebuah produk.

Keindahan yang dimiliki perempuan dalam kesehariannya, membentuk stereotype (keseragaman) dan membawa mereka kepada sifat-sifat di sekitar keindahan itu. Antara lain, perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas dan menjadi sumber pengetahuan dan moral keluarga, " penjaga nilai halus dan adiluhung" di rumah. Perempuan juga sering disebut sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, anggun, pandai memasak, lebih emosional, fisik kurang kuat, lincah, keibuan, manja, tidak bernalar, bergantung, pasif, lemah, penakut, digambarkan sebagai objek seksual, dengan menekankan pada figur dan pakaian cantik.

mengambarkan perbedaan gender seperti yang diuraikan di atas yang sering kali menjadi ide sentral dan citra perempuan dalam berbagai iklan. Sedemikian kuatnya citra perempuan dalam konstruksi tradisional, sehingga dikatakan perempuan adalah mahluk yang dimaksudkan untuk dilihat, bukan untuk didengar. Berbeda dengan pria, perempuan kebanyakan ditandai dengan gaya rambut, mode pakaian, make up wajah dan aksesoris lain. Setiap aspek fisik dalam diri perempuan membawa maknanya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan pria. Umumnya pria mempunyai gaya yang standar contohnya, seperti mengenakan celana gelap dengan pakaian yang lebih terang dan gaya rambut standar.

Perempuan selalu ditampilkan menarik secara visual, padahal belum tentu demikian kebenarannya. Hal-hal yang berkaitan dengan visual inilah yang menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda-beda pula terhadap citra seorang perempuan. Berdasarkan berbagai alasan di atas, maka iklan pun banyak yang menggunakan perempuan sebagai modelnya, karena tampaknya iklan dipercaya akan mampu mendapatkan pengaruh bila menggunakan wanita sebagai salah satu ilustrasi atau modelnya, bahkan sekalipun produk tersebut bukan dimaksudkan untuk digunakan oleh perempuan. Dalam disertasinya yang menganalisa sekitar 300-an iklan cetak, Tamrin Amal Tomagola menyimpulkan bahwa perempuan dalam iklan Indonesia lebih banyak digambarkan dalam sosok tradisional. Iklan yang mengetengahkan keseteraan gender masih terlalu sedikit. Bias gender masih lebih mendominasi. Dalam penelitiannya,

Tomagola menyimpulkan bahwa wanita dalam iklan dikelompokkan dalam 5 kategori citra, yaitu citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan.

Standar kecantikan adalah merupakan salah satu contoh nyata sistem nilai yang berubah karena iklan. Pada era tahun 1960 hingga tahun 1970-an, perempuan cantik adalah sosok yang memiliki tubuh kurus, dengan kulit hitam dan rambut berombak. Ida Royani merupakan salah satu ikon yang pas untuk menggambarkan perempuan cantik pada era itu. Standar kecantikan kemudian berubah. Pada tahun 1980 dengan dipelopori oleh iklan, kecantikan diubah dalam standar baru. Mereka yang disebut cantik adalah perempuan yang memiliki kulit halus dan lembut. Pembangunan standar baru kecantikan tersebut sedemikian rupa sangat impresif, sehingga membuat kaum perempuan mengikuti anjuran iklan. Atas rayuan iklan tersebut, masyarakat pun menganut standar kecantikan yang baru, hal inilah yang dimaksud oleh penulis bahwa mitos/ standar kecantikan lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi, dibandingkan oleh faktor kultural, dan hal ini pulalah yang menjadikan standar kecantikan terus berubah dari waktu ke waktu.

Pada tahun 1990-an, disampaikan standar kecantikan baru perempuan. Dikatakan oleh iklan, seseorang yang cantik adalah mereka yang memiliki tubuh ideal dengan lekuk tubuh yang jelas, kulit putih, tidak sekedar halus dan lembut. Melalui berbagai media iklan, disampaikan bahwa kulit yang lebut dan halus tidak cukup untuk disebut

sebagai perempuan yang cantik. Iklan - iklan produk pemutih wajah ramai membujuk perempuan agar memutihkan kulit, khususnya wajah. Melalui iklan pula digambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit yang putih, tidak lagi hitam. Perempuan yang berkulit coklat apalagi yang berkulit hitam dibangkitkan perasaan akan kekurangan dirinya, sehingga mau mengikuti saran iklan, yakni memutihkan kulit mereka, tentu saja dengan menggunakan produk yang diiklankan.

Dan akhirnya, pada awal tahun 2000-an hingga saat ini, perempuan sudah terkonstruksi pada standar kecantikan baru bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih, inilah salah satu contoh iklan kembali membangun standar baru kecantikan bagi perempuan. Diteriakkan berulang - ulang melalui iklan, bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki tidak sekedar kulit putih, namun kulit yang " bersinar". Standar kecantikan menjadi lebih rumit, penuh dengan imanjinasi yang kompleks. Standar kulit tidak lagi hanya perubahan warna secara fisik dari hitam atau coklat menjadi putih. Tetapi dari putih biasa menjadi putih bersinar.

Pada akhirnya, sebaiknya iklan secara umum dan iklan kosmetik khususnya tidak hanya mengekploitasi tubuh kaum perempuan saja, atau hanya dijadikan sebagai objek. Iklan seharusnya dapat memberikan inspirasi kepada kaum perempuan mengenai hal- hal lain yang tidak bersifat kepada persoalan fisik saja, seperti masalah pendidikan, masalah

sosial dan lain sebagainya.

Dokumen terkait