• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra sebagai Jatidiri Arsitektur Indonesia

Dalam dokumen JATIDIRI ARSITEKTUR INDONESIA (Halaman 141-149)

YB Mangunwijaya seorang arsitek lulusan Jerman berpikir bahwa sudah saatnya merubah cara pandang terhadap Arsitektur Indonesia. Pernyataannya amatlah jelas bahwa arsitektur ’barat’ bukan satu-satunya “kebenaran arsitektur”. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran tentang arsitektur memberikan wacana yang berbeda-beda. Arsitektur memiliki keragaman dan konteks yang saling berbeda sehingga pemikiran arsitektur tidak selalu harus berorientasi ke pada arsitektur

12

3

yang memiliki ciri Eurocentris. Mangunwijaya menyodorkan sebuah konsep ’vastu’ sebagai pendamping arsitektur versi ’barat’ [Prijotomo, 2007]. Pernyataan inilah yang menegaskan bahwa arsitektur ’barat’ berbeda dengan arsitektur ’Nusantara’. Mangunwijaya merupakan sosok pertama yang berpandangan demikian. Ia tidak menolak arsitektur barat melainkan menjadikan arsitektur Nusantara sebagai sebuah pengkayaan dari arsitektur barat. Arsitektur sebuah kata yang berasal dari akar kata Yunani, yakni arche yang berarti sejati dan tecton yang berarti stabil, kata arsitektur ini berawal dari satu lingkungan yang memikirkan sebuah bangunan yang kokoh, kuat dan stabil, tahan terhadap cuaca dan iklim empat musim. Dengan demikian maka pengertian arsitekturnya menunjuk pada sudut pandang teknis statistika bangunan, seperti yang dituliskan dalam buku Wastu Citra [2009]. Mangunwijaya juga menuliskan tentang kebiasaan orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan tentang sebutan arsitek yang biasa disebut magister operis [guru atau ahli karya] atau magister lapidum [guru atau ahli batu]. Pada waktu ituarsitek menduduki profesi politik yang tinggi dan bergengsi. Ukuran kebesaran sang maharaja selalu diukur dari keindahan dan kemegahan bangunan-bangunan istana dan gedung-gedung negara.

Pengertian arsitektur dalam pemahaman ’timur’ menurut Mangunwijaya dimulai dari manusianya yang berbudaya dan bernorma. Pengertian arsitektur dalam bahasa Jawa Kuno dikenal sebutan vastu atau wastu yang berarti norma, tolok ukur dari hidup susila, hidup secara betul, pegangan normatif semesta yang sudah mengambil wujud dan bentuk, yang merupakan kongkritisasi dari ’yang mutlak’. Oleh karena itu ilmu bangunannya disebut dengan Vastuvidya

12

4

atau Wastuwidya. Dengan demikian maka wacana Arsitektur untuk pengertian Indonesia lebih menunjuk pada nilai-nilai sosial kemanusiaan. Bahkan pada puncaknya Mangunwijaya mengatakan bahwa arsitektur adalah sebuah bahasa. Bila berarsitektur artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan material dan suasana tempat, maka sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik. [Mangunwijaya, 2009].

Seperti telah dijelaskan di atas pengertian arsitektur menurut Mangunwijaya adalah termasuk di dalamnya tentang tolok ukur dari hidup susila, berarsitektur adalah berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan demikian maka sebuah karya arsitektur tidak sekadar hasil secara fisik, tetapi bagaimana suasana itu tercipta sehingga hasilnya merupakan refleksi dan jatidiri dari penciptanya. Butiran penting ini seperti yang dikemukakan oleh oleh Mangunwijaya sebagai berikut:

”Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan”[Mangunwijaya, 2009; 459].

Pendapat ini lebih ditegaskan lagi ketika Mangunwijaya mengemukakan bahwa jatidiri Arsitektur di Indonesia haruslah sesuai dengan jiwa dan tipikal manusianya. Manusia Indonesia oleh Mangunwijaya dianggap sebagai manusia agraris, biasa tampil sederhana tetapi mempunyai kepribadian yang kuat

12

5

haruslah menjadi dasar berarsitektur. Perihal yang sama seperti ini pula yang dituturkan oleh Prawoto [2013]sebagai berikut:

“Sederhana, membumi, namun bersahaja dan menampilkan jatidiri keindonesiaan yang begitu kuat. Tipikal karya arsitektur berjatidiri yang dewasa ini semakin susah ditemui di negeri kita Indonesia”.

“Bagi YB Mangunwijaya, arsitektur ialah sarana untuk memanusiakan manusia, memerdekakan manusia, menyadari keadaan diri, harga diri, dan jatidiri diri sehingga kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain secara setara,” ujarnya.

Pemikiran Mangunwijaya dalam menghadirkan nilai lokalitas yang menjadi dasar untuk memperlihatkan jatidiri adalah dengan memanfaatkan dan mengangkat martabat alam sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan situasi yang ingin dicapai. Mangunwijaya berpendapat bahwa nilai lokalitas merupakan syarat mutlak yang harus dikenali, karenanya problem ini menjadi penting agar arsitektur yang dirancang bukan arsitektur yang pongah dan sombong, sehingga ia akan kehilangan orientasi dan menjadi asing di lingkungannya. Seperti yang ia pikirkan dan tuliskan dalam bukunya sebagai berikut [Mangunwijaya, 2009; 438]:

“Menciptakan arsitektur adalah memanfaatkan dan mengangkat martabat alam. Menurut kebutuhan dan situasi kondisi. Kita dapat belajar dari alam itu sendiri dan pengolahan alam itu oleh para petani dan mereka justru tidak berniat langsung eksplisit membuat arsitektur.”

Pemikiran terhadap lokalitas untuk sebuah jatidiri atau karakter yang tercermin dalam citra arsitekturalnya ia nyatakan dalam konsep karya nyatanya di

12

6

Sendangsono. Konsep totalitas kehidupan [lebensanschauung] lokal dan estetika merupakan sebuah citra arsitektural yang memperhitungkan potensi setempat untuk mencapai karakter sebuah tempat penziarahaan Indonesia yang berjiwa Katolik sekaligus Jawa [Mangunwijaya,1995]. Dengan kata lain lokal dalam pemikiran Mangunwijaya adalah :

”[1] setempat yang dapat memberikan karakter, [2]merupakan citra arsitekturalnya, [3] menghargai alam lingkungannya.”

Latar belakang budaya juga menjadi pedoman untuk berarsitektur yang berjatidiri, karena budaya adalah cerminan nilai kepekaan dan kepedulian terhadap alam sekelilingnya. Seperti pemikiran Mangunwijaya yang dinyatakan sebagai berikut:

”Manusia bersatu dengan alam dan bersatu hukum dengan dunia semesta fisik di kelilingnya, tetapi sekaligus mengatasi flora, fauna dan alam materi belaka. Hakekat dan tugas budaya arsitekturalpun di situlah: bagaimana bersatu hukum dengan alam semesta, sekaligus mengatasinya; artinya berbudaya dan bermakna” [Mangunwijaya, 2009;14].

Berkaitan dengan budaya dan lingkungan sosial, Mangunwijaya selalu menanyakan terhadap kebenaran dan keindahan yang ia percayai sebagai sebuah konsep yang sangat relevan dalam pembentukan jatidiri untuk karya arsitektural. Ia menyatakan:

”Arsitektur jangan dibatasi sebagai seni membangun bangunan individu, tetapi harus juga diperluas menjadi semua macam

12

7

perencanaan kota dan wilayah yang menguntungkan anggota masyarakat”[Purwestri & Widyarta, 2012;128].

Dengan demikian arsitektur [Indonesia] bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan individu, tetapi lebih pada kepentingan masyarakat, sehingga arsitektur yang merupakan representasi masyarakat merupakan sebuah arsitektur yang berjatidiri.Secara khusus Mangunwijaya yang belajar tentang fisika bangunan [salah satu bukunya yang membahas tentang fisika bangunan dikatakannya sebagai pendamping yang melengkapi buku berikutnya yang berjudul Wastu Citra] sangat memperhatikan potensi lingkungan alam. Ia menyadari bahwa masalah fisik, klimat, bahan bangunan, harus diperhatikan agar bisa mendapatkan kualitas kenyamanan yang tak teraba secara baik. Untuk menyikapi alam dan lingkungan sekitar Mangunwijaya mengemukakan sikap kritisnya terhadap tata cara membangun. Dalam tata bangunan yang berada pada iklim tropis lembab, Mangunwijaya [2009; 154] mengatakan:

”... rumah panggung atau rumah kolong benar-benar merupakan penyelesaian soal yang berkualitas tinggi. Pertama ia sehat, tidak langsung terkena kelembaban dan serangan binatang-binatang yang mengganggu, bahkan membahayakan; jadi higenis. Kedua dari fisika bangunan, hal itu sangat melindungi bangunan terhadap tropika yang amat ganas dan mudah membusukan bangunan. Apalagi dalam daerah-daerahbanjir yang tidak pernah henti. Selain itu rumah bersistem rumah panggung kebal terhadap gempa bumi.”

Prinsip ketahanan bangunan dan kesehatan ruangan di dalam rumah tinggal merupakan salah satu dari paparan di atas yang penting untuk pertimbangan

12

8

dalam mendapatkan jatidiri arsitektur.Dalam setiap perancangan, aspek estetika arsitektur selalu dikaitkan dengan teknologi sebagai masalah yangutama dan akhirnya akan mengaitkannya dengan persoalan tektonika dan konstruksi bangunan. Teknologi konstruksi menurut Mangunwijaya tidak pernah berdiri sendiri apalagi dalam tingkatan perancangan yangterkait dengan seni membangun selalu menjadi merumit dan kompleks seperti tuntutan pada masa sekarang ini.

”Teknologi hanya bisa berjalan bersama dengan saudara-saudara sekandungnya: ilmu pengetahuan, industry dan bisnis.” [Mangunwijaya, 1999;225].

Oleh karena itu teknologi turut memberikan andil besar, untuk tidak dikatakan sebagai yang paling penting, dalam pembentukan sebuah karya arsitektur terutama ketika teknologi berhubungan dengan material dan pengetahuan masyarakat. Pemikiran terhadap teknologi dalam menyelesaikan sebuah karya arsitektur sangat tergantung pada pengetahuan dan ketrampilan para pelaku pembangunan. Mangunwijaya berpendapat bahwa penyelesaian detil yang bertanggung jawab secara konstruktif, akan memberikan keindahan yang jujur sekaligus memberikan ciri yang akhirnya akan merupakan sebuah jatidiri dari karya arsitektur tersebut.

Penjelasandi atastersebut amatlahpenting bahwa menurut Mangunwijaya konsep arsitektur Indonesia merupakan sebuah pendamping dan pengkayaan dari arsitektur Erorika. Artinya Mangunwijaya tidak menolak pemikiran dan konsep arsitektur ’barat’, ia menekankan pemahaman tentang arsitektur

12

9

’timur’[Indonesia] adalah ’vastu’ yang mempunyai pengertian jauh lebih dalam dari sekadar arsitektur ’barat’ itu sendiri. Arsitekturharuslah merupakan cerminan dari siapa yang membangun dan memilikinya, dimana ia tinggal, berasal dan bagaimana lingkungan alam sekelilingnya akan membentuk citra kediriannya sehingga merupakan jatidirinya yang menjadi sesuatu nilai yang sangat berharga dan sangat mendasar dalam dunia arsitektur. Pernyataan-pernyataan di atas menyiratkan sebuah pemikiran tentang alam, budaya, makna, sederhana, bersahaja untuk menciptakan suasana yangbernilai dan akhirnya memberikan karakter sesuai dengan potensi lokal sekaligus mencitrakan sebuah jatidiri. Keindonesiaan dicari dengan mengangkat dan mengejawantahkan totalitas kehidupan lokal [Gambar 3.7]:

130

Dalam dokumen JATIDIRI ARSITEKTUR INDONESIA (Halaman 141-149)

Dokumen terkait