• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marker 1 kb (M), Berastagi (BR), Kampar (KM), Muaro Jambi (MJ), Tulang Bawang Barat (TB), Garut (GR),

Jember (JM), Batu – Malang (MG), Bangli (BG), TTS (TS), Banjarbaru (BB), Banjarmasin (BM) dan isolat

P. citrophthora asal TTS (Pc)

Ukuran produk hasil PCR tersebut sesuai dengan yang diharapkan seperti yang dilaporkan oleh Slippers et al. (2005) yang memperoleh ukuran DNA Botryosphaeria sp. sebesar 550 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4; Begoude et al. (2009) memperoleh ukuran DNA Botryosphaericeae yang bersasosiasi dengan Terminalia catappa sebesar ~580 bp jika diamplifikasi menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4; Ippolito et al. (2002) memperoleh ukuran DNA Phytophthora spp. sebesar 700 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS4 dan Ph2; Silvar et al. (2005) memperoleh ukuran sebesar 700 bp untuk DNA semua anggota ordo Peronosporales misalnya Phytophthora, Pythium dan penyebab downy mildews jika menggunakan pasangan primer DC6 dan ITS4. Perbedaan ukuran fragmen antara B. theobromae dan P. citrophthora disebabkan oleh adanya variasi panjang pendeknya daerah ITS pada masing-masing rDNA cendawan. Daerah ITS sebagai daerah yang tingkat konservasinya rendah sedangkan daerah sub unit kecil 18S, 5.8S, sub unit besar 28S dan 5S diketahui

M BR KM MJ TB GR JM MG BG TS BB BM M Pc

B. theobromae

P. citrophthora

sebagai daerah yang sangat konservatif pada rDNA yang mempunyai sekuen hampir pasti sama di antara organisme (Darmono et al. 2006). Walaupun demikian identifikasi dengan teknik PCR harus dilanjutkan dengan tahapan perunutan nukleotida (sekuensing) untuk memastikan identitas cendawan yang teramplifikasi.

Perunutan Nukleotida (Sekuensing)

Hasil perunutan nukleotida telah diperoleh untuk 10 isolat sampel DNA B. theobromae yang diamplifikasi dengan PCR (Tabel 5). Hasil perunutan

tersebut digunakan untuk analisis penjajaran dengan program BLAST untuk mengetahui identitas B. theobromae. Hasil analisis nukleotida menunjukkan bahwa sekuen kesepuluh isolat penelitian mempunyai kemiripan yang tinggi

(lebih dari 90%, e-value 0.0) dengan isolat cendawan B. rhodina dan L. theobromae (Tabel 6). Clavarie & Notredame (2003) menyatakan bahwa dua

gen atau fragmen DNA dikatakan homolog jika 70% urutan nukleotida atau 25% urutan asam aminonya identik, dengan panjang urutan minimal 100. Berdasarkan hasil analisis penjajaran dengan program BLAST maka dapat dipastikan bahwa produk PCR kesepuluh isolat target asal jeruk dari lokasi yang berbeda adalah B. theobromae (sinonimnya L. theobromae; teleomorp B. rhodina). Hal ini berarti bahwa hasil identifikasi yang telah dilakukan berdasarkan karakter morfologi sudah tepat. Sekuen nukleotida B. theobromae yang tersimpan di

GeneBank menggunakan nama teleomorphnya yaitu B. rhodina dan L. theobromae (sinonim dari B. theobromae). Hal ini terjadi karena sekuen

nukleotida tersebut umumnya berasal dari negara subtropis yang memungkinkan ditemukannya fase seksual (teleomorp) patogen untuk bertahan pada kondisi tertekan (stress), antara lain karena temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, kekeringan yang sangat ekstrim dan ada atau tidaknya tumbuhan inang.

Untuk analisis kekerabatan (filogenetik), masing-masing runutan nukleotida isolat yang ditemukan pada penelitian ini dan runutan beberapa famili Botryosphaeriaceae yang dipilih dari GeneBank (Tabel 7) disejajarkan menggunakan software ClustalW (http://www.ebi.ac.uk) kemudian hasil penjajaran nukleotida ditransfer ke Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007) untuk

menghasilkan penjajaran final (Lampiran 8) yang digunakan untuk membuat pohon filogenetik. Hasil penjajaran nukleotida menunjukkan bahwa kesepuluh isolat penelitian tidak memiliki kesamaan dengan outgroup dan sembilan isolat cendawan dari famili Botryosphaeriaceae yang terpilih dari GeneBank tetapi hanya memiliki kesamaan antar isolat penelitian saja. Hal ini diindikasikan dengan kolom-kolom nukleotida yang tidak terkonsentrasi dengan baik (Lampiran 9).

Tabel 5 Daftar hasil runutan nukleotida isolat penelitian dari tanaman jeruk

No Isolat Lokasi Fragmen (bp)

1 B. theobromae Berastagi (Sumatera Utara) 542 2 B. theobromae Kampar (Riau) 602 3 B. theobromae Muaro Jambi (Jambi) 537 4 B. theobromae Tulang Bawang Barat (Lampung) 535 5 B. theobromae Garut (Jawa Barat) 570 6 B. theobromae Jember (Jawa Timur) 420 7 B. theobromae Batu – Malang (Jawa Timur) 527 8 B. theobromae Bangli (Bali) 559 9 B. theobromae TTS (NTT) 513 10 B. theobromae Banjarbaru (Kalimantan Selatan) 555 11 B. theobromae Banjarmasin (Kalimantan Selatan -*) 12 P. citrophthora Oehala (TTS – NTT) -**) *) tidak ada data nukleotida karena kualitas DNA yang rendah

**) tidak ada fragmen kemungkinan DNA terkontaminasi dengan cendawan lainnya

Tabel 6 Hasil analisis BLAST sekuen sepuluh isolat penelitian No. aksesi Spesies Asal

aksesi Inang

% homologi*)

Asal isolat EU938329.1 B. rhodina Brazil Mangga 100 Banjarbaru EU938329.1 B. rhodina Brazil Mangga 100 Bangli EU938329.1 B. rhodina Brazil Mangga 100 Berastagi EU938329.1 B. rhodina Brazil Mangga 99 Tulang

Bawang Barat FJ904838.1 L. theobromae Kenya Mimba 100 Muaro Jambi FJ904838.1 L. theobromae Kenya Mimba 99 Kampar EU938331.1 B. rhodina Brazil Mangga 100 Batu-Malang EU938332.1 B. rhodina Brazil Mangga 98 TTS

GQ502460.1 L. theobromae Taiwan Mangga 100 Garut HM008598.1 L. theobromae Taiwan Alpukat 99 Jember *)

Tabel 7 Daftar runutan nukleotida yang digunakan untuk analisis kekerabatan Outgroup dan Famili

Botryosphaeriaceae No. Aksesi

Asal aksesi

(tahun) Inang

Ukuran Fragmen

(bp) Polymyxa graminis EU244488.1 Switzerland (2007) Gandum 610 Lasiodiplodia sp. GU066721.1 Malaysia (2010) Jeruk 545 Botryosphaeria parva EF173922.1 Australia (2007) Jeruk 515 Botryosphaeria sp. GU066640.1 Malaysia (2009) Jeruk 548 L. pseudotheobromae EF622081.1 Suriname (2008) Jeruk 542 Lasiodiplodia sp. AB297716.1 Kaltim-Indonesia

(2007)

Meranti 539 Sphaeropsis sapinea AY253294.1 Sumut-Indonesia

(2003)

Pinus 504

B. rhodina EU407235.1 China (2008) Nangka 542 L. theobromae GQ502461.1 Taiwan (2009) Mangga 533 L. theobromae GU066603.1 Malaysia (2009) Sirsak 545

Hasil analisis kekerabatan menunjukkan hubungan kekerabatan isolat- isolat B. theobromae dari 10 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia berbeda atau terpisah dengan 10 isolat yang terpilih dari GeneBank tersebut sehingga terbagi menjadi dua kelompok utama (Gambar 15). Isolat dari Indonesia membentuk kelompok tersendiri pada kelompok pertama sedangkan B. parva_Australia_jeruk [EF173922.1], Sphaeropsis sapinea_ Sumut-Indonesia_pinus [AY253294.1], Lasiodiplodia sp._Kaltim-Indonesia_meranti [AB297716.1], Lasiodiplodia sp._Malaysia_jeruk

[GU066721.1], L. theobromae_Malaysia_sirsak [GU066603.1], B. rhodina_China_nangka [EU407235.1], Botryosphaeria sp._Malaysia_jeruk

[GU066640.1], L. theobromae_Taiwan_mangga [GQ502461.1], dan L. pseudotheobromae_Suriname_jeruk [EF622081.1] berada pada kelompok

kedua. Isolat dari Indonesia sendiri terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari Muaro Jambi, Jember dan Kampar, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Bangli, TTS, Batu – Malang, Banjarbaru, Berastagi, Garut dan Tulang Bawang Barat. Dari hasil analisis identitas matriks menunjukkan sesama isolat Indonesia sendiri mempunyai kesamaan yang tinggi ditunjukkan dengan nilai kesamaannya >90% (Tabel 8), sedangkan jika dibandingkan dengan isolat-isolat dari GeneBank, ternyata isolat Indonesia mempunyai nilai kesamaan yang sangat rendah (<50%).

Gambar 15 Filogeni sekuen isolat B. theobromae hasil penelitian dibandingkan dengan beberapa famili Botryosphaeriaceae dari jeruk dan beberapa inang yang lain asal beberapa wilayah di Asia. Polymyxa graminis dengan nomor aksesi EU244488.1 digunakan sebagai outgroup. Angka pada percabangan menunjukkan tingkat kepercayaan perpisahan cabang

Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Prof. Dr. Ir. Meity S. Sinaga, M.Sc, pengelompokan pada isolat B. theobromae dari 11 lokasi di Indonesia sesuai dengan asal daerah bibit jeruk. Misalnya pada sentra produksi Kampar dan Muaro Jambi, bibit jeruk berasal dari Jember; Banjarbaru, Berastagi dan Tulang

Bawang Barat, bibit jeruk berasal dari Garut; TTS mengambil bibit jeruk dari Malang atau disiapkan di TTS dengan bantuan teknisi dari Malang;

sedangkan Bangli, bibit berasal dari daerah itu sendiri karena ada larangan Garut Banjarbaru Kintamani Malang Berastagi Soe Lampung Kampar Jambi Jember BP Australia jeruk SS Sumut pinus L Kaltim meranti L Malaysia jeruk LT Malaysia sirsak BR China Artocarpus B Malaysia jeruk LT Taiwan mangga LP Suriname jeruk PG Switzerland gandum Muaro Jambi

Tulang Bawang Barat TTS

pengambilan bibit dari luar daerah. Perbedaan yang terjadi antara isolat penelitian dari Indonesia dan isolat-isolat yang tersimpan di GeneBank menggambarkan kemungkinan telah terjadinya evolusi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini mungkin terjadi karena pada dasarnya B. theobromae merupakan cendawan dari kelas Deuteromycetes yang relatif mudah melakukan perubahan genetik yang akan membentuk ras baru. Perubahan atau evolusi tergantung pada waktu generasi, jumlah unit reproduksi yang dibentuk per generasi, mekanisme keragaman genetik dan tekanan ekstrim untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Agrios 2005). Perubahan-perubahan yang terjadi pada patogen dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan sifat patogenisitasnya, dengan demikian pada suatu saat akan dapat terbentuk suatu ras baru yang lebih virulen dan dapat menyerang varietas inang yang resisten atau sebaliknya dapat terbentuk ras patogen yang avirulen (Sinaga 2006).

Tabel 8 Identitas matriks isolat-isolat penelitian dibandingkan dengan outgroup dan isolat dari GeneBank Sekuen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 Garut 2 Tulang Bawang 0.94 3 Berastagi 0.94 1 4 Banglitamani 0.94 1 1 5 Malang 0.94 1 1 1 6 Muaro Jambi 0.94 0.99 0.99 0.99 0.99 7 Kampar 0.93 0.99 0.99 0.99 0.99 1 8 Jember 0.92 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 9 Banjarbaru 0.94 1 1 1 1 0.99 0.99 0.98 10 Soe 0.91 0.97 0.97 0.97 0.97 0.96 0.96 0.97 0.97 11 L_Malaysia_Jeruk 0.34 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 12 BR_China_Nangka 0.34 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 1 13 LT_Malaysia_sirsak 0.34 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 1 1 14 B_Malaysia_jeruk 0.33 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 0.32 0.31 0.99 0.99 0.99 15 LT_Taiwan_mangga 0.33 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 0.32 0.31 0.99 0.99 0.99 1 16 LP_Suriname_jeruk 0.33 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 0.32 0.31 0.99 0.99 0.99 1 1 17 L_Kaltim_meranti 0.34 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 1 1 1 0.99 0.99 0.99 18 BP_Australia_jeruk 0.36 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.82 0.82 0.82 0.81 0.81 0.81 0.82 19 SS_Sumut_pinus 0.36 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.33 0.89 0.89 0.89 0.89 0.88 0.89 0.89 0.86 20 PG_Switzerland_gandum 0.34 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.49 0.49 0.49 0.49 0.49 0.49 0.49 0.51 0.51

Uji Patogenisitas

Uji patogenisitas yang dilakukan di rumah kasa memperlihatkan perkembangan gejala yang positif meskipun perkembangan gejalanya sangat lambat. Pada permukaan batang, umumnya gejala terlihat kurang jelas, tetapi bila pada titik inokulasi disayat, terlihat perbedaan yang jelas antara perlakuan dengan patogen dan kontrol. Gejala terlihat lebih jelas lagi bila disayat sampai permukaan jaringan kayu. Pada perlakuan patogen terjadi nekrosis beberapa milimeter, sedangkan pada kontrol tidak ada gejala (Gambar 16).

Gambar 16 Gejala pada uji patogenisitas. Nekrosis pada permukaan jaringan kayu (A), tidak ada gejala (B). (Foto oleh Tri Maryono)

Menurut Umezurike (1979), nekrosis yang terjadi karena adanya aktivitas patogen yang menghasilkan enzim selulolitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada jaringan kayu bibit jeruk sehingga menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dapat dimanfaatkan oleh patogen dan sebagai akibatnya jaringan tersebut mati. Agrios (2005) menjelaskan bahwa enzim selulolitik yang disekresikan oleh patogen berperan untuk melunakkan dan menguraikan bahan penyusun dinding sel. Enzim-enzim tersebut memudahkan penetrasi dan penyebaran patogen dalam inang dan menyebabkan pecah dan terurainya struktur seluler sehingga dapat terjadi penyakit. Sementara menurut Begoude et al. (2009), cendawan patogen ini dapat hidup sebagai endofit dalam organ tanaman, dalam fase laten, tanpa menghasilkan gejala dan tanda yang jelas, dan penyakit hanya muncul apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi tanaman.

Hal ini mengimplikasikan bahwa patogen akan dengan mudah berpindah melalui bagian tanaman yang digunakan untuk perbanyakan tanaman. Tipe berkembangan gejala penyakit seperti ini disebut gejala laten, yaitu merupakan tipe perkembangan yang berbahaya dan menyulitkan dalam pengendalian bila tindakan pengendalian didasarkan pada munculnya gejala karena pada saat gejala sudah dapat dilihat maka tanaman harus dipotong atau dimusnahkan.

Uji patogenisitas pada tanaman jeruk eksplan secara in vitro yang dilakukan oleh peneliti lain dalam tim penelitian penyakit BPB jeruk dengan menggunakan isolat B. theobromae dan P. citrophthora yang sama, secara berturut-turut menunjukkan gejala klorosis, berkembang menjadi nekrosis, membentuk gum sampai mengakibatkan kematian (Gambar 17).

Perkembangan gejala dan tanda akibat inokulasi P. citrophthora lebih lambat dibandingkan dengan B. theobromae, meskipun diawali dengan klorosis pada waktu yang sama yaitu pada 3 HSI. Gum yang terbentuk pada tanaman yang diinokulasi dengan P. citrophthora kelihatan lebih encer bila dibandingkan dengan gum pada tanaman yang diinokulasi dengan B. theobromae. Tanaman akan mengalami kematian setelah 12 HSI jika diinokulasi dengan P. citrophthora, dan 8 HSI jika diinokulasi dengan B. theobromae, selanjutnya inokulum patogen tumbuh memenuhi seluruh bagian tanaman kemudian membentuk stroma yang mengandung piknidia.

Gambar 17 Uji patogenisitas pada tanaman eksplan secara in vitro. P. citrophthora (A), B. theobromae (B). Gejala nekrosis (anak panah), gejala gumosis (lingkaran). (Foto oleh Windi Ditha)

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Identifikasi berdasarkan karakteristik morfologi dan molekuler menunjukkan bahwa penyebab penyakit BPB pada 11 lokasi sentra produksi di Indonesia (Berastagi, Kampar, Muaro Jambi, Tulang Bawang Barat, Garut,

Jember, Batu – Malang, Bangli, TTS, Banjarbaru, dan Banjarmasin) adalah B. theobromae Pat. sedangkan penyebab penyakit BPB jeruk pada Desa Oehala

(TTS), Propinsi NTT adalah P. citrophthora. Uji patogenisitas secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa kedua spesies patogen yang diisolasi memiliki patogenisitas yang tinggi.

SARAN

Eksplorasi ke pertanaman jeruk dengan gejala BPB masih perlu dilakukan di daerah lain untuk memastikan penyebab utama penyakit BPB (gumosis) di Indonesia. Penetapan penyebab utama BPB tersebut sangat ditentukan oleh hasil uji patogenisitas masing-masing isolat menggunakan metode inokulasi yang tepat dan benar.

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Elsevier Academic Press.

Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Barnett HL, Hunter BB. 1998. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. Minnesota: Burgess Publishing Company.

Bartlett JMS, David S. 2003. PCR Protocols vol 226: Methods in Moleculer Biology. Ed ke-2. Totowa, New Jersey: Humana Press.

Begoude BAD, Bernard S, Michael JW, dan Jolanda R. 2009. Botryosphaeriaceae associated with Terminalia cattapa in Cameroon, South Africa and Madagascar. Mycological Progress 9:101-123.

Burgess TI, Paul AB, Sari M, Geoff P, Wilhem de B, Michael JW. 2006. The new Lasiodiplodia spp. from the tropics, recognized based on DNA sequence comparison and morphology. Mycologia 98:423–435.

Camele I, Carmine M, Gennaro C. 2005. Detection and identification of Phytophthora species in southern Italy by RFLP and sequence analysis of PCR-amplified nuclear ribosomal DNA. European Journal of Plant Pathology 113:1-14.

Choi YW, Kevin DH, Wellcome WHH. 1999. Single spore isolation of fungi. Fungal Diversity 3:29-38.

Crous PW, Slippers B, Wangfield MJ, Rheeder J, Marasas WFO, Phillips AJL, Alves A, Burgess T, Barber P, Groenewald JZ. 2006. Phylogenetics lineages in Botryospaeriacea. Studies in Mycology 55:239-257.

Darmono TW, Ilyas J, Dwi AS. 2006. Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74:87-96

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Data luas panen, produksi dan produktivitas tanaman hortikultura Tahun 20005–2007. Dalam www. deptan.go.id. Diakses tanggal 10 April 2009.

Domsch KH, Gams W, Anderson TH. 1980a. Compendium of Soil Fungi Vol 2. London: Academic Press.

Edel, V. 1998. Polymerase chain reaction in mycology: an overview. Di dalam: Bridge PD et al. (editor). Applications of PCR in Mycology. United Kingdom: CAB International. p. 1 – 20.

Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH, editor. 1983. Phytophthora: Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. St Paul, Minnesota: APS Press.

Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Disease Worldwide. St Paul, Minnesota: APS Press.

Flynn PH. 1994. Plant Disease Diagnosis. Di dalam: Glenda DW, editor. Biotechnology Information Series. Iowa: Office of Biotechnology, Iowa State University.

Godwin R, Mchau A, Coffey MD. 1994. Isozyme diversity in Phytophthora palmivora evidence for Southeast Asian center of origin. Mycological Research 98:1035-1043.

Graham JH, Timmer LW. 1992. Phytophthora Disease of Citrus. Di dalam: Kumar J, Chaube HS, Singh US, Mukhopodhy AN, editor. Plant Disease of International Importance Vol III Disease of Fruit Crops. New Jersey: Prentice Hall. hlm 33-39.

Graham JH, Timmer LW, Drouillard D, Peever TL. 1998. Charactherization of Phytophthora spp. causing outbreaks citrus brown rot in Florida. Phytopathology 88:724-729.

Ho HH, JY Lu. 1997. A synopsis of the occurrence and patgogenicity of Phytophthora species in mainland China. Mycopathologia 138:143-161. Ippolito A, Leonardo S, Franco N. 2002. Detection of Phytophthora nicotianae

and P. citrophthora in roots and soils by nested PCR. European Journal of Plant Pathology 108:855-868.

Khan IA. 2007. Citrus Genetics, Breeding and Biotechnology. Washington DC: CAB International.

Leoni C, R Ghini. 2005. Sewage sludge effect on management of Phytophthora nicotianae in citrus. 2006. Crop protection 25:10-22.

Lutz A, Menge J. 1986. Citrus root health II: Phytophthora root rot. Citrograph 72:33-39.

Ma Z, Themis JM. 2006. Approaches for eliminating PCR inhibitors and designing PCR primers for the detection of phytopathogenic fungi. Crop Protection 26:145-161.

Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1997. Brock, the Biology of Microorganism. Ed ke-8. New Jersey: Prentice Hall.

Manohara, D. and N. Sato. 1992. Morphological and physiological observation on the Phytophthora isolates from black pepper. Industrial Crops Research Journal 4:14-19.

McPherson MJ, Oliver RJ, Gurr SJ. 1992. The Polymerase Chain Reaction. Di dalam Gurr SJ, McPherson MJ, Bowles DJ, editor. Moleculer Plant Pathology Vol 1 a Practical Approach. Oxford: Oxford University Press. hlm 123-145.

Mehrotra RS, Ashok A. 2003. Plant Pathology. Ed ke-2. New Delhi: Tata McGraw-Hill.

Motulo HFJ. 2000. Keragaman genetik beberapa isolat Phytophthora palmivora penyebab gugur buah kakao berdasarkan penanda random amplified polymorphic DNA (RAPD) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Motulo HFJ, Meity SS, Alex H, Gede S, Hajrial A. 2007. Karakter morfologi dan molekuler isolat Phytophthora palmivora asal kakao dan kelapa. Jurnal Littri 3:111-118.

Mullis KB, Faloona FA, Scharf SJ, Saiki RK, Horn GT, Erlich HA. 1986. Specific enzimatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction. Symp Quant Biol 51:263-273.

Naqvi SAMH. 2004. Disease of Fruit and Vegetables: Diagnosis and Management. Vol II. Dordrecht. Kluwer Academic Publishers.

Orozco-Castillo C. Chalmers KJ, Waugh R, Powell W. 1994. Detection of genetic diversity and selective gene introgession in coffee using RAPD markers. Theoretical and Applied Genetics 89:934-938.

Phillips AJL, IC Rumbos, A Alves dan A Correia. 2005. Morphology and phylogeny of Botryosphaeria dothidea causing fruit rot of olives. Mycopathologia 159:433-439.

Phillips AJL. 2002. Anamorph genera associated with Botryosphaeria. Centro de Recursos Microbiológicos, Faculdade de Ciências e Tecnologia, Universidade Nova de Lisboa, 2829-516 Caparica, Portugal.

Ploetz RC. 2003. Disease of Tropical Fruit Crops. Washington DC: CAB International.

Ristaino JB, Madritch M, Trout CL, Parra G. 1998. PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied and Environmental Microbiology 64:948-954.

Rychlick W. 1995. Selection of primer for polymerase chain reaction. Molecular Biotechnology 3:129-134.

Sato T, Yumi I, Keisuke T, Satoshi T, Atsushi O, Kazuko T. 2008. Black band of

Jew’s marrow caused by Lasiodiplodia theobromae. Journal of General Plant Pathology 74:91-93.

Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Silvar C, JM Duncan, DEL Cooke, NA William, J Diaz, F Merino. 2005. Development of specific primers for identification and detection of Phytophthora capsici Leon. European Journal of Plant Pathology 112:43-52.

Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siviero A, Mariangela C, Edson LF, Antonio AFG, Alexandre SGC, Marcos AM. 2006. Identification of QTLs associated with citrus resistance to Phytophthora gummosis. Journal of Applied Genetics 47:23-28.

Slippers B, Greg IJ, Pedro WC, Teresa AC, Brenda DW, dan Michael JW. 2005. Phylogenetic and morphological re-evoluation of the Botryosphaeria species causing disease of Mangifera indica. Mycologia 97:99-110.

Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular Evalutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/molbev/msm092.

Taylor GR. 1991. Polymerase Chain Reaction Di dalam: McPherson MJ, P Quirke, Taylor GR, editor. PCR Basic Principles and Automation. Oxford: Oxford University Press. hlm 1 – 14.

Thompson JD et al. 1997. The Clustal X Windows Interface: flexible strategies for multiple sequence alignment aided by quality analysis tools. Nucleid Acids Research 24:4876-4882.

Timmer LW, SM Garnsey, JH Graham. 2000. Compendium of Citrus Disease. Ed ke-2. Minnesota: APS Press.

Toruan-Mathius N, T Hutabarat, D Suhendi. 1997. The use of RAPD to evaluate genetic variability of hybrid parent in Theobromae cacao L. Plants Menara Perkebunan 65:53-63.

Vial A, Bernardo AL, Juan O. Characterization of Phytophthora citrophthora and P. inundata associated to foot and root rot of citrus trees in Chile. 2006. Cien. Inv. Agr. 33:173-184.

Wahyuno D, Dyah M, Dwi NS. 2007. Variasi morfologi dan virulensi Phytophora capsici asal lada. Buletin Plasma Nutfah 13:70-80.

Waller JM, JM Lenne’, SJ Waller. 2002. Plant Pathologist’s Pocketbook. Ed ke-3. New York: CABI Publishing.

Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morfologies of Cultured Fungi and Key to Species. Ed ke-2. United State of america: CRC Press.

Wet JD, Bernard S, Oliver P, Brenda DW, dan Michael JW. 2008. Phylogeny of the Botryosphaeriaceae reveals patterns of host association. Molecular Phylogenetics and Evolution 46:116-126.

White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and Direct Sequencing of Fungal Ribosomal RNA Genes for Phylogenetics. Di dalam: Innis MA, (editor). PCR Protocols: a Guide to Methods and Application. San Diego: Academic Press. hlm 315-322.

Zadoks JC, Schein RD. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford: Oxford University Press.

Lampiran 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) No Bahan Takaran 1 Kentang 200 g 2 Dekstrosa 15 g 3 Agar 20 g 4 Air steril 1000 ml

200 g kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong direbus dalam 1000 ml air steril dan dididihkan sampai empuk. Air hasil rebusan disaring dan ditambahkan air steril lagi hingga volumenya menjadi 1 L, kemudian 15 g dextrosa dan 20 g agar dimasukkan ke dalamnya dan diautoklaf. Dextrosa dapat diganti dengan sukrosa untuk merangsang sporulasi berbagai jenis cendawan.

Lampiran 2 Komposisi Medium V8 Agar (1 liter)

No Bahan Takaran

1 V8 jus 200 ml

2 Agar 20 g

3 CaCO3 3 g

4 Air steril 800 ml

Media ini digunakan untuk membantu pertumbuhan merangsang sporulasi berbagai jenis cendawan sebagai pengganti PDA.

200 ml sari V8 jus, 3 g CaCO3, 20 g agar dicampurkan dengan 800 ml air steril. pH-nya diatur 7 – 7.5 dengan cara mengatur banyaknya jus yang dipakai atau diberikan CaCO3. Jika sari mengandung banyak serat, sebaiknya disentrifius dan disaring terlebih dahulu dengan kertas saring.

Lampiran 3 Protokol penyiapan inokulum Phytophthora (AVRDC Mycology 2000)

1. Tumbuhkan Phytophthora pada medium V8 jus agar. Pindahlan 7 mm potongan miselial ke bagian tengan cawan petri diameter 9 cm dan inkubasi pada 28 oC dengan lampu yang tetap menyala selama 4 hari.

2. Potong setiap kultur agar menjadi empat bagian dengan ukuran yang sama menggunakan pisau steril; pindahkan setiap potongan pada cawan petri baru yang steril dan potong menjadi beberapa bagian berbentuk kotak berukuran ± 0,5 cm2.

3. Tambahkan air steril sampai menutupi agar block dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam; tuang airnya dan ganti dengan 18 ml air steril sampai menutupi seluruh permukaan agar block.

4. Inkubasi selama 24 jam pada 28 oC dengan lampu yang tetap menyala untuk pembentukan sporangia.

5. Pindahkan lagi ke incubator (4 oC) selama 2 jam untuk inisiasi pembentukan zoospora.

6. Kembalikan lagi pada incubator yang tetap menyala suhu 28 oC selama 1 jam untuk pelepasan zoospora.

7. Tuang suspensi zoospora dan jika diperlukan cuci agar block untuk mendapatkan zoospora baru yang lebih besar (menggunakan cheese cloth). 8. Pindahkan suspensi sampel yang representatif ke haemocytometer dan

panaskan slide pada pemanas (50 oC selama 1 menit) dengan tujuan agar zoospora menjadi tidak bergerak sehingga mudah dihitung.

Dokumen terkait