• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

2.2 Coalbed Methane

Coal Bed Methane atau dikenal dengan istilah BCM merupakan salah satu sumber energi alternatif yang relatif masih baru di Indonesia, yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Sumber energi ini dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia sehari-hari. Walaupun asal usulnya dari energi fosil yang tidak terbarukan, tetapi gas ini masih terus akan terproduksi bila lapisan batubara tersebut masih ada.

CBM adalah gas metana (gas alam) yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan terperangkap dalam batubara. CBM dikenal juga sebagai ‘sweet gas’, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen sulfida). Gas metana ini terperangkap dalam batubara itu sendiri dan juga air yang ada didalam ruang pori-porinya. Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%). Mengenai pembentukan CBM, maka

berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor massa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

2.2.1 Potensi CBM Sebagai Energi Alternatif di Indonesia

Coalbed methane (CBM) merupakan sumber energi yang relatif masih baru. Sumber energi ini merupakan salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia. Walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas ini terus terproduksi bila lapisan batubara tersebut ada.

Gambar 2.4 Negara Dengan Cadangan dan Produksi Batubara Terbesar Didunia.

(Sumber : Bp Statistical Review of World Energy 2007)

Seiring bertambahnya kebutuhan akan energi, baik untuk listrik dan transportasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga membutuhkan suatu energi alternatif yang dapat terus dikembangkan. Dapat kita lihat pada gambar 2, dimana kebutuhan akan energi untuk pembangkit listrik terus berkembang. Salah satu pembangkit listrik di dunia yang paling dominan adalah dari energi batubara.

Gambar 2.5 Sumber Pemakaian Energi Untuk Konsumsi Listrik Didunia.

Berdasarkan perkiraan dari sebuah institusi di Prancis, maka konsumsi energi di dunia tetap akan memakai minyak, batubara dan gas sebagai energi primer. Projeksi ini memberikan gambaran sebagaimana pentingnya peran energi fosil sebagai energi yang ”harus” terbarukan. Kata-kata harus disini mungkin tidak masuk akal, karena energi tersebut memang habis dipakai (tidak dapat diperbaharui). Dengan adanya teknologi, riset dan pemikiran baru, maka sebuah lapisan batubara dapat memberikan sebuah energi baru berupa gas yang dapat kita pakai..

Gambar 2.6 Energi Primer Yang Dipakai Didunia. (Sumber : World Primary Energy Consumption)

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.

2.2.2 Produksi Coal Bed Methane

Produksi CBM & Teknologi Pengeboran Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik. Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini. Terkait potensi CBM menurut Steven dan Haryono, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.

Gambar 2.7 Teknik Produksi CBM (Sumber : jefrigeophysics.wordpress.com)

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.

Gambar 2.8 Produksi CBM Dengan Sumur Kombinasi (Sumber : jefrigeophysics.wordpress.com)

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan. Karakter dari batubara yang baik untuk produksi CBM :

 Kandungan gas tinggi :15m3-30m3 per ton  Permeabilitas yang baik : 30mD-30mD.

 Dangkal : lapisan batubara < kedalaman 1000m. Tekanan pada kedalaman yang berlebih terkadang sangat tinggi dan telah mengalami penguapan. Hal ini disebabkan tekanan tinggi menyebabkan adanya struktur cleat yang menyebabkan penurunan permeabilitas.

 Ranking batubara : kebanyakan proyek CBM memproduksi gas dari batubara bituminus, tetapi hal ini dapat mungkin terjadi di Antrasit. Semakin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous rank, lalu berkurang hingga antrasit. Jadi, dari low rank coal pun sudah punya CBM (umumnya kualitas batubara di Indonesia kita adalah low rank). Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

Dokumen terkait