• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coding Wawancara Ibu Mur

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Lampiran 3. Coding Wawancara Ibu Mur

Coding Wawancara Ibu Mur

Verbatim Label Deskriptif Label Analitis

Dari awal ya. Pertama tu saya tanggal 26 Oktober habis maghrib, saya kan masih sama Mbah Maridjan di masjid, Mbah Maridjan nggak mau saya ajak turun, dievakuasi dengan mobil APV yang kena itu. Sampai di bawah, di balai desa, saya turun to waktu itu terus kembali naik. Mau menjemput simbah tapi sudah keduluan dengan awan panas. Ada korban, ada simbah, relawan terus wartawan. Terus sampai di bawah saya langsung diajak ke Barek, ngungsi di Barek. Wah sudah, apa ya, semalam itu kan di TV ada berita to itu. Kinahrejo sudah terbakar.

Nah, simbah gimana. Udah pikirannya waahhh… Terus apa ya, bunyi

sirene itu lho Mas. Sirene mobil ambulan itu lho yang sampai sekarang tidak hilang. Saya tu kalau dengar suara apa itu, ya sirene di ambulan atau HT, rasanya tu di sini tu sakit itu lho. Teringat yang dulu itu sampai sekarang itu. Itu sulit dihilangkan. Kayak trauma kalau ada suara itu. Kalau ada suara itu sakit rasanya.

Suara sirene sampai sekarang tidak hilang, rasanya sakit kalau ingat yang dulu.

Pengalaman pahit yang membuat sakit.

Kan sirene di atas cuma ngak-ngek gitu. Tapi nggak tahu, awal mulanya di Barek kan semalam cuma ada sirene itu terus. Sampai sekarang sulit saya untuk..rasanya itu masih sakit kalau denger suara itu. Kalau denger suara itu rasanya ya kayak ―Ngungsi! Ngungsi!‖ Ingatnya seperti itu. Di Barek itu hanya 7 hari terus dipindah ke Condongsari. Sama-sama di rumahnya Pak Agus Wiyarto yang punya APV itu. Terus dari sana setelah 2 bulan saya pindah ke Karang Pakis, ya sama di shelter.

Kalau dengar sirene seakan-akan ada perintah ―Ngungsi! Ngungsi!‖.

Sirine merupakan wujud perintah secara metaforis.

Saya di pengungsian, saya larinya malah lucu, itu kan malam Jumat ya. Kamis pagi kan anak saya sekolah di Pakem itu, pengen sekolah, ya udahlah. Saya anterin terus saya titipkan anak saya di Wekas itu, malah Merapi malem itu kan meletus to itu saya malah naik. Sampai di Jetan itu sudah nggak boleh naik.

Merapi meletus tapi malah naik. Keinginan untuk melihat keadaan.

Kalau saya yang paling pokok ya sirine itu. Kalau kaitan dengan Merapi ya kalau ada suara gludak-gluduk, luncuran kecil-kecil itu ya dari dulu kan memang sering. Sebelum erupsi itu kan sering, hal biasa gitu lho.

Ingat suara gluduk-gluduk dan luncuran kecil namun itu sudah biasa.

Ada ingatan berkaitan kejadian.

Langsung merasa ngeri. Kaget. Kalau ada orang coba-coba membunyikan sirine pasti saya malah sering marah saya. Nggak pas lagi.

Kalau dengar sirine rasanya ngeri, kaget, dan marah.

Suara sirine mengancam diri.

Simbah to. Simbah itu memang sudah meninggal ya, tapi kadang merasa simbah itu masih gitu lho Mas. Kalau semua itu, harta benda ya udah diikhlaskan. Sudah kembali ke yang punya.

Harta benda sudah diikhlaskan namun kalau simbah kadang masih dirasa ada.

Sosok simbah seakan-akan hanya hilang secara fisik.

Ya sedikit-sedikit memang harus belajar mengikhlaskan. Percaya nggak percaya ya saya itu harus percaya bahwa simbah itu udah nggak ada.

Belajar mengikhlaskan lewat percaya bahwa simbah sudah nggak ada lagi.

Menerima kenyataan bahwa simbah telah tiada.

Kalau saya kan Islam ya, yang jelas ya dengan berdoa. Mengikhlaskan sesuatu dengan berdoa.

Berdoa membantu proses menerima kenyataan.

Ya kadang-kadang. Kadang-kadang di saat tertentu ya Mas ya. Misalnya ada acara prosesi Labuhan atau apa. Waktu yang pertama

Ketika pulang yang pertama teringat semuanya dan merasa kehilangan

saya pulang pas, saya juga abdi dalem, dandan pake kebaya. Saya pulang untuk yang pertama, waktu itu dianter itu saya hanya bisa nangis. Teringat semua-muanya. Merasa kehilangan, bayang-bayang simbah itu ada.

karena bayang-bayang simbah masih ada.

Saya tu takut nggak, tapi sakit. Kalau sakit tu gimana ya, dengar itu pikirannya kesal gitu lho. Di sini yang sakit. Pengen mbunteti kuping.

Pikirannya kesal pengen mbunteti kuping.

Keinginan untuk mengatasi pengalaman yang tidak mengenakkan.

Karena sekarang ilmunya sudah ada BPPTK. Kadang kalau Merapi bergejolak ya kadang diSMS, kadang saya SMS.

Sekarang sudah ada pihak khusus yang memberitahu mengenai Merapi.

Kemudahan dalam membuat keputusan berkaitan dengan keadaan Merapi. Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang harus ikut

menjaga lingkungannya, penanaman-penanaman, penghijauan.

Merapi itu sahabat, saya harus ikut menjaga lingkungannya.

Personifikasi Merapi sebagai sahabat.

Ya iya to, namanya gunung berapi. Merapi memang punya kriteria sendiri. Yang jelas kan ya harus dikuatkan dengan keimanan, orang kan juga punya kepercayaan. Manusia itu kan nggak ada apa-apanya. Semua itukan ujian. Insya Allah, ujian itu kan kayak masnya. Ada lulus nggaknya.

Manusia itu nggak ada apa-apanya, agar dapat menghadapi ujian maka harus dikuatkan dengan keimanan.

Keimanan akan membantu manusia.

Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas. Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin mungkin suatu itu sudah diambil.

Dengan sabar, iman, dan ikhlas maka kita akan merelakan apa yang diambil kembali oleh Allah.

Merelakan apa yang dikehendaki Allah.

labil ya nganu. Misalnya berdoa, ternyata ya masih. Walaupun namanya bencana, walaupun tidak digunung, kalau Allah menghendaki ya gitu.

menghendaki. terjadi.

Harus bangkit-lah. Pelan-pelan, dengan waktu kan orang itu bisa to diisi dengan kegiatan-kegiatan.

Pelan-pelan harus bangkit lewat kegiatan-kegiatan.

Bangkit untuk mengatasi keadaan.

Kan tidak sendirian. Kita tidak sendirian. Ada orang yang senasib. Perasaan sepenanggungan. Kita memandangnya jangan ke atas. Ke bawah. Ternyata masih ada

orang di bawah kita. Bencana tidak hanya di sini. Jadi saya melihatnya nggak ke atas, ada sesuatu atau orang yang lebih susah dari kita. Meskipun nggak ada bencana, ada orang yang lebih susah dari kita.

Kita harus memandang ke bawah bahwa banyak orang yang lebih susah.

Merasa lebih beruntung.

Ya kita harus menyelamatkan keluarga. Kita harus menyingkir dulu. Apa ada orang yang bisa menahan awan panas. Nggak ada. Alat apa yang bisa. Kalau kita harus ada keterangan dari BPPTK Merapi baru ada gawe ya kita jangan wani-wani. Kita harus menyingkit dulu. Sumingkir ya kita berdoa agar kita selamat.

Kalau Merapi lagi ada gawe, kita

harus sumingkir untuk

menyelamatkan keluarga dan berdoa.

Mengatasi keadaan aktual.

Anak-anak kan juga trauma, harus membesarkan hatinya, iya to? Seperti itu kan..iya anak-anak. Kasih dukungan. Ternyata cukup banyak orang kasih dukungan, support. Niliki itu, jenguk. Walaupun saya itu ngungsinya mandiri to.

Anak-anak trauma jadi kita harus membesarkan hati lewat dukungan

Mendukung kehidupan sekitar.

Ya kita berbuat sesuatu-lah, apa yang kita bisa membantu. Bisa membantu masak ya masak, sesuai yang bisa.

Kita harus berbuat sesuatu yang bisa membantu.

Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan karo kancane.

Membutuhkan teman. Membutuhkan orang lain.

Waktu itu kan saya mikirnya erupsi Merapi itu biasa-biasa aja. Soalnya tahun 2006 saya nggak pergi malahan, saya lihat di rumah. Di Masjid itu. Nggak pergi. Saya kira 2010 kemarin kan di atas sudah merah. Jadi saya harus pergi.

Di atas sudah merah jadi saya harus pergi.

Membaca tanda-tanda.

Ya sirine, dan kadang-kadang kalau Merapi ada letusan kecil. Guguran-guguran. Kadang-kadang sekarang saya juga tidur di atas.

Ingatan yang kuat mengenai letusan dan guguran.

Ada ingatan berkaitan kejadian.

Bukan hunian, cuma pengen tidur di sana ya tidur. Saya kan rasanya belum pulang ke sana Mas, rasa pengen pulang ke sana ya masih to. Kalau ke sana pulang itu saya. Siang saya jualan di sana.

Ada rasa pengen pulang ke Kinahrejo.

Rasa ingin kembali pada keadaan terdahulu.

Iya, kalau Minggu gitu kadang-kadang. Di sana kan boleh. Kita sudah nempati relokasi ya di relokasi.

Sudah disediakan tempat sendiri di relokasi.

Sudah mendapat bagian sendiri.

Ke sana tu pulang, rasanya bisa tidur pulas. Kalau pulang tidurnya pulas. Nyaman pada keadaan terdahulu. Pikirannya, kalau dulu kan mikirnya orang ngungsi kok nggak pulang-

pulang. Ini kan sekarang sudah ada rumah, kalau di shelter itu kapan iki le arep mulih. Pikirannya kan seperti itu.

Pikirannya ngungsi kok nggak pulang-pulang.

Keinginan untuk pulang ke rumah.

Iya masih kangen, dari kecil saya, kalau saya sendiri ya kangen. Tapi mungkin ada ibu-ibu yang blas, trauma. Kalau saya nggak. Kemarin Labuhan kan malah wayangan di sana kan.

Masih kangen dengan rumah yang dulu.

Ya gimana ya, ya masih [percaya]. Soalnya kejadian aneh di atas itu banyak Mas. Misalnya kejadian aneh di halaman Mbah Maridjan, di Kali Opak. Kamu foto sendiri, nanti ada yang njejeri. Saya pernah itu, Bu ini gambar apa ini Bu, kok ada yang ikut foto? Lha itu berarti ya pengen ikut difoto. Ada mahkluk yang gelungan gitu, kebaya. Kalau saya, asal tidak nganggu aja. Di gamelan juga ada, di atas.

Masih percaya dengan makhluk gaib dan tidak mau menganggu.

Kepercayaan terhadap mitos.

Kalau Mbah Maridjan dulu pesennya tentang Merapi ya kalau misalnya Merapi itu tidak boleh dikatakan kalau Merapi njeblug, Merapi mbledos, wedus gembel. Itu tidak boleh. Biasanya Merapi lagi mbangun. Kaya gitu.

Merapi tidak boleh dikatakan njeblug, mbledos atau ada wedus gembel, tapi Merapi dalam proses membangun.

Ada hal tabu yang tidak boleh disebutkan berkaitan dengan Merapi.

Saya naik pertama kali tu pas di rumah Pak Bagyo, yang batas terbakar itu lho. Sampai atas mencari tilas rumah ya bingung Mas. Nek ra bingung ya ampuh. Tapi yo ra nangis. Malah heran. Ini beneran atau nggak.

Mencari tilas rumah tapi bingung dan heran, beneran atau nggak.

Tidak percaya dengan kejadian.

Lha butuh duit je. Padahal ya panas-panas ngentang-ngentang. Pas naik kok lihat banyak orang, panas-panas gini ya butuhlah. Saya naik motor itu ya jualan air sama kaset-kaset ternyata ya habis.

Jualan air dan kaset karena butuh duit.

Mengatasi keadaan ekonomi.

Lha saya belum jualan, orang lain malah sudah duluan. Ya gak papa, pada bangkit. Daripada cuma nglesot di pegungsian.

Melihat orang lain bangkit lebih baik daripada hanya sekadar nglesot saja.

Kebangkitan adalah sesuatu yang baik.

Ya wanita-wanita, itu kan ya ngojek, supir Jeep. Ibu-ibu melayani ojek dan jadi supir Jeep.

Wanita mengerjakan pekerjaan yang tidak biasa.

Ini kalau saya mbuat jahe serbuk. Dipasarkan. Dari sekian banyak, yang aktif ya cuma di sini. KUB, Kelompok Usaha Bersama, tapi katanya hibah kok tiap bulan ngangsur juga. Yang nganter juga seringnya saya. Soalnya yang lain pada sibuk juga. Besok kalau angsurannya sudah selesai, uangnya dihibahkan beneran.

Pembuatan jahe serbuk yang aktif cuma di desa subyek.

98

Dokumen terkait