• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Kasus dan Penanganan

Dalam dokumen Perkembangan Moral dan Psikoseksual sigm (Halaman 29-37)

BAB II PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus dan Penanganan

Kasus 1

Reza baru saja lulus SMU jurusan IPA. Namun, ia kurang beruntung, karena tidak lolos Ujian Masuk Universitas. Oleh karena itu, untuk semntara ia menganggur. Ia hanya mengikuti bimbingan tes sambil mengadu untung lagi dalam Ujian Masuk Universitas yang akan datang. Yang menjadi masalah bagi orang tua Reza adalah bahwa reza sulit sekali diatur oleh orang tua.

Pelerjaannya sehari-hari keluar rumah melulu, pulanng larut malam dan orang tua Reza tidak pernah tahu kemana saja perginya anak mereka. Kekhawatiran orang tua Reza ini semakin beralasan karena semasa SMA Reza pernah terlibat NARKOBA. Kalau terus menerus seperti itu, mau jadi apa Reza kelak? Tetapi, di pihak Reza sendiri, terus terang saja ada perasaan jenuh dan bosan terhadap orang tuanya. Ia bukannya tidak menghormati orang tuanya, tetapi ia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil terus. Memang, dia pernah ikut-ikutan memakai shabu waktu SMA, tetapi itu sudah lewat. Ia sudah tidak lagi melakukannya. Tetapi, oranng tuanya masih terus saja tidak mempercayainya. Apapun yang dilakukannya untuk memperbaiki ncitra dirinya, di mata orang tuanya, kesan yang terlanjur tidak baik itu sulit sekali di kurangi. Oleh karena itu, ia justru melakukan hal-hal yang ia tahu tidak akan disukai oleh orang tuanya. Dengan perkataan lain, Reza menunjukkan reaksi-reaksi yang negatif sebagai cerminan dan pemberontakan jiwanya.

Kasus 2

Nyaris semua anggota geng cewek 16 tahun ini kebetulan sudah pernah ngerasain hubungan seksual. Cuma Killa yang belum.

Ceritanya terjadi saat ia masih kelas II SMP sewaktu kumpul di rumah teman yang lagi kosong, teman-teman Killa memanas-manasi “Biasanya gue bisa ditahan,” ujarnya. Masalahnya malam itu, entah kenapa, Killa seolah tidak bisa menahan gempuran teman-temannya. Di sisi lain, cowoknya

juga nggak kuat menahan. Bahkan ikut-ikutan ngojok-ngojokkin.

Cowoknya yang kakak kelas itu kemudian mengajaknya ke kamar. Dihinggapinya perasaaan nggak enak sama teman-temannya dan penasaran, Killa pun oke saja menerima tawaran sang pacar. Sementara teman-temannya pada nunggu di luar. “Cowok gue itu first love gue”, katanya.

Selesai melakukan hubungan untuk pertama kalinya, Killa bukannya malu. Ia malah mendapat selamat dari teman-temannya. “Cowok gue kayaknya udah piawai deh. Teman-teman gue meluk gue dan ngasih selamat. Sementara cowok gue cengar-cengir”’ kisahnya.

Sebetulnya Killa merasa malu. Tapi di depan teman-temannya, rasa itu ia sembunyikan. Ia juga merasa takut hamil. Abis itu ia menangis hebat di hadapan sang pacar.

Penanganan

Menghadapi remaja memang bukan pekerjaan yang mudah. Menurut Adams dan Gullota, ada lima aturan kalau kita ingin membantu remaja dalam menghadapi masalah mereka.

 Yang pertama, Trustworthiness (kepercayaan), yaitu, kita harus saling percaya dengan para remaja yang kita hadapi. Tanpa itu, jangan harap ada komunikasi dengan mereka.

 Yang kedua, Genuineness, yaitu, maksud yang murni, tidak berpura-pura.  Yang ketiga, Empathi, yaitu kemampuan untuk ikut merasakan

perasaan-perasaan remaja.

 Yang kelima, tetapi terpenting adalah adannya pandangan dari pihak remaja bahwa kita memang memenuhi keempat aturan tersebut.

Walaupun kita sudah berusaha memenuhi keempat persyaratan diatas, tetapi jika satu tingkah laku saja tidak terlihat di mata mereka, mereka akan memandang bahwa kita tidak sungguh-sungguh sehingga mereka tidak akan mempercayai kita lagi.

Dikatakan oleh S.R Maddi bahwa perbedaan trait (konstansi atau ketetapan yang disposisional) dengan konstansi tingkah laku biasa (misalnnya kebiasaan) adalah bahwa trait menunjuk pada tingkah laku dalam skala besar (molar) dan majemuk yang menyangkut juga struktur kognitif. Sedangkan konsistensi tingkah laku hanya menunjuk pada tingkah laku skala kecil (molecular) dan tunggal.

Yang sekarang banyak dianut para pakar tentang trait adalah apa yang dikenal dengan istilah The Big Five. Trait akan muncul pada situasi-situasi yang penuh tekanan atau ketika suatu tindakan bisa menimbulkan konsekuensi yang sangat serius. Trait terkandung dalam kecerdasan emosi. Orang dengan trait marah yang rendah dengan sendirinya akan menggunakan kognisinya untuk mengontrol situasi dalam konteks yang mengandung permusuhan, dan studi biometrik pun membuktikan adanya kontribusi yang cukup besar dari faktor-faktor genetik terhadap dimensi-dimensi kepribadian yang utama. Sementara itu, penelitian lain lagi mengammbil jalan tengah, yaitu bahwa trait memang ada, namun realisasinya dalam perilaku sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan, seperti budaya dan usia.

Khususnya pada diri remaja, proses perubahan karena pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi karena dalam proses kematangan kepribadiannya, remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke permukaan sifat-sifat (trait)-nya yang sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan-rangsangan dari luar.

Oleh karena itu, Reza pada contoh kasus yang pertama berontak sampai menggunakan shabu-shabu. Bukan pilnya yang menjadi sasaran utama, karena Reza bukan anak yang sejak lahir berbakat kecanduan shabu-shabu. Shabu-shabu itu lebih ke perwujudan dari tugas perkembangannya., yaitu memperjuangkan kemandirian. Sedangkan dalam hubungan orang tua, walaupun ada unsur perasaan suka dan menghargai (hal nyanng merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari)., hubungan dengan orang tua lebih didasarkan pada reaksi. Jadi, seorang remaja menurut saja apa kata orang tuanya, karena begitulah keinginan mereka dan dia tidak mau bersusah-susah.

Sampai disini dapat ditunjukkan bahwa sebetulnya agar kualitas hubungan ayah-anak dan ibu-anak bisa lebih meningkat orang tua perlu lebih memerhatikan aspek perasaan, penerimaan, kepribadian, dan interaksi itu sendiri. Akan tetapi dalam kenyataannya, banyak orang tua (seperti pada kasus Reza) yang lebih menekankan pencapaan prestasi sekolah, nilai akademis atau IQ yang tinggi. Inilah yang menyebabkan anak tidak bisa menemukan dirinya sendiri dan harus menurut semata-mata pada kemauan orang tua.

Remaja dikenal sebagai sosok dengan rasa ingin tahu yang besar. Banyak minat yang berkembang pada masa remaja, diantaranya, minat sosial dan minat dalam masalah seksual.salah satu stereotip yang menonjol pada masa remaja adalah sangat ingin membicarakan, mempelajari, atau mengamati hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual. Menurut Luthfie, ada lima topik yang diminati remaja dalam upaya memenuhi rasa ingin tahunya mengenai masalah seksual, yakni pembicaraan tentang proses hubungan seksual, pacaran, kontrol kelahiran, cinta dan perkawinan, serta pemyakit seksual. Hasil penelitian Damayanti, menunjukkan bahwa lima dari seratus pelajar di DKI Jakarta sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah.Hasil tersebut diperoleh dari 8941 pelajar dari 119 SMA dan yang sederajat di Jakarta. Menurut Damayanti perilaku seksual pranikah tersebut cenderung dilakukan karena pengaruh negative teman sebaya serta kehidupan keluarga yang kurang sensitif terhadap sekelilingnya. Remaja yang merasa bebas dan tidak dikekakng ternyata lebih mudah jatuh pada perilaku

merokok, menyalahgunakan alcohol, mengkonsumsi narkoba dan melakukan hubungan seksual pranikah.

Hubungan seksual pranikah akan menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan karena akan membawa dampak negatif bagi remaja sendiri, orangtua dan masyarakat. Contohnya adalah kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual serta pernikahan dini yang bermasalah. Berdasarkan penelitian 26,35% dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual selama pacaran dan 50% diantarannya menyebabkan kehamilan, sehingga harus mau dinikahkan. Dalam hal seperti ini masa depan remaja akan hancur, keluarga akan menjadi malu, dan masyarakat menjadi resah.

Dalam hasil penelitian yang lain, menunjukkan bahwa 44,8% mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan hubungan seksual pranikah dan hampir sebagian besar pada wilayah kos-kosan bagi mahasiswa yang kuliah di PTN dan PTS terbesar di Bandung. Dari sekitar 1000 remaja peserta konsultasi (curhat) dan hasil polling selama tahun 2000-2002, tempat remaja melakukan hubungan seksual terbesar dilakukan di tempat kos (51,5%), di rumah (30%), di rumah pihak perempuan (27,3%), di hotel (11,2%), di taman (2,5%), di tempat rekreasi (2,4%), di kampus (1,3%), di mobil (1,4%) dan tak diketahui dengan pasti (0,7%). Berdasarkan berbagai penjelasan diatas, dampak perilaku seksual pranikah begitu besar sehingga seharusnya remaja mampu menghindari perilaku tersebut agar masa depannya tidak bermasalah. Bagi remaja putri khususnya, dampak yang dirasakan akan lebih besar karena kehamilan hanya dapat dialami oleh remaja putri serta kerusakan alat reproduksi juga akan terjadi bila dilakukan aborsi.

Perilaku dapat diartikan sebagai aktivitas organisme yang dapat diamati oleh organisme yang lain atau instrument peneliti (Atkinson, dkk, 1993). Selain itu, perilaku dapat didefinisikan sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks serta mempunyai sifat diferensial, artinya satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat menimbulkan satu respon yang sama.

Perilaku seksual pranikah adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman, bercumbu, sampai dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan yang sah (Simanjuntak, 2005). Bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah adalah tingkat perilaku yang dilakukan pasangan lawan jenis dan bentuk perilaku ini disusun berdasarkan adanya ukuran kepuasan seksual, meliputi :

 Bergandengan Tangan

Perilaku ini hanya terbatas dilakukan pada saat pergi berdua, saling berpegangan tangan, sebelum sampai pada tingkat yang lebih dari bergandengan tangan seperti berciuman dan seterusnya. Bergandengan tangan termasuk dalam perilaku seksual pranikah karena adanya kontak fisik secara langsung antara dua orang lawan jenis yang didasari oleh  Berciuman

Berciuman didefinisikan sebagai suatu tindakan yang menempelkan bibir ke pipi, leher, atau bibir ke bibir, sampai menempelkan lidah sehingga dapat saling menimbulkan ranngsangan seksual.

 Bercumbu

Bercumbu merupakan tindakan yang sudah dianggap rawan yang cenderung menyebabkan suatu rangsangan akan melakukan hubungan seksual atau senggama, yang biasanya ditunjukkan dengan memegang atau meremas payudara, baik masih memakai pakaian atau secara langsung, saling menempelkan alat kelamin, namun belum melakukan hubungan seksual atau bersenggama secara langsung.

 Bersenggama

Bersenggama yaitu telah terjadi kontak seksual atau melakukan hubungan seksual yang artinya sudah ada aktivitas memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan.

Perilaku seksual pranikah dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengetahuan tentag kesehatan reproduksi, pengalaman seksua, faktor kepribadian, penghayatan nilai-nilai keagamaan dan berfungsi atau tidaknya keluarga dalam menjalankan fungsi kontrol afeksi atau

kehangatan. Pengetahuan kesehatan reproduksi adalah suatu pengertian maupun pemahaman tentang sistem reproduksi manusia, kesehatan reproduksi, risiko PMS atau AIDS dan penularannya, mitos atau fakta seksual.

Meningkatnya perilaku seksual pranikah pada remaja banyak bersumber dari kurangnya informasi tentang seks yang disebabkan rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang dimiliki remaja sehingga menimbulkan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja perempuan seperti kehamilan sebelum menikah, aborsi atau penyakit menular seksual.

Pengetahuan kesehatan reproduksi yang seharusnya dimiliki remaja meliputi :

 Sistem reproduksi manusia, berisikan anatomi organ reproduksi dan fungsi organ reproduksi.

 Kesehatan reproduksi, mencangkup informasi mengenai kurun waktu reproduksi sehat, perencanaan dan pengaturan waktu rreproduksi serta dampak pada ibu dan bayi.

 Penyakit Menular Seksual (PMS) dan AIDS, yaitu informasi mengenai jenis penyakit menular seksual, gejala yang muncul dan penularannya.  Mitos dan fakta seksualitas, berisikan informasi yang tepat dan tidak tepat

yang diterima oleh remaja dari lingkungan sekitar.

Pengetahuan ini akan memberikan wawasan bagi remaja putri tentang kondisi tubuhnya, hal-hal yang harus dijaga serta risiko yang dapat timbul jika remaja berhati-hati dengan tindakannya. Selain itu remaja mampu membedakan hal-hal yang bersifat mitos tentang kesehatan reproduksi dan mampu membedakannya dengan fakta, sehingga tidak terjebak pada kepercayaan dan tindakan yang salah dalam kaitannya dengan proses reproduksi dirinya.

Dengan adanya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, remaja putri diasumsikan dapat lebih bertangggungjawabdan mampu mempertimbangkan konsekuensi dari perilakunya sehingga menghindari perilaku seksual pranikah.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual pranikah pada remaja putri. Semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi semakin rendah perilaku seksual pada remaja putri.

Dalam dokumen Perkembangan Moral dan Psikoseksual sigm (Halaman 29-37)

Dokumen terkait