• Tidak ada hasil yang ditemukan

COBIT( Control Objective for Information Related Technology ) 1 Latar Belakang dan Sejarah Singkat COBIT

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 COBIT( Control Objective for Information Related Technology ) 1 Latar Belakang dan Sejarah Singkat COBIT

COBIT edisi keempat (ISACA,2003) adalah merupakan versi terakhir dari tujuan pengendalian untuk informasi dan teknologi terkait, release pertama diluncurkan oleh yayasan ISACF pada tahun 1996. COBIT edisi kedua, merefleksikan suatu peningkatan sejumlah dokumen sumber, revisi pada tingkat tinggi dan tujuan pengendalian rinci dan tambahan seperangkat alat implementasi (implementation tool set), yang telah dipublikasikan pada tahun 1998. COBIT pada edisi ke tiga ditandai dengan masuknya penerbit utama baru COBIT yaitu Institut IT Governance. Institut IT Governance dibentuk oleh ISACA dan yayasan terkait pada tahun 1998 dan memberikan pemahaman lebih dan mengadopsi prinsip-prinsip pengaturan TI. Melalui penambahan pedoman manajemen (management guidelines) untuk COBIT edisi ketiga dan fokusnya diperluas dan ditingkatkan pada IT Governance. Institut IT Governance mengambil peranan yang penting dalam pengembangan publikasi.

COBIT pada umumnya didasarkan pada tujuan pengendalian (Control Objectives) ISACF dan telah ditingkatkan dengan teknik internasional yang ada,

professional, pengaturan, dan standar khusus industri. Hasil tujuan pengendalian telah dikembangkan untuk aplikasi sistem informasi yang luas pada organisasi. Istilah “pada umumnya dapat diterima dan diterapkan” secara eksplisit digunakan dalam pengertian yang sama dengan prinsip Generally Accepted Accounting Principles (GAAP).

2.4.2 Pengertian COBIT

COBIT (weber, 1999) dapat diartikan sebagai tujuan pengendalian untuk informasi dan teknologi terkait dan merupakan standar terbuka untuk pengendalian terhadap teknologi informasi yang dikembangkan dan dipromosikan oleh Institut IT Governance.

COBIT pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1996 adalah merupakan alat (tool) yang disiapkan untuk mengatur teknologi informasi (IT Governance tool).

COBIT telah dikembangkan sebagai sebuah aplikasi umum dan telah diterima menjadi standar yang baik bagi praktek pengendalian dan keamanan TI yang menyediakan sebuah kerangka kerja bagi pengelola, user, audit sistem informasi, dan pelaksana pengendalian dan keamanan.

COBIT, di terbitkan oleh Institut IT Governance. Pedoman COBIT memungkinkan perusahaan untuk mengimplementasikan pengaturan TI secara efektif dan pada dasarnya dapat diterapkan di seluruh organisasi. Khususnya, komponen pedoman manajemen COBIT yang berisi sebuah respon kerangka kerja untuk kebutuhan manajemen bagi pengukuran dan pengendalian TI dengan menyediakan alat-alat untuk menilai dan mengukur kemampuan TI perusahaan untuk 34 proses TI COBIT.

2.4.3 Kerangka Kerja COBIT

Kerangka kerja COBIT (Calder, 2008), terdiri dari tujuan pengendalian tingkat tinggi dan struktur klasifikasi keseluruhan. Terdapat tiga tingkat (level) usaha pengaturan TI yang menyangkut manajemen sumberdaya TI. Mulai dari bawah,

hasil yang dapat diukur. Dalam Aktivitas terdapat konsep siklus hidup yang di dalamnya terdapat kebutuhan pengendalian khusus. Kemudian satu lapis di atasnya terdapat proses yang merupakan gabungan dari kegiatan dan tugas (activities and tasks) dengan keuntungan atau perubahan (pengendalian) alami. Pada tingkat yang lebih tinggi, proses biasanya dikelompokan bersama kedalam domain.

Pengelompokan ini sering disebut sebagai tanggung jawab domain dalam struktur organisasi dan yang sejalan dengan siklus manajemen atau siklus hidup yang dapat diterapkan pada proses TI.

Domai ns

Processes

Activiti es/ Task

Gambar 2.7 Tiga tingkat usaha pengaturan TI

Selanjutnya, konsep kerangka kerja dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu (1) kriteria informasi (information criteria), (2) sumberdaya TI (IT resources), dan (3) proses TI (IT processes).

Ketiga sudut pandang tersebut digambarkan dalam kubus COBIT sebagai berikut :

Gambar 2.8 Kubus COBIT

Dalam kerangka kerja sebelumnya, domain diidentifikasikan dengan memakai susunan manajemen yang akan digunakan dalam kegiatan harian organisasi. Kemudian empat domain yang lebih luas diidentifikasikan, yaitu PO, AI, DS, dan ME.

Definisi keempat domain tersebut, dimasukan dalam klasifikasi tingkat tinggi sebagai berikut :

(a) Plan & Organize, domain ini mencakup level perencanaan strategis dan taktis, dan konsennya pada identifikasi cara TI yang dapat menambah pencapaian terbaik tujuan-tujuan bisnis.

(b)Acquisition & Implementation, untuk merealisasikan strategi TI, solusi TI yang perlu diidentifikasikan, dikembangkan atau diperlukan, juga diimplementasikan dan diintegrasikan dalam proses bisnis.

(c) Delivery & Support, domain ini menyangkut dukungan teknis penyampaian aktual dari layanan yang diperlukan, dengan menyusun operasi tradisional terhadap keamanan dan aspek kontinuitas sampai pada pelatihan, domain ini termasuk proses data aktual melalui sistem aplikasi, yang sering diklasifikasikan dalam pengendalian aplikasi.

(d) Monitor & Evaluate, merupakan bagian evaluasi semua proses TI perlu dinilai secara teratur atas suatu waktu untuk kualitas dan pemenuhan kebutuhan pengendalian. Domain ini mengarahkan kesalahan manajemen

disediakan oleh audit internal dan eksternal atau diperolah dari sumber alternatif.

Proses-proses TI ini dapat diterapkan pada tingkatan yang berbeda dalam organisasi, misalnya tingkat perusahaan, tingkat fungsi dan lain-lain.

Jelas bahwa semua ukuran pengendalian perlu memenuhi kebutuhan bisnis yang berbeda untuk informasi pada tingkat yang sama.

a) Pertama adalah tingkat tujuan pengendalian yang diterapkan secara langsung mempengaruhi kriteria informasi terkait.

b) Kedua adalah tingkat tujuan pengendalian yang ditetapkan hanya memenuhi tujuan pengendalian atau secara tidak langsung kriteria informasi terkait.

c) Ketiga dapat diterapkan namun kebutuhannya lebih memenuhi kriteria lain dalam proses ini atau yang lainnya.

Agar organisasi mencapai tujuannya, pengaturan TI harus dilaksanakan oleh organisasi untuk menjamin sumberdaya TI yang dijalankan oleh seperangkat proses TI.

2.5 Critical Succes Factor (CSF)

Critical success factors (CSF) merupakan sebuah strategi analisa yang membantu seorang manajer untuk mencapai tujuan dari perusahaan, termasuk faktor-faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan. CSF dapat ditentukan jika objektif atau arah dan tujuan organisasi telah diidentifikasi. Tujuan dari CSF adalah menginterpretasikan objektif secara lebih jelas untuk menentukan aktivitas yang harus dilakukan dan informasi apa yang dibutuhkan.

Metode CSF dan analisis CSF telah banyak digunakan dalam berbagai hal diluar bidang teknologi informasi. Dalam riset kegunaan CSF dalam manajemen program pemerintah pusat, James Dobbins dan Richard Donnelly [Dobbins 98] mengidentifikasi kegunaan CSF, antara lain:

1. Mengidentifikasi konsentrasi utama manajemen 2. Membantu perancangan strategic plan

3. Mengidentifikasi fokus area dalam tiap rincian project life cycle dan penyebab utama kegagalan proyek

4. Mengevaluasi kelayakan sistem informasi

5. Mengidentifikasi ancaman dan kesempatan bisnis 6. Mengukur tingkat produktivitas sumber daya manusia.

CSF erat kaitannya dengan pencapaian tujuan perusahaan. Ketika manajer perusahaan menentukan tujuan perusahaan, turut ditentukan juga langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Perusahaan yang telah berhasil mencapai tujuannya secara otomatis juga berhasil mencapai CSF yang telah dirancang sebelumnya seperti ditampilkan dalam gambar 2.9

Gambar 2.9 CSF dan Strategic goals

2.5.1 Kegunaan dan Peran Critical Success Factors

(Mahsun, 2011) Critical Factor Succes adalah suatu area yang mengindikasikan kesuksesan kinerja unit kerja organisasi. Area CSF ini menggambarkan

dan non-finansial pada kondisi waktu tertentu. Suatu CSF da[at digunakan sebagai indikator kinerja atau masukan dalam menetaplan indikator kinerja. Identifikasi terhadap CSF dapat dilakukan terhadap berbagai faktor, misalnya, potensi yang dimiliki organisasi, kesempatan, keunggulan, tantangan, kapasistas sumber daya, dana, sarana-prasana, regulasi atau kebijakan organisasi, dan sebagainya. Untuk memperoleh CSF yang tepat dan relevan, CSfF harus secara konsisten megikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi. Setiap organisasi memiliki CSF yang berbeda-beda tergantung pada unsur-unsur apa saja yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut.

Critical Success Factor merupakan sebuah metode analisa faktor keberhasilan yang digunakan untuk menafsirkan dengan jelas tujuan, taktik, dan kegiatan operasional dalam hal kebutuhan dan kekuatan informasi dan kelemahan dari sistem organisasi yang ada.

Analisa CFS merupakan suatu ketentuan dari organisasi dan lingkungannya yang berpengaruh pada keberhasilan atau kegagalan. CFS dapat ditentukan jika objektif organisasi telah diidentifikasi. Tujuan dari analisa CFS adalah menginterpretasikan objektif secara lebih jelas untuk menentukan aktivitas yang harus dilakukan dan informasi apa yang dibutuhkan (Pipin, 2012). CFS berperan sebagai penguhubung antara strategi bisnis organisasi dengan strategi sistem informasi yang dimiliki. Dengan adanya CFS, akan dengan mudah memfokuskan proses perencanaan strategis sistem informasi pada area yang strategis.

CFS bersifat strategis dan generik, namun diminati oleh para pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Critical Factor Success diidentifikasi, setelah visi, misi, dan obyektif bisnis ditentukan. CFS ini akan dianalisa untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahan. Faktor-faktor penentu keberhasilan yang sudah berhasil diidentifikasi kemudian akan ditelaah satu persatu untuk menentukan aksi atau proses apa yang harus dilakukan untuk merealisasikan faktor tersebut ke dalam aktivitas bisnis yang nyata. Aktivitas tersebut

diimplementasikan dengan berbagai kontribusi atau cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi informasi.

2.5.2 Penerapan Critical Success Factors

Untuk menerapkan Critical Success Factor (CSF), maka dilakukan analisa CSF. Analisa CSF ini dimaksudkan untuk merumuskan faktor-faktor kritis apa saja yang harus diperhatikan oleh suatu organisasi/perusahaan. Analisa CSF merupakan suatu ketentuan dari organisasi dan lingkungannya yang berpengaruh pada keberhasilan atau kegagalan. Faktor penentu kesuksesan dapat ditentukan jika tujuan/obyektif organisasi telah diidentifikasi. Tujuan dari faktor penentu kesuksesan adalah menginterpretasikan tujuan secara lebih jelas untuk menentukan aktivitas yang harus dilakukan dan informasi apa yang dibutuhkan.

2.6 Konsep SERVQUAL 2.6.1 Kualitas

Para peneliti mendefinisikan kualitas dengan berbagai cara. Feigenbaum (1951, dalam Juwaheer, 2004) mengartikan kualitas sebagai nilai. Crosby (1979, dalam Juwaheer, 2004) mengartikannya sebagai konformansi terhadap persyaratan. sedangkan Juran (1974, dalam Juwaheer, 2004) menyatakan bahwa kualitas adalah kesesuaian dengan penggunaan. Sementara itu Parasuraman et al. (1985, dalam Juwaheer, 2004) maupun Koch (1991, dalam Lim et al., 1999) lebih mengartikan kualitas sebagai pemenuhan harapan pelanggan.

2.6.2 Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan adalah bagian dari kualitas secara umum. Kualitas pelayanan merupakan tema penelitian yang penting dalam kaitannya dengan biaya (Crosby, 1979, dalam Sohail, 2003), profitabilitas (Buzzell and Gale, 1987; Rust and Zahorik, 1993; Zahorik and Rust, 1992, semuanya dalam Sohail, 2003), kepuasan pelanggan (Bolton and Drew, 1991; Boulding et al., 1993, keduanya dalam Sohail, 2003), retensi pelanggan (Reichheld and Sasser, 1990, dalam Sohail, 2003), dan garansi pelayanan (Kandampully and Butler, 2001,

dalam Sohail, 2003). Kualitas pelayanan juga diakui sebagai sebuah penggerak pemasaran korporat dan kinerja finansial (Buttle, 1996).

Kualitas pelayanan diartikan dengan banyak cara, dimana sebagian besar definisi tersebut berpusat pada pelanggan (Galloway and Wearn, 1998,dalam Sahney et al., 2003). Parasuraman et al. (1985, dalam Juwaheer,2004) mengartikan kualitas sebagai pemenuhan kebutuhan pelanggan.

Sementara itu Berry et al. (1988, dalam Sohail, 2003) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai kesesuaian dengan spesifikasi pelanggan. Dengan demikian, kepuasan pelanggan adalah hal pokok di dalam pembahasan tentang kualitas pelayanan, dimana kepuasan pelanggan dilihat sebagai fungsi dari perceived quality (kualitas yang dirasakan) (Anderson and Sullivan, 1993, dalam Sahney et al., 2003), atau sebaliknya, perceived quality merupakan fungsi dari kepuasan pelanggan (Parasuraman et al., 1985, dalam Juwaheer, 2004).

Kualitas pelayanan, sebagaimana yang dirasakan oleh pelanggan, melibatkan suatu perbandingan antara apa yang diharapkan oleh pelanggan (expectation) dengan penilaian mereka tentang pelayanan yang mereka terima (perceptions) (Sasser and Arbeit, 1978a, 1978b; Gronroos, 1982, 1984; Parasuraman et al., 1985; Zeithaml et al., 1985, semuanya dalam Sahney et al., 2004).

2.6.3 Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP)

Indeks kepuasan pelanggan atau dikenal Costumer Satisfication index(CSI) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan pelanggan yang diperoleh dari hasil pengukuran kuantitatif dan kualitatif atas pendapat pelanggan dalam memperolah pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kenyataan.

2.7 Sistem Pendukung Keputusan

2.7.1 Pengertian model pendukung keputusan

Model adalah percontohan yang mengandung unsur yang bersifat penyederhanaan untuk dapat ditiru. Pengambilan keputusan itu sendiri

merupakan suatu proses beruntun yang memerlukan penggunaan model secara tepat.

Pentingnya model dalam suatu pengambila keputusan, antara lain sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui apakah hubungan yang bersifat tunggal dari unsur- unsur itu ada relevansinya terhadap masalah yang akan dipecahkan/diselesaikan itu.

b) Untuk memperjelas ( secara eksplisit ) mengenai hubungan signifikan diantara unsure-unsur itu.

c) Untuk merumuskan hipotesis mengenai hakikat hubungan-hubungan antar variable. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk matematika.

d) Untuk memberikan pengelolaan terhadap pengambilan keputusan. Pendukung keputusan itu sendiri merupakan proses yang membutuhkan penggunaan model yang tepat. Pendukung keputusan itu berusaha menggeser keputusan yang semula tanpa perhitungan menjadi keputusan yang penuh perhitungan.

2.7.2 Macam-macam Model Pndukung Keputusan

Menurut Quade model kedalam dua tipe yaitu model kuantitatif dan model kualitatif.

a) Model Kuntitatif

Model Kuantitatif ( dalam hal ini adalah model matematika ) adalah serangkaian asumsi yang tepat yang dinyatakan dalam serangkaian hubungan matematis yang pasti. Ini dapat berupa persamaan, atau analisis lainnya, atau merupakan intruksi bagi computer yang berupa program- program untuk computer. Adapun ciri-ciri pokok model ini ditetapkan secara lengkap melalui asumsi-asumsi dan kesimpulan berupa konsekuensi logis dari asumsi-asumsi tanpa menggunakan pertimbangan atau instuis mengenai proses dunia nyata ( praktik ) atau permasalahan yang dibuat model untuk pemecahannya.

b) Model Kualitatif

Model kualitatif berdasarkan atas asumsi-asumsi yang ketepatannya agak kurang jika dibandingkan dengan model kuantitatif dan ciri-cirinya digambarkan melalui kombinasi dari deduksi-deduksi asumsi-asumsi tersebut dengan pertimbangan yang lebih bersifat subjektif mengenai proses atau masalah yang pemecahannya dibuatkan model.

Gullet dan Hicks memberikan beberapa klasifikasi model pengambilan keputusan yang kerapkali digunakan untuk memecahkan masalah yang seperti itu ( yang hasilnya kurang diketahui dengan pasti )

2.8 Regresi linear berganda

Istilah “regresi” pertama kali dikemukakan oleh Sir Francis Galton (1822-1911), seorang antropolog dan ahli meteorologi terkenal dari Inggris. Dalam makalahnya yang berjudul “Regression towards mediocrity in hereditary stature”, yang dimuat dalam Journal of the Anthropological Institute, volume 15, hal. 246-263, tahun 1885. Galton menjelaskan bahwa biji keturunan tidak cenderung menyerupai biji induknya dalam hal besarnya, namun lebih medioker (lebih mendekati rata-rata) lebih kecil daripada induknya kalau induknya besar dan lebih besar daripada induknya kalau induknya sangat kecil (Draper dan Smith, 1992). Dalam mengkaji hubungan antara beberapa variabel menggunakan analisis regresi, terlebih dahulu peneliti menentukan satu variabel yang disebut

dengan variabel tidak bebas dan satu atau lebih variabel bebas. Jika ingin dikaji hubungan atau pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, maka model regresi yang digunakan adalah model regresi linier sederhana. Kemudian Jika ingin dikaji hubungan atau pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, maka model regresi yang digunakan adalah model regresi linier berganda (multiple linear regression model). Kemudian untuk mendapatkan model regresi linier sederhana maupun model regresi linier berganda dapat diperoleh dengan melakukan estimasi terhadap parameter- parameternya menggunakan metode tertentu. Adapun metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi parameter model regresi linier sederhana maupun model regresi linier berganda adalah dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square/OLS) dan metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimation/MLE) (Kutner et.al, 2004).

Bentuk umum model regresi linier berganda dengan p variabel bebas adalah seperti pada persamaan (2.1) berikut (Kutner, Nachtsheim dan Neter, 2004).

dengan:

Yi adalah variable tidak bebas untuk pengamatan ke-I untuk i=1,2,….,n.

β0, β0,β0,β0….β0 adalah parameter

Xi 1, Xi2 ….Xi,p-1 adalah variable bebas

ε

i adalah sisa (error) untuk pengamatan ke-i yang diasumsikan berdistribusi normal yang saling bebas dan identik dengan rata-rata 0 (nol) dan varians

σ

2 2.9 Simple additive weighting (SAW)

Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan dengan menggunakan metode Simple Additive Weighting (SAW) antara lain dilakukan oleh Syaukani dan Guritno, membuat pemodelan sistem pendukung keputusan kelompok untuk mendiagnosis pasien pneumonia pada orang dewasa. Sistem ini dirancang sebagai alat bantu tenaga medis dalam mendiagnosis pasien pneumonia.

metode fuzzy Simple Additive Weighting. Pemberian nilai preferensi tiga orang pakar antara lain ahli paru-paru, ahli internis dan ahli farmasi menggunakan bilangan fuzzy segitiga. Pada tahap agregasi preferensi digunakan fuzzy linguistic quantifier, tahap perangkingan menggunakan Simple Additive Weighting dan proses inferensi menggunakan Forward Chaining. Sistem diuji dengan cara memasukkan gejala- gejala pneumonia tanpa melibatkan seorang pakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem dapat mendiagnosis penyakit pneumonia (Syaukani dan Gurtino, 2013). Konsep dasar metode SAW adalah mencari penjumlahan terbobot dari rating kinerja pada setiap alternatif pada semua kriteria (Kusumadewi, 2006). Metode SAW membutuhkan proses normalisasi matrik keputusan (X) ke suatu skala yang dapat diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada.Metode membutuhkan proses normalisasi matrik keputusan (X) ke suatu skala yang dapat diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada.Metode SAW mengenal adanya 2 (dua) atribut yaitu kriteria harapan (hope) dan kriteria kenyataan (real).

2.10 Penelitian terkait Critical Success Factor

Penelitian yang berhubungan dengan critical success factor dijelaskan dalam tabel 2.1

Tabel 2.1 Penelitian Critical Success Factor

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian 01 Rohaniyati Salleh (2009) Critical Success Factors Of Project Management For Brunei Construction Projects: Improving Project Performance Untuk mengidentifikasi faktor penentu keberhasilan yang paling berpengaruh dalam menghindari atau mencegah faktor-faktor keterlambatan kritis. Hal ini akan dilakukan melalui pemeriksaan hubungan antara faktor- faktor penentu keberhasilan dan faktor keterlambatan dalam proyek-proyek

konstruksi.

a. Metode pengumpulan data yang digunakan kombinasi dari pendekatan survey dan studi kasus. b. Analisa data menggunakan software SPSS dan Delphi Hasil penelitian menunjukan identifikasi hubungan factor penentu keberhasilan dengan keberhasilan kegiatan projek yang dilakukan 02 Prapawadee Na Ranong (2009) Critical Success Factors for effective risk management procedures in financial industries

untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari prosedur manajemen risiko dan menguji faktor-faktor penentu keberhasilan untuk prosedur manajemen risiko yang efektif.

a. Mtode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deduktif dan Kuantitatif dengan kuesioner b. Analisa data menggunakan SPSS Hasil penelitian menunjukkan pengkajian factor keberhasilan untuk prosedur manajemen bencana

03 Haryanto Tanuwijaya (2013) Pengukuran Tingkat Kematangan Sistem Informasi Berdasarkan Critical Success Factor Pada

Instalasi Rawat Inap RSU Surabaya

Menghasilkan tingkat kematangan sistem informasi yang telah diterapkan sebagai crtitical success factor

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kulitatif wawancara kuesioner dengan kriteria responsible, consult, accountable dan inform

Keberhasilan pengukuran tingkat kematangan sistem informasi RSU Surbaya

BAB 3

Dokumen terkait