• Tidak ada hasil yang ditemukan

membran ulttrafiltrasi 42 15 Histogram bilangan asam proses degumming dan netralisasi

H 2 COH COOCR

HCOH + 3RCOOH HCOOCR2 + 3 H2O

H2COH H2COOCR3

Gambar 2. Reaksi Esterifikasi Gliserol dan Asam Lemak membentuk Trigliserida (Ketaren, 1986)

Asam-asam lemak merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam terbagi menjadi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya (Winarno 1997).

Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam minyak sawit, dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel ini ternyata stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM 1988).

10

Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit *) Jenis

Sifat

M. Sawit (CPO)

Olein Stearin M. Inti

Sawit (PKO) Titi cair, (0C)

Bobot Jenis (500C/air 250C) Indeks Bias (nD, 50 0C)

Bil. Iod (wijs) Bil. Penyabunan Fraksi tak tersabunkan (%)

Asam lemak, (%) : C6 C8 C10 C12 C14 C16 C16=1 C18 C18=1 C18=2 C18=3 C20 34,2 0,892 1,455 53,3 195,7 0,5 0,2 1,1 44,0 0,1 4,5 39,2 10,1 0,4 0,4 21,6 0,902 1,459 58,0 198,0 0,5 0,2 1,0 39,8 0,2 4,4 42,5 11,2 0,4 0,4 44,5 0,882 1,477 21,6 193,0 0,2 0,3 1,5 65,0 0,2 5,0 21,3 6,5 0,4 0,4 27,3 0,902 1,451 17,8 245,0 0,3 0,3 4,4 3,7 38,3 15,6 7,8 2,0 15,1 2,7 *) PORIM (1988)

Dari Tabel 2, komposisi asam lemak minyak sawit terdiri dari asam lemak jenuh ± 50%, MUFA ± 40%, serta asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) yang relatif sedikit (± 10%). Dari komposisi asam lemak yang demikian, minyak sawit dapat diklasifikasikan sebagai lemak tidak jenuh (unsaturated fat), tidak seperti lemak hewan, minyak kelapa atau PKO (PORIM 2003).

Dengan kandungan asam oleat yang tinggi dan kandungan PUFA yang rendah, minyak sawit cocok digunakan untuk medium penggoreng. Minyak kaya asam oleat juga diketahui relatif stabil terhadap suhu penggorengan yang tinggi serta relatif tahan terhadap kerusakan oksidatif penyebab ketengikan minyak selama penyimpanan.

Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil)

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih berwarna merah. Muchtadi (1992), menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab warna merah tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta karoten. Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600 – 1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah terdiri dari alpha karoten lebih kurang 36,2%, beta karoten lebih kurang 54,4%, gamma karoten lebih kurang 3,3%, lipoken lebih kurang 3,8% dan santofil lebih kurang 2,2%.

Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, sehingga pada proses pembuatan minyak goreng, warna merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal penyakit kronik degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru sengaja dibuang dan sebagain lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi 1998; Muhillal 1998)

Selain itu, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit diperlukan adanya bahan kimia dan perlakuan fisik yang secara tidak langsung dapat merusak komponen-komponen aktif yang terdapat didalamnya terutama komponen karotenoid.

Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi CPO yang selanjutnya menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan yang kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengadukan dan pengempaan, penyaringan dan pemurnian. Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap panas, cahaya maupun udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses pengolahannya perlu diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses yang dapat merusak komponen tersebut.

Proses pemucatan (bleaching) adalah salah satu tingkat pengolahan minyak atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat warna dalam minyak atau lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan dalam tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5 – 5,0% dari berat minyak. Suhu diatur sekitar 250 0F atau 121 0C, setelah itu suhu minyak

12

diturunkan sekitar 71 – 80 0C kemudian minyak dipompakan melalui saringan untuk memisahkan adsorben.

Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah dikendalikan beberapa prose terutama penggunaan suhu tinggi, sehingga saat pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang berwarna merah. Proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan, petroleum eter dan sebagainya telah lama dilakukan. Dengan cara ini akan diperoleh minyak yang lebih murni dengan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan cara konvensional. Selain itu kadar beta karoten dalam minyak dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak karena beta karoten juga mempunyai sifat larut dalam lemak sehingga akan terbawa bersama-sama fase minyak dan pelarut, kemudian pelarutnya diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit merah (Muchtadi 1992).

Fosfatida

Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida yaitu fosfolipid atau fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak dan hidrokarbon (Ketaren 1986). Kompleks ester yang mengandung fosfor, basa nitrogen, gula-gula dan rantai panjang asam lemak disebut fosfolipid. Fosfolipid dalam minyak banyak mengandung sejumlah fosfatida yaitu lesitin dan cepalin. Fosfatida-fosfatida dalam minyak merupakan ester asam lemak dengan lemak, dimana pada saat yang sama juga membentuk ester dengan asam fosfor. Asam fosfor juga membentuk ikatan dengan basa nitrogen atau gula dan kation-kation seperti magnesium, kalsium dan sodium (Patterson 1992)

Menurut Macrae et al., (1991) fosfolipid merupakan senyawa yang mengandung gliserol, sphingosin, satu atau dua rantai hidrokarbon dan fosfor. Bila yang bertindak sebagai dasar adalah gliserol maka disebut gliserofosfolipid, sedangkan bila sphingosin disebut sphingolipid.

O R1 – C – O – CH2 R2 – C – O – C – H O H2C – O – P – O - alkohol O (a) H H H H3C – (CH2)12 – C = C – C - OH H – N – C – H O O = C CH2 - O – P - kolin R1 O (b)

Gambar 3. Struktur dasar (a) gliserofosfolipid dan (b) sphingolipid (Macrae et.al. 1991)

Jenis fosfatida tergantung dari sumber fosfatida tersebut. Fosfatida dalam minyak yang berasal dari tanaman terdiri dari lesitin dan sefalin seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Beberapa fosfatida utama adalah phosphatidylcholine (PC) atau yang sering disebut lesitin, phosphatidyletholamine (PE) dengan nama umum sefalin, Nacylphosphatidyethanoamine (NAPE), phosphatidyl serine (PS), phospha tidylinositol (PI), phosphatidic acid (PA), phosphatidyl glycerol (PG), plas mologen (PM), diphosphatidyl glycerol (DPG), lyso-phosphatidylcholine (LPC), lyso-phosphatidylethanolamine (LPE) (Marcrae, et. al. 1991)

Lesitin mempunyai bagian yang larut dalam minyak dan bagian yang mengandung PO43+ (polar) yang larut dalam air (Winarno 1988). Lesitin

merupakan substansi yang tidak berwarna, jernih seperti parafin. Apabila ada panas atau cahaya maka lesitin cepat berubah menjadi orange atau coklat gelap (Djatmiko dan Widjaja 1984). Lesitin banyak digunakan dalam produk pangan, farmasi, kosmetik dan pada produk industri lainnya (Peterson dan Johnson 1978). Sefalin merupakan padatan yang tidak berwarna, tetapi seperti halnya lesitin akan cepat berubah menjadi gelap sampai merah kecoklatan bila terkena panas atau cahaya (Djatmiko dan Widjaja 1984).

14

Menurut Torrey (1983), fosfatida terdiri dari dua golongan yaitu fosfatida hydratable dan fosfatida non hydratable. Komponen terbesar dari fosfatida hydratable adalah lesitin sedangkan fosfatida non hydratable terdiri dari sefalin, garam kalsium dan magnesium dari phosphatidic acid.

Fosfatida hydratable dapat dengan mudah dihilangkan dari minyak dengan menggunakan air atau uap. Pemisahan fosfatida non hydratable biasanya lebih sulit, membutuhkan perlakuan dengan asam untuk mengubahnya menjadi bentuk yang hydratable. Fosfatida hydratable berbentuk lendir dengan berat jenis yang lebih besar dari minyak dan berwujud seperti jonjot (Brekke 1976).

Komponen Minor Minyak Sawit

Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal juga dengan sebutan komponen minor, karena apabila dihitung secara proposional kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunkan adalah ppm (part per million) atau bagian per sejuta, tetapi apabila dihitung secara kualitatif, peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil terutama untuk mencegah penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh taupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi (Muchtadi 1998).

Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen minor yang dikandung dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel berikut menunjukkan komponen minor yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).

Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)

Komponen Jumlah (ppm)

Karotenoid

Tokoferol dan Tokotrienol Sterol Fospolipid Triterpen alkohol Metil sterol Sequalen Alkohol Alifatik Hidrokarbon Alifatik 500 – 700 600 – 1000 326 – 527 5 – 130 40 – 80 (est) 40 – 80 (est) 200 – 500 100 – 200 50 Sumber : Ong dkk. (1989)

Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam minyak sawit adalah karotenoid. Karotenoid adalah suatu pigmen alami yang dapat ditemui pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Pigmen ini berwarna kuning sampai merah, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifat- sifatnya yang mendasar (Rousell 1985). Warna merah kuning yang disebabkan oleh karoten minyak sawit merupakan pro vitamin A, namun kurang disenangi oleh konsumen karena mempengaruhi nilai estetika makanan.

Karrer dan Jucker (1950) mendefenisikan karotenoid sebagai suatu zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C – 5, serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonyugasi. Struktur dasarnya dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya ikatan ganda yang terkonyugasi didalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus khromofor, yaitu lokasi di dalam sel tempat terdapatnya karotenoid. Makin banyak ikatan ganda terkonyugasi akan semakin pekat warna karotenoid tersebut, artinya semakin mengarah ke warna merah (Wirahadikusumah 1985; Hassan 1987).

- C = CH- CH = CH- C = CH =============CH – CH = C-CH=CH-CH= C – CH3 CH3 CH3 CH3

1 5 molekul pusat 1 5 1 6

16

Karotenoid termasuk senyawa yang terdapat lipida yang tidak dapat disabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, bensena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut dalam air (Goodwin 1976 dan Hassan 1987)

Golongan karotenoid yang paling penting adalah jenis alfa dan beta karoten, yang diperlukan bagi tubuh, karena selain pro vitamin A, juga dapat mencegah penyakit jantung koroner. Karotenoid golongan ini terdapat dalam jumlah banyak dalam minyak sawit. Karotenoid umum yang dikenal sebagai sumber vitamin A adalah beta karoten, alfa karoten dan gamma karoten. Beta karoten yang merupakan sumber utama vitamin A mempunyai struktur kimia seperti gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. Beta karoten (Erdman 1989)

Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro didalam minyak sawit mempunyai beberapa aktifitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, yang disampaikan oleh Tan (1987), Klurfield (1989) dan Muhilal (1991), antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, mencegah proses menua yang terlalu dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.

Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati yang sulit dipucatkan karena mengandung karoten dalam jumah besar (500 – 600 ppm) yang menyebabkan minyak berwarna kuning. Karoten diketahui mempunyai sifat tidak stabil terhadap panas, cahaya dan oksigen; sehingga dalam proses pemurnian minyak sawit (CPO) banyak terjadi kerusakan komponen-komponen nutrisi yang berharga seperti beta karoten yang merupakan sumber pro vitamin A.

CH3 CH3 CH3 CH3 C CH3 CH3 CH3 CH3 C H2C C CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C CH2 H2C C CH2 H2C C CH2 CH2 CH2

Degumming

Degumming (pemisahan gum) merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfolipid, protein, residu, karbohidrat, air dan resin. Biasanya proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar supaya bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak, kemudian disusul dengan proses pemusingan (sentrifusi) (Ketaren 1986). Komponen-komponen fosfatida membentuk lendir (gum) pada CPO dan tidak dikehendaki karena trigliserida yang akan terhidrasi sehingga menimbulkan emulsi pada saat pengolahannya, mempersulit adsorbsi tanah pemucat. Fosfatida yang terlarut dalam minyak dapat dipisahkan dengan menyalurkan uap air panas ke dalam minyak sehingga terpisah dari minyak, sedangkan fosfatida yang tidak larut air dapat dipisahkan dengan penambahan Asam Phospat (H3PO4).

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk proses pemisahan gum antara lain adalah pemisahan gum dengan cara pemanasan, dengan penambahan asam (H3PO4, H2SO4 dan HCl), pemisahan gum dengan NaOH, pemisahan gum dengan

cara hidrasi dan pemisahan gum dengan pereaksi khusus seperti asam fosfat, natrium chlorida (NaCl) dan Natrium Phospat (Na3PO4). Proses degumming

dengan menggunakan asam an organik adalah proses lazim dilakukan, pengaruh yang ditimbulkan oleh asam adalah terbentuknya gumpalan sehingga mempermudah pengendapan kotoran. Pemberian Asam fosfat sebagai degumming agent karena dapat menurunkan bilangan peroksida minyak yang telah dipucatkan dan dapat meningkatkan kestabilan warna, akan tetapi semakin tinggi kadar asam fosfat yang digunakan maka bilangan peroksida dari minyak yang telah dipucatkan akan semakin meningkat. Proses degumming menggunakan NaOH, maka partikel yang terbentuk akan menyerap lendir dan sebagian pigmen. Kelemahan proses ini adalah terbentukknya emulsi sabun sehingga kehilangan minyak netral akan bertambah besar.

Minyak sawit kasar mengandung berbagai jenis fosfatida seperti phosphatidyl choline (PC), Phosphatidyl inositol (PI), phosphatidyl ethanolamine (PE), phosphatidic acid (PA) dan phytosphingolipids. Tingkat hidrasi dari fosfatida ini bervariasi pada suhu 800C seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.

18

Tabel 5. Tingkat relatif hidrasi dari fosfatida *)

Jenis Fosfolipid Tingkat Hidrasi (%)

PC PI

Garam Kalsium dari PI PE

Garam kalsium dari PE PA

Garam kalsium dari PA Phytosphingolipid 100 44 24 16 0,9 8,5 0,6 8,5 *) Seger dan Sande (1989)

Netralisasi

Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehinga membentuk sabun (soap stock). Netralisasi dengan kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu penggunaan NaOH membantu mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lendir dalam minyak.

Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.

Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut : O O

R C + NaOH R C + H2O

OH ONa

Asam Lemak basa sabun air bebas

Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun secara mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan fosfatida, protein, resin dan suspensi dalam minyak yang tidak

dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor (minor component) dalam minyak berupa sterol, klorophil, vitamen E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi. Netralisasi menggunakan kaustik soda akan menyabunkan sejumlah kecil trigliserida. Molekul mono dan digliserida lebih mudah bereaksi dengan persenyawaan alkali.

Pemakaian larutan NaOH dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan bereaksi sebagaian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih konsentrasi dan jumlah NaOH yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik.

Pelarut Organik

Kemampuan pelarut baik polar maupun non polar dalam melarutkan bahan dan perbandingan antar pelarut yang menghasilkan rendemen terbaik dalam suatu proses belum banyak diketahui. Menurut Ketaren (1985) masing-masing pelarut mempunyai efisiensi yang berbeda-beda. Pemilihan pelarut harus didasarkan pada sifat polaritas, stabilitas dan harga. Adapun untuk bahan pangan harus memperhatikan sifat keamanan terhadap bahan yang dilarutkan.

Konsep like disolves like merupakan konsep yang menjelaskan adanya fenomena dlam proses ekstraksi, nilai kepolaran pelarut harus sedekat mungkin dengan kepolaran sampel. Konsep ini sangat berguna jika komponen yang akan diekstrak sudah diketahui kepolarannya. Untuk bahan yang bersifat polar sebaiknya menggunakan pelarut yang polar, sedangkan untuk bahan yang non polar digunakan pula pelarut yang bersifat non polar (Winarno et.al 1973). Kemampuan pelarut untuk melarutkan suatu bahan akan meningkat dengan meningkatnya suhu pelarut (Brieger 1969).

Kepolaran pelarut ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton). Interaksi ion dipol, ikatan hidrogen, pembentukan kompleks dan dipol-dipol mempengaruhi kelarutan bahan dalam pelarut (Brieger 1969). Indeks polaritas beberapa pelarut organik dapat dilihat pada Tabel 6.

20

Tabel 6. Indeks polaritas dan kelarutan dalam air beberapa pelarut organik *) Pelarut Indeks polaritas Kelarutan dalam air (% w/w)

Pentana 0,0 0,004 Heksana 0,0 0,001 Heptana 0,0 0,0003 Sikloheksana 0,2 0,01 CCl4 1,6 0,08 Benzena 2,7 0,18 Dietil eter 2,8 6,89 Dikloro metana 3,1 1,60 Isopropanol 3,1 100 Tetrahidrofuran 4,0 100 Kloroform 4,1 0,82 Etil asetat 4,4 - Aseton 5,1 100 Metanol 5,1 100 Etanol 5,2 100 Asetonitril 5,8 100 Air 9,0 - Keterangan : *) Brieger (1969)

Winarno et al (1973), menambahkan bahwa ada dua syarat pelarut agar dapat digunakan untuk ekstraksi, yaitu mudah dipisahkan setelah proses ekstraksi dan merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi. Pertimbangan lain dalam pemilihan pelarut, terutama untuk keperluan industri harus memperhatikan kadar toksisitas, viskositas dan harga. Kemudian pemakaian pelarut juga harus mempertimbangkan sifat inner, dalam arti pelarut tidak bereaksi dengan bahan yang dipisahkan.

Tabel 7. Tingkat toksik beberapa pelarut organik

Pelarut Tingkat Toksik

Etanol Sangat rendah

Aseton Rendah

Dietel eter Rendah

Diklorometana Rendah Dimetil sulfoksida Rendah

Etil asetat Rendah

Heksana Rendah Isopropanol Rendah Metanol Rendah Pentana Rendah

Petroleum eter Rendah

Asetonitril Tinggi Karbon disulfida Tinggi

Tetrahidrofuran Tinggi

Toluen Tinggi

Benzen Tinggi (karsinogenik)

Karbon tetraklorida Akut dan kronik (karsinogenik)

Kloroform Karsinogenik Dimetil formamida Karsinogenik, iritasi

Pasto et.al (1992)

Menurut Snape dan Nakajima (1996), pada umumnya pelarut heksan lebih dapat merusak membran kemudian diikuti dengan metanol, etanol dan isopropanol yang mempunyai kemungkinan merusak lebih kecil. Ditambahkan lagi oleh Andreas (2004), bahwa dengan menggunakan heksan sebagai pelarut pada minyak goreng bekas dapat merusak seal-seal pada sambungan pipa dan pompa pada modul membran keramik.

Filtrasi membran

Kaseno (1999) menyatakan bahwa bahan yang dapat memisahkan dua komponen dengan cara spesifik yaitu menahan atau melewatkan salah satu komponen lebih cepat dari pada komponen yang lain disebut dengan membran. Menurut Osada dan Nakagawa (1992), membran merupakan lapisan tipis semi permeabel yang tipis dan dapat digunakan untuk memisahkan komponen dengan cara menahan dan melewatkan komponen tertentu melalui pori-pori.

Dalam penggunaan energi, pemisahan dengan membran memiliki keunggulan, tidak seperti evaporasi dan destilasi, pemisahan dengan membran

22

tidak melibatkan perubahan fase dalam prosesnya, sehingga tidak membutuhkan kalor laten. Membran berdasarkan bahan pembuatan dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) bahan organik, dimana membran ini dibagi lagi menjadi dua bagian antara lain (a) membran alamiah, contohnya membran yang terbuat dari selulosa dan turunannya seperti selulosa nitrat dan asetat dan (b) membran sintesis, contohnya polisulfon, poliamida dan polimer sintesis yang lainnya dan (2) bahan anorganik (Mallevialle et.al 1996).

Materi anorganik memiliki stabilitas kimia dan stabilitas termal lebih baik dibandingkan dengan bahan polimer. Ada empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, membran gelas, membran metal (termasuk karbon) dan membran zeolit. Membran keramik dibentuk dari kombinasi metal (seperti aluminium, titanium dan zirkonium) dengan non metal dalam bentuk oksida, nitrida atau karbida.

Material anorganik memiliki stabilitas terhadap bahan kimia yang lebih baik dibandingkan dengan membran organik. Secara umum membran ini dapat digunakan pada beberapa pH dan pada beberapa pelarut organik. Stabilitas material anorganik ini, material keramik, karena hasil pemadatan struktur kristal, ikatan kimia dan asosiasi antara partikel yang relatif kuat dan muatan kation yang tinggi pada keramik, sehingga material anorganik dapat digunakan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Faktor lain yang penting dari penggunaan bahan anorganik adalah semua bahan pembersih dapat digunakan, termasuk penggunaan asam dan basa kuat. Khususnya pada aplikasi dengan fouling yang tinggi, yang menembus membran dengan cepat sehingga pembersih secara periodik dibutuhkan (Wenten 1999)

Filtrasi membran memiliki arti sebagai pemisahan material dengan mengalirkan umpan melalui suatu membran dan molekul dengan ukuran besar yang tertahan pada permukaan membran (Gutman 1987). Filtrasi dengan menggunakan membran dapat dibedakan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi dan dialisis. Mikrofiltrasi adalah jenis filtrasi yang bertujuan untuk memisahkan partikel. Sebaliknya ultrafiltrasi bertujuan untuk memisahkan molekul. Dialisis digunakan untuk pemisahan partikel yang lebih kecil dari molekul dan bermuatan,

sedangkan osmosa balik (Reverse osmosis) adalah dialisis yang dilakukan secara berlawanan arah (Brock 1983).

Tabel 8. Karakteristik Membran berdasarkan ukuran pori dan perbedaan tekanan dan berat molekul

Jenis Membran Ukuran Pori (nm)a Perbedaan Tekanan (bar)a Berat Molekul (Dalton)b Mikrofiltrasi (MF) 50 – 10.000 0,1 – 2,0 - Ultrafiltrasi (UF) 1 – 20 1,0 – 5,0 1000 – 100000 Nanofiltrasi (NF) 2 – 5 5,0 – 20 1000 – 200 Reverse Osmosis (RO) < 2 10 – 100 < 200

a) Mulder (1996) b) Yuksel et.al (1996)

Prinsip operasi pemisahan dengan menggunakan membran adalah memisahkan bagian tertentu dari umpan (feed) menjadi retentat (retentate) dan permeat (permeate). Umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan. Permeat adalah bagian yang dapat melewati pori membran, sedangkan retentat adalah bagian yang tidak dapat melewati pori membran (Mellevialle et. al. 1996).

Ketika larutan yang mengandung partikel didorong atau ditarik melalui sebuah filter, terjadi sebuah sistem aliran kompleks dimana sebagian kecil larutan berpindah dari fasa terbesar larutan tersebut, masuk ke dalam pori-pori filter dan keluar dari sisi yang lain. Aliran dari larutan akan lebih mudah melewati pori-pori yang lebih besar, oleh karena itu ukuran pori-pori sangat berpengaruh dalam proses filtrasi. Partikel yang tersuspensi akan terbawa dalam aliran larutan tersebut karena adanya kelembaman. Jika ukuran partikel cukup kecil untuk lolos melalui pori-pori, maka partikel tersebut akan keluar menjadi filtrat, atau sebaliknya bila ukurannya lebih besar dari pori-porinya maka partikel tersebut akan mengenai permukaan filter atau terperangkap diantara celah matrix filter.

Untuk partikel yang memiliki lebih besar dibandingkan ukuran pori-pori jelas akan terperangkap atau tertahan oleh filter, tetapi ada juga sebagian partikel yang lebih kecil dari pada ukuran pori-pori akan terperangkap juga. Hal ini mungkin terjadi, jika ukuran partikel hanya lebih sedikit kecil dibandingkan pori- porinya, ketika partikel lewat mendekati pori-pori ada kemungkinan sebagian

Dokumen terkait