• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, ada yang cenderung membahas dari sisi kebahasaan, aliran kalam, mazhab fikih, sufisme, ilmiah ataupun itu dalam bidang sosial kemasyarakatan, yang berasal dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai corak tertentu.

A. Hassan seorang penulis yang produktif dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya, sehingga mampu menghasilkan beberapa karya buku, misalnya dalam bidang hukum (fikih) buku Soal-Jawab sebanyak empat jilid.

Demikian juga dalam bidang teologi dengan bukunya yang berjudul Al-Tauhid.

Juga bukunya yang berkenaan tentang permasalahan umat yang diberi judul Kumpulan Risalah A. Hassan. Dan beberapa buku-yang lain. Tetapi bagaimana dengan pikiran-pikirannya dalam buku-buku tersebut; apakah corak dari buku-buku tersebut juga dituangkan dalam kitab Tafsir al- Furqan, ternyata tidak semua dituangkan dalam kitab tafsirnya.

Hal ini dapat dilihat ketika A. Hassan menjelaskan objek ayat-ayat yang bersifat teologis, fikih, filsafat maupun ilmiah, ia memberikan penjelasan yang singkat dan mudah dipahami oleh masyarakat awam, tanpa penafsiran yang lebih terperinci dan mendetail.

Misalnya, ayat yang berhubungan tentang persoalan fikih yang berkenaan tentang Qis}as, yang terdapat di dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 178: bahwa yang dimaksud dengan العبد بالعبد yang artinya: “orang merdeka dengan orang merdeka” bahwa seorang merdeka, kalau membunuh seorang merdeka maka wajib dibunuh. Kemudian, menurutnya bahwa kesimpulan ayat ini dan pada beberapa keterangan, masalah balas bunuh itu ada beberapa macam, antara lain:

a) Seorang laki-laki yang merdeka kalau membunuh seorang laki-laki yang merdeka wajib ia dibunuh;

b) Seorang hamba, kalau membunuh seorang hamba, maka wajib ia dibunuh;

c) Seorang perempuan merdeka, kalau membunuh seorang perempuan merdeka, maka wajib ia dibunuh;

d) Seorang hamba, kalau membunuh seorang merdeka, maka wajib ia dibunuh serta tuannya wajib memberi diyat (denda) kepada waris si merdeka yang dibalas bunuh itu;

e) Seorang perempuan, kalau membunuh seorang laki-laki merdeka, maka wajib ia dibunuh, serta waris si perempuan itu wajib bayar diyat kepada waris si laki-laki yang terbunuh itu;

f) Seorang laki-laki merdeka, kalau membunuh seorang perempuan, maka wajid ia di bunuh, tetapi waris si perempuan itu wajib memberi diyat kepada waris si laki-laki yang dibalas bunuh itu. Lanjutnya keterangan lebih jauh tentang hal ini bisa didapat pada kitab fikih dan hadis di pasal atau bab diyat.

Demikian penafsiran A. Hassan pada ayat ini, ia menjelaskan berbagai bentuk pembunuhan, namun juga memberikan saran untuk merujuk kepada kitab fikih dan hadis, dan menurut penelitian penulis bahwa hanya beberapa ayat yang ditafsirkan oleh A. Hassan dengan penjelasan yang cukup luas pada bidang fikih.

Pada ayat yang lain ia hanya menjelaskan secara singkat. A. Hassan juga tidak bertaklid kepada salah satu dari empat imam mazhab, ketika menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan fikih. kemungkinan pengaruh dari risalah yang dikeluarkannya pada tahun 1956 berjudul Risa>lah al-Mazhab yang isinya

haram bermazhab. Hal ini nampak pada penjelasannya tentang bagaimana bacaan bismillah sebagaimana penjelasan terdahulu.

Adapun pada objek ayat yang berkenaan tentang teologi, khususnya tentang sifat Allah swt., sebagaimana yang terdapat di dalam Q.S. Al-Furqan/25: 59. pada lafaz istawa> ‘ala al-'Arsy. A. Hassan menafsirkannya dengan menyebut bahwa bersemayam di atas ‘Arsy tidak mesti dengan duduk di atasnya. Cukup kalau diartikan Allah berkuasa atas 'Arsy, sedang ‘Arsy itu adalah tempat yang paling jauh. A. Hassan juga menegaskan bahwa ulama yang tidak suka takwil berkata, bahwa Allah bersemayam, tidak dimengerti, caranya tidak dapat diketahui, tetapi wajib dipercayai. Menurut penulis, A. Hassan cenderung mendukung penafsiran kaum khalaf sebagaimana juga penafsiran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, yang menafsirkan kata al-Arsy (tahta kerajaan) diberi interpretasi kekuatan, A.

Hassan menafsirkannya dengan “Allah berkuasa atas 'Arsy”.

Demikian juga pada contoh ayat yang lain, ketika A. Hassan menafsirkan Q.S. Al-Fath/48: 10, bahwa yang dimaksud dengan lafaz yad Allah di sini adalah orang yang muba>ya’ah (berjanji taat) kepada Rasul itu, biasanya dengan berjabat tangan, yakni meletakkan tangan atas tangan. Maka orang yang muba>ya’ah dengan rasul itu, Allah pandang sebagai muba>ya’ah dengan-Nya, dan tangan Rasul yang diletakkan di atas tangan-tangan mereka itu Allah anggap seperti tangan-Nya terletak atas tangan tangan mereka. Sementara itu, pendapat Mu’tazilah, yang diwakili oleh al-Zamakhsya>ri>, mengatakan bahwa mereka menginginkan tangan Rasul yang berada di atas tangan orang yang berbaiat adalah tangan Allah, sementara Allah swt. suci atas segala bentuk penisbahan anggota badan, makna sebenarnya ialah penetapan bahwa perjanjian yang dilakukan

bersama Rasul, seperti perjanjian bersama Allah swt. yang tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Pada penjelasan di atas, A. Hassan tidak mentakwilkan arti tangan kepada selain arti yang sesungguhnya, ia mengumpamakan tangan nabi Muhammad saw.

sama dengan tangan Allah ketika membaiat orang-orang untuk taat kepadanya.

Sementara Mu’tazilah tidak sepakat dengan penisbahan tangan, karena Allah suci dari yang demikian.

Dalam persoalan ilmiah, misalnya pada permasalahan kosmologi, terdapat di dalam Q.S. Yasin/36: 40 sebagai berikut:

لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

(40(

Terjemahnya:

Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.

A. Hassan menafsirkan ayat ini dengan sangat sederhana dan tidak berbeda jauh dengan arti yang ada di dalam teks Alquran. Menurut A. Hassan tentang penafsiran ayat ini bahwa tiap-tiap satu dari matahari, bumi dan lainnya berjalan di landasan rel masing-masing. Oleh karena itu, matahari tidak bisa mengejar bulan, dan malam tidak bisa mengejar siang.

Tampak bahwa A. Hassan, ketika dihadapkan pada ayat-ayat yang berhubungan dengan bidang fikih, teologi, filsafat maupun ilmiah, A. Hassan menafsirkannya sesuai dengan bidang tersebut. Namun, penjelasannya tidak secara terperinci.

Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa corak/ objek formal tafsir yang tampak pada kitab Tafsir al-Furqan yaitu dalam bidang fikih, teologi, bahasa dan ilmiah. Pada ayat-ayat yang berkaitan dengan fikih tidak bertaklid pada salah satu dari Imam mazhab, walupun pendapatnya mengarah kepada salah satu Imam mazhab. Pada ayat-ayat teologi, kadang kala sepakat dengan penafsiran kaum Mu’tazilah dan di sisi lain mengambil bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah.

Dokumen terkait